“Paman Frans, apa Daddy dan Mommy sedang bertengkar?”Frans dan sang tuan muda kecil sama-sama saling membungkuk bersembunyi di sisi tembok jalan lorong, tampak memperhatikan gerakan bibir di antara mantan suami istri di sana.“Bertengkar? Haha, ti-tidak mungkin, Tuan Muda Kecil. Tidak mungkin.” Frans dengan wajah panas dingin menjawab bohong, disertai derai tawa terpaksa.“Daddy dan mommy Tuan Muda Kecil hanya sedang membicarakan pekerjaan. A-yo, kita kembali saja, Tuan Muda. Saya ... kan yang bilang mau ke toilet. Kebelet. Kenapa, Tuan Gerald juga ikut keluar?”Frans sudah menipiskan jarak antara kedua belah pahanya. Dengan sepasang telapak tangan di tekan di kantung kemih. Bibir lelaki itu pun tak henti-hentinya komat-kamit, agar tak mengompol di sini.“Sebentar, Paman. Sebentar. Gerald masih belum dengar.”“A—ayoo kembali, Tuan Muda. Bisa bahaya kalau daddy tuan muda tahu kita di sini sedang mengintip.”Wajah memerah Frans mulai terangkat, dengan bahu bergetar dan seketika
Berhari-hari berlalu begitu cepat. Pekerjaan kian menumpuk di bahu Alice seorang diri. Dan ia terpaksa hanya berhubungan dengan sang putra lewat panggilan video.Begitu pun dengan malam ini. Alice saat ini tengah mengangkat panggilan telepon dari Hugo, dengan ponsel yang diapit di salah satu bahu. Dan jemari lentik wanita itu tengah sibuk mencoret-coret serius pada sebuah desain gambar robot.“Aku sepertinya akan pulang lebih malam lagi, Hugo. Kamu dan Rose tak perlu menungguku ikut makan malam. Kamu jangan lupa minum obat.” Alice menghela napas lelah, saat ekor matanya menangkap beberapa layar komputer yang menyala.“Kau tahu, aku sudah sangat merindukan pekerjaan.”Hugo yang sudah pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu, kini tampak bersandar di sandaran tempat tidur. Dia mengangguk kecil mendengar suara Alice di seberang sana.Namun, tiba-tiba tubuhnya terlonjak kaget saat mendengar pintu kamarnya yang dibuka kasar. Dan seketika membuat ekspresi tenang lelaki itu berubah
“Biarkan aku di sini. Jangan tarik aku lagi.” Duduk jongkok dengan wajah memerah basah ditenggelamkan di antara lutut, membuat Luis menghela napas. Keadaan Alice benar-benar membuat lelaki itu pusing, “kalian para pria memang tukang pembohong! Kalian pembual!”“Setidaknya aku tidak selicik temanmu itu. Jadi, mau ikut aku pulang atau tidak?”“Tidak butuh! Aku masih punya kaki, dan sahabatku satu-satunya, Rose. Dia akan terus bersamaku. Aku tidak butuh bantuanmu.”Luis membuang pandangan ke arah lain, lantas menarik kasar kedua tangan dari dalam saku celana panjangnya. Jawaban Alice sudah cukup mengukur kesabaran Luis yang tak lebih tebal dari tisu basah terbelah tiga.“Baiklah. Selamat mencari tempat tinggal baru.”Beberapa detik berlalu, jawaban Luis masih menyusup ke telinga Alice, membuat wanita itu terdiam dengan tetap mempertahankan tangis sesenggukannya.Namun, hal itu tak bertahan lama sampai suara pintu mobil dibanting kasar serta deruman mesin mobil menyala membuat kelop
“Tuan Besar sudah tiba!” Seruan itu membuat semua orang yang ada di ruang tengah tersentak pelan. Seketika kesadaran mereka naik penuh.“Sudah mengantuk seperti ini, kenapa masih tidak mau tidur?” bisik Alice pada sang putra yang mendusel di antara kaki yang terduduk di sofa, “tidur, ya?”Gerald tetap menggeleng dengan beberapa kali menguap lebar, membuat Alice mengembuskan napas panjang sembari menyeka bulir bening di sudut mata sang putra.“Tidak mau Mommy. Gerald tidak mau tidur.”“... Mommy tidak akan pergi lagi kan? Nanti kalau Gerald tutup mata, Gerald takut Mommy pergi.”“Tenang saja. Mommy tidak akan pergi lagi, Gerald.” Puncak kepala bocah laki-laki itu dielus Luis, “kau senang sekarang?”Kepala Gerald mengangguk cepat. “Iya. Senang sekali, Dad. Terima kasih, Mommy.”Dahi Alice berkerut menoleh ke arah Luis yang masih tak memandang wanita itu.“Apa maksud pria itu? Kenapa dia memberi janji pada Gerald seperti itu?” dengkus Alice dalam hati.Suara ketukan tongkat me
Keadaan menjadi sangat buruk dan tak pernah terpikirkan jika orang yang telah dipercaya berpuluh-puluh tahun akan diam-diam menyimpan belati di balik genggaman.Hugo, lelaki baik yang seharusnya menjaga Alice. Namun, sayangnya, rasa cinta lelaki itu seketika berubah menjadi mata pisau yang menikam sadis.“Andai ini mimpi ... aku akan percaya dan tak akan sesedih ini. Hugo, saat kamu kembali, hubungan pertemanan kita sudah hilang.”***Sinar matahari hangat mengintip dari celah rumbai korden. Sepasang tangan Alice ditarik ke atas, dengan tubuh menggeliat nyaman di atas tempat tidur.Ia berbalik miring. Tangan kanannya jatuh di sisi tempat tidur yang kosong. Eh, kok kosong?Jemari lentik Alice kembali bergerak meraba-raba dengan mata masih memejam.Kerutan di dahi semakin menebal, saat jemarinya tetap menangkap angin kosong.“Eumhh ... Gerald, di mana kamu?” “Apa kamu pergi ke kamar mandi? Kenapa tidak memanggil Mommy?” Suara parau khas bangun tidur di pagi hari menguar di rua
Berbeda dengan apa yang terjadi di luar rumah sakit dua puluh menit lalu. Tiba-tiba saja Gerald menangis kencang memberontak ketika mereka telah tiba di depan ruang bedah.“Tidak mau! Gerald tidak mau masuk ke ruangan itu!”“Gerald, tidak mau disuntik lagi. Tidak mauuu!”Luis mendekap erat tubuh mungil sang putra yang bergetar. Ia terus-menerus mengusap lembut kepala belakang, lantas berdesis pelan di depan telinga kecil bocah laki-laki itu guna menenangkan.Begitu pun Alice yang mendadak ikut panik. Kecemasan dan ketakutan seketika menghujam relung hati terdalamnya sebagai seorang ibu.Ia tahu apa yang ditakutkan sang putra. Alice mengubah pandangan nanarnya ke arah pintu ruangan yang berada di depan mereka.Entah sudah ke berapa kali sang putra menatap pintu ruangan itu.“Tidak ada yang akan menyuntik Jagoan Daddy. Kita datang hanya untuk bermain, dan mendapatkan hadiah.”“Da-Daddy bohong. Semua orang dewasa suka berbohong!” jerit Gerald kian memberontak dalam gendongan, mem
Mentari pagi masih bertengger dengan anggun, tetapi sebuah ruangan sudah dipenuhi oleh desah dan erangan yang menghasilkan aliran deras keringat, membasahi dua tubuh manusia yang saling tindih menindih.“Hu-Hugo eumhh ....”“Apa kamu masih dendam pada Luis, karena dia sudah membunuh calon anak kita?” Devina mengulurkan tangan menyentuh rahang tegas basah Hugo yang sedikit terbuka.Tubuh indah Devina menggeliat, erangan dahsyat kembali melengking saat jemari kokoh Hugo meraup kasar dadanya yang bergoyang indah. Lelaki itu meremas kasar, lantas melahap sangat rakus.“Hugo! Aaaah!”“Aku sangat membenci pria itu, tapi aku juga tidak punya pilihan. Luis pikir, anak yang aku kandung adalah anaknya,jadi dia membuatku keguguran. Dan dia, malah memberiku uang. Brengsek!” umpat Devina dengan rahang menegang. Sorot mata Devina memancarkan binar kebencian ketika mengingat, bagaimana wajah iblis Luis sama sekali tak berdosa saat membunuh benih cinta Devina dan Hugo.Kala itu, Luis memeri
Kelopak mata yang sempat terpejam dengan bayangan menggelap, perlahan menjadi terang saat Luis membuka mata seiring dengan guncangan pada bahunya. Senyum kecil menghiasi bibir Luis. Terlihat seseorang telah terduduk di sisi brankar rawat lelaki itu.“Alice? Kau di sini?”Di detik itu juga garis lengkung sabit yang sempat melebar menghiasi bibir merah bata Luis, seketika menyusut menjadi seutas garis lurus saat merasakan tusukan benda tumpul di sebelah rahangnya.“Alice, Alice ... buka matamu yang lebar, dan lihat siapa aku.”“Seperti ini?” Kelopak mata Luis benar-benar dibuka selebar yang dia bisa, tetapi sosok itu masih tetap Alice di mata Luis. Sepertinya efek obat bius masih membuat Luis setengah tersadar.Tak jauh dari tempat itu, Frans dan Ronaldo dengan kompak menundukkan kepala sembari mengulum tawa, yang hampir saja pecah.“Kurang lebar!”“Lebih lebarkan lagi.”“Ini sudah lebar! Kurang lebar apa lagi? Kau jangan buat aku emosi.” Sudut bibir Luis berkedut kesal. Hampi