“Kau pikir bisa pergi dariku begitu saja?” “Alice kau milikku. Hanya milikku. Setiap malam aku hanya bisa menghirup aroma menggairahkan dari tubuhmu. Setiap inci tubuhmu, selalu membuatku gila.”Hugo menyeringai di depan layar komputer. Jemarinya terus mengetik kalimat demi kalimat kebencian di atas foto cantik Alice yang tengah tersenyum.Berbagai balasan di situs web online ilegal itu memantul di pantulan mata berkabut gairah kepemilikan Hugo pada sosok Alice, dalam bayangan.“Dulu aku memanfaatkan mereka agar kau bisa berlindung padaku. Tapi, sekarang, kau akan benar-benar mati Alice ... kecuali, kau jadi milikku.”Sebuah kalimat yang baru saja selesai diketik di atas foto Alice, tak segan dikirim dengan desis lirih berat.Menanti-nanti, apa balasan dari sekumpulan akun ‘unknown’, yang menyimpan kebencian di kehidupan mereka.‘Aku ingin memberitahu kalian, kalau saat ini aku sedang hancur. Wanita ini membuat hidupku menggila. Dia menghancurkan hidupku, dan perusahaanku. Sia
Jemari Alice terketuk-ketuk di sisi samping kosong kayu bangku yang diduduki. Otaknya sedang tak baik-baik saja. Ia memikirkan keselamatan Gerald, meski banyak anak buah Pietro berjaga.Satu jam lalu, Alice mendapat telepon jika sekolah pertama Gerald di negara ini telah dirusak.Pihak sekolah mengirim bukti, dan beberapa kalimat ancaman yang ditulis di dinding sekolah untuk Alice dan Gerald. Pihak sekolah meminta ganti rugi untuk bangunan sekolah yang rusak, dan beberapa murid taman kanak-kanak yang ketakutan.Untuk menghindari kecurigaan keluarga Pietro, Alice hanya bisa meminta Rose yang pergi dan menangani semuanya.“Semua ini di luar dugaanku. Kenapa mereka bisa tahu aku ada di negara ini?”“... sebenarnya apa salahku? Kenapa mereka begitu membenci aku dan Gerald?” tambahnya dengan nada serak dalam.Tak terasa sudah begitu lama ia termenung di kursi taman seorang diri, sebuah tepukan lembut di bahunya membuat wanita itu menegakkan punggung.“Alice! Kamu tidak masuk? Ini
“Kau milikku, Alice. Hanya milik Luis Pietro ....”Otak Alice mendadak kosong sejak bibir panas Luis menyapu rakus bibir, dan seluruh rongga mulutnya. Gerakan lelaki ini seperti seorang pemangsa yang akhirnya menemukan sang buruan. Luis saat ini sangat liar dan berbahaya.Tengkuk Alice ditekan kuat, seakan tak mengizinkan wanita itu menghindar sedikit pun dari serangan Luis. “Lu-Luis ... cu-cukup.”Luis menggeram dengan kepala menggeleng. “Belum, belum cukup. Bahkan tak akan pernah cukup.”Kepala Alice benar-benar pening. Tubuhnya terus saja menggeliat oleh sentuhan-sentuhan lembut hingga kasar dari tangan besar Luis di permukaan kulit halus Alice, yang telah lepas dari segala jenis kain di tubuh.Akhirnya Alice menarik paksa bibirnya yang mengkilat karena pertukaran ludah panas mereka berdua.“Apa lagi?” protes Luis dengan sorot mata berkabut gairah. Ia ingin kembali menangkap bibir merah Alice, tetapi wanita itu justru memaling muka.“Alice, ayolah. Kau jangan menyiksaku se
“Devina sudah kembali? Sudah sejak kapan wanita itu di sini?” Hanya kalimat itu yang terus berputar-putar di pikiran Alice.Bahu kecil dinginnya bergetar seiring dengan ingatan tentang pesan dalam potongan surat di tangan Luis.“Kenapa Luis tidak mengatakan apa pun padaku?” lirih Alice masih begitu kecewa pada Luis.Mungkinkah apa yang ada di sepotong kertas itu hanya akting mereka berdua untuk menyakiti Alice lagi? Dan ... selama ini Luis sengaja menyembunyikan Devina?“Dasar bajingan!”“Harusnya aku tidak termakan ucapan manis pria itu! Dasar bodoh, bodoh! Dasar kamu bodoh, Alice! Aaagh!” sambung Alice mengumpati dirinya sendiri, karena merasa terlalu polos mempercayai begitu saja perkataan si Luis brengsek.Luis berulang kali mengatakan mencintai Alice. Sedangkan, dalam tiga tahun pernikahan mereka dulu, lelaki itu tak pernah sekali pun menatap Alice. Bagaimana bisa, hanya dalam perpisahan itu ... cinta tumbuh di hati Luis untuk Alice? Sungguh, bodoh!Dan seharusnya Alice sa
“Kamu harus selamat, Hugo. Harus. Tolong bertahanlah ....”Alice sejak tadi mondar-mandir di depan ruang gawat darurat. Ia menunggu dengan harap-harap cemas, menanti keluarnya petugas medis dari sana.Namun, sayangnya, hingga detik ini bola mata bergetar Alice tak juga menangkap siapa pun, selain angin kosong.“Ya Tuhan, kenapa Hugo harus datang? Harusnya pisau itu menusuk tubuhku, bukan tubuh Hugo ....”“Ini salahku. Salahku,” tambah Alice yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian penusukan Hugo.“Nyonya Alice, duduklah dulu. Sejak Tuan Hugo masuk ke ruang gawat darurat Anda sama sekali belum juga duduk.” Alice menoleh, pandangannya seketika terpaku pada sosok Frans. “Anda juga menolak untuk diperiksa.”Astaga, Alice benar-benar lupa jika di sini juga ada Frans.Frans-lah yang membantu Alice untuk membawa Hugo ke rumah sakit. Darah Hugo seperti air mengalir, sangat banyak dan membuat mual. Alice hampir saja jatuh pingsan jika Frans tak segera menggantikan posisi
“Aaaghh ... sialan, sialan!” Devina terus mengumpat setelah sampai di hotel. Tampilannya saat ini sangat berantakan.Kakinya pun terus menendang apa pun yang wanita itu lihat. Hingga beberapa barang mewah pemberian dari lelaki yang sempat berkencan dengan dirinya berserakan di lantai.Langkah Devina berhenti. Dadanya kembang kempis menahan gemuruh amarah.“Brengsek! Dasar anak sialan! Lihat saja, siapa yang akan menjadi mommy-mu. Aku atau ... Alice bodoh itu!”“.... Dan saat Luis memilihku, aku pasti akan mengajarimu sopan santun!” sambung Devina menggebu-gebu, dengan tangan mengepal kuat di depan tubuh. Wajah penuh riasannya pun itu telah dikuasai warna memerah padam, dengan kerutan menumpuk di bawah kantong mata.Tak berhenti di sana. Langkah tak seimbang Devina mulai kembali diayunkan menghampiri sebuah kaca penuh. Dia menatap seluruh tubuhnya di sana.Dan untuk kesekian kali, Devina berteriak kencang. Dia benar-benar tak terima rencana hari ini dipenuhi kegagalan. Bahkan jug
Kendaraan yang berjejer rapi di parkiran rumah sakit membuat senyum dua orang suruhan Hugo terulas lebar. Itu pertanda jika mereka berdua telah lolos dari berbagai macam ancaman membahayakan dari Luis Pietro.Lelaki pembunuh bayaran itu tersenyum miring, dengan kepala setengah menoleh ke belakang, menatap remeh pada bangunan rumah sakit yang dipenuhi lalu lalang para pengunjung dan petugas medis lain.“Semudah itu keluar dari pengawasan anak buah Luis Pietro. Bahkan dari Luis Pietro sendiri.”“Benar. Aku juga sudah membuang seragam palsu sanitasi kita tadi ke kamar mayat. Aku yakin, mereka tidak akan mengetahui jejak kita di sini.”“Memang siapa yang akan mau masuk ke kamar mayat? Hahaha!” sambung wanita itu tertawa jemawa penuh kemenangan.“Otakmu memang pintar. Ayo, cepat masuk ke mobil. Jangan sampai mereka benar-benar berhasil menangkap kita,” seru perintah lelaki itu yang terdengar jelas dan tampak tak sabar. Mengingat mereka masih berada di sekitar daerah pengawasan Luis Pi
Suara bersenang-senang dengan berbagai jenis canda tawa, tiba-tiba berubah menjadi sunyi senyap saat seseorang mendobrak pintu markas para pembunuh bayaran Hugo. Empat orang bertubuh kekar berdiri tegak di ambang pintu, menatap mereka dingin, salah satunya Frans yang juga tengah menyebar pandangan serius pada keadaan tempat remang itu.“Kalian siapa hah?!” bentak salah satu dari anggota pembunuh di sana, yang terlihat dalam pengaruh alkohol. Tubuhnya bergerak tak tenang, saat akan berdiri.“Bawa mereka masuk,” perintah Frans tanpa bantah, yang diangguki sang bawahan. Dan tak begitu lama, dokter dan suster gadungan tadi, tampak dipanggul salah satu anak buah Frans di atas bahu, lantas dijatuhkan begitu saja.“Bos!”“Ava!”Para anggota pembunuh bayaran itu seketika kompak berseru kaget, melihat keadaan mengenaskan dari dua orang yang begitu dikenal.“Bawakan juga hadiah dari Tuan Luis,” tambah Frans di sana. Dan lagi-lagi, anggukan patuh diberikan sang bawahan.Satu tangan sa