Kelopak mata yang sempat terpejam dengan bayangan menggelap, perlahan menjadi terang saat Luis membuka mata seiring dengan guncangan pada bahunya. Senyum kecil menghiasi bibir Luis. Terlihat seseorang telah terduduk di sisi brankar rawat lelaki itu.“Alice? Kau di sini?”Di detik itu juga garis lengkung sabit yang sempat melebar menghiasi bibir merah bata Luis, seketika menyusut menjadi seutas garis lurus saat merasakan tusukan benda tumpul di sebelah rahangnya.“Alice, Alice ... buka matamu yang lebar, dan lihat siapa aku.”“Seperti ini?” Kelopak mata Luis benar-benar dibuka selebar yang dia bisa, tetapi sosok itu masih tetap Alice di mata Luis. Sepertinya efek obat bius masih membuat Luis setengah tersadar.Tak jauh dari tempat itu, Frans dan Ronaldo dengan kompak menundukkan kepala sembari mengulum tawa, yang hampir saja pecah.“Kurang lebar!”“Lebih lebarkan lagi.”“Ini sudah lebar! Kurang lebar apa lagi? Kau jangan buat aku emosi.” Sudut bibir Luis berkedut kesal. Hampi
Berhari-hari kehidupan Alice hanya keluar masuk rumah Luis dan kembali lagi ke rumah sakit. Kini Alice tak hanya memiliki satu bayi, melainkan dua.Lelaki yang dulu menginjak-nginjak harga diri Alice, kini berubah menjadi anak kucing yang seakan tak bisa lepas dari induknya.“Aku keringatan, Alice.”“Keringatan? Kau punya tangan kan?” Mendengar balasan ketus Alice, bibir tebal Luis terangkat kesal. Padahal ia hanya ingin Alice lebih dekat dengan Luis.“Bukan itu maksudku. Aku ingin,–”“Tanganmu tidak terluka sama sekali, Luis. Lagi pula nanti sore kita sudah bisa pulang.”“Ada tisu basah di atas meja. Kamu bisa gunakan itu,” imbuh Alice dengan suara tenang tanpa menoleh ke arah sang mantan suami yang sudah memukul-mukul udara kosong.Alice memang sangat-sangatt tidak pekaaa!“Pfttt!”“Apa?! Kau sedang menertawakan apa? Kusumpal juga mulutmu.” sambung sengit Luis pada sang sahabat, yang baru saja terduduk sepuluh menit lalu.Luis tak sadar jika ada tamu tak diundang di ruang
Alice meringis mendengar pertanyaan sang putra. Apalagi saat mata bulat jernih Aline berkaca-kaca, seakan benar-benar menaruh harapan besar pada Alice untuk menjadi sosok ibunya.Memang di mana ibu dari gadis kecil ini?Tubuh diturunkan, hingga setinggi tubuh mungil Aline.“Gadis Cantik, namamu sangat cantik sekali. Pasti mommy-m,–”“Tante mau, ya?” sela Aline penuh harap dengan bibir mengerucut naik, saat rahang kecilnya dibingkai telapak tangan lembut Alice, “Tante mau kan jadi Mommy aku?”Ketika bibir Alice hendak ingin bergerak terbuka, suara tak asing seketika menyelamatkan Alice untuk tak menjawab pertanyaan gadis kecil itu.“Aline!”Gadis cantik itu menoleh ke belakang, “Daddy?”“Ya Tuhan, Daddy mencarimu ke mana-mana, Sayang!” Tubuh jangkung berbalut jas putih itu bergegas turun, lantas menjangkau tubuh mungil sang putri dalam dekapan, “lain kali jangan keluar dari ruangan Daddy, tanpa seizin dari suster kalau Daddy belum kembali. Kau mengerti?”“Aline hanya pergi ke
“Kau pikir bisa pergi dariku begitu saja?” “Alice kau milikku. Hanya milikku. Setiap malam aku hanya bisa menghirup aroma menggairahkan dari tubuhmu. Setiap inci tubuhmu, selalu membuatku gila.”Hugo menyeringai di depan layar komputer. Jemarinya terus mengetik kalimat demi kalimat kebencian di atas foto cantik Alice yang tengah tersenyum.Berbagai balasan di situs web online ilegal itu memantul di pantulan mata berkabut gairah kepemilikan Hugo pada sosok Alice, dalam bayangan.“Dulu aku memanfaatkan mereka agar kau bisa berlindung padaku. Tapi, sekarang, kau akan benar-benar mati Alice ... kecuali, kau jadi milikku.”Sebuah kalimat yang baru saja selesai diketik di atas foto Alice, tak segan dikirim dengan desis lirih berat.Menanti-nanti, apa balasan dari sekumpulan akun ‘unknown’, yang menyimpan kebencian di kehidupan mereka.‘Aku ingin memberitahu kalian, kalau saat ini aku sedang hancur. Wanita ini membuat hidupku menggila. Dia menghancurkan hidupku, dan perusahaanku. Sia
Jemari Alice terketuk-ketuk di sisi samping kosong kayu bangku yang diduduki. Otaknya sedang tak baik-baik saja. Ia memikirkan keselamatan Gerald, meski banyak anak buah Pietro berjaga.Satu jam lalu, Alice mendapat telepon jika sekolah pertama Gerald di negara ini telah dirusak.Pihak sekolah mengirim bukti, dan beberapa kalimat ancaman yang ditulis di dinding sekolah untuk Alice dan Gerald. Pihak sekolah meminta ganti rugi untuk bangunan sekolah yang rusak, dan beberapa murid taman kanak-kanak yang ketakutan.Untuk menghindari kecurigaan keluarga Pietro, Alice hanya bisa meminta Rose yang pergi dan menangani semuanya.“Semua ini di luar dugaanku. Kenapa mereka bisa tahu aku ada di negara ini?”“... sebenarnya apa salahku? Kenapa mereka begitu membenci aku dan Gerald?” tambahnya dengan nada serak dalam.Tak terasa sudah begitu lama ia termenung di kursi taman seorang diri, sebuah tepukan lembut di bahunya membuat wanita itu menegakkan punggung.“Alice! Kamu tidak masuk? Ini
“Kau milikku, Alice. Hanya milik Luis Pietro ....”Otak Alice mendadak kosong sejak bibir panas Luis menyapu rakus bibir, dan seluruh rongga mulutnya. Gerakan lelaki ini seperti seorang pemangsa yang akhirnya menemukan sang buruan. Luis saat ini sangat liar dan berbahaya.Tengkuk Alice ditekan kuat, seakan tak mengizinkan wanita itu menghindar sedikit pun dari serangan Luis. “Lu-Luis ... cu-cukup.”Luis menggeram dengan kepala menggeleng. “Belum, belum cukup. Bahkan tak akan pernah cukup.”Kepala Alice benar-benar pening. Tubuhnya terus saja menggeliat oleh sentuhan-sentuhan lembut hingga kasar dari tangan besar Luis di permukaan kulit halus Alice, yang telah lepas dari segala jenis kain di tubuh.Akhirnya Alice menarik paksa bibirnya yang mengkilat karena pertukaran ludah panas mereka berdua.“Apa lagi?” protes Luis dengan sorot mata berkabut gairah. Ia ingin kembali menangkap bibir merah Alice, tetapi wanita itu justru memaling muka.“Alice, ayolah. Kau jangan menyiksaku se
“Devina sudah kembali? Sudah sejak kapan wanita itu di sini?” Hanya kalimat itu yang terus berputar-putar di pikiran Alice.Bahu kecil dinginnya bergetar seiring dengan ingatan tentang pesan dalam potongan surat di tangan Luis.“Kenapa Luis tidak mengatakan apa pun padaku?” lirih Alice masih begitu kecewa pada Luis.Mungkinkah apa yang ada di sepotong kertas itu hanya akting mereka berdua untuk menyakiti Alice lagi? Dan ... selama ini Luis sengaja menyembunyikan Devina?“Dasar bajingan!”“Harusnya aku tidak termakan ucapan manis pria itu! Dasar bodoh, bodoh! Dasar kamu bodoh, Alice! Aaagh!” sambung Alice mengumpati dirinya sendiri, karena merasa terlalu polos mempercayai begitu saja perkataan si Luis brengsek.Luis berulang kali mengatakan mencintai Alice. Sedangkan, dalam tiga tahun pernikahan mereka dulu, lelaki itu tak pernah sekali pun menatap Alice. Bagaimana bisa, hanya dalam perpisahan itu ... cinta tumbuh di hati Luis untuk Alice? Sungguh, bodoh!Dan seharusnya Alice sa
“Kamu harus selamat, Hugo. Harus. Tolong bertahanlah ....”Alice sejak tadi mondar-mandir di depan ruang gawat darurat. Ia menunggu dengan harap-harap cemas, menanti keluarnya petugas medis dari sana.Namun, sayangnya, hingga detik ini bola mata bergetar Alice tak juga menangkap siapa pun, selain angin kosong.“Ya Tuhan, kenapa Hugo harus datang? Harusnya pisau itu menusuk tubuhku, bukan tubuh Hugo ....”“Ini salahku. Salahku,” tambah Alice yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian penusukan Hugo.“Nyonya Alice, duduklah dulu. Sejak Tuan Hugo masuk ke ruang gawat darurat Anda sama sekali belum juga duduk.” Alice menoleh, pandangannya seketika terpaku pada sosok Frans. “Anda juga menolak untuk diperiksa.”Astaga, Alice benar-benar lupa jika di sini juga ada Frans.Frans-lah yang membantu Alice untuk membawa Hugo ke rumah sakit. Darah Hugo seperti air mengalir, sangat banyak dan membuat mual. Alice hampir saja jatuh pingsan jika Frans tak segera menggantikan posisi