Berbeda dengan apa yang terjadi di luar rumah sakit dua puluh menit lalu. Tiba-tiba saja Gerald menangis kencang memberontak ketika mereka telah tiba di depan ruang bedah.“Tidak mau! Gerald tidak mau masuk ke ruangan itu!”“Gerald, tidak mau disuntik lagi. Tidak mauuu!”Luis mendekap erat tubuh mungil sang putra yang bergetar. Ia terus-menerus mengusap lembut kepala belakang, lantas berdesis pelan di depan telinga kecil bocah laki-laki itu guna menenangkan.Begitu pun Alice yang mendadak ikut panik. Kecemasan dan ketakutan seketika menghujam relung hati terdalamnya sebagai seorang ibu.Ia tahu apa yang ditakutkan sang putra. Alice mengubah pandangan nanarnya ke arah pintu ruangan yang berada di depan mereka.Entah sudah ke berapa kali sang putra menatap pintu ruangan itu.“Tidak ada yang akan menyuntik Jagoan Daddy. Kita datang hanya untuk bermain, dan mendapatkan hadiah.”“Da-Daddy bohong. Semua orang dewasa suka berbohong!” jerit Gerald kian memberontak dalam gendongan, mem
Mentari pagi masih bertengger dengan anggun, tetapi sebuah ruangan sudah dipenuhi oleh desah dan erangan yang menghasilkan aliran deras keringat, membasahi dua tubuh manusia yang saling tindih menindih.“Hu-Hugo eumhh ....”“Apa kamu masih dendam pada Luis, karena dia sudah membunuh calon anak kita?” Devina mengulurkan tangan menyentuh rahang tegas basah Hugo yang sedikit terbuka.Tubuh indah Devina menggeliat, erangan dahsyat kembali melengking saat jemari kokoh Hugo meraup kasar dadanya yang bergoyang indah. Lelaki itu meremas kasar, lantas melahap sangat rakus.“Hugo! Aaaah!”“Aku sangat membenci pria itu, tapi aku juga tidak punya pilihan. Luis pikir, anak yang aku kandung adalah anaknya,jadi dia membuatku keguguran. Dan dia, malah memberiku uang. Brengsek!” umpat Devina dengan rahang menegang. Sorot mata Devina memancarkan binar kebencian ketika mengingat, bagaimana wajah iblis Luis sama sekali tak berdosa saat membunuh benih cinta Devina dan Hugo.Kala itu, Luis memeri
Kelopak mata yang sempat terpejam dengan bayangan menggelap, perlahan menjadi terang saat Luis membuka mata seiring dengan guncangan pada bahunya. Senyum kecil menghiasi bibir Luis. Terlihat seseorang telah terduduk di sisi brankar rawat lelaki itu.“Alice? Kau di sini?”Di detik itu juga garis lengkung sabit yang sempat melebar menghiasi bibir merah bata Luis, seketika menyusut menjadi seutas garis lurus saat merasakan tusukan benda tumpul di sebelah rahangnya.“Alice, Alice ... buka matamu yang lebar, dan lihat siapa aku.”“Seperti ini?” Kelopak mata Luis benar-benar dibuka selebar yang dia bisa, tetapi sosok itu masih tetap Alice di mata Luis. Sepertinya efek obat bius masih membuat Luis setengah tersadar.Tak jauh dari tempat itu, Frans dan Ronaldo dengan kompak menundukkan kepala sembari mengulum tawa, yang hampir saja pecah.“Kurang lebar!”“Lebih lebarkan lagi.”“Ini sudah lebar! Kurang lebar apa lagi? Kau jangan buat aku emosi.” Sudut bibir Luis berkedut kesal. Hampi
Berhari-hari kehidupan Alice hanya keluar masuk rumah Luis dan kembali lagi ke rumah sakit. Kini Alice tak hanya memiliki satu bayi, melainkan dua.Lelaki yang dulu menginjak-nginjak harga diri Alice, kini berubah menjadi anak kucing yang seakan tak bisa lepas dari induknya.“Aku keringatan, Alice.”“Keringatan? Kau punya tangan kan?” Mendengar balasan ketus Alice, bibir tebal Luis terangkat kesal. Padahal ia hanya ingin Alice lebih dekat dengan Luis.“Bukan itu maksudku. Aku ingin,–”“Tanganmu tidak terluka sama sekali, Luis. Lagi pula nanti sore kita sudah bisa pulang.”“Ada tisu basah di atas meja. Kamu bisa gunakan itu,” imbuh Alice dengan suara tenang tanpa menoleh ke arah sang mantan suami yang sudah memukul-mukul udara kosong.Alice memang sangat-sangatt tidak pekaaa!“Pfttt!”“Apa?! Kau sedang menertawakan apa? Kusumpal juga mulutmu.” sambung sengit Luis pada sang sahabat, yang baru saja terduduk sepuluh menit lalu.Luis tak sadar jika ada tamu tak diundang di ruang
Alice meringis mendengar pertanyaan sang putra. Apalagi saat mata bulat jernih Aline berkaca-kaca, seakan benar-benar menaruh harapan besar pada Alice untuk menjadi sosok ibunya.Memang di mana ibu dari gadis kecil ini?Tubuh diturunkan, hingga setinggi tubuh mungil Aline.“Gadis Cantik, namamu sangat cantik sekali. Pasti mommy-m,–”“Tante mau, ya?” sela Aline penuh harap dengan bibir mengerucut naik, saat rahang kecilnya dibingkai telapak tangan lembut Alice, “Tante mau kan jadi Mommy aku?”Ketika bibir Alice hendak ingin bergerak terbuka, suara tak asing seketika menyelamatkan Alice untuk tak menjawab pertanyaan gadis kecil itu.“Aline!”Gadis cantik itu menoleh ke belakang, “Daddy?”“Ya Tuhan, Daddy mencarimu ke mana-mana, Sayang!” Tubuh jangkung berbalut jas putih itu bergegas turun, lantas menjangkau tubuh mungil sang putri dalam dekapan, “lain kali jangan keluar dari ruangan Daddy, tanpa seizin dari suster kalau Daddy belum kembali. Kau mengerti?”“Aline hanya pergi ke
“Kau pikir bisa pergi dariku begitu saja?” “Alice kau milikku. Hanya milikku. Setiap malam aku hanya bisa menghirup aroma menggairahkan dari tubuhmu. Setiap inci tubuhmu, selalu membuatku gila.”Hugo menyeringai di depan layar komputer. Jemarinya terus mengetik kalimat demi kalimat kebencian di atas foto cantik Alice yang tengah tersenyum.Berbagai balasan di situs web online ilegal itu memantul di pantulan mata berkabut gairah kepemilikan Hugo pada sosok Alice, dalam bayangan.“Dulu aku memanfaatkan mereka agar kau bisa berlindung padaku. Tapi, sekarang, kau akan benar-benar mati Alice ... kecuali, kau jadi milikku.”Sebuah kalimat yang baru saja selesai diketik di atas foto Alice, tak segan dikirim dengan desis lirih berat.Menanti-nanti, apa balasan dari sekumpulan akun ‘unknown’, yang menyimpan kebencian di kehidupan mereka.‘Aku ingin memberitahu kalian, kalau saat ini aku sedang hancur. Wanita ini membuat hidupku menggila. Dia menghancurkan hidupku, dan perusahaanku. Sia
Jemari Alice terketuk-ketuk di sisi samping kosong kayu bangku yang diduduki. Otaknya sedang tak baik-baik saja. Ia memikirkan keselamatan Gerald, meski banyak anak buah Pietro berjaga.Satu jam lalu, Alice mendapat telepon jika sekolah pertama Gerald di negara ini telah dirusak.Pihak sekolah mengirim bukti, dan beberapa kalimat ancaman yang ditulis di dinding sekolah untuk Alice dan Gerald. Pihak sekolah meminta ganti rugi untuk bangunan sekolah yang rusak, dan beberapa murid taman kanak-kanak yang ketakutan.Untuk menghindari kecurigaan keluarga Pietro, Alice hanya bisa meminta Rose yang pergi dan menangani semuanya.“Semua ini di luar dugaanku. Kenapa mereka bisa tahu aku ada di negara ini?”“... sebenarnya apa salahku? Kenapa mereka begitu membenci aku dan Gerald?” tambahnya dengan nada serak dalam.Tak terasa sudah begitu lama ia termenung di kursi taman seorang diri, sebuah tepukan lembut di bahunya membuat wanita itu menegakkan punggung.“Alice! Kamu tidak masuk? Ini
“Kau milikku, Alice. Hanya milik Luis Pietro ....”Otak Alice mendadak kosong sejak bibir panas Luis menyapu rakus bibir, dan seluruh rongga mulutnya. Gerakan lelaki ini seperti seorang pemangsa yang akhirnya menemukan sang buruan. Luis saat ini sangat liar dan berbahaya.Tengkuk Alice ditekan kuat, seakan tak mengizinkan wanita itu menghindar sedikit pun dari serangan Luis. “Lu-Luis ... cu-cukup.”Luis menggeram dengan kepala menggeleng. “Belum, belum cukup. Bahkan tak akan pernah cukup.”Kepala Alice benar-benar pening. Tubuhnya terus saja menggeliat oleh sentuhan-sentuhan lembut hingga kasar dari tangan besar Luis di permukaan kulit halus Alice, yang telah lepas dari segala jenis kain di tubuh.Akhirnya Alice menarik paksa bibirnya yang mengkilat karena pertukaran ludah panas mereka berdua.“Apa lagi?” protes Luis dengan sorot mata berkabut gairah. Ia ingin kembali menangkap bibir merah Alice, tetapi wanita itu justru memaling muka.“Alice, ayolah. Kau jangan menyiksaku se