Luis mengerutkan dahi saat melihat respon Alice. Ia pikir akan mendapat tamparan atau umpatan kebencian, tapi lelaki itu justru mendapati sang istri tertawa kencang.“Hahaha, kamu pikir aku percaya? Mana mungkin orang tuaku meninggal karena bangkrut. Apalagi karena ditipu orang tuamu, konyol sekali. Kita sebelumnya itu ....”“Benar,” potong lembut Luis cepat.Sepasang telapak tangan besar lelaki itu membingkai wajah cantik Alice. Ingin sekali Luis menciumi bibir merah menggoda yang setengah terbuka di depannya dengan rakus, tapi seketika keinginan itu ia tepis jauh-jauh. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu, ia harus bersiap jika Alice akan kembali melayangkan gugatan cerai.“Benar apanya? Ini konyol, Luis. Aku bahkan belum pernah melihat orang tuamu.”“Benar kita sudah dijodohkan sejak kecil, Alice. Tapi, karena orang tuaku menipu orang tuamu, kepercayaan Kakek Sam hilang dan membatalkan pernikahan kita,tapi, karena keadaan keuangan Kakek Sam semakin memburuk,
“Kau baru bangun?” todong Kakek Levon dingin pada keberadaan Devina, yang seketika membuat wanita tersebut menoleh ke arah sang pemilik suara, “kau dan Alice memang beda. Sejak subuh Alice sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk semua orang. Sedangkan kau? Mengurus dirimu sendiri saja tidak becus.”“Kenapa Tuan Besar Levon masih begitu tak suka padaku? Sebentar lagi aku akan menggantikan status nyonya muda dari Nyonya Alice. Aku tak perlu bangun pagi, apa gunanya membayar pelayan, pekerja bulanan, dan pengawal lain? Lagi pula aku bukan seorang pelayan. Aku ini calon istri Luis Pietro,tugasku hanya memuaskan suamiku dan memberi keturunan. Bukan seperti Alice. Dia memang terlahir sebagai pelayan. Kakeknya saja hanya seorang tukang bunga,” sahut Devina tenang sembari memeriksa kuku cantiknya. Nada suara wanita itu begitu sinis, apalagi saat matanya sengaja melirik mencibir ke arah lelaki separuh baya tersebut yang sejak dulu selalu membela Alice.“Benar ‘kan, Tuan Besar Pietro?
“Luis ... katakan padaku, kalau semua ini tidak nyata kan?”Luis melirik. Ia sedikit terkejut saat menyadari Devina tiba-tiba memeluknya dari belakang. Luis pikir setelah menolak dirinya, wanita ini akan langsung pergi. Nyatanya tak semudah itu.Namun, lelaki itu juga sudah menduga jikalau Devina akan mengikuti dirinya sampai ke ruang kerja. Dan dengan sengaja, Luis membuka pintu lebar-lebar untuk menyambut kedatangan Devina.Sisi wajah ditenggelamkan di punggung panjang Luis. Devina semakin memeluk erat lelaki itu.Fakta yang tadi didengar dari Luis dan Frans masih tak ingin wanita itu percayai.Bukankah fakta itu begitu konyol jika seorang Luis Pietro seketika bangkrut dalam hitungan jam?“Kamu bohong padaku kan? Ini semua hanya trik untuk membuat Alice kembali menceraikanmu bukan?” tambah Devina masih gigih menodong pernyataan untuk dikonfirmasi oleh Luis, “dari dulu kamu kan memang tidak pernah suka dengan wanita kampungan itu.”Sementara itu, tanpa Luis dan Devina sadari,
“Alice, apa yang sedang kau pikirkan? Apa pemandangan di luar lebih menarik dariku, hm?” Jemari Luis yang terus bertautan dengan jemari tangan Alice dibawa ke depan bibir. Setiap lima detik, Luis pasti akan mengecup atau mencium lama kulit lembut punggung tangan sang istri di sepanjang perjalanan menuju ke kota kelahiran Alice.Seakan tangan mereka berdua sudah dilapisi lem perekat yang sangat kuat.Meski mendengar suara protes Luis, wanita itu masih belum bisa melepas pandangannya dari luar jendela kaca.“Apa kau sedang memikirkan Gerald? Tenang saja, aku sudah menugaskan Frans untuk menjemput putra kita nanti. Kakek Levon juga akan ikut.”“Hm,” balasan singkat tak semangat Alice.“... pasti kau sangat sedih karena kita tidak membawa Gerald. Kau tahu dia harus sekolah, Sayang. Aku janji, ketika Gerald sudah libur, kita akan pergi bersama.” Alice mengembuskan napas panjang, dan hal itu didengar jelas oleh telinga Luis. Lelaki tampan yang menghalangi mata tajamnya dengan kac
Hari ini Dokter Nelson sengaja mengambil libur untuk menemani sang putri kecil di rumah. Lelaki tampan itu tampak telaten saat menyuapi putrinya sembari melihat Aline bermain dengan boneka.“Aline, kenapa selalu bermain boneka itu terus? Papa membelikanmu banyak boneka, mereka juga tidak kalah lucu dari bonekamu itu.”Alih-alih dijawab, Dokter Nelson harus kembali menelan kasar ludahnya saat sang putri tetap memilih bungkam.“Apa kau mau tambah lagi, Sayang?” tanya Dokter Nelson untuk kesekian kali, yang kali ini hanya mendapat gelengan dari sang putri. Lelaki tampan itu menurunkan pandangan sendu pada piring makanan sang putri, yang menyisakan sesak dalam dada saat memandangi nasi dan lauk yang masih begitu menggunung.Terhitung hanya ada empat kali suapan, itu pun tak sampai memenuhi sendok. Kenapa Dokter Nelson baru menyadari, jikalau selera makan Aline selalu buruk seperti ini? Astaga, ayah macam apa dirinya?! rutuk lelaki itu dalam hati.“Aline, berhentilah bermain dulu
Sepanjang perjalanan menuju ke kediaman keluarga Delano, keadaan suram di dalam mobil benar-benar membuat siapa pun ingin segera melarikan diri. Termasuk sang sopir. Sejak tadi Dokter Nelson hanya diam dengan punggung yang sama sekali tak ditempelkan di sandaran kursi penumpang. Sepertinya lelaki berkacamata bening itu sudah tak sabar untuk segera turun.“Tambah kecepatan lagi.” Dokter Nelson memerintah.“Baik, Tuan Nelson.”Sejak Dokter Nelson memutuskan mematikan ponsel yang terus berdering dari para rekan sejawatnya, yang ada di pikiran lelaki itu hanya ingin segera menumpahkan seluruh amarah pada kedua orang tuanya.Mobil New Toyota Fortuner berwarna hitam akhirnya telah sampai terparkir. Tubuh Dokter Nelson bergegas menerjang pintu mobil yang dibuka pelayan keluarga Delano.“Tuan Muda selamat datang.”“Katakan di mana ibu dan ayahku!” Dokter Nelson Bertanya dengan nada tergesa sembari berjalan cepat diikuti kepala pelayan serta beberapa pelayan lain.“Nyonya Besar sedang
“Kau pikir dirimu siapa hah?!”“Levon.””Heh! Aku tidak sedang bertanya namamu. Di mana cucuku, di mana dia!?”Bola mata Kakek Levon memutar jengah mendengar suara melengking sang mantan sahabat. Mereka saat ini sedang melakukan panggilan video, yang sudah ditolak sepuluh kali oleh Kakek Sam.Jika Kakek Levon tak mengirimi pesan terakhir, yang telah terkirim 30 pesan berisi tentang Alice, mungkin si lelaki tua kolot di seberang negara sana tak akan mau berbicara dengan dirinya. Cih, menyebalkan.“Kau sendiri yang tanya siapa aku. Ya aku jawab. Makanya kalau tanya itu yang jelas.”“Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan. Aku akan matikan. Dasar tidak bergun–”“Tunggu!”“Heran sekali. Apa kau tidak ada hari tanpa marah-marah?” gerutu Kakek Levon.Ronald yang mendengar percakapan antara dua lelaki di sambungan panggilan video itu, hanya bisa mengembuskan napas kasar sembari menggeleng kepala kecil. Setelah ini sepertinya dia membutuhkan obat pereda sakit kepala.Tak ada hari
“Luis, tidak ada barang-barangmu di rumahku. Lalu kamu taruh di mana?” Bertanya dengan sesekali membagi fokus pada beberapa bahan makanan, Alice tampak begitu piawai dalam urusan dapur. Sungguh beruntung Luis mendapat istri seperti Alice.“Di sebuah tempat rahasia. Kita akan ke sana setelah makan. Sekarang aku sangat lapar, Istriku!”“... ayolah beri suamimu ini makanan. Kau bisa lihat kan, kalau aku sangat kelaparan?” sambung Luis merengek dengan tangan menyanggah sepasang rahangnya. Tatapan penuh damba terus ditujukan pada sang istri cantik.Alice menggeleng kecil sembari tertawa geli.“Baiklah. Kamu duduk dulu atau bisa berjalan-jalan. Aku akan membuatkan makanan untukmu.” Alice memberi pesan pada Luis yang semula terduduk, kini lelaki tampan itu tertarik untuk berjalan-jalan ke segala sudut rumah sederhana milik Alice sembari mengangguk ke arah wanita itu.“Sayang, kenapa rumah ini seperti baru saja dibersihkan?”Wajah Luis terangkat. Lelaki itu terus memandangi satu persatu