Saat hendak kembali ke kamarnya, Agatha melihat beberapa pengawal yang telah membawanya. Ia menghampiri para pengawal berjas hitam itu.
Menyadari kedatangan Agatha, salah seorang pengawal dengan postur tubuh yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya menghampiri Agatha.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?” tanya pengawal itu dengan suara maskulinnya. Sementara Agatha menatapnya dengan tajam. Ia masih merasa kesal kepada para pengawal yang membawanya begitu saja.
“Antar saya ke pub!” perintah Agatha membuat para pengawal yang mendengarnya kaget karena tidak biasanya Adiva ingin diantar ke tempat itu.
“Maaf Nona tapi ….”
Agatha menghela nafas kasar dan segera memotong ucapan pengawal itu. “Okay, okay saya paham.”
Setelah berpikir sejenak, Agatha tersenyum dan membisikkan sesuatu di telinga pengawal itu.
“Tapi ….”
“Tidak ada tapi, saya akan pergi ke pub sekarang juga bagaimanapun caranya kalau kamu tidak menuruti apa yang saya minta,” tegas Agatha dengan seringai di wajahnya.
Mau tidak mau pengawal itu memenuhi permintaan Agatha. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, gadis itu kembali ke kamarnya.
Agatha menutup pintu kamarnya rapat, ia melangkah menuju balkon dan menikmati semilir angin malam kota London. Ia mulai meneguk wine yang ada di tangannya. Agatha tersenyum sambil sesekali kembali meneguk minumannya.
Tak terasa, sebotol wine di genggaman Agatha sudah hampir habis. Ia berniat masuk ke dalam kamar ketika menyadari tubuhnya sudah mabuk. Wajah gadis itu sudah mulai memerah dan langkahnya terhuyung-huyung.
Rafka tiba-tiba saja datang dan menangkap tubuh Agatha saat tubuh gadis itu nyaris akan menyentuh lantai.
“Hey Sayang. Kamu kemana aja? aku tunggu kamu dari tadi,” celoteh Agatha dengan mata yang hampir tertutup.
Rafka tidak merespon ucapan Agatha dan langsung menggendong tubuh gadis itu lalu membawanya masuk ke dalam kamar. Perlahan ia memindahkan tubuh Agatha ke atas kasur.
“I'm sorry Sean. I hope you can forgive me,” gumam Agatha sebelum ia tertidur.
Samar-samar Rafka dapat mendengar suara gadis itu. Untuk sementara Rafka menatap wajah Agatha yang terlihat damai. Ia membelai wajah gadis itu dengan lembut lalu mencium keningnya cukup lama sebelum ia menarik selimut dan menutup tubuh gadis itu kemudian melangkah keluar.
Rafka memanggil para pekerja dan juga pengawal. “Sejak kapan Adiva mengonsumsi ini?” tanya Rafka sambil menunjukkan botol wine di tangannya.
“Maaf Tuan, tadi saya yang memberikannya. Nona Adiva bersikeras ingin pergi ke pub, tetapi saya menolaknya,” jawab salah satu pengawal.
“Apakah ini yang selalu Adiva lakukan?” tanya Rafka lagi.
“Saya menugaskan kalian semua di sini bukan hanya untuk mengawasinya, tetapi juga menjaganya.”
“Maaf Tuan, biasanya Nona tidak begini, ini pertama kalinya Nona meminta minuman itu kepada saya,” jawab pekerja wanita bernama Linda.
“Iya Tuan, sejak kembali saya merasa Nona sedikit berbeda,” sahut salah seorang pengawal.
“Baiklah, mulai sekarang saya ingin kalian melaporkan setiap detail yang dilakukan Adiva,” pungkas Rafka sebelum pergi.
***
Keesokan paginya, Agatha bangun dengan kepala yang terasa berat. Selama beberapa menit ia masih terbaring di kasur untuk mengumpulkan kesadarannya.
Tak lama, seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk sambil membawakan sup hangat dan juga madu untuknya.
“Selamat pagi Nona, Tuan menyuruh saya memberikan ini,” ujar pelayan itu dengan ramah.
“Taruh saja di sini!” balas Agatha sambil menunjuk nakas di sampingnya.
“Terima kasih,” lanjut Agatha setelah pelayan itu menaruh nampan berisi makanan di tempat yang ia tunjuk tadi.
Pelayan itu menganggukan kepalanya. “Kalau begitu Saya permisi dulu. Jika Nona butuh sesuatu bisa panggil saya.
Setelah pelayan itu pergi, Agatha mengambil sup di sampingnya dan mulai menyeruputnya dengan dua tangan. Dalam beberapa menit, mangkuk berisi sup itu sudah habis tak tersisa. Sup itu berhasil meredakan pengarnya.
Agatha turun dari kasur bersiap untuk mandi saat tiba-tiba Rafka masuk ke dalam kamar. Agatha menelan salivanya ketika Rafka berjalan mendekat ke arahnya dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Sepertinya pria itu baru saja melakukan olahraga.
Agatha mundur secara perlahan sampai Rafka menarik pinggangnya. “Apa yang sedang kamu lakukan? tanya Agatha sambil memejamkan matanya saat merasakan posisi tubuh mereka yang sudah begitu dekat.
Rafka tak menjawab, ia menempelkan tangannya di kening Agatha. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Rafka dengan lembut.
“Semalam adalah pertama kalinya dalam hidupku melihat kamu mabuk,” sambung Rafka, sementara Agatha hanya tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hmm i-itu ….” Rafka langsung menarik Agatha ke dalam pelukannya.
“Maafkan aku Div, mungkin aku belum bisa membahagiakanmu sepenuhnya. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Aku hanya minta kamu tetap di sampingku,” ucap Rafka dengan begitu tulus membuat jantung Agatha berdetak tak karuan.
“Saya mau mandi,” lontar Agatha sambil mendorong dada bidang Rafka agar menjauh lalu langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Rafka yang melihat tingkah Agatha hanya tersenyum kemudian keluar dari kamarnya.
Lima belas menit kemudian Agatha keluar dari kamar mandi lalu mengganti pakaiannya dengan menggunakan dress selutut berwarna biru milik Adiva. Sambil mengeringkan rambutnya, Agatha tampak sibuk menelpon seseorang menggunakan ponsel baru yang tiba-tiba saja sudah ada di kamarnya.
“Halo Pa,” ucap Agatha saat panggilannya sudah tersambung.
“Halo ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang wanita yang menjawab teleponnya.
“Kamu siapa?” tanya Agatha setelah mendengar suara wanita yang cukup asing di telinganya.
“Saya sekretaris barunya Tuan Darren, apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Saya perlu bicara dengan Papa … maksud saya Tuan Darren,” jelas Agatha.
“Maaf kalau boleh tahu anda siapa ya?” tanya sekretaris itu
“Saya anaknya dan saya ingin bicara dengan Papa saya sekarang juga,” kesal Agatha sambil menghela nafasnya.
“Anaknya?”
“Astaga … kamu tidak paham ucapan saya huh?”
“Maaf setahu saya Tuan Darren hanya memiliki seorang putri. Saat ini Tuan sedang makan siang dengan Nona Agatha di ruangannya. Anda jangan coba-coba menipu saya ya!” ujar sekretaris itu dengan nada yang mulai kesal.
Tak lama terdengar suara yang sangat familiar di telinga Agatha. “Ada apa Li, siapa yang berbicara? Mengapa kamu tampak kesal?”
“Maaf Tuan, ada seorang perempuan yang tiba-tiba menelepon dan berbicara omong kosong. Dia mengaku sebagai anak Tuan,” jawab Sekretaris itu yang masih bisa didengar jelas oleh Agatha.
“Siapa dia? sini biar saya yang bicara.”
“Halo,” kata Darren yang berhasil membuat mata Agatha berkaca-kaca. Sudah berbulan-bulan Agatha tidak menemui Darren, bukan karena ia tidak ingin bertemu dengannya. Namun, hubungannya dengan sang papa memang sedang tidak baik-baik saja. Selama ini Darren selalu menyuruhnya untuk pulang dan mulai mengurus perusahaan, tetapi Agatha selalu menolaknya karena ia sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan bisnis yang telah dibangun oleh Darren. Agatha hanya menginginkan kebebasan untuk memilih hal yang ia sukai, sementara Darren bersikeras agar gadis itu meneruskan bisnisnya.
Alhasil Agatha hanya terdiam mendengar suara ayahnya. Ia seperti tidak mampu mengeluarkan kata apapun. Agatha mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab. Namun, sayangnya saat dia ingin mengatakan sesuatu terdengar suara wanita yang cukup mirip dengan suaranya.
“Ayo Pa, aku sudah lapar banget,” ujar wanita itu dengan cukup keras sehingga mampu Agatha dengar.
“Sebentar sayang.” Hati Agatha begitu tak terima dan cemburu mendengar perkataan Darren.
“Halo.” Darren kembali bersuara dan mengulangi perkataannya, tetapi kali ini Agatha memutuskan sambungan teleponnya begitu saja.
“Siapa gadis itu? Mengapa sekarang dia ingin mengambil kehidupanku? tanya Agatha dengan kesal sambil mengepalkan tangannya.
Sesudah menenangkan diri, Agatha keluar dari kamar Adiva. Ia berhenti saat melewati kamar Rafka, samar-samar ia mendengar Rafka tengah berbincang dengan seseorang lewat sambungan telepon.
Agatha mendekatkan telinganya di depan pintu karena rasa penasarannya yang begitu kuat.
“Rafka belum bisa Ma, Rafka masih ada urusan di sini.”
“Mama nggak mau tahu ya Raf, Papamu marah karena kamu tidak datang. Kesehatan Papamu sedang menurun Raf, untuk itu Mama mohon sama kamu jangan kecewakan Papamu lagi.”
Rafka tampak menghela nafasnya panjang. “Baik Ma, Rafka akan segera menyelesaikan urusan Rafka.”
Agatha begitu terkejut saat salah seorang pekerja yang ia temui kemarin menepuk pundaknya.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Agatha tampak menyunggingkan senyumnya dan memberi isyarat agar pekerja itu pergi.
Saat Agatha hendak melangkah pergi, Rafka keluar dari dalam kamarnya dan melihat Agatha yang berdiri di luar.
“Ada sesuatu yang ingin katakan Div,” ucap Rafka saat itu juga sambil menarik Agatha masuk ke kamarnya.
“Mama ingin aku pulang secepatnya Div karena Papa sakit,” jelas Rafka.
Agatha sangat bingung sekarang, ia sama sekali tidak tahu apa yang Rafka bicarakan. Jadi, yang Agatha lakukan hanyalah mengusap pundak Rafka.
“Kalau begitu kenapa kamu tidak pulang saja.” Agatha merutuki ucapannya yang terdengar seperti mengusir Rafka.
“Maksudnya kamu harus pulang karena Papa sakit,” sambung Agatha berusaha meralat ucapannya.
“Ya … benar karena Papa sakit, Papa sakit,” gumam Agatha kepada dirinya dengan suara yang sangat pelan.
“Aku ingin kamu juga pulang Div. Aku tahu sudah sejak lama kamu ingin kembali.” Agatha hanya terpaku di tempatnya, ia kembali memikirkan bagaimana nasib hidupnya nanti.
“Pulang?” tanya Agatha
“Iya, kita akan pulang.”
“Kamu pulang saja, temui Papamu, tidak perlu memikirkan saya. Saya akan baik-baik saja,” pungkas Agatha berusaha tersenyum.
“Aku akan lebih tenang kalau kita bersama Div,” ucap Rafka dengan tatapan tulus penuh harap yang membuat Agatha sulit menolaknya.
“mungkin aku akan mendapatkan sesuatu tentang gadis itu.”
“Baiklah kalau begitu, Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Tapi, saya mau belanja dan jalan-jalan dulu boleh?” tanya Agatha dengan menyunggingkan senyumannya.
Rafka terdiam sejenak lalu mengacak rambut Agatha. “Kamu? mau belanja? Jalan-jalan?” Rafka tampak tidak bisa menghentikan senyumannya sambil menatap wajah Agatha.
“It’s okay kalau nggak boleh,” kesal Agatha saat melihat sikap Rafka.
“Nggak … bukan begitu maksud aku. Kamu boleh belanja apapun yang kamu mau. Aku cuma agak aneh aja, nggak biasanya kamu minta pergi untuk belanja.”
Agatha hanya cemberut, ia merasa kesal dengan situasi dan keadaan yang terjadi kepadanya. Entah bagaimana kehidupan gadis yang bernama Adiva itu, di mata Agatha dia hanyalah gadis yang sangat membosankan dan juga sangat licik.
Agatha tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan di London, ia ditemani oleh beberapa pengawal karena Rafka masih ada pekerjaan sehingga tidak bisa menemaninya pergi. Rafka hanya mengatakan bahwa ia akan menjemputnya saat Agatha selesai dengan kegiatannya. Saat ini tangan seluruh pengawalnya sudah penuh dengan barang-barang belanjaannya. Entah sudah berapa banyak uang yang ia habiskan Agatha tidak peduli. Mengingat keluarga Rafka yang begitu sukses, ia yakin kegiatan belanjanya hanyalah hal kecil bagi Rafka. Setelah puas mengitari seluruh tempat yang ada, saat ini Agatha masuk ke dalam sebuah salon kecantikan. Agatha berencana merubah penampilan rambutnya dengan warna yang lebih gelap.Tak terasa hari sudah semakin sore, Rafka sudah datang menjemputnya dan menyuruh para pengawalnya untuk kembali. Rafka begitu terpesona melihat penampilan baru Agatha yang tampak begitu alami.“Warna itu sangat cocok untukmu Div,” puji Rafka membuat pipi Agatha sedikit memerah.“Kita mau kemana?”
Keesokan harinya, Agatha dan Rafka suda berada di pesawat untuk kembali pulang ke Indonesia. Selama di penerbangan, Agatha lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Perjalanan panjang sangat membuatnya bosan dan mengantuk. Apalagi yang Rafka lakukan hanyalah bekerja dan membaca dokumen-dokumen penting yang telah dikirimkan seseorang bernama David sebelumnya. Agatha hanya bangun sesekali untuk menikmati beberapa makanan dan camilan yang disediakan oleh maskapai penerbangan ini. Namun yang gadis itu inginkan saat ini adalah menyesap segelas anggur merah. Sudah beberapa hari ini ia tidak merasakannya karena Rafka yang melarangnya. Dan sekarang Rafka selalu menolak pramugari yang menawarinya minuman yang cukup memabukkan itu. Alhasil Agatha menjadi kesal dan membuang pandangannya. “Ada apa?” tanya Rafka dengan lembut setelah menyadari perubahan mood Agatha. “Mau minum,” rengek Agatha seperti anak kecil. “Minum apa?” tanya Rafka lagi. “Mau itu.” Agatha menunjuk segelas wine y
Rafka terkesiap saat seorang wanita tiba-tiba memeluknya. “Aku kangen banget sama kamu Raf,” ucap Kiara kepada Rafka.Tak lama, Rafka melihat sekilas ke arah Agatha yang sedang berjalan ke arahnya. Dengan cepat ia melepaskan pelukan Kiara dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih Raf, sikap kamu aneh banget,” kesal Kiara.“Nggak ada apa-apa semua baik-baik saja,” balas Rafka sambil menyuruh pak Beni, supirnya untuk segera pergi dari bandara. “Kamu yakin? kamu kelihatan kayak menghindari seseorang.”“Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku Raf,” lanjut Kiara sambil menggenggam tangan Rafka. “Itu cuma perasaan kamu aja Ra,” jawab Rafka.“Selama beberapa hari ini aku nggak bisa hubungi kamu, aku khawatir Raf. David bilang kamu ada urusan mendadak ke London,” celoteh Kiara lalu menyandarkan kepalanya di bahu Rafka. “Kamu nggak perlu khawatir,” ujar Rafka dengan singkat.“Aku sayang kamu Raf.” Kiara semakin menguatkan genggaman tangannya seolah tidak ingin melepaskan
Keesokan harinya, Agatha bangun tidur saat seluruh cahaya matahari memasuki kamar tidurnya. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan kemarin, Agatha memilih untuk merendam dirinya di bathtub berisi air hangat yang telah ia siapkan. Selesai mandi dan berganti pakaian, Agatha melangkahkan kakinya keluar kamar menuju dapur, perutnya sudah begitu lapar karena sejak semalam ia tidak makan dan langsung istirahat. Agatha membuka semua lemari dan isi kulkas yang telah terisi penuh dengan beberapa bahan masakan, makanan ringan, dan buah-buahan. Agatha menghela nafas lalu mengambil satu buah apel dan mencucinya. Ia melangkah menuju meja makan dan melihat beberapa makanan yang tersaji, tetapi sudah dingin. Sepertinya ada seseorang menyiapkan makanan itu untuknya. Agatha mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari keberadaan seseorang di dalam apartemen itu. Tak lama, terdengar suara khas pintu apartemen yang dibuka. Agatha sudah bersiap menunggu orang tersebut sambil memegang sapu yan
Rafka datang ke apartemennya untuk menemui Agatha, tetapi gadis itu sudah tertidur di kamarnya. Rafka tetap melangkah masuk ke dalam kamar untuk sekadar melihat wajah gadis itu. Selama tiga hari ini ia belum mengunjungi maupun menghubungi Agatha karena masalahnya dengan papanya. Rafka hanya tidak ingin emosinya akan mengganggu hubungannya yang sudah semakin membaik.Rafka meletakkan tangannya dan memeta wajah Agatha yang terlihat cukup mungil untuknya. Sesekali ia membenarkan anak rambut yang terjatuh di wajahnya. Tidak ingin mengusik Agatha, Rafka mencium kening gadis itu lalu beranjak dari tempatnya.Baru selangkah, ia merasa pergelangan tangannya ditahan. “Jangan kemana-mana,” ucap Agatha dengan suara serak khas bangun tidur.Rafka tersenyum lalu kembali duduk di samping ranjang. “Ma
Sambil menunggu Rafka keluar dari kamar, Agatha berinisiatif untuk memasak sesuatu. Ia berencana membuat sesuatu yang simpel. Agatha membuka kulkas dan lemari lalu mengambil beberapa bahan makanan. “Mau buat apa?” tanya Rafka yang membuat Agatha terkejut.“Astaga Rafka, bisa nggak sih nggak bikin aku kaget,” ucap Agatha dengan cemberut.“Maaf, maaf, habisnya kamu fokus banget. Mau masak apa sih?” tanya Rafka lagi.“Jujur … sebenarnya aku juga nggak tahu mau buat apa,” jawab Agatha dengan memasang wajah polos tak berdosa dengan bahan makanan yang masih ada di tangannya. “Aku kangen banget sama omelette buatan kamu deh,” sahut Rafka yang berhasil membuat Agtha terdiam. Gadis itu tampak berpikir sejenak. “ Aduh mampus! gimana kalau rasa omelettenya beda. Masak mie instan aja nggak yakin. Rafka pasti langsung sadar kalau rasanya beda. Masa iya diusir cuma gara-gara omelette,” teriak Agatha dalam hatinya.“Aku nggak serius kok, udah sini aku aja yang masak.” Agatha bernafas lega, tetapi
Keesokan harinya, Agatha masih tertidur pulas di kamarnya. Sementara Rafka sudah bangun lebih awal untuk berangkat ke kantor. Melihat Agatha yang masih tidur membuat Rafka tidak tega untuk membangunkannya. Akhirnya, Rafka hanya meninggalkan note saja di kamar Agatha. Beberapa jam kemudian, Agatha terbangun dan melihat note yang Rafka tinggalkan untuknya. “Hai, selamat pagi. Maaf ya aku nggak banguni kamu. Aku berangkat ke kantor lebih pagi hari ini. Oh ya, malam ini aku akan pulang terlambat, jadi kamu nggak perlu tunggu aku.”Agatha menghembuskan nafasnya panjang ketika membaca tulisan itu. Saat ini ia merasa seperti burung yang tengah terperangkap dalam sangkar emas. Agatha sangat tidak menyukai terkurung di sebuah tempat, ia sangat menyukai kebebasan. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya. Hari ini akan ada orang yang telah Rafka bayar untuk membersihkan apartemen. Agatha akan menggunakan kesempatan itu untuk bisa keluar.Agatha mulai mempersiapkan dirinya untuk bertukar
Rafka mengemudi dengan begitu cepat, tak lama mereka sampai di apartemen. Rafka kembali menggendong Agatha dan menaruh tubuhnya dengan lembut ke atas tempat tidur dan menutup tubuhnya dengan selimut. Saat ingin berbalik, Agatha menarik kerah Rafka dan langsung mencium bibirnya. Semakin lama ciuman itu semakin menuntut. Rafka sempat kehilangan kendali, tetapi ia langsung menarik tubuhnya. Rafka tidak ingin melakukan apa pun terhadap gadis itu, apalagi saat ini ia tengah berada di bawah pengaruh alkohol.Rafka segera bangkit dan keluar kamar, tidak lupa untuk menutup pintunya.Keesokan paginya, Agatha terbangun dan merasakan kepalanya begitu pusing. Ia menatap ke sekitar, matanya terbuka lebar saat menyadari apa yang telah terjadi malam tadi. Ia mengingat bahwa dia berada di hotel bersama pria asing. Agatha memukul kepalanya karena ia tidak ingat apa
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,