“Devina sudah kembali? Sudah sejak kapan wanita itu di sini?” Hanya kalimat itu yang terus berputar-putar di pikiran Alice.Bahu kecil dinginnya bergetar seiring dengan ingatan tentang pesan dalam potongan surat di tangan Luis.“Kenapa Luis tidak mengatakan apa pun padaku?” lirih Alice masih begitu kecewa pada Luis.Mungkinkah apa yang ada di sepotong kertas itu hanya akting mereka berdua untuk menyakiti Alice lagi? Dan ... selama ini Luis sengaja menyembunyikan Devina?“Dasar bajingan!”“Harusnya aku tidak termakan ucapan manis pria itu! Dasar bodoh, bodoh! Dasar kamu bodoh, Alice! Aaagh!” sambung Alice mengumpati dirinya sendiri, karena merasa terlalu polos mempercayai begitu saja perkataan si Luis brengsek.Luis berulang kali mengatakan mencintai Alice. Sedangkan, dalam tiga tahun pernikahan mereka dulu, lelaki itu tak pernah sekali pun menatap Alice. Bagaimana bisa, hanya dalam perpisahan itu ... cinta tumbuh di hati Luis untuk Alice? Sungguh, bodoh!Dan seharusnya Alice sa
“Kamu harus selamat, Hugo. Harus. Tolong bertahanlah ....”Alice sejak tadi mondar-mandir di depan ruang gawat darurat. Ia menunggu dengan harap-harap cemas, menanti keluarnya petugas medis dari sana.Namun, sayangnya, hingga detik ini bola mata bergetar Alice tak juga menangkap siapa pun, selain angin kosong.“Ya Tuhan, kenapa Hugo harus datang? Harusnya pisau itu menusuk tubuhku, bukan tubuh Hugo ....”“Ini salahku. Salahku,” tambah Alice yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian penusukan Hugo.“Nyonya Alice, duduklah dulu. Sejak Tuan Hugo masuk ke ruang gawat darurat Anda sama sekali belum juga duduk.” Alice menoleh, pandangannya seketika terpaku pada sosok Frans. “Anda juga menolak untuk diperiksa.”Astaga, Alice benar-benar lupa jika di sini juga ada Frans.Frans-lah yang membantu Alice untuk membawa Hugo ke rumah sakit. Darah Hugo seperti air mengalir, sangat banyak dan membuat mual. Alice hampir saja jatuh pingsan jika Frans tak segera menggantikan posisi
“Aaaghh ... sialan, sialan!” Devina terus mengumpat setelah sampai di hotel. Tampilannya saat ini sangat berantakan.Kakinya pun terus menendang apa pun yang wanita itu lihat. Hingga beberapa barang mewah pemberian dari lelaki yang sempat berkencan dengan dirinya berserakan di lantai.Langkah Devina berhenti. Dadanya kembang kempis menahan gemuruh amarah.“Brengsek! Dasar anak sialan! Lihat saja, siapa yang akan menjadi mommy-mu. Aku atau ... Alice bodoh itu!”“.... Dan saat Luis memilihku, aku pasti akan mengajarimu sopan santun!” sambung Devina menggebu-gebu, dengan tangan mengepal kuat di depan tubuh. Wajah penuh riasannya pun itu telah dikuasai warna memerah padam, dengan kerutan menumpuk di bawah kantong mata.Tak berhenti di sana. Langkah tak seimbang Devina mulai kembali diayunkan menghampiri sebuah kaca penuh. Dia menatap seluruh tubuhnya di sana.Dan untuk kesekian kali, Devina berteriak kencang. Dia benar-benar tak terima rencana hari ini dipenuhi kegagalan. Bahkan jug
Kendaraan yang berjejer rapi di parkiran rumah sakit membuat senyum dua orang suruhan Hugo terulas lebar. Itu pertanda jika mereka berdua telah lolos dari berbagai macam ancaman membahayakan dari Luis Pietro.Lelaki pembunuh bayaran itu tersenyum miring, dengan kepala setengah menoleh ke belakang, menatap remeh pada bangunan rumah sakit yang dipenuhi lalu lalang para pengunjung dan petugas medis lain.“Semudah itu keluar dari pengawasan anak buah Luis Pietro. Bahkan dari Luis Pietro sendiri.”“Benar. Aku juga sudah membuang seragam palsu sanitasi kita tadi ke kamar mayat. Aku yakin, mereka tidak akan mengetahui jejak kita di sini.”“Memang siapa yang akan mau masuk ke kamar mayat? Hahaha!” sambung wanita itu tertawa jemawa penuh kemenangan.“Otakmu memang pintar. Ayo, cepat masuk ke mobil. Jangan sampai mereka benar-benar berhasil menangkap kita,” seru perintah lelaki itu yang terdengar jelas dan tampak tak sabar. Mengingat mereka masih berada di sekitar daerah pengawasan Luis Pi
Suara bersenang-senang dengan berbagai jenis canda tawa, tiba-tiba berubah menjadi sunyi senyap saat seseorang mendobrak pintu markas para pembunuh bayaran Hugo. Empat orang bertubuh kekar berdiri tegak di ambang pintu, menatap mereka dingin, salah satunya Frans yang juga tengah menyebar pandangan serius pada keadaan tempat remang itu.“Kalian siapa hah?!” bentak salah satu dari anggota pembunuh di sana, yang terlihat dalam pengaruh alkohol. Tubuhnya bergerak tak tenang, saat akan berdiri.“Bawa mereka masuk,” perintah Frans tanpa bantah, yang diangguki sang bawahan. Dan tak begitu lama, dokter dan suster gadungan tadi, tampak dipanggul salah satu anak buah Frans di atas bahu, lantas dijatuhkan begitu saja.“Bos!”“Ava!”Para anggota pembunuh bayaran itu seketika kompak berseru kaget, melihat keadaan mengenaskan dari dua orang yang begitu dikenal.“Bawakan juga hadiah dari Tuan Luis,” tambah Frans di sana. Dan lagi-lagi, anggukan patuh diberikan sang bawahan.Satu tangan sa
Tepat pukul delapan malam, Alice baru saja menyelesaikan makan malam bersama Gerald dan Rose.Meski malam ini sudah tak lagi asing tanpa kehadiran Luis di kursi makan utama, tetapi tetap saja mereka masih merasa aneh. Terutama Alice, walau dalam hati masih berkecamuk tentang informasi yang diberikan Hugo.Si tuan rumah justru lebih memilih mengundur waktu makan malam untuk kesekian kali, demi membuat Alice betah di istana megah ini.“Mau tambah lagi?” tanya Alice pada sang putra, dengan suapan terakhir baru saja ditelan.Gerald menggeleng menolak menggemaskan, sembari memajukan perutnya yang tampak sedikit membuncit. “Cukup, Mommy. Perut Gerald sudah jadi besar.”Alice terkekeh lantas mengangguk mengiyakan penolakan sang putra.“Baiklah, Jagoan.”“Alice, kamu tidak ingin mencari Tuan Luis? Maksudku, cobalah bawakan dia makan malam.” Rose mencoba membuka perbincangan, setelah mereka hanya berbicara basa-basi di sela-sela makan malam tadi.Alice baru selesai membereskan piring y
“Entah mengapa Tuan Luis seperti tak ingin keluar dari kolam renang, Nyonya.”“Kami jadi cemas, tapi Tuan Luis melarang semua pelayan mendekati kolam renang.”Alice semakin meninggikan buku yang sejak satu jam tadi dibaca tanpa hati. Entah ke mana perginya runtutan kalimat, yang begitu saja berlalu di dalam otaknya.Mungkin, jika orang lain melihat apa yang dilakukan Alice saat ini, mereka akan berpikir jikalau Alice memang sedang membaca buku dengan khidmat.Sayangnya, itu semua salah. Perkataan salah satu pelayan rumah Luis tadi cukup mengganggu hati dan pikiran Alice.Pintu terlihat terbuka, buru-buru Alice mengubah cara duduknya. Ia meluruskan punggung, lantas bersandar di sandaran ranjang yang diberi sebuah bantal. Dan dengan cepat, Alice kembali menutupi wajah cantiknya dengan buku. Berpura-pura kembali membaca.Suara deheman cukup kencang, membuat bola mata Alice terangkat naik, mengintip dari celah atas pinggiran buku.“Ekhem! Bukankah ini sudah waktunya tidur, kena
Tatapan mereka berdua menyatu begitu dekat. Kepala Alice mendongak, mencoba mengartikan sorot mata gelap Luis yang tengah menatap Alice begitu dalam.“Kenapa kau selalu berpikir buruk tentang aku?”“Apa itu juga perlu jawaban?” Alice semakin bingung mendengar suara serak Luis. Padahal Alice membutuhkan jawaban, bukan serangan balik seperti ini.“Katakan yang jelas kalau kamu memang tidak ingin aku tinggal di sini. Lagi pula kamu yang membawaku,” cicit Alice apa adanya.Kepala Luis semakin maju, membuat Alice reflek melangkah mundur menghindar. Namun, semakin Alice melangkah menjauh, langkah panjang Luis juga kian dekat. Hingga mereka berdua terperangkap di sisi dinding kolam renang.“Kau ingin pergi dari rumah ini?” Kembali suara lirih bariton Luis terdengar menyusup ke telinga Alice. Hawa panas dari napas Luis, menyentuh kulit wajah wanita itu, yang tanpa sadar membuat Alice menarik napas dalam hingga tulang selangkanya mengempis.“Kalau kau ingin pergi ... pergilah. Aku tida