Kendaraan yang berjejer rapi di parkiran rumah sakit membuat senyum dua orang suruhan Hugo terulas lebar. Itu pertanda jika mereka berdua telah lolos dari berbagai macam ancaman membahayakan dari Luis Pietro.Lelaki pembunuh bayaran itu tersenyum miring, dengan kepala setengah menoleh ke belakang, menatap remeh pada bangunan rumah sakit yang dipenuhi lalu lalang para pengunjung dan petugas medis lain.“Semudah itu keluar dari pengawasan anak buah Luis Pietro. Bahkan dari Luis Pietro sendiri.”“Benar. Aku juga sudah membuang seragam palsu sanitasi kita tadi ke kamar mayat. Aku yakin, mereka tidak akan mengetahui jejak kita di sini.”“Memang siapa yang akan mau masuk ke kamar mayat? Hahaha!” sambung wanita itu tertawa jemawa penuh kemenangan.“Otakmu memang pintar. Ayo, cepat masuk ke mobil. Jangan sampai mereka benar-benar berhasil menangkap kita,” seru perintah lelaki itu yang terdengar jelas dan tampak tak sabar. Mengingat mereka masih berada di sekitar daerah pengawasan Luis Pi
Suara bersenang-senang dengan berbagai jenis canda tawa, tiba-tiba berubah menjadi sunyi senyap saat seseorang mendobrak pintu markas para pembunuh bayaran Hugo. Empat orang bertubuh kekar berdiri tegak di ambang pintu, menatap mereka dingin, salah satunya Frans yang juga tengah menyebar pandangan serius pada keadaan tempat remang itu.“Kalian siapa hah?!” bentak salah satu dari anggota pembunuh di sana, yang terlihat dalam pengaruh alkohol. Tubuhnya bergerak tak tenang, saat akan berdiri.“Bawa mereka masuk,” perintah Frans tanpa bantah, yang diangguki sang bawahan. Dan tak begitu lama, dokter dan suster gadungan tadi, tampak dipanggul salah satu anak buah Frans di atas bahu, lantas dijatuhkan begitu saja.“Bos!”“Ava!”Para anggota pembunuh bayaran itu seketika kompak berseru kaget, melihat keadaan mengenaskan dari dua orang yang begitu dikenal.“Bawakan juga hadiah dari Tuan Luis,” tambah Frans di sana. Dan lagi-lagi, anggukan patuh diberikan sang bawahan.Satu tangan sa
Tepat pukul delapan malam, Alice baru saja menyelesaikan makan malam bersama Gerald dan Rose.Meski malam ini sudah tak lagi asing tanpa kehadiran Luis di kursi makan utama, tetapi tetap saja mereka masih merasa aneh. Terutama Alice, walau dalam hati masih berkecamuk tentang informasi yang diberikan Hugo.Si tuan rumah justru lebih memilih mengundur waktu makan malam untuk kesekian kali, demi membuat Alice betah di istana megah ini.“Mau tambah lagi?” tanya Alice pada sang putra, dengan suapan terakhir baru saja ditelan.Gerald menggeleng menolak menggemaskan, sembari memajukan perutnya yang tampak sedikit membuncit. “Cukup, Mommy. Perut Gerald sudah jadi besar.”Alice terkekeh lantas mengangguk mengiyakan penolakan sang putra.“Baiklah, Jagoan.”“Alice, kamu tidak ingin mencari Tuan Luis? Maksudku, cobalah bawakan dia makan malam.” Rose mencoba membuka perbincangan, setelah mereka hanya berbicara basa-basi di sela-sela makan malam tadi.Alice baru selesai membereskan piring y
“Entah mengapa Tuan Luis seperti tak ingin keluar dari kolam renang, Nyonya.”“Kami jadi cemas, tapi Tuan Luis melarang semua pelayan mendekati kolam renang.”Alice semakin meninggikan buku yang sejak satu jam tadi dibaca tanpa hati. Entah ke mana perginya runtutan kalimat, yang begitu saja berlalu di dalam otaknya.Mungkin, jika orang lain melihat apa yang dilakukan Alice saat ini, mereka akan berpikir jikalau Alice memang sedang membaca buku dengan khidmat.Sayangnya, itu semua salah. Perkataan salah satu pelayan rumah Luis tadi cukup mengganggu hati dan pikiran Alice.Pintu terlihat terbuka, buru-buru Alice mengubah cara duduknya. Ia meluruskan punggung, lantas bersandar di sandaran ranjang yang diberi sebuah bantal. Dan dengan cepat, Alice kembali menutupi wajah cantiknya dengan buku. Berpura-pura kembali membaca.Suara deheman cukup kencang, membuat bola mata Alice terangkat naik, mengintip dari celah atas pinggiran buku.“Ekhem! Bukankah ini sudah waktunya tidur, kena
Tatapan mereka berdua menyatu begitu dekat. Kepala Alice mendongak, mencoba mengartikan sorot mata gelap Luis yang tengah menatap Alice begitu dalam.“Kenapa kau selalu berpikir buruk tentang aku?”“Apa itu juga perlu jawaban?” Alice semakin bingung mendengar suara serak Luis. Padahal Alice membutuhkan jawaban, bukan serangan balik seperti ini.“Katakan yang jelas kalau kamu memang tidak ingin aku tinggal di sini. Lagi pula kamu yang membawaku,” cicit Alice apa adanya.Kepala Luis semakin maju, membuat Alice reflek melangkah mundur menghindar. Namun, semakin Alice melangkah menjauh, langkah panjang Luis juga kian dekat. Hingga mereka berdua terperangkap di sisi dinding kolam renang.“Kau ingin pergi dari rumah ini?” Kembali suara lirih bariton Luis terdengar menyusup ke telinga Alice. Hawa panas dari napas Luis, menyentuh kulit wajah wanita itu, yang tanpa sadar membuat Alice menarik napas dalam hingga tulang selangkanya mengempis.“Kalau kau ingin pergi ... pergilah. Aku tida
“Hugo, bangun!”Suara berteriak kencang sarat akan emosi itu mampu membangunkan Hugo yang baru saja memejam sesaat. Namun, sedetik kemudian, mata lelaki itu melotot lebar, ketika melihat siapa pemilik suara melengking tersebut.“Hugo, ini aku!”“Sedang apa kau di sini? Cepat pulang!”“Apa kau sudah gila datang ke sini, hah?!” sembur marah Hugo, yang berusaha menekan suara memekiknya agar tak sampai keluar.Bukan menurut, Devina justru semakin melangkah maju mendekati brankar rawat Hugo, dengan si pasien terlihat berusaha bangun.“Kamu yang gila, kenapa menyuruh pembunuh bayaran itu menusukmu?”“Aku bilang pergi. Aku memberitahumu bukan untuk memintamu datang, Devina. Alice sedang ada di sini, jangan sampai dia melihatmu, Bodoh!”“Kamu memanggilku bodoh demi wanita itu? Jadi kamu melarangku datang karena ada Alice?” Kaca mata hitam diturunkan kasar, bola mata wanita itu bergerak dari ujung kaki hingga puncak kepala Hugo. “Kamu mau kembali ke New York?”“Lain kali pakai otakmu.
“Lagi-lagi terjadi, apa Tuan Luis tidak ingin berdamai dengan keadaan?”“Tidak kasihan dengan belalai tanpa belaian?”“Tutup mulutmu. Keadaan yang tidak mau berdamai denganku,” jawab acuh tak acuh Luis dengan wajah memaling tak minat memandang dokter keluarga Pietro, yang tengah mengomel.Kakek Levon yang biasanya ikut mengoceh, kali ini lelaki separuh baya itu lebih banyak diam dan menyimak. Dia terduduk tenang di sofa tunggal ditemani Ronald yang berdiri di sampingnya.“Tuan Besar tidak ingin memberitahu, Tuan Muda? Bukankah ini sudah saatnya?” bisik Ronald lirih.“Tunggu sebentar lagi, ... Aku takut keadaan menjadi lebih buruk.”“Baik, Tuan Besar.”“... Dokter, apa yang terjadi pada cucuku?” sambung Kakek Levon di sana, setelah menyelesaikan pembicaraan rahasia dengan Ronald, “apa aku perlu membawanya ke rumah sakit luar negeri?”“Tidak perlu, Tuan Besar. Tuan Luis masih sama seperti tahun-tahun lalu. Tuan Luis stres, dan hari ini adalah yang terburuktubuhnya terracuni ol
Gedung catatan sipil kota Berlin kembali menjadi saksi pengikatan cinta sepasang manusia yang duduk bersisian dengan senyum mengembang cerah di bibir.Kini Alice dan Luis tengah menjalani tahap pemotretan untuk pembuatan foto formal.“Luis, kamu tidak mungkin ingin membuat proses ini semakin lama bukan?” Alice bertanya dengan menekan barisan gigi rapinya, gemas sekali Alice pada apa yang tengah di lakukan sang calon suami saat ini.“Mana mungkin. Aku jelas ingin segera pulang, lalu membawamu ke kamar kita lagi.” Luis berkata sungguh-sungguh. Tak lupa memberi senyum tertampan yang dimiliki seorang Luis Pietro, meski bibirnya masih terlihat memutih pucat.“Kalau begitu, jadilah anak baik. Dan dengarkan apa yang dikatakan petugas foto itu, oke?”“Elus dulu kepalaku, baru aku setuju,” pinta manja Luis, yang sama sekali tak cocok dengan wajah dingin lelaki itu.“Hah, apa?” tanya terkejut Alice, setengah tak sadar.“Elus kepalaku, Sayang. Begini.” Tanpa ragu Luis menggapai tangan Ali