Setelah beberapa hari Adiva menghilang, orang-orang suruhan Rafka mendapatkan informasi bahwa mereka melihat Adiva di salah satu hotel di pusat kota London.
Seorang pengawal berjas hitam datang menghampiri Rafka “Kami sudah menemukannya, Tuan.”
“Awasi apa yang dia lakukan dan bawa dia kembali malam ini!” perintah Rafka kepada para pengawalnya.
“Baik Tuan,” sahut pengawal itu lalu pergi meninggalkan ruangan Rafka.
Beberapa jam kemudian, para pengawal yang telah ditugaskan untuk mengawasi Adiva mendapati bahwa gadis itu berencana meninggalkan London.
“Saat ini Nona menuju bandara dan akan meninggalkan London, Tuan.”
“Langsung bawa dia sekarang juga!” Rafka langsung menutup sambungan teleponnya setelah memerintahkan para pengawal itu.
Sementara, di bandara gadis berambut blonde yang sangat mirip dengan Adiva tampak kesal sambil menatap layar ponselnya. Ia menoleh beberapa kali saat merasa ada orang yang memperhatikannya. Namun, gadis itu mencoba menghiraukannya. Ketika ia melangkahkan kakinya kembali, beberapa orang pria langsung menghentikan dan membawanya masuk ke dalam mobil.
Gadis itu memberontak saat mobil itu mulai melaju meninggalkan bandara. Setelah satu jam perjalanan mereka tiba di Penthouse milik Rafka. Salah seorang pengawal membawa tubuh gadis itu yang kini tidak sadarkan diri karena dibius.
Rahang Rafka mengeras saat melihat istrinya tak sadarkan diri. “Maaf Tuan, kami terpaksa melakukannya karena Nona terus memberontak,” ujar pengawal itu dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap Rafka.
“Baik, terima kasih sudah menemukannya. Sekarang tinggalkan kami!” perintah Rafka yang langsung dilaksanakan oleh pengawal tersebut.
Rafka menatap gadis yang kini terbaring di kasurnya dengan seksama. Rafka memeta setiap jengkal tubuh gadis itu. Sekilas Rafka merasa gadis di hadapannya begitu berbeda dengan istrinya. Terlebih penampilan gadis ini sangatlah mencolok, rambut honey blonde dan baju seksi diatas lutut yang dikenakannya begitu berbeda dengan gaya Adiva yang ia tahu selama ini.
Rafka segera menepis pikirannya, ia menganggap bahwa semua ini Adiva lakukan hanya untuk menyamarkan penampilannya saja.
***
Gadis itu membuka matanya perlahan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang tampak begitu asing di matanya. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan berjalan keluar menyusuri setiap ruangan di dalam penthouse yang cukup luas itu.
Langkahnya terhenti saat melihat beberapa bingkai foto yang menampilkan seorang wanita yang terlihat mirip dengannya, hanya penampilannya saja yang tampak berbeda. Gadis di foto itu terlihat berpenampilan sederhana, dengan riasan tipis dan juga rambut coklat gelap yang terurai panjang.
Gadis itu terkesiap ketika sebuah tangan yang cukup kekar melingkar di perutnya sehingga membuatnya secara refleks menginjak kaki orang yang memeluknya.
“Who are you?” tanya gadis itu dengan aksen inggris yang kuat.
“Hey tenang Div, ini aku,” ujar Rafka dengan ekspresi menahan sakit.
“Siapa kamu? dan kenapa membawa saya kesini?” Gadis itu langsung berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Aku tahu, mungkin kamu marah karena selama beberapa bulan ini aku nggak datang. Aku minta maaf Div,” ucap Rafka dengan begitu lembut.
“Kamu udah gila ya? Dav Div Dav Div, saya Agatha dan bukannya Diva or siapalah itu namanya, yang pasti saya nggak kenal dia!”
“Saya rasa kamu salah orang,” lanjut gadis yang mengaku bernama Agatha itu dengan ketus.
Tanpa menghiraukan Rafka, gadis itu segera melangkah mencari pintu keluar. Namun, Rafka langsung menghentikannya.
“Aku akan membawa kamu pulang, kalo itu mau kamu. Tapi tolong jangan bersikap seakan kamu nggak kenal aku,” pungkas Rafka dengan tatapan bersalahnya membuat gadis itu bingung.
“Bagus kalau kamu paham, saya cuma mau pulang,” ketus gadis itu.
Rafka membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Untuk sementara gadis itu membiarkan dirinya terbawa ke dalam hangatnya pelukan Rafka. Tak lama perut gadis itu berbunyi membuatnya tersadar dan langsung mendorong tubuh Rafka menjauh.
Rafka tersenyum kemudian menggenggam tangan gadis itu dan membawanya ke meja makan.
“Aku sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu,” kata Rafka sambil menunjuk beberapa menu di meja.
Gadis itu tidak terlalu menghiraukan ucapan Rafka karena sudah terlalu lapar. Ia menyantap satu persatu menu yang telah disediakan, baru beberapa suap wajahnya tampak memerah karena kepedasan.
Melihat ekspresi gadis itu, Rafka langsung memberikannya minum. “saya nggak kuat, ini pedas banget!” ujar gadis itu masih berusaha menetralkan rasa pedas di mulutnya.
“Okay, aku akan buatkan yang baru,” ucap Rafka sebelum pergi ke dapur dan memasak makanan untuk gadis itu. Meskipun Rafka merasa ada yang berbeda dengan Adiva, karena selama ini Adiva yang dikenalnya paling menyukai makanan pedas. Rafka segera menghilangkan segala pikiran tentang Adiva yang mengganggunya dan masih menganggap bahwa gadis itu hanya mengetesnya saja.
Rafka datang sambil membawa sepiring omelet dan menaruhnya di hadapan gadis itu. “Ini enak banget,” pungkas gadis itu dengan makanan yang masih penuh di mulutnya.
“Pelan-pelan.” Rafka tersenyum menatapnya.
Beberapa menit kemudian, gadis itu menyelesaikan makan di piring keduanya.
“Kenyang,” gumamnya sambil menepuk-nepuk perutnya.
“Oh ya, kalau boleh tahu … dimana barang-barang saya?” tanya gadis itu kemudian.
Rafka tampak memanggil salah satu orang yang bekerja di penthousenya dan tak lama orang itu kembali dengan membawa tas milik gadis itu.
Tanpa menunggu, gadis itu langsung mencari sesuatu di dalam tasnya. Wajahnya begitu panik saat tidak menemukan ponselnya. Ia langsung menepuk keningnya saat teringat kalau ia telah menjatuhkan ponselnya di bandara.
“Ponsel saya jatuh di bandara, saya nggak mau tahu kamu harus tanggung jawab. Saya mau ponsel saya kembali,” tutur gadis itu dengan nada merajuk.
“Okay kamu tenang aja,” balas Rafka.
***
Setelah perutnya terisi, Gadis bernama Agatha itu memutuskan untuk mandi karena ia merasa tubuhnya sudah terlalu gerah. Gadis itu masuk ke dalam kamar bernuansa monokrom yang sangat berbeda dengan kamar miliknya.
Setelah beberapa menit, Agatha keluar dari kamar mandi dan menuju walk in closet yang ada di kamar itu. Agatha langsung membuka lemari baju milik Adiva, ekspresinya berubah menjadi kesal saat melihat selera pakaian Adiva yang menurutnya terlalu biasa dan tertutup.
“Entah siapa gadis ini, tapi seleranya sangat tidak bagus,” kesal Agatha sambil terus mencari baju di lemari Adiva.
Akhirnya ia memutuskan untuk memakai dress selutut bermotif bunga yang menurutnya cukup indah di tubuhnya. Agatha kembali menyusuri kamar itu dan menemukan beberapa bingkai foto Adiva. Ia tak habis pikir mengapa wajah gadis di dalam foto itu tampak mirip sekali dengannya.
Agatha yang mulai penasaran lalu membuka setiap laci lemari yang ada di sana. Ia menemukan beberapa foto dimana gadis yang sangat mirip dengannya memakai gaun pernikahan. Agatha juga terkejut saat mendapati foto gadis itu ketika sedang mengandung.
“Siapa dia? kenapa wajahnya mirip denganku? Meskipun seleranya sangat biasa, tetapi aku akui dia cukup mirip denganku,” gumam Agatha kepada dirinya sambil memegang foto dan juga buku nikah di tangannya.
“Rafka Bagaskara dan Adiva Zea Amanda,” ucap Agatha dengan suara yang begitu pelan seperti sedang berbisik.
“Jadi mereka adalah suami-istri. Tapi tetap saja, siapa gadis ini sebenarnya?” tanya Agatha pada dirinya.
Saat hendak mengembalikan foto dan buku itu sebuah foto terjatuh. Agatha langsung mengambilnya, ia mengernyitkan keningnya ketika melihat foto seorang pria yang sangat berbeda dengan Rafka. Di belakang foto itu terdapat tulisan “My Love” yang membuat Agatha semakin bingung.
“Tampaknya gadis ini tidak sepolos kelihatannya. Pasti dia telah berselingkuh di belakang suaminya,” gumam Agatha.
Agatha menggelengkan kepalanya. “Masa bodo dengan hubungan mereka, yang pasti sekarang kepalaku pusing sekali,” ujar Agatha sambil memegang kepalanya.
Agatha keluar dari kamar lalu melihat sekilas pintu kamar Rafka yang sedikit terbuka. Saat ini pria itu tengah melakukan panggilan video. Agatha terus melangkah karena tidak ingin mengganggunya. Ia berjalan menuju dapur dan menghampiri salah satu pekerja wanita yang berada di sana.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona Adiva?” tanya pekerja wanita itu.
“Saya ingin minum,” jawab Agatha.
“Minum apa Non? akan saya buatkan.”
Agatha membisikkan sesuatu di telinga pekerja itu. “Aduh maaf Non, tapi minuman itu nggak ada di sini. Setahu saya Non sendiri tidak suka minuman seperti itu,” ujar pekerja itu dengan ekspresi sedikit terkejut.
Agatha menghela nafasnya kasar, ia kembali teringat kalau saat ini ia tengah dianggap sebagai Adiva.
“Selain minuman itu, apakah ada yang Non inginkan?” tanyanya kemudian.
“Tidak … tidak perlu.” Agatha langsung menggelengkan kepalanya.
“Membosankan sekali hidupnya,”gerutu Agatha dengan pelan, tetapi masih dapat didengar oleh pekerja itu.
“Baiklah, kalau Non butuh sesuatu jangan sungkan panggil saya,” pungkas pekerja itu sebelum meninggalkan Agatha sendiri.
Saat hendak kembali ke kamarnya, Agatha melihat beberapa pengawal yang telah membawanya. Ia menghampiri para pengawal berjas hitam itu. Menyadari kedatangan Agatha, salah seorang pengawal dengan postur tubuh yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya menghampiri Agatha.“Ada yang bisa saya bantu Nona?” tanya pengawal itu dengan suara maskulinnya. Sementara Agatha menatapnya dengan tajam. Ia masih merasa kesal kepada para pengawal yang membawanya begitu saja.“Antar saya ke pub!” perintah Agatha membuat para pengawal yang mendengarnya kaget karena tidak biasanya Adiva ingin diantar ke tempat itu.“Maaf Nona tapi ….” Agatha menghela nafas kasar dan segera memotong ucapan pengawal itu. “Okay, okay saya paham.” Setelah berpikir sejenak, Agatha tersenyum dan membisikkan sesuatu di telinga pengawal itu.“Tapi ….”“Tidak ada tapi, saya akan pergi ke pub sekarang juga bagaimanapun caranya kalau kamu tidak menuruti apa yang saya minta,” tegas Agatha dengan seringai di wajahnya.Mau tidak m
Agatha tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan di London, ia ditemani oleh beberapa pengawal karena Rafka masih ada pekerjaan sehingga tidak bisa menemaninya pergi. Rafka hanya mengatakan bahwa ia akan menjemputnya saat Agatha selesai dengan kegiatannya. Saat ini tangan seluruh pengawalnya sudah penuh dengan barang-barang belanjaannya. Entah sudah berapa banyak uang yang ia habiskan Agatha tidak peduli. Mengingat keluarga Rafka yang begitu sukses, ia yakin kegiatan belanjanya hanyalah hal kecil bagi Rafka. Setelah puas mengitari seluruh tempat yang ada, saat ini Agatha masuk ke dalam sebuah salon kecantikan. Agatha berencana merubah penampilan rambutnya dengan warna yang lebih gelap.Tak terasa hari sudah semakin sore, Rafka sudah datang menjemputnya dan menyuruh para pengawalnya untuk kembali. Rafka begitu terpesona melihat penampilan baru Agatha yang tampak begitu alami.“Warna itu sangat cocok untukmu Div,” puji Rafka membuat pipi Agatha sedikit memerah.“Kita mau kemana?”
Keesokan harinya, Agatha dan Rafka suda berada di pesawat untuk kembali pulang ke Indonesia. Selama di penerbangan, Agatha lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Perjalanan panjang sangat membuatnya bosan dan mengantuk. Apalagi yang Rafka lakukan hanyalah bekerja dan membaca dokumen-dokumen penting yang telah dikirimkan seseorang bernama David sebelumnya. Agatha hanya bangun sesekali untuk menikmati beberapa makanan dan camilan yang disediakan oleh maskapai penerbangan ini. Namun yang gadis itu inginkan saat ini adalah menyesap segelas anggur merah. Sudah beberapa hari ini ia tidak merasakannya karena Rafka yang melarangnya. Dan sekarang Rafka selalu menolak pramugari yang menawarinya minuman yang cukup memabukkan itu. Alhasil Agatha menjadi kesal dan membuang pandangannya. “Ada apa?” tanya Rafka dengan lembut setelah menyadari perubahan mood Agatha. “Mau minum,” rengek Agatha seperti anak kecil. “Minum apa?” tanya Rafka lagi. “Mau itu.” Agatha menunjuk segelas wine y
Rafka terkesiap saat seorang wanita tiba-tiba memeluknya. “Aku kangen banget sama kamu Raf,” ucap Kiara kepada Rafka.Tak lama, Rafka melihat sekilas ke arah Agatha yang sedang berjalan ke arahnya. Dengan cepat ia melepaskan pelukan Kiara dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih Raf, sikap kamu aneh banget,” kesal Kiara.“Nggak ada apa-apa semua baik-baik saja,” balas Rafka sambil menyuruh pak Beni, supirnya untuk segera pergi dari bandara. “Kamu yakin? kamu kelihatan kayak menghindari seseorang.”“Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku Raf,” lanjut Kiara sambil menggenggam tangan Rafka. “Itu cuma perasaan kamu aja Ra,” jawab Rafka.“Selama beberapa hari ini aku nggak bisa hubungi kamu, aku khawatir Raf. David bilang kamu ada urusan mendadak ke London,” celoteh Kiara lalu menyandarkan kepalanya di bahu Rafka. “Kamu nggak perlu khawatir,” ujar Rafka dengan singkat.“Aku sayang kamu Raf.” Kiara semakin menguatkan genggaman tangannya seolah tidak ingin melepaskan
Keesokan harinya, Agatha bangun tidur saat seluruh cahaya matahari memasuki kamar tidurnya. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan kemarin, Agatha memilih untuk merendam dirinya di bathtub berisi air hangat yang telah ia siapkan. Selesai mandi dan berganti pakaian, Agatha melangkahkan kakinya keluar kamar menuju dapur, perutnya sudah begitu lapar karena sejak semalam ia tidak makan dan langsung istirahat. Agatha membuka semua lemari dan isi kulkas yang telah terisi penuh dengan beberapa bahan masakan, makanan ringan, dan buah-buahan. Agatha menghela nafas lalu mengambil satu buah apel dan mencucinya. Ia melangkah menuju meja makan dan melihat beberapa makanan yang tersaji, tetapi sudah dingin. Sepertinya ada seseorang menyiapkan makanan itu untuknya. Agatha mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari keberadaan seseorang di dalam apartemen itu. Tak lama, terdengar suara khas pintu apartemen yang dibuka. Agatha sudah bersiap menunggu orang tersebut sambil memegang sapu yan
Rafka datang ke apartemennya untuk menemui Agatha, tetapi gadis itu sudah tertidur di kamarnya. Rafka tetap melangkah masuk ke dalam kamar untuk sekadar melihat wajah gadis itu. Selama tiga hari ini ia belum mengunjungi maupun menghubungi Agatha karena masalahnya dengan papanya. Rafka hanya tidak ingin emosinya akan mengganggu hubungannya yang sudah semakin membaik.Rafka meletakkan tangannya dan memeta wajah Agatha yang terlihat cukup mungil untuknya. Sesekali ia membenarkan anak rambut yang terjatuh di wajahnya. Tidak ingin mengusik Agatha, Rafka mencium kening gadis itu lalu beranjak dari tempatnya.Baru selangkah, ia merasa pergelangan tangannya ditahan. “Jangan kemana-mana,” ucap Agatha dengan suara serak khas bangun tidur.Rafka tersenyum lalu kembali duduk di samping ranjang. “Ma
Sambil menunggu Rafka keluar dari kamar, Agatha berinisiatif untuk memasak sesuatu. Ia berencana membuat sesuatu yang simpel. Agatha membuka kulkas dan lemari lalu mengambil beberapa bahan makanan. “Mau buat apa?” tanya Rafka yang membuat Agatha terkejut.“Astaga Rafka, bisa nggak sih nggak bikin aku kaget,” ucap Agatha dengan cemberut.“Maaf, maaf, habisnya kamu fokus banget. Mau masak apa sih?” tanya Rafka lagi.“Jujur … sebenarnya aku juga nggak tahu mau buat apa,” jawab Agatha dengan memasang wajah polos tak berdosa dengan bahan makanan yang masih ada di tangannya. “Aku kangen banget sama omelette buatan kamu deh,” sahut Rafka yang berhasil membuat Agtha terdiam. Gadis itu tampak berpikir sejenak. “ Aduh mampus! gimana kalau rasa omelettenya beda. Masak mie instan aja nggak yakin. Rafka pasti langsung sadar kalau rasanya beda. Masa iya diusir cuma gara-gara omelette,” teriak Agatha dalam hatinya.“Aku nggak serius kok, udah sini aku aja yang masak.” Agatha bernafas lega, tetapi
Keesokan harinya, Agatha masih tertidur pulas di kamarnya. Sementara Rafka sudah bangun lebih awal untuk berangkat ke kantor. Melihat Agatha yang masih tidur membuat Rafka tidak tega untuk membangunkannya. Akhirnya, Rafka hanya meninggalkan note saja di kamar Agatha. Beberapa jam kemudian, Agatha terbangun dan melihat note yang Rafka tinggalkan untuknya. “Hai, selamat pagi. Maaf ya aku nggak banguni kamu. Aku berangkat ke kantor lebih pagi hari ini. Oh ya, malam ini aku akan pulang terlambat, jadi kamu nggak perlu tunggu aku.”Agatha menghembuskan nafasnya panjang ketika membaca tulisan itu. Saat ini ia merasa seperti burung yang tengah terperangkap dalam sangkar emas. Agatha sangat tidak menyukai terkurung di sebuah tempat, ia sangat menyukai kebebasan. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya. Hari ini akan ada orang yang telah Rafka bayar untuk membersihkan apartemen. Agatha akan menggunakan kesempatan itu untuk bisa keluar.Agatha mulai mempersiapkan dirinya untuk bertukar
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,