“Biarkan aku di sini. Jangan tarik aku lagi.” Duduk jongkok dengan wajah memerah basah ditenggelamkan di antara lutut, membuat Luis menghela napas. Keadaan Alice benar-benar membuat lelaki itu pusing, “kalian para pria memang tukang pembohong! Kalian pembual!”“Setidaknya aku tidak selicik temanmu itu. Jadi, mau ikut aku pulang atau tidak?”“Tidak butuh! Aku masih punya kaki, dan sahabatku satu-satunya, Rose. Dia akan terus bersamaku. Aku tidak butuh bantuanmu.”Luis membuang pandangan ke arah lain, lantas menarik kasar kedua tangan dari dalam saku celana panjangnya. Jawaban Alice sudah cukup mengukur kesabaran Luis yang tak lebih tebal dari tisu basah terbelah tiga.“Baiklah. Selamat mencari tempat tinggal baru.”Beberapa detik berlalu, jawaban Luis masih menyusup ke telinga Alice, membuat wanita itu terdiam dengan tetap mempertahankan tangis sesenggukannya.Namun, hal itu tak bertahan lama sampai suara pintu mobil dibanting kasar serta deruman mesin mobil menyala membuat kelop
“Tuan Besar sudah tiba!” Seruan itu membuat semua orang yang ada di ruang tengah tersentak pelan. Seketika kesadaran mereka naik penuh.“Sudah mengantuk seperti ini, kenapa masih tidak mau tidur?” bisik Alice pada sang putra yang mendusel di antara kaki yang terduduk di sofa, “tidur, ya?”Gerald tetap menggeleng dengan beberapa kali menguap lebar, membuat Alice mengembuskan napas panjang sembari menyeka bulir bening di sudut mata sang putra.“Tidak mau Mommy. Gerald tidak mau tidur.”“... Mommy tidak akan pergi lagi kan? Nanti kalau Gerald tutup mata, Gerald takut Mommy pergi.”“Tenang saja. Mommy tidak akan pergi lagi, Gerald.” Puncak kepala bocah laki-laki itu dielus Luis, “kau senang sekarang?”Kepala Gerald mengangguk cepat. “Iya. Senang sekali, Dad. Terima kasih, Mommy.”Dahi Alice berkerut menoleh ke arah Luis yang masih tak memandang wanita itu.“Apa maksud pria itu? Kenapa dia memberi janji pada Gerald seperti itu?” dengkus Alice dalam hati.Suara ketukan tongkat me
Keadaan menjadi sangat buruk dan tak pernah terpikirkan jika orang yang telah dipercaya berpuluh-puluh tahun akan diam-diam menyimpan belati di balik genggaman.Hugo, lelaki baik yang seharusnya menjaga Alice. Namun, sayangnya, rasa cinta lelaki itu seketika berubah menjadi mata pisau yang menikam sadis.“Andai ini mimpi ... aku akan percaya dan tak akan sesedih ini. Hugo, saat kamu kembali, hubungan pertemanan kita sudah hilang.”***Sinar matahari hangat mengintip dari celah rumbai korden. Sepasang tangan Alice ditarik ke atas, dengan tubuh menggeliat nyaman di atas tempat tidur.Ia berbalik miring. Tangan kanannya jatuh di sisi tempat tidur yang kosong. Eh, kok kosong?Jemari lentik Alice kembali bergerak meraba-raba dengan mata masih memejam.Kerutan di dahi semakin menebal, saat jemarinya tetap menangkap angin kosong.“Eumhh ... Gerald, di mana kamu?” “Apa kamu pergi ke kamar mandi? Kenapa tidak memanggil Mommy?” Suara parau khas bangun tidur di pagi hari menguar di rua
Berbeda dengan apa yang terjadi di luar rumah sakit dua puluh menit lalu. Tiba-tiba saja Gerald menangis kencang memberontak ketika mereka telah tiba di depan ruang bedah.“Tidak mau! Gerald tidak mau masuk ke ruangan itu!”“Gerald, tidak mau disuntik lagi. Tidak mauuu!”Luis mendekap erat tubuh mungil sang putra yang bergetar. Ia terus-menerus mengusap lembut kepala belakang, lantas berdesis pelan di depan telinga kecil bocah laki-laki itu guna menenangkan.Begitu pun Alice yang mendadak ikut panik. Kecemasan dan ketakutan seketika menghujam relung hati terdalamnya sebagai seorang ibu.Ia tahu apa yang ditakutkan sang putra. Alice mengubah pandangan nanarnya ke arah pintu ruangan yang berada di depan mereka.Entah sudah ke berapa kali sang putra menatap pintu ruangan itu.“Tidak ada yang akan menyuntik Jagoan Daddy. Kita datang hanya untuk bermain, dan mendapatkan hadiah.”“Da-Daddy bohong. Semua orang dewasa suka berbohong!” jerit Gerald kian memberontak dalam gendongan, mem
Mentari pagi masih bertengger dengan anggun, tetapi sebuah ruangan sudah dipenuhi oleh desah dan erangan yang menghasilkan aliran deras keringat, membasahi dua tubuh manusia yang saling tindih menindih.“Hu-Hugo eumhh ....”“Apa kamu masih dendam pada Luis, karena dia sudah membunuh calon anak kita?” Devina mengulurkan tangan menyentuh rahang tegas basah Hugo yang sedikit terbuka.Tubuh indah Devina menggeliat, erangan dahsyat kembali melengking saat jemari kokoh Hugo meraup kasar dadanya yang bergoyang indah. Lelaki itu meremas kasar, lantas melahap sangat rakus.“Hugo! Aaaah!”“Aku sangat membenci pria itu, tapi aku juga tidak punya pilihan. Luis pikir, anak yang aku kandung adalah anaknya,jadi dia membuatku keguguran. Dan dia, malah memberiku uang. Brengsek!” umpat Devina dengan rahang menegang. Sorot mata Devina memancarkan binar kebencian ketika mengingat, bagaimana wajah iblis Luis sama sekali tak berdosa saat membunuh benih cinta Devina dan Hugo.Kala itu, Luis memeri
Kelopak mata yang sempat terpejam dengan bayangan menggelap, perlahan menjadi terang saat Luis membuka mata seiring dengan guncangan pada bahunya. Senyum kecil menghiasi bibir Luis. Terlihat seseorang telah terduduk di sisi brankar rawat lelaki itu.“Alice? Kau di sini?”Di detik itu juga garis lengkung sabit yang sempat melebar menghiasi bibir merah bata Luis, seketika menyusut menjadi seutas garis lurus saat merasakan tusukan benda tumpul di sebelah rahangnya.“Alice, Alice ... buka matamu yang lebar, dan lihat siapa aku.”“Seperti ini?” Kelopak mata Luis benar-benar dibuka selebar yang dia bisa, tetapi sosok itu masih tetap Alice di mata Luis. Sepertinya efek obat bius masih membuat Luis setengah tersadar.Tak jauh dari tempat itu, Frans dan Ronaldo dengan kompak menundukkan kepala sembari mengulum tawa, yang hampir saja pecah.“Kurang lebar!”“Lebih lebarkan lagi.”“Ini sudah lebar! Kurang lebar apa lagi? Kau jangan buat aku emosi.” Sudut bibir Luis berkedut kesal. Hampi
Berhari-hari kehidupan Alice hanya keluar masuk rumah Luis dan kembali lagi ke rumah sakit. Kini Alice tak hanya memiliki satu bayi, melainkan dua.Lelaki yang dulu menginjak-nginjak harga diri Alice, kini berubah menjadi anak kucing yang seakan tak bisa lepas dari induknya.“Aku keringatan, Alice.”“Keringatan? Kau punya tangan kan?” Mendengar balasan ketus Alice, bibir tebal Luis terangkat kesal. Padahal ia hanya ingin Alice lebih dekat dengan Luis.“Bukan itu maksudku. Aku ingin,–”“Tanganmu tidak terluka sama sekali, Luis. Lagi pula nanti sore kita sudah bisa pulang.”“Ada tisu basah di atas meja. Kamu bisa gunakan itu,” imbuh Alice dengan suara tenang tanpa menoleh ke arah sang mantan suami yang sudah memukul-mukul udara kosong.Alice memang sangat-sangatt tidak pekaaa!“Pfttt!”“Apa?! Kau sedang menertawakan apa? Kusumpal juga mulutmu.” sambung sengit Luis pada sang sahabat, yang baru saja terduduk sepuluh menit lalu.Luis tak sadar jika ada tamu tak diundang di ruang
Alice meringis mendengar pertanyaan sang putra. Apalagi saat mata bulat jernih Aline berkaca-kaca, seakan benar-benar menaruh harapan besar pada Alice untuk menjadi sosok ibunya.Memang di mana ibu dari gadis kecil ini?Tubuh diturunkan, hingga setinggi tubuh mungil Aline.“Gadis Cantik, namamu sangat cantik sekali. Pasti mommy-m,–”“Tante mau, ya?” sela Aline penuh harap dengan bibir mengerucut naik, saat rahang kecilnya dibingkai telapak tangan lembut Alice, “Tante mau kan jadi Mommy aku?”Ketika bibir Alice hendak ingin bergerak terbuka, suara tak asing seketika menyelamatkan Alice untuk tak menjawab pertanyaan gadis kecil itu.“Aline!”Gadis cantik itu menoleh ke belakang, “Daddy?”“Ya Tuhan, Daddy mencarimu ke mana-mana, Sayang!” Tubuh jangkung berbalut jas putih itu bergegas turun, lantas menjangkau tubuh mungil sang putri dalam dekapan, “lain kali jangan keluar dari ruangan Daddy, tanpa seizin dari suster kalau Daddy belum kembali. Kau mengerti?”“Aline hanya pergi ke