Share

2. Nana ninu

2. Nana Ninu

"Shut... diam!" Ucap orang yang membekap mulut Arin menggunakan sapu tangan.

Hal itu terjadi karena Arin terus saja memberontak ingin dilepaskan.

"Saya ngga jahat kok!" Ucap orang yang membekap Arin lagi.

Arin pun langsung memicingkan matanya untuk melihat orang yang membekap dirinya dari samping.

Setelah melihat orang yang membekapnya, Arin langsung terdiam.

Merasa orang yang dibekapnya sudah terdiam, laki-laki itu pun melepaskan bekapannya dan langsung menarik Arin ke samping rumah.

"Loh Altaf? Ngapain kamu bekap-bekap saya?" Tanya Arin dengan dahi mengkerut.

"Hah! Saya melakukan ini agar kamu tidak ketahuan!" Jawab Altaf dengan nada acuh.

"Ketahuan apa?" Tanya Arin tidak paham.

"Aku akan memberitahunya setelah berjanji kamu tidak akan menangis. Soalnya lihat perempuan nangis itu ribet!" Jawab Altaf.

"Iya baiklah, saya berjanji!" Ucap Arin yang sudah kepalang penasaran akan kejadian yang sedang terjadi.

Karena, jarang-jarang Altaf yang super sibuk itu menyempatkan waktunya untuk kejadian yang tidak penting.

"Nih pakai!" Ucap Altaf sambil memberikan kain tembus pandang pada Arin.

Melihat Altaf memegang kain tembus pandang tersebut, Arin langsung terkejut. Sebab, jas tembus pandang itu merupakan salah satu penemuan yang sedang dikembangkan oleh satu-satunya upperusahaan besar di negaranya dan belum diedarkan.

"Kok kamu punya kain itu taf? Bukanya itu penemuan yang belum diedarkan secara luas?" Tanya Arin dengan heran sambil tetap mematung ditempatnya. Tangannya pun tidak bergerak untuk mengambil jas di tangan Altaf.

"Nanti saya jelaskan. Sekarang kamu cepat pakai kain ini! Sisakan mata saja. Saya khawatir kamu tidak melihat adegan mencengangkan itu." Ucap Altaf sambil tetap menyodorkan kain tersebut.

Arin pun dengan terpaksa mengangguk, kemudian mengambil kain itu lalu memakainya sesuai intruksi dari Altaf.

"Ikut saya!" Ucap Altaf sambil berjalan lebih dahulu dari Arin.

Sedangkan Arin mengekor dibelakang Altaf.

Mereka berdua pun masuk ke rumah Arin, untungnya pintu depan tadi sedikit terbuka, jadi mereka tidak perlu bersusah payah untuk masuk kedalam rumah Arin.

"Ada apa sih?" Tanya Arin yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Shut.... Diam!" Jawab Altaf untuk menyuruh Arin diam.

Posisi mereka saat ini masih berada di ruang tamu rumah Arin.

Alhasil Arin pun terdiam, tidak lama terlihat Puspa yang melewati mereka sambil membawa semangkuk penuh berisikan salad buah.

Puspa langsung mendudukkan tubuhnya di sofa ketika dirinya sudah melihat televisi menyala.

Bertindak seakan-akan rumah ini adalah rumah miliknya.

"Si nenek tua itu!" Dumel Arin pelan dengan nada kesal.

"Simpan kekesalan kamu untuk nanti!" Ucap Altaf dengan nada datar.

"Ada hal yang mengejutkan menunggumu diatas!" Sambung Altaf sambil melanjutkan perjalanannya yang tertunda menuju sebuah tempat.

Tempat itu tidak lain adalah kamar Arin dan Erlan yang terletak di lantai dua.

"Ngapain pakai ke kamar aku segala sih? Mau ngajak aku berbuat macam-macam iya?" Tanya Arin dengan kesal. Sebab semua pertanyaan darinya tidak pernah mendapatkan jawaban yang sesuai.

Sedangkan Altaf memilih untuk diam saja.

Begitu mereka tiba di depan pintu kamar yang berwarna putih, yang tidak lain adalah kamar Arin dan Erlan. Arin menemukan bahwa pintu kamar tidur mereka tidak tertutup dengan rapat.

"Masuk aja, mau keras mau pelan terserah. Mereka tidak akan dengar. Saya menunggu di daun pintu saja. Dan tolong jangan bertindak gegabah. Karena balas dendam terbaik itu harus dilakukan dengan cara yang elegan." Ucap Altaf sambil memberikan instruksi.

Arin pun menganggukkan kepalanya, dirinya menambah celah di pintu itu agar tubuhnya yang tidak terlalu besar ini dapat masuk dengan mudah dan Altaf bisa melihat tindakannya.

Namun, baru saja Arin memasukkan kepalanya ke celah pintu, dirinya sudah disambut dengan suara-suara yang terdengar ambigu. Kadangkala suara ambigu itu akan berganti dengan teriakan pelan yang tertahan.

"Kalau kamu ngga sanggup masuk, intip aja mereka dari celah!" Ucap Altaf lagi yang melihat Arin tidak kunjung masuk kedalam kamarnya.

Arin pun menganggukkan kepalanya dan menuruti saran Altaf untuk mengintip apa yang terjadi didalam melalui celah.

Begitu melihat apa yang terjadi di dalam, Jiwa Arin langsung terkejut, benar-benar terkejut.

Rasa marah, kecewa, kesal, dan sedih langsung menghinggapi Arin. Dirinya tidak menyangka bahwa sang suami yang katanya mencintai dia tanpa syarat itu tega berbohong padanya, bahkan sampai berbuat zina dengan sahabatnya.

Seketika air mata Arin lolos begitu saja.

"Ck, jangan nangis! Orang kaya mereka itu tidak pantas ditangisi! Membuang-buang waktu! Mending kamu berpikir dan bertindak bagaimana cara untuk membalaskan dendam pada mereka!" Ucap Altaf yang masih setia berdiri di belakang Arin.

Arin pun membalikan badan, kemudian menganggukkan kepalanya. Tangannya bergerak untuk menghapus jejak air mata yang tadi keluar.

"Nah sip!" Ucap Altaf sambil menunjukkan senyum misteriusnya.

Setelah Altaf berkata demikian, tidak lama terdengar suara teriakan dari dalam kamar.

"Mau intip lagi?" Tanya Altaf.

"Ngga, saya sudah tahu apa yang sedang terjadi huh!" Ucap Arin sambil menghela napas lelah.

Tidak lama, terdengar suara langkah kaki mendekat kearah mereka. Arin pun segera membenarkan kain tembus pandang itu agar tubuhnya tertutupi dengan sempurna.

Terlihat Puspa yang berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju kamar yang didalamnya ada Erlan dan Selva. Tidak lupa, senyum bahagia tersungging di wajahnya.

Arin pun mengerutkan kening, 'apakah ibu mertuanya tahu hal ini?' pikir Arin.

Tanpa mengetuk pintu, Puspa langsung menyelonong masuk ke kamar.

Arin pun mengikuti masuk kedalam kamar bersama dengan Altaf. Tentunya kehadiran mereka berdua tidak disadari oleh orang-orang itu.

"Ish mama! Kebiasaan kalau masuk kamar itu ngga buka pintu dulu. Kasian Selva malu belum memakai bajunya!" Gerutu Erlan dengan nada sebal.

"Ngapain malu, bukannya udah sering ya mama lihat kalian begini heh!" Cibir Puspa sambil memutar bola matanya.

Mendengar hal itu, tubuh Arin langsung ambruk ke lantai.

'Bruk!'

Untungnya kain itu tidak terlepas dari badan Arin.

"Suara apa itu?" Tanya Selva yang tengah menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Suara pakaian Arin yang jatuh di lemari mungkin. Soalnya pakaian dia itu terlalu banyak. Makanya tidak heran kalau suara jatuhnya sampai kesini." Tebak Erlan dengan nada santai.

"Oh syukurlah, aku khawatir kalau itu Arin!" Ucap Selva sambil tersenyum tipis.

"Lagian kalau itu Arin, kamu tenang saja. Mama akan melindungi kamu! Mama takut kamu akan mengandung cucu mama. Lagian siapa suruh dia jadi wanita mandul!" Ucap Puspa dengan nada kesal.

Arin yang mendengarnya langsung ingin membenturkan kepala ketiga orang di depannya itu.

"Ma, aku boleh menikahi Selva ngga?" Tanya Erlan iseng.

"Boleh sih, tapi nanti saja kalau Selva sudah hamil. Sebab mama ngga mau mendapatkan zonk lagi." Jawab Puspa sambil bergidik ngeri.

"Siap kapten! Kalau begitu mama keluar dulu deh! Kita mau memproduksi cucu dulu buat mama!" Ucap Erlan untuk mengusir Puspa.

"Heh! Yang sopan kamu sama orangtua! Mama itu kesini ingin membahas sesuatu dengan kalian! Urusan ranjang kalian itu nanti saja!" Ucap Puspa dengan nada kesal.

"Cepat, kalian pakai dulu pakaian kalian! Mama tunggu di bawah." Ucap Puspa sambil berlalu pergi meninggalkan kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status