Sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang. Kepala keluarga Wright, Edward Wright menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan.
Dia menatap putrinya yang berambut cokelat tengah duduk tanpa rasa gelisah sama sekali. Dialah orang yang akan menjadi tokoh utama kali ini."Kau yakin akan baik-baik saja untuk membiarkannya berpakaian seperti itu?" Edward bertanya kepada sang istri, Kaitlyn Hutton.Dia bertanya mengenai pakaian putri bungsunya, Hazel. Dia hanya mengenakan gaun putih sederhana berlengan bishop dan tulle skirt. Rambut cokelat tuanya diurai dan terlihat sedikit berantakan. Matanya yang bulat besar megerjap polos, terlihat menggemaskan.Sedangkan putri sulungnya, Lilian mengenakan gaun biru langit yang dipenuhi dengan renda putih dan taburan mutiara, menonjolkan keanggunan luar biasa yang dimiliki oleh anak berusia delapan tahun. Rambut kepangnya jatuh di atas bahu dan poninya dijepit dengan jepit rambut mutiara.Bahkan orang awam pun akan tahu ada kesenjangan diantara keduanya dalam sekali lihat.Kaitlyn melirik putri bungsunya. Meskipun gaun yang digunakan simpel, namun itu berkali-kali lipat lebih baik dibanding dengan baju lusuh yang digunakan Hazel dalam kesehariannya."Tidak apa-apa. Pemilik mansion akan mengiranya orang yang rendah hati."Kaitlyn melambaikan tangan, memberi tahu Edward bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Baiklah." Edward mengangguk.Pemilik mansion di depan mereka adalah kepala keluarga Anderson. Keluarga itu termasuk keluarga yag paling berpengaruh di ibu kota. Namun yang membuat keluarga ini spesial adalah rumornya yang merupakan keluarga mafia.Meski kebenaran rumor itu masih dipertanyakan namun tetap membuat Anderson ditakuti.Begitu urusan mereka disini berjalan lancar, maka beberapa masalah mereka akan terselesaikan.Karena itulah mereka berakhir di ruang tamu mansion mewah tersebut, disuguhi beberapa cemilan ringan dan duduk menunggu."Ibu, siapa, kita temui?" Hazel bertanya dengan kalimat berantakan, tidak paham mengapa mereka berakhir di tempat seperti ini."Jangan--" Kaitlyn awalnya ingin membentak Hazel, mau mengingat dimana dia saat ini, dia hanya bisa meredam emosinya dan menunjukkan kasih sayang palsu, "kita akan menemui seseorang yang istimewa."Hazel mengangguk-angguk meski dia tidak memahami maksud dari Kaitlyn.Ia memilih untuk membenamkan dirinya di cemilan menggiurkan dihadapannya. Terutama cokelat belgia dan puding gyukaku, Hazel tidak bisa berhenti menelannya."Permisi, keluarga Wright." Kepala pelayan yang tadi memandu jalan itu kini memanggil mereka. "Akan saya antar ke ruang kerja Tuan Anderson."Hazel meraih cokelat belgia yang tersisa di meja dan memasukkannya ke dalam mulutnya dengan cepat. Mungkin karena terlalu banyak makanan di mulutnya, dia membutuhkan waktu lebih lama untuk mengunyah dan mulutnya menggembung dalam waktu lama.***Ruang kerja itu adalah ruangan yang menakjubkan. Semua warna di ruangan tersebut didominasi dengan warna hitam dan emas hingga terlihat berkelas dan mewah di saat yang bersamaan.Terutama dengan pemilik mansion yang tengah bekerja. Dia memiliki fitur wajah yang tegas dan dingin dengan mata berwarna hitam yang tajam. Dagunya runcing dan hidungnya mancung. Dia mengenakan sebuah kemeja berwarna hitam dan dasi yang terpasang erat di kerahnya.Auranya yang dingin dan tak tersentuh membuat penampilannya sempurna. Dia merupakan William, pria yang menjadi kepala keluarga Anderson.Mungkin hal itu jugalah yang mengakibatkan adanya ketegangan dalam percakapannya dengan Edward dan Kaitlyn. Meski begitu, Hazel tidak mengerti percakapan mereka sama sekali."Baiklah, aku menerimanya." Kalimat William itu membuat anggota keluarga Wright menghela nafas lega.Mendengar kalimat tuannya, kepala pelayan yang tadinya berdiri di sudut ruangan mengeluarkan koper hitam dan memberikannya kepada Edward.Edward membukanya. Dia mendapatkan tumpukan uang yang tersusun rapi. Setelah memeriksa ketebalannya, dia bisa yakin bahwa uang tersebut mencapai sepuluh milyar, seperti yang dijanjikan.Itu adalah harga yang lebih baik dibanding menjual manusia di pasar gelap."Baiklah, Hazel, berikan salam kepada Tuan Anderson. Beliau adalah orang yang akan merawatmu kelak." Edward tersenyum lebar kepada Hazel."Me, merawatku?" Hazel kesulitan menafsirkan kalimat Edward."Benar." Edward mengangguk."Kalau begitu, selamat tinggal, Hazel ." Kaitlyn melambaikan tangannya dengan ekspresi bahagia.Hazel yang ditinggalkan dipaksa untuk memahami semua rangkaian peristiwa dan percakapan orang dewasa yang terjadi di depannya.Setelah beberapa saat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya."Hazel dijual?" Hazel bertanya.Hidungnya telah memerah dan bibirnya melengkung ke bawah. Matanya yang bulat dan besar berair. Siapapun yang melihatnya akan tersentuh."Kenapa kamu baru menyadarinya?" Lilian menyeringai, menatap tak percaya. " Aku tahu kamu bodoh, tapi aku tidak menyangka kau akan sebodoh ini."Lilian melangkah maju hingga hanya berjarak satu setengah meter diantara mereka."Dari awal, ayah dan ibu memang berniat menjualmu karena kamu semakin merepotkan. Awalnya mereka ingin menjualmu ke pasar gelap. Namun harga yang ditawarkan oleh Tuan Anderson lebih menggiurkan. Kau lihat itu?" Lilian menunjuk koper hitam yang dibawa oleh Edward, terkikik. "Itu sepuluh milyar, bodoh." Kini telunjuknya mengarah ke Hazel. "Dan itu hargamu."Air mata Hazel turun, membasahi pipinya. Lilian sama sekali tidak peduli. Dia mendorong Hazel hingga gadis itu jatuh terduduk.Begitu mereka hendak keluar dari ruangan tersebut, suara dingin William kembali terdengar."Tuan Wright, ingatlah, bahwa setelah kau keluar dari ruangan itu, kau tak pernah memiliki hubungan darah dengan putrimu dan tidak memiliki hak apapun tentangnya." Nadanya tegas dan entah kenapa kalimatnya membuat Edward merasa ciut."Saya mengingatnya, Tuan." Itu jugalah yang ia tuliskan di perjanjian mereka tempo hari.Keluarga Wright segera keluar dari ruangan, merasa sesak dengan aura William.Kini ruang kerja William sunyi, menyisakan isakan tangis seorang gadis kecil yang terduduk di lantai yang dingin.Namun tidak terpikirkan oleh William bahwa Hazel akan menangis meraung-raung, isakan gadis itu pelan dan tidak terdengar mengganggu sama sekali. Dia hanya terus menatap pintu tertutup di depannya, seolah menunggu kedatangan seseorang.William melirik Albert, kepala pelayan yang ada di sampingnya. Dia memberi kode agar ia mengurus Hazel. Bagaimanapun, kedua anaknya lelaki dan mereka lebih sering protes atau bernegosiasi jika mereka tidak terima.Dan untuk pertama kalinya William merasa itu semua lebih baik dibanding isakan pelan yang terdengar lebih menyakitkan."Untuk saat ini, Nona Hazel lebih membutuhkan anda dibanding saya yang merupakan kepala pelayan, Tuan." Albert menolak.William melotot. Jika dia bisa mengatasi Hazel, tidak mungkin dia akan meminta bantuan kepada Albert."Sepuluh milyar, berapa?" Suara yang jernih dan kekanakan itu memecah sunyi. Dia mengangkat kedua tangannya, merentangkan sepuluh jarinya. "Apa lebih dari ini?" Matanya megerjap polos."..apa maksudmu?" William bertanya."Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya."..kau tidak sedih?" William bertanya heran.Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya."Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi."Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi.""Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini."Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."William menjelaskan. Begitu dia melihat gadis itu masih menatapnya, dia tahu bahwa Hazel belum memahami kalimatnya. "Itu berarti ayahmu memberikanmu kepadaku dan aku memberinya uang." William bahkan menggunakan tangannya untuk menunjuk, supaya Hazel lebih mudah memahami kalimatnya.Albert diam-diam merasa lucu. Semua orang akan bilang bahwa William adalah seseorang yang begitu berpengalaman dalam bidang bisnis, mafia yang ditakuti oleh seluruh dunia hitam, juga seseorang yang bisa meruntuhkan suatu perusahaan dalam sekejap.Namun saat ini, William justru sedang berjongkok untuk menenangkan seorang gadis kecil, mencoba menjawab seluruh pertanyaannya."Ayah, menjualku, kepadamu." Hazel menunjuk dirinya, lantas menunjuk William. Gadis itu menutup mulutnya seketika, menyadari suatu fakta yang mengejutkan dirinya. "Ja, jadi aku, dimakan?" Pupil matanya bergetar ketakutan. "Jangan makan aku, aku tidak enak, wuwuwu..." Dia memegangi kepalanya dan tubuhnya mulai bergetar."Tidak, aku adalah ayahmu sekarang""Jadi ayahku, kamu?" Hazel bertanya.To be continue..."..apa maksudmu?" William bertanya."Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya."..kau tidak sedih?" William bertanya heran.Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya."Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi."Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi.""Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini."Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."William
Pada akhirnya mereka sepakat untuk menunjukkan kamar Hazel bersama-sama.Meskipun mansion tersebut sangat luas, namun kamar yang disiapkan untuk Hazel merupakan kamar yang paling dekat dengan ruang kerja William.Jadi mereka tidak banyak menghabiskan waktu.Mereka sampai pada sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih. Ada ukiran rumit di sisi pintu dan bahkan gagang pintunya berwarna emas.Namun bukan itu yang dipentingkan Hazel sekarang.Ada kata "Hazel Anderson" di pintu tersebut, diukir dengan warna emas dan memiliki ukuran yang cukup besar, seolah dengan bangga menyatakan pemilik kamar tersebut.Meski Hazel tidak begitu pandai membaca, namun dia tau bahwa ada namanya disana."Nah, ayo kita masuk!" Janette berseru riang, mendorong pintu ganda tersebut.Seketika wangi cologne bayi tercium. Hazel melotot melihat kamarnya. Dia tidak menyangka kamarnya akan memiliki dekorasi yang berkali-kali lipat lebih mewah dibanding dekorasi kamar Lilian.Seluruh permukaan lantai kamar tertu
Janette berseru. Bukan seruan kaget seperti yang dipikirkan Hazel, namun lebih seperti kekhawatiran yang memuncak."Bagaimana bisa seperti ini?" Janette berkata dengan suara serak. Tangannya yang gemetar meraih luka-luka Hazel, namun takut untuk menyentuhnya. " Tunggu sebentar, oke?"Dia segera bangkit dan menggeledah laci di lemari sudut ruangan. Janette segera mengeluarkan kotak P3K dari sana, berlutut di depan Hazel.Ketiksa satu per satu luka Hazel diobati dengan hati-hati, Janette menangis sambil menggumamkan sesuatu."Apakah itu sakit?" Janette bertanya setelah selesai mengobati.Melihat kecemasan dan kekhawatiran Janette, Hazel merasa hangat dalam hatinya. Dia memilih untuk jujur, mengangguk, lantas berkata "sakit" dengan pelan."Sakit sekali, ya?" Janette terisak, mengusap lukanya dengan hati-hati. "Pasti sakit sekali." Lelehan air matanya semakin banyak.Hazel tidak tau harus melakukan apa.Ketika luka-lukanya masih baru, itu sangat sakit dan dia bahkan tak nyaman untuk melaku
"Nah, ini dia!" Athan muncul dengan boneka kelinci di tangannya.Boneka itu kecil, hanya seukuran tangan orang dewasa. Dia menggunakan hoodie berwarna krem yang juga membungkus kakinya.Mata Hazel berbinar. Dia menerima boneka yang diulurkan Athan."Boneka!" Dia berseru senang, menggosokkan pipinya ke bonekanya dan menyadari bahwa boneka tersebut lembut dan empuk. "Boneka, tuing tuing!"Hazel pikir dia menemukan sesuatu yang luar biasa, jadi dia ingin berbagi hal itu."Tuing tuing?" Gavin tak mengerti."Bocah, apa maksudmu?" Athan juga tidak memahami kalimat Hazel."Tuing tuing, boneka." Dia menyodok boneka tersebut berulang kali, berusaha menunjukkan hal yang ingin dia kataan.Gavin ikut meremas boneka kelinci tersebut. "Apakah maksudmu empuk?" Dia bertanya.Hazel mengangguk cepat. "Mpuk!""Bagaimana empuk bisa berubah menjadi tuing tuing?" Athan bertanya, namun Gavin memukulnya."Jangan katakan itu di depannya. Dia akan tersinggung." Gavin berbisik."Dia bahkan tidak paham maksudku."
"Nah, ini dia!" Athan muncul dengan boneka kelinci di tangannya.Boneka itu kecil, hanya seukuran tangan orang dewasa. Dia menggunakan hoodie berwarna krem yang juga membungkus kakinya.Mata Hazel berbinar. Dia menerima boneka yang diulurkan Athan."Boneka!" Dia berseru senang, menggosokkan pipinya ke bonekanya dan menyadari bahwa boneka tersebut lembut dan empuk. "Boneka, tuing tuing!"Hazel pikir dia menemukan sesuatu yang luar biasa, jadi dia ingin berbagi hal itu."Tuing tuing?" Gavin tak mengerti."Bocah, apa maksudmu?" Athan juga tidak memahami kalimat Hazel."Tuing tuing, boneka." Dia menyodok boneka tersebut berulang kali, berusaha menunjukkan hal yang ingin dia kataan.Gavin ikut meremas boneka kelinci tersebut. "Apakah maksudmu empuk?" Dia bertanya.Hazel mengangguk cepat. "Mpuk!""Bagaimana empuk bisa berubah menjadi tuing tuing?" Athan bertanya, namun Gavin memukulnya."Jangan katakan itu di depannya. Dia akan tersinggung." Gavin berbisik."Dia bahkan tidak paham maksudku."
Janette berseru. Bukan seruan kaget seperti yang dipikirkan Hazel, namun lebih seperti kekhawatiran yang memuncak."Bagaimana bisa seperti ini?" Janette berkata dengan suara serak. Tangannya yang gemetar meraih luka-luka Hazel, namun takut untuk menyentuhnya. " Tunggu sebentar, oke?"Dia segera bangkit dan menggeledah laci di lemari sudut ruangan. Janette segera mengeluarkan kotak P3K dari sana, berlutut di depan Hazel.Ketiksa satu per satu luka Hazel diobati dengan hati-hati, Janette menangis sambil menggumamkan sesuatu."Apakah itu sakit?" Janette bertanya setelah selesai mengobati.Melihat kecemasan dan kekhawatiran Janette, Hazel merasa hangat dalam hatinya. Dia memilih untuk jujur, mengangguk, lantas berkata "sakit" dengan pelan."Sakit sekali, ya?" Janette terisak, mengusap lukanya dengan hati-hati. "Pasti sakit sekali." Lelehan air matanya semakin banyak.Hazel tidak tau harus melakukan apa.Ketika luka-lukanya masih baru, itu sangat sakit dan dia bahkan tak nyaman untuk melaku
Pada akhirnya mereka sepakat untuk menunjukkan kamar Hazel bersama-sama.Meskipun mansion tersebut sangat luas, namun kamar yang disiapkan untuk Hazel merupakan kamar yang paling dekat dengan ruang kerja William.Jadi mereka tidak banyak menghabiskan waktu.Mereka sampai pada sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih. Ada ukiran rumit di sisi pintu dan bahkan gagang pintunya berwarna emas.Namun bukan itu yang dipentingkan Hazel sekarang.Ada kata "Hazel Anderson" di pintu tersebut, diukir dengan warna emas dan memiliki ukuran yang cukup besar, seolah dengan bangga menyatakan pemilik kamar tersebut.Meski Hazel tidak begitu pandai membaca, namun dia tau bahwa ada namanya disana."Nah, ayo kita masuk!" Janette berseru riang, mendorong pintu ganda tersebut.Seketika wangi cologne bayi tercium. Hazel melotot melihat kamarnya. Dia tidak menyangka kamarnya akan memiliki dekorasi yang berkali-kali lipat lebih mewah dibanding dekorasi kamar Lilian.Seluruh permukaan lantai kamar tertu
"..apa maksudmu?" William bertanya."Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya."..kau tidak sedih?" William bertanya heran.Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya."Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi."Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi.""Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini."Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."William
Sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang. Kepala keluarga Wright, Edward Wright menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan.Dia menatap putrinya yang berambut cokelat tengah duduk tanpa rasa gelisah sama sekali. Dialah orang yang akan menjadi tokoh utama kali ini."Kau yakin akan baik-baik saja untuk membiarkannya berpakaian seperti itu?" Edward bertanya kepada sang istri, Kaitlyn Hutton.Dia bertanya mengenai pakaian putri bungsunya, Hazel. Dia hanya mengenakan gaun putih sederhana berlengan bishop dan tulle skirt. Rambut cokelat tuanya diurai dan terlihat sedikit berantakan. Matanya yang bulat besar megerjap polos, terlihat menggemaskan.Sedangkan putri sulungnya, Lilian mengenakan gaun biru langit yang dipenuhi dengan renda putih dan taburan mutiara, menonjolkan keanggunan luar biasa yang dimiliki oleh anak berusia delapan tahun. Rambut kepangnya jatuh di atas bahu dan poninya dijepit dengan jepit rambut mutiara.Bahkan orang awam pun akan tahu ada kesenjangan diantara keduan