Malam harinya tiba, dan setelah Ayra tertidur, Agatha kembali ke kamarnya. Jantungnya berdetak kencang saat menyadari Rafka sedang menantinya di atas tempat tidur. Ketika melihatnya, Agatha merasakan getaran campur aduk dalam hatinya — kegembiraan, gugup, dan rindu yang begitu mendalam. Dia tidak menyangka bahwa mereka akan berdua dalam satu ruangan lagi setelah sekian lama.Gugup melanda, Agatha memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Dia ingin menenangkan dirinya sejenak sebelum menghadapi Rafka. Ketika air hangat mengalir melalui tubuhnya, dia merenungkan tentang segala yang telah terjadi. Perasaannya yang rumit tentang Rafka dan situasi yang mereka alami selama ini mengacaukan pikirannya.Ketika dia merasa cukup tenang dan hendak keluar dari kamar mandi, tiba-tiba pintu terbuka perlahan dan memperlihatkan siluet Rafka. Agatha terkejut, dan refleksnya segera menutup tubuhnya dengan kedua tangannya. Kecemasan yang tidak terkira memenuhi pikirannya saat dia berusaha memahami situasi
Waktu berlalu begitu cepat, membawa perubahan dalam kehidupan Agatha, Rafka, dan Ayra. Meskipun perlahan ingatan Rafka belum juga kembali, kondisinya telah membaik secara fisik dan semakin stabil. Agatha terus menjalani rutinitas harian bersama Rafka dan Ayra, menciptakan momen-momen bahagia dalam setiap langkah kecil yang mereka ambil. Pagi itu matahari terbit dengan lembut, menerangi kamar tidur yang penuh dengan hangat dan cinta. Cahaya matahari yang hangat memasuki jendela apartemen, memberikan semangat baru untuk memulai hari. Agatha bangun dengan senyuman di wajahnya, merasa syukur atas setiap pagi yang diberikan kepadanya. Dia meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya dan melihat pesan singkat dari Adiva yang memberi kabar bahwa dia dan Alvi sudah siap di bawah untuk sarapan pagi.Agatha bangkit dari tempat tidur, mengenakan gaun tidurnya yang nyaman, dan berjalan ke kamar Ayra."Ayra, sayang, ayo bangun. Sudah waktunya untuk sekolah," panggil Agatha lembut. Dalam sekeja
Hari itu, suasana di rumah sakit terasa lebih cerah dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Pasien dan pengunjung berlalu-lalang, mengisi lorong-lorong dengan berbagai ekspresi dan perasaan. Ivan, dengan seragam putihnya yang khas, sedang berjalan menuju ruangan pasien. Dia berencana untuk mengecek beberapa berkas medis pasien sebelum memulai shiftnya.Saat ia berjalan melewati sebuah lorong, mata Ivan secara tidak sengaja tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya. Bella tampak sedang berbicara dengan seorang perawat di dekat pintu. Ivan merasa sedikit terkejut, seolah-olah tak percaya bahwa dia melihatnya di sini.Dengan langkah ragu, Ivan mendekati Bella. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Bella di sini, di rumah sakit tempat dia bekerja. Sementara, Gadis itu menunjukkan ekspresi terkejut karena tidak menyangka akan bertemu kakak iparnya itu di sana. “Bella? Kamu sedang apa di sini? Kamu sakit?" tanyanya dengan suara ramah.Bella sedikit tergagap, seperti sedang ber
Selama satu minggu ini, Ivan mulai menghabiskan waktunya dengan menyibukkan diri. Setiap hari, dia memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya, berusaha melupakan kekhawatiran pribadinya. Ivan terlihat sibuk di ruangannya di rumah sakit, fokus pada tumpukan berkas dan catatan medis di mejanya. Meskipun kepalanya penuh dengan pertanyaan yang menghantui, Ivan telah memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya. Setiap waktu yang tersedia, dia menghabiskannya di rumah sakit.Ivan mencoba untuk merangkul rutinitasnya yang lebih kompleks. Dia menghabiskan waktu di rumah sakit dengan tekun, berkonsentrasi pada diagnosa dan perawatan pasien. Dia berusaha melupakan kekhawatiran pribadinya dengan fokus pada tugas-tugas medisnya. Setiap kali keraguan mulai mengintainya, dia melawan dengan semangat yang lebih kuat.Namun, usaha untuk mengesampingkan kekhawatiran tidak selalu berhasil. Terkadang, saat malam datang dan kesepiannya merayap, Ivan merenung tentang segala kemungkinan yang
Matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat, memberikan nuansa hangat yang melingkupi apartemen. Ini adalah rutinitas mereka seperti biasa, menjalani hari-hari dengan penuh cinta dan kebersamaan. Malam ini, setelah Rafka pulang dari kantornya, suasana riang dan haru terasa semakin akrab di ruang dapur mereka.Agatha berdiri di tengah dapur, dengan celemeknya yang penuh bercak adonan tepung dan tangan yang lincah mengaduk-aduk campuran yang sedang ia siapkan. Di sebelahnya, Rafka menyusul dengan membawa kantong belanjaan yang berisi bahan-bahan segar untuk makan malam mereka. Sedangkan Ayra, duduk di atas meja dapur dengan wajah penuh antusiasme."Ada apa hari ini?" tanya Agatha sambil tersenyum pada Rafka yang menghampirinya. Rafka menjawab sambil mencium kening Agatha dengan lembut, "Hari yang panjang, tapi tahu apa? Pulang ke tempat ini membuat semua lelah aku hilang begitu saja."Sementara Agatha dan Rafka bercengkerama, Ayra merasa semakin tertarik dengan semua aktivitas yang
Di ruang tunggu rumah sakit, suasana tegang dan cemas melingkupi Ivan dan Adiva. Mereka duduk bersebelahan, tetapi pandangan mereka terpaku pada pintu ruang perawatan tempat Alvi berada. Waktu terasa lambat, dan detik-detik berjalan dengan begitu perlahan.Dalam keheningan yang tegang, dokter akhirnya muncul dari ruang perawatan. Wajahnya serius, dan itu segera memicu kenaikan denyut jantung Ivan. Adiva juga berdiri, dan mereka berdua mendekati dokter dengan tatapan yang penuh harap dan kecemasan."Dokter, bagaimana kondisi Alvi?" tanya Ivan dengan suara yang gemetar sedikit.Dokter mengangguk dan memberikan senyuman lembut sebagai tanda penghormatan sebelum mulai menjelaskan. "Saya telah memeriksa Alvi dengan seksama. Saat ini, demam yang dialaminya disebabkan oleh infeksi virus yang umum terjadi pada anak-anak. Tidak ada yang perlu terlalu khawatir, tetapi kami perlu memberikan perawatan untuk membantu tubuhnya melawan infeksi."Ivan merasa lega mendengar itu, meskipun kekhawatiran
Agatha melajukan mobil dengan cepat, hatinya berdebar-debar karena cemas. Sejak tadi, ia telah mencoba menghubungi Ivan tanpa henti, tetapi ponsel suaminya tak kunjung aktif. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Agatha merasa tubuhnya gemetar dan perasaan bersalah semakin merajalela di dalam dirinya.Agatha tiba di rumah dengan langkah yang gemetar, hatinya berdegup kencang apalagi saat mengabarkan bahwa Alvi sedang sakit. Wajahnya memucat dan tangannya bergetar saat ia membuka pintu rumah dengan cemas. Setiap langkah menuju kamar bayi terasa berat, penuh dengan ketidakpastian.Agatha menghela nafas dalam-dalam saat dia berdiri di depan pintu kamar Alvi. Dari balik pintu terdengar suara pelan tangisan bayi yang melemah. Hatinya hancur melihat situasi ini. Dia merasa seperti diambang kehancuran, tidak tahu harus berbuat apa.Agatha merasa hatinya semakin terbebani dengan rasa bersalah. Dia merasa seperti semuanya adalah kesalahannya. Rasa bersalah itu membakar di dadanya saat dia mencoba
Dalam keheningan yang terasa berat, pertanyaan yang selama ini tertahan akhirnya keluar dari bibir Ivan dengan suara yang rapuh. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Agatha terdiam, matanya yang masih basah oleh air mata memandang ke lantai. Dia merasakan beban berat di dadanya, pertanyaan itu melukai hatinya lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya berdebar keras, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi jawaban terasa begitu rumit, begitu sulit untuk diucapkan.Ivan melihat wajah Agatha dengan tatapan penuh harap, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Dia merasakan getaran ketidakpastian dan ketakutan di dalam dirinya. Ivan tahu bahwa pertanyaan ini tidak akan mengubah apa pun, tetapi dia perlu tahu, dia perlu mengerti.Sekali lagi, dengan suara yang lebih tinggi, Ivan bertanya pertanyaan yang sama. "Apakah kamu mencintai Rafka?"Tapi jawaban tetap tidak datang dari Agatha. Dia merasakan cengkeraman tangan Ivan yang kuat, membuatnya terlonjak. Matanya mena
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,