Share

3. gugup

Setelah acara pesta berakhir aku diarahkan oleh beberapa asisten keluarga Pak  Aldian untuk meninggalkan ballroom, menuju kamar suite yang sudah dipesan khusus untuk pengantin.

Ketika pintu kamar  terbuka, aku sangat kagum sampai membulatkan mata melihat betapa mewahnya kamar yang disediakan untuk kami di hotel berbintang lima ini. Ranjang dengan ukuran king size yang bertabur bunga, selimut yang dibentuk seperti ornamen dua angsa yang saling berhadapan dan cahaya yang dibuat temaram dengan wangi yang sangat menyenangkan.

"Silakan masuk Nyonya, Pak Aldian akan datang beberapa saat lagi," ujar asisten tersebut dengan ramah ia yang membantuku mengangkat ekor gaunku lalu mendudukkanku di pinggir ranjang.

 "Apakah anda ingin mengganti pakaian sekarang nyonya?"

"Tidak usah, aku akan mengganti sendiri nanti," balasku.

Sebenarnya aku bimbang apakah aku harus mengganti pakaian sekarang atau masih  akan menggunakannya? karena saat ini aku adalah seorang pengantin.

Aku bangkit menyibak tirai jendela, melihat pemandangan malam dari atas sini, jejeran gedung, mobil yang berlalu lalang dan kelap kelip lampu yang bertabur semarak, sembari 

kembali mengingat tentang meriahnya pesta tadi, megahnya lokasi acara dan mewahnya pakaian yang kukenakan saat ini, seharusnya saat ini aku benar-benar menjalani pernikahan impianku,  tapi sayang ini settingan.

Apa yang bisa kulakukan lebih dari ini,  semua yang kulakukan sekarang adalah demi pengobatan Ibu, aku gak tahan melihatnya menderita kesakitan. 

Ya, ini hanya pernikahan palsu, jadi aku tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat menjadi istri yang berbakti di hadapannya apalagi nanti hanya Aku Dan Pak Aldi saja yang akan berada di ruangan ini.

Aku lalu  bangkit  dan mengganti pakaianku namun tiba-tiba,

Tok tok ....

Pintu diketuk dan sesaat kemudian Pak Aldi masuk dan menghampiriku, lalu menghela napasnya pelan. Melihat pria berhidung mancung dengan tinggi 170 cm itu membuatku  berdebar-debar terlebih lagi saat ini wajahku masih tertutup  cadar pengantin.

Ia menghampiri dan menyingkap cadar pengantinku mengangkatnya ke atas lalu tersenyum  tipis menatapku.

Tentu saja menyaksikan senyumnya yang menunjukkan gigi yang putih dan  rapi  serta ketampanannya dan pesonanya membuat jantung  ini makin berdegup degup tidak karuan.

"Apakah kamu menungguku, pengantin?" tanyanya sambil membuka jas dan kancing pakaiannya.

Aku sedikit khawatir melihat gelagatnya namun kutenangkan perasaan ini karena aku yakin dia pun adalah pria yang profesional.

"Tidak ....  anu .... sebenarnya .... apakah kita akan satu kamar sampai besok pagi, Pak?" tanyaku pelan dan sedikit takut.

"Gantilah pakaianmu dan tidurlah karena besok pagi kita harus kembali ke rumah," jawabnya tanpa menjawab pertanyaanku yang tadi. Ia lalu menuju kamar mandi dengan bertelanjang dada membuat dadaku kian berdebar kencang menyaksikan tubuh atletisnya yang berotot dan membuatku tak mampu untuk tidak menelan ludah.

Aku kemudian menuju kaca rias mencoba melepaskan sanggul yang kukenakan, mahkota dan beberapa perhiasan yang melekat di tubuh ini,  kuturunkan satu persatu. Di saat yang sama, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan cepat  dan Aku kaget sekali .

"Suka sekali dia membuatku kaget," sungutku sendiri.

Aku gugup memandang Pak Adi hanya mengenakan handuk dan menutup bagian bawahnya ia menatapku lekat dan ketika tatapan elang itu bertemu kembali dengan mataku, tubuh ini seolah membeku di tempatnya, aku seakan-akan tak mampu bergerak lagi.

Ketika kami hampir tak berjarak  ia kemudian mengangkat tangannya ke arah wajahku, sedang aku hanya mampu berdiri dan menahan nafas menunggu adegan berikutnya.

Satu sentakan dan rambutku tergerai dengan sempurna.

"Aku tidak menyangka kau cantik sekali mengenakan semua ini," gumamnya pelan.

Tanpa aba aba, dia membalikkan badan ini sehingga posisi kami berdua menghadap ke  kaca lemari, aku melihat pantulan dirinya di belakangku dan wajahku memanas karena tersipu. 

"Apakah kau akan mengganti pakaian atau kau akan mengenakan ini sama besok pagi?" bisiknya sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku. Seketika saja rasa berdebar dan canggung tadi runtuh menjadi kekesalan.

"Anu Pak ...  saya akan menggantinya tadi, tapi ...." jawabku dengan salah tingkah.

Perlahan ia menarik resleting gaunku,

Sreeekk ....

Lalu ia  Berbisik, "Aku sudah melepas resletingnya kau lanjutkanlah sisanya  untuk mengganti pakaianmu, sedang  aku akan mandi dulu," ucapnya sambil berlalu dan mengulum senyum di bibir tipis itu.

"Apaan itu tadi ... bikin jantungan," gerutuku.

"Apakah kita akan ...." aku kembali bertanya.

"Ya kita akan tidur di sini," jawabnya yang lalu masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya aku.

Aku menggerutu sendiri  karena maksud dari pertanyaanku tadi, adalah,

"Apakah kita berdua akan melakukan seperti apa yang biasa di lakukan orang lain  di malam pertama atau  tidur dengan terpisah." itu maksud dari pertanyaanku namun wajahnya yang terlihat begitu  pendiam membuatku sungkan.

Selesai mandi dia keluar, sedangkan aku sudah mengganti pakaianku dan duduk di tepi ranjang tak tahu harus berbuat apa.

"Mengapa  kamu belum tidur, kamu menunggu sesuatu?" tanyanya sambil membuka lemari pakaian untuk mencari pakaian untuk  dia kenakan.

"Tidak aku hanya menunggumu Pak, aku ingin bertanya apakah aku harus tidur di sofa?" tanyaku sambil melirik sofa besar yang empuk yang ada di hadapan kami.

"Terserah jika kau memang ingin tidur di sana silakan saja, tapi ranjang ini begitu besar, aku rasa  muat untuk kita berdua," ucapnya tanpa ekspresi sedikitpun.

Asli kanebo kering!

"Tapi kan ... Bagaimana mungkin kita akan tidur berdua." aku ragu.

"Ya, mungkin mungkin saja, toh, kita tidak akan melakukan apa-apa," jawabnya dengan santai lalu menggulingkan dirinya di ranjang dan memejamkan mata.

Aku masih terkejut dengan sikapnya yang sama sekali tidak peka, maksudku setidaknya ia bersikap gentle untuk mengalah.  Aku kini merasa sangat kasihan dengan kekasihnya, pasti wanita itu tersiksa.

"Boleh saya tahu kenapa Anda memilih menikah kontrak?"

"Aku tidak ingin dipusingkan komitmen, aku takut  terluka jika nantinya istriku menyakitiku."

"Kelihatannya Anda trauma, Apakah Pak Aldi pernah dilukai?"

Mendengar pertanyaan itu ia menjadi menatapku dengan tajam, dengan raut tidak suka.

"Maaf bukannya lancang, saya hanya ingin tahu saja."

"Alasan pribadiku kau tidak perlu, tahu cukup lakukan tugasmu saja bersikap selayaknya seorang istri, hanya itu."

"Tapi kemudian saya penasaran, Apakah anda tidak rugi membayar saya dengan bayaran 40 juta Pak?"

"Dia menghampiriku, mendekatkan wajahnya padaku, lalu berkata, 

"Aku membayar 40 juta   dengan harapan agar kau bekerja dengan profesional,  jangan sampai ada celah yang akan membuat semua ini gagal, kau mengerti!"

Tatapan matanya yang seolah mengintimidasi dan menunjukkan dominasinya padaku.

"Baiklah saya sudah mengerti." Aku gugup atas sikapnya.

Ia menjauhkan tubuhnya lalu kembali merebahkan diri dan memejamkan mata.

"Ayo tidurlah, ujarnya sambil menepuk bantal yang ada di sampingnya 

"Tapi ...."

"Tidurlah di samping suamimu."

Agak sungkan namun baiklah, aku akan tidur, lagipula ukuran ranjang ini sangat besar dan aku bisa leluasa bergerak sementara jarak kami  juga agak jauh .

"Gitu dong dari tadi, ngapain duduk-duduk aja di jauh sana." Ia Lalu membalikkan badan dan membenamkan diri di antara bantal.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status