Janette berseru. Bukan seruan kaget seperti yang dipikirkan Hazel, namun lebih seperti kekhawatiran yang memuncak.
"Bagaimana bisa seperti ini?" Janette berkata dengan suara serak. Tangannya yang gemetar meraih luka-luka Hazel, namun takut untuk menyentuhnya. " Tunggu sebentar, oke?"Dia segera bangkit dan menggeledah laci di lemari sudut ruangan. Janette segera mengeluarkan kotak P3K dari sana, berlutut di depan Hazel.Ketiksa satu per satu luka Hazel diobati dengan hati-hati, Janette menangis sambil menggumamkan sesuatu."Apakah itu sakit?" Janette bertanya setelah selesai mengobati.Melihat kecemasan dan kekhawatiran Janette, Hazel merasa hangat dalam hatinya. Dia memilih untuk jujur, mengangguk, lantas berkata "sakit" dengan pelan."Sakit sekali, ya?" Janette terisak, mengusap lukanya dengan hati-hati. "Pasti sakit sekali." Lelehan air matanya semakin banyak.Hazel tidak tau harus melakukan apa.Ketika luka-lukanya masih baru, itu sangat sakit dan dia bahkan tak nyaman untuk melakukan sesuatu.Tak ada yang membantunya mandi atau berpakaian. Orang tuanya juga tidak berbelas kasih dan masih menyuruhnya mengerjakan perkerjaan rumah. Dia bahkan tidak bisa menangis atau mengeluh tentang seberapa sakit yang dirasakannya.Namun kini Janette berlutut dan menangis dengan keras di depannya. Dia bergumam tentang seberapa sakitnya itu hingga Hazel merasa seluruh rasa sakitnya diwakilkan oleh Janette.Setelah menahan sakit selama berbulan-bulan, kini ada seseorang yang memahami rasa sakitnya dan mengobatinya."Mama." Hazel merasa hatinya menghangat dan memutuskan untuk memeluk Janette. "Hazel oke, Mama jangan nangis."Janette mengangguk cepat.Meski rangkaian kalimat Hazel sedikit berantakan, Janette merasa terharu.Dia kurang lebih mengerti keadaan Hazel. Dia tidak pernah diajari apapun dan hanya disuruh melakukan pekerjaan rumah lantas disiksa dengan alasan sepele. Bisa memahami beberapa kata dan merangkai kalimat itu sudah lebih dari cukup."Oke, oke. Kita ganti baju lalu makan, oke?"Janette memakaikan baju dengan hati-hati. Dia takut akan menggunakan terlalu banyak kekuatan dan berakhir menyakiti Hazel.Dia juga menyisir rambut Hazel dan memasangkan jepit rambut."Selesai!" Janette bangga dengan hasil karyanya."Lihat, kan, Hazel imut sekali."Janette menggendong Hazel dan berdiri di depan cermin. "Hazel suka?" Dia menoleh."Suka!" Hazel mengangguk."Oke, kita akan segera makan."Tiga anggora keluarga Anderson lainnya telah menunggu di meja makan ketika Janette menuruni anak tangga. Wanita itu meletakkan Hazel di kursi disampingnya."Ini pasta untuk Hazel." Janette berkata dengan riang, meletakkan sepiring pasta di hadapan Hazel.Hazel menatap pasta dihadapannya dengan ragu-ragu.Penampilan makanan itu menggugah selera. Ada siraman saus tomat di atas permukaan pasta dengan taburan parsley dan parmesan. Bahkan aromanya pun cukup untuk membuat perut Hazel berbunyi.Namun Hazel sama sekali tidak tau cara makannya.Mata besar Hazel mengamati pasta dihadapannya. Dia berpikir bahwa cara makan pasta seharusnya sama dengan cara makannya selama ini.Dia mengangguk, meneguhkan dirinya untuk segera makan.Janette berada di sebelah Hazel dan sedang menatapnya dengan wajah berseri-seri. "Anak itu sangat imut. Dia bahkan mengamati hasil karyaku dengan teliti." Janette merasa bangga.Namun pergerakan Hazel berikutnya membuat Janette terpaku.Gadis kecil itu mengulurkan tangan mungilnya, menggenggam pasta tersebut. Sebelum William, Janette, Gavin, dan Athan berpikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya, Hazel memakan pasta di tangannya.Saus tomat yang ditangannya menodai mulutnya, bahkan jatuh ke bajunya."Enak!" Hazel berseru riang.Dia tersenyum lebar dan saus tomat yang berada di sekitar mulutnya menambahkan kelucuannya.Hal itu membuat Janette merasa ingin melambaikan berdera putih atas kelucuan Hazel."Kalau begitu, makan yang banyak." William tersenyum."Eung!" Hazel mengangguk, diam-diam bertekad untuk menghabiskan sepiring pasta di hadapannya.Dia terus menggenggam pasta dengan tangan kanannya, lantas memasukkannya ke dalam mulut. Tak ada satupun yang berkomentar atau diam-diam merasa jijik dengan hal itu.Bahkan Gavin yang penyuka kebersihan dan menjauhi hal-hal kotor mengamati pergerakan Hazel dari waktu ke waktu.Itu adalah suasana yang harmonis di ruang makan. Meski tidak ada percakapan, namun dentingan antara garpu, pisau, dan piring yang beradu menciptakan rasa hangat.Namun semua itu segera terhenti ketika terdengar suara muntahan yang lemah."Huek!"Awalnya Hazel telah merasa mual dalam perutnya. Namun dia terus memaksakan dirinya untuk makan lebih banyak.Ketika dia merasa isi perutnya naik, dia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya dan berusaha menahannya.Namun muntahannya lebih banyak daripada yang dia kira dan mulutnya terbuka secara otomatis.Seketika ruang makan yang tenang menjadi ricuh."Hazel, kamu baik-baik saja?""Apakah perutmu sakit?""Apakah kamu masih merasa mual?""Bagaimana jika kita ke dokter?""Hazel, apakah masih terasa sakit?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghujani Hazel tanpa jeda. Gadis itu kebingungan karena tidak pernah mengalami kondisi seperti itu dan tak menjawab sama sekali.Pada akhirnya, Hazel diperiksa oleh dokter keluarga Anderson.Namanya Sean. Dia berada di awal usia 40 an dan beberapa helai rambutnya telah memutih.Setelah memberikan obat dan memberitahu Hazel tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan, Sean undur diri."Apakah perutmu lebih baik sekarang?" Janette bertanya.Dia sudah mempertimbangkan kondisi perut Hazel yang sepertinya terbiasa menampung sedikit makanan. Oleh karena itu dia mengurangi porsinya hingga setengah dari porsi yang biasanya dimakan anak berusia empat tahun.Namun ternyata porsi itu masih terlalu banyak dan Hazel memuntahkan makanan yang tidak bisa ia tampung.Hazel mengangguk."Kalau begitu," Janette mengambil cangkir dari meja, "apakah kamu bisa minum susu?""Mau, mau!" Hazel mengangguk dengan cepat. Gadis itu menerima cangkir dari Janette.Ada marshmallow dan choco chips yang mengapung di permukaan susu. Hazel meminumnya dengan sepenuh hati.Kehangatan susu itu pas dan marshmallow juga choco chips yang ditambahkan membuatnya lebih enak.Meski begitu, Hazel hanya meminum seperempatnya saja. Perutnya sudah penuh dan dia akan kembali muntah jika meminum terlalu banyak.Janette juga tidak berkomentar. Dia menyuruh Hazel meminum susu supaya perutnya hangat dan merasa lebih baik."Hazel pintar." William mengusap bekas susu di sekitar mulut Hazel, mengambil cangkirnya. "Gavin, Athan, temani Hazel menonton televisi.""Yes!" Athan mengepalkan tangannya, berseru."Oke, Pa." Gavin mengangguk.Gavin menggendong Hazel menuju kamarnya diikuti oleh Athan.Sebelumnya mereka berdua ingin bermain dengan Hazel namun William dan Janette menyuruh mereka untuk menahan diri supaya Hazel terbiasa dengan lingkungan barunya terlebih dahulu.Namun kini dengan perintah William, mereka bisa bermain dan memonopoli Hazel untuk sementara waktu.Sedangkan William dan Janette pergi ke ruang kerjanya dan menerima laporan kondisi Hazel dari Sean secara langsung.Di kamar Gavin, lelaki itu mengeluarkan kotak mainannya."Nah, apa yang mau kamu mainkan, Hazel?" Gavin bertanya.Hazel menatap kotak yang dipenuhi dengan mobil dan robot tersebut."Robot, nggak suka." Hazel menggeleng."Lalu apa yang kamu suka?" Gavin bertanya.Dia tidak pernah membayangkan akan memiliki adik perempuan sebelumnya. Dia bahkan menjauhi perempuan di sekolah dan tidak pernah mengetahui selera mereka."Bagaimana dengan boneka?" Athan bertanya."Boneka, boneka!" Hazel mengangguk cepat."Kamu punya boneka?" Gavin menatap Athan. "Bukankah kamu selalu merobeknya dan berakhir di tong sampah ?""Iya juga ya.." Athan berpikir sejenak. "Ah, aku masih punya boneka dari bibi.""Ambilah."Athan bangkit dan berlari menuju kamarnya."Mainan apa yang sering kamu mainkan di rumahmu sebelumnya?" Gavin bertanya."Mainan, rumah sebelumnya?" Hazel berusaha memahami kalimat Gavin, sebelum akhirnya menggeleng. "Nggak ada. Hazzel nggak punya mainan."Gavin mengerutkan kening. "Lalu apa yang sering kamu lakukan?""Cuci, sapu, banyak!" Hazel berusaha menjelaskan."Kamu menyusi dan menyapu?" Kerutan di kening Gavin makin dalam."Ayah suruh Hazel, mandiri.""Iya, Hazel anak pintar." Gavin tersenyum dan mengusap puncak kepalanya. "Tapi untuk ke depannya, biarkan itu dilakukan orang lain ya? Hazel hanya penuh makan, bermain, dan tidur, oke?""Oke! Hazel suka makan!" Gadis itu mengangguk tanpa ragu.To be continue.."Nah, ini dia!" Athan muncul dengan boneka kelinci di tangannya.Boneka itu kecil, hanya seukuran tangan orang dewasa. Dia menggunakan hoodie berwarna krem yang juga membungkus kakinya.Mata Hazel berbinar. Dia menerima boneka yang diulurkan Athan."Boneka!" Dia berseru senang, menggosokkan pipinya ke bonekanya dan menyadari bahwa boneka tersebut lembut dan empuk. "Boneka, tuing tuing!"Hazel pikir dia menemukan sesuatu yang luar biasa, jadi dia ingin berbagi hal itu."Tuing tuing?" Gavin tak mengerti."Bocah, apa maksudmu?" Athan juga tidak memahami kalimat Hazel."Tuing tuing, boneka." Dia menyodok boneka tersebut berulang kali, berusaha menunjukkan hal yang ingin dia kataan.Gavin ikut meremas boneka kelinci tersebut. "Apakah maksudmu empuk?" Dia bertanya.Hazel mengangguk cepat. "Mpuk!""Bagaimana empuk bisa berubah menjadi tuing tuing?" Athan bertanya, namun Gavin memukulnya."Jangan katakan itu di depannya. Dia akan tersinggung." Gavin berbisik."Dia bahkan tidak paham maksudku."
Sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang. Kepala keluarga Wright, Edward Wright menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan.Dia menatap putrinya yang berambut cokelat tengah duduk tanpa rasa gelisah sama sekali. Dialah orang yang akan menjadi tokoh utama kali ini."Kau yakin akan baik-baik saja untuk membiarkannya berpakaian seperti itu?" Edward bertanya kepada sang istri, Kaitlyn Hutton.Dia bertanya mengenai pakaian putri bungsunya, Hazel. Dia hanya mengenakan gaun putih sederhana berlengan bishop dan tulle skirt. Rambut cokelat tuanya diurai dan terlihat sedikit berantakan. Matanya yang bulat besar megerjap polos, terlihat menggemaskan.Sedangkan putri sulungnya, Lilian mengenakan gaun biru langit yang dipenuhi dengan renda putih dan taburan mutiara, menonjolkan keanggunan luar biasa yang dimiliki oleh anak berusia delapan tahun. Rambut kepangnya jatuh di atas bahu dan poninya dijepit dengan jepit rambut mutiara.Bahkan orang awam pun akan tahu ada kesenjangan diantara keduan
"..apa maksudmu?" William bertanya."Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya."..kau tidak sedih?" William bertanya heran.Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya."Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi."Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi.""Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini."Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."William
Pada akhirnya mereka sepakat untuk menunjukkan kamar Hazel bersama-sama.Meskipun mansion tersebut sangat luas, namun kamar yang disiapkan untuk Hazel merupakan kamar yang paling dekat dengan ruang kerja William.Jadi mereka tidak banyak menghabiskan waktu.Mereka sampai pada sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih. Ada ukiran rumit di sisi pintu dan bahkan gagang pintunya berwarna emas.Namun bukan itu yang dipentingkan Hazel sekarang.Ada kata "Hazel Anderson" di pintu tersebut, diukir dengan warna emas dan memiliki ukuran yang cukup besar, seolah dengan bangga menyatakan pemilik kamar tersebut.Meski Hazel tidak begitu pandai membaca, namun dia tau bahwa ada namanya disana."Nah, ayo kita masuk!" Janette berseru riang, mendorong pintu ganda tersebut.Seketika wangi cologne bayi tercium. Hazel melotot melihat kamarnya. Dia tidak menyangka kamarnya akan memiliki dekorasi yang berkali-kali lipat lebih mewah dibanding dekorasi kamar Lilian.Seluruh permukaan lantai kamar tertu
"Nah, ini dia!" Athan muncul dengan boneka kelinci di tangannya.Boneka itu kecil, hanya seukuran tangan orang dewasa. Dia menggunakan hoodie berwarna krem yang juga membungkus kakinya.Mata Hazel berbinar. Dia menerima boneka yang diulurkan Athan."Boneka!" Dia berseru senang, menggosokkan pipinya ke bonekanya dan menyadari bahwa boneka tersebut lembut dan empuk. "Boneka, tuing tuing!"Hazel pikir dia menemukan sesuatu yang luar biasa, jadi dia ingin berbagi hal itu."Tuing tuing?" Gavin tak mengerti."Bocah, apa maksudmu?" Athan juga tidak memahami kalimat Hazel."Tuing tuing, boneka." Dia menyodok boneka tersebut berulang kali, berusaha menunjukkan hal yang ingin dia kataan.Gavin ikut meremas boneka kelinci tersebut. "Apakah maksudmu empuk?" Dia bertanya.Hazel mengangguk cepat. "Mpuk!""Bagaimana empuk bisa berubah menjadi tuing tuing?" Athan bertanya, namun Gavin memukulnya."Jangan katakan itu di depannya. Dia akan tersinggung." Gavin berbisik."Dia bahkan tidak paham maksudku."
Janette berseru. Bukan seruan kaget seperti yang dipikirkan Hazel, namun lebih seperti kekhawatiran yang memuncak."Bagaimana bisa seperti ini?" Janette berkata dengan suara serak. Tangannya yang gemetar meraih luka-luka Hazel, namun takut untuk menyentuhnya. " Tunggu sebentar, oke?"Dia segera bangkit dan menggeledah laci di lemari sudut ruangan. Janette segera mengeluarkan kotak P3K dari sana, berlutut di depan Hazel.Ketiksa satu per satu luka Hazel diobati dengan hati-hati, Janette menangis sambil menggumamkan sesuatu."Apakah itu sakit?" Janette bertanya setelah selesai mengobati.Melihat kecemasan dan kekhawatiran Janette, Hazel merasa hangat dalam hatinya. Dia memilih untuk jujur, mengangguk, lantas berkata "sakit" dengan pelan."Sakit sekali, ya?" Janette terisak, mengusap lukanya dengan hati-hati. "Pasti sakit sekali." Lelehan air matanya semakin banyak.Hazel tidak tau harus melakukan apa.Ketika luka-lukanya masih baru, itu sangat sakit dan dia bahkan tak nyaman untuk melaku
Pada akhirnya mereka sepakat untuk menunjukkan kamar Hazel bersama-sama.Meskipun mansion tersebut sangat luas, namun kamar yang disiapkan untuk Hazel merupakan kamar yang paling dekat dengan ruang kerja William.Jadi mereka tidak banyak menghabiskan waktu.Mereka sampai pada sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih. Ada ukiran rumit di sisi pintu dan bahkan gagang pintunya berwarna emas.Namun bukan itu yang dipentingkan Hazel sekarang.Ada kata "Hazel Anderson" di pintu tersebut, diukir dengan warna emas dan memiliki ukuran yang cukup besar, seolah dengan bangga menyatakan pemilik kamar tersebut.Meski Hazel tidak begitu pandai membaca, namun dia tau bahwa ada namanya disana."Nah, ayo kita masuk!" Janette berseru riang, mendorong pintu ganda tersebut.Seketika wangi cologne bayi tercium. Hazel melotot melihat kamarnya. Dia tidak menyangka kamarnya akan memiliki dekorasi yang berkali-kali lipat lebih mewah dibanding dekorasi kamar Lilian.Seluruh permukaan lantai kamar tertu
"..apa maksudmu?" William bertanya."Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya."..kau tidak sedih?" William bertanya heran.Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya."Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi."Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi.""Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini."Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."William
Sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang. Kepala keluarga Wright, Edward Wright menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan.Dia menatap putrinya yang berambut cokelat tengah duduk tanpa rasa gelisah sama sekali. Dialah orang yang akan menjadi tokoh utama kali ini."Kau yakin akan baik-baik saja untuk membiarkannya berpakaian seperti itu?" Edward bertanya kepada sang istri, Kaitlyn Hutton.Dia bertanya mengenai pakaian putri bungsunya, Hazel. Dia hanya mengenakan gaun putih sederhana berlengan bishop dan tulle skirt. Rambut cokelat tuanya diurai dan terlihat sedikit berantakan. Matanya yang bulat besar megerjap polos, terlihat menggemaskan.Sedangkan putri sulungnya, Lilian mengenakan gaun biru langit yang dipenuhi dengan renda putih dan taburan mutiara, menonjolkan keanggunan luar biasa yang dimiliki oleh anak berusia delapan tahun. Rambut kepangnya jatuh di atas bahu dan poninya dijepit dengan jepit rambut mutiara.Bahkan orang awam pun akan tahu ada kesenjangan diantara keduan