Share

2. Apakah aku tertarik

"Bagaimana tertarik?"

Ulangnya.

"Kenapa harus saya, padahal, kan bisa menyewa model atau wanita yang lebih cantik."

"Aku bisa melakukan itu, tapi terlihat tidak masuk akal, dengan gadis biasa golongan menengah lebih natural bagiku."

"Apa? Dia Ia menyebutku golongan menengah? Meski itu kenyataan, tapi rasanya kok nyeri ya?" Aku membatin.

"Berapa lama?"

"Sampai aku tidak membutuhkanmu," jawabnya.

"Bagaimana kalo saya menolak?"

"Aku yakin kamu tidak akan rugi, hidupmu akan bergelimpangan kemewahan, dan derajatku menanjak seketika.",

"Percuma itu hanya sementara, lagipula kalo sampai ketahuan, maka rumor akan beredar dan menjadi skandal yang tidak akan baik untuk Anda dan perusahaan Anda."

"Aku punya tim humas yang akan mengendalikan semua berita yang beredar."

"Intinya tujuan anda apa? Demi meluluskan permintaan orang tua atau ada hal lain."

"Aku tak bisa menjelaskan, tapi jika kau setuju akan kulit berkas kontrak yang bisa kau pelajari."

"Bagaimana jika perjanjian kerja lebih banyak merugikan saya?"

"Aku akan menggantinya dengan uang."

Ujarnya dengan raut datar.

"Apakah hanya tentang uang saja?"

"Kita bekerja membanting tulang, bersaing kecerdasan dan kemampuan, rela berkorban banyak waktu dan tenaga, demi apa lagi kalau bukan demi uang?"

"Terlalu sederhana jika saya menyebut Anda sombong, namun saya akan memikirkan hal itu."

"Baik terima kasih, kau bisa pergi sekarang."

Aku melangkah pergi meninggalkan tower lantai lima milik PT Indo Palm raya itu.

*

"Lo yakin, lo ga lagi halu kan diajak nikah sama pengusaha?" Kata sahabatku Nina yang saat itu berkunjung ke kostku.

"Iya." Aku menahan singkat sambil mengunyah keripik kentang.

"Aldian Hariyanto? Cowo keren dan tajir itu? Di I*-nya aja punya banyak penggemar. Semua orang mimpi jadi bininya dan lu tiba-tiba diajak nikah, lu pacaran sama dia, sejak kapan?"

Ingin menceritakan yang sebenarnya namun ragu jika sahabatku yang 'pecicilan' ini akan keceplosan mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain, tentu itu akan melanggar kontrak kerjaku dengan Pak Aldi.

"Hei, lu pacaran sama dia?" Sekali lagi temanku menggeplak tangan ini.

"I-iya," jawabku gugup.

"Tapi gua gak pernah lihat Lo jalan sama dia?"

"Lo kepo amat si, Nin, kehidupan kencan dan percintaan kan privasi gue."

"Heleh hari gini Lo ngomong privasi, dasar," sungutnya merajuk.

"Tapi Lo doain gua ya, semoga rumah tangga gua berjalan baik nantinya," pintaku.

"Iya, insyallah, gua doakan, tapi lu harus serius berbakti jadi bini, Lo jangan mentang mentang udah kaya jadi belagu dan songong sama teman."

"Enggak, kok Nin tenang aja."

*

Kontrak kerja sudah kutanda tangani, dua hari yang lalu, seperti biasa sambil menunggu kabar dari calon suamiku yang tajir itu aku tetap beraktifitas seperti biasa, bekerja dan pulang ke rumah kontrakan sederhana di akan aku dan ibu juga adikku tinggal bersama.

[Gaun pengantinnu sudah aku pesankan, semuanya sudah siap, berikut juga perhiasannya, Minggu depan kita langsungkan acara. ]

Ya ampun.

Ia memilihkan gaun tanpa bertanya sedikitpun padaku aku ingin mengenakan apa di hari itu, tapi karena ini nikahnya hanya settingan mungkin aku tak perlu banyak membuat keluhan.

Sesaat kemudian ponselku berdenting, sebuah gambar masuk, gaun pengantin bergaya klasik dengan kerudung menjuntai panjang yang mewah. Aku terpana melihatnya, mungkin harga gaun itu sangat mahal.

[Wah, indah sekali, Terima kasih. Tapi anda menyewa di mana, Pak ]

[Apa, menyewa? Aku tidak menyewa, aku membelinya ekslusif untukmu. ]

[Benarkah?]

[Jam lima sore nanti, akan ada tim yang menjemput kalian untuk pindah. ]

Aku terkejut dengan sikap tidak terduga pria kaya itu.

[Pindah kemana? Kami belum beli rumah, Pak. ]

[ Aku sudah belikan sebuah rumah sederhana di komplek dekat klinik ibumu ]

[Aduh terima kasih Pak, anda baik sekali, Saya tidak akan sanggup membayar kebaikan Anda.]

[Cukup jadi istri yang baik saja]

Aku hampir terbawa perasaan andai tidak segera menyadari bahwa ini hanya bagian dari kesepakatan kontrak kerja, hubungan profesional.

[Siap, Pak. Tapi mengapa anda bela-belain beli rumah, bukankah itu akan merugikan.]

[Akan memalukan bagiku jika mertuaku hanya tinggal di kontrakan kumuh sedangkan anaknya tinggal di mansion megah. ]

Ava? Kumuh katanya? Dasar es balok tidak berperasaan. Dia tidak pernah menyadari bahwa betapa beratnya membayar kontrakan di tengah semakin mahalnya harga kebutuhan.

Sekarang Kuberi ia julukan baru, Kanebo kering bermulut pedas.

*

Sampai pada waktunya, Akad nikah dan resepsi yang kini berlangsung semarak dan penuh canda tawa. Di tengah sana ada mereka yang kusebut mertua dan keluarga besarnya sedang bersulang merayakan pernikahan pewaris usaha raksasa mereka.

Kulirik diri sendiri dan semua benda mahal yang kini melekat di tubuhku, agak janggal sebenarnya mendadak menjadi kaya dan seorang nyonya.

Ada banyak kegundahan dalam dada ini tentang banyaknya skenario yang harus kujalani sebagai istri bayaran.

Bagaikan jika mertua bertanya dengan detail hubungan kami dan keterangan yang kami berikan berbeda, bagaimana jika secepatnya mereka ingin diberi penerus keturunan?

Tiba tiba mertuaku mendekat dan mengajakku turun untuk membaur ke para undangan.

"Yuk turun, kita kenalan dengan sahabat dan keluarga," ajaknya.

"I-iya," jawabku yang kemudian melangkah, diikuti oleh Pak Aldi.

Ketika sampai di tengah ruangan, di mana semua orang bisa melihat kami, tiba-tiba pembawa acara meminta kami untuk melakukan wedding dance, tentu saja permintaan itu membuatku gugup karena seumur hidup aku tidak pernah berdansa apalagi kini pasanganku adalah pria berhati dingin yang ketika diajak bicara, jawabannya hanya ia dan tidak saja.

"Aduh bagaimana ini saya tidak bisa berdansa," desisku di dekatnya berharap orang lain tidak mendengar pembicaraan kami.

"Tenang saja, kau tinggal mengikuti langkahku saja." Ia lalu mendekatkan badan dan merangkul pinggangku membuatku salah tingkah, perlahan ia menyentuh tangan ini lalu menggerakkan tubuhnya mengikuti irama melodi yang mengalun, dan ajaib tubuhku juga tiba-tiba bisa bergerak mengikuti langkahnya tanpa canggung sedikit pun.

"Menyenangkan bukan?" Bisiknya.

"Iya," jawabku.

"Tetaplah tersenyum dan terlihat bahagia."

"Iya, Pak," jawabku yang saat itu tiba tiba lampu sorot pesta tepat menyinari kami.

"Kini saatnya, pengantin pria mencium istrinya untuk pertama kali, beri teluk tangan yang meriah pada kedua pengantin," kata pemandu acara yang merupakan seorang artis dan presenter terkenal.

Aku membulatkan mata padanya sedang ia masih terlihat cool dan santai saja.

"Apa yang harus kulakukan," kataku dengan gugup.

"Tetaplah bersikap wajar dan nikmati saja," katanya yang tiba-tiba saja mendekatkan wajah dan bibirnya hingga tak berjarak padaku.

Ada sengatan serupa setrum menjalar di tubuh ini, dadaku mendadak berdebar kencang, pipiku memanas dan tak bisa kugambarkan seperti apa merahnya sekarang. Ketika sentuhan itu terlepas ia tersenyum tipis sambik mengedipkan sebelah mata.

"Maaf." Ia mengatakan itu tanpa rasa beban sedikitpun.

Oh tuhan, baru aja ia mengambil ciuman pertama dari bagian yang belum pernah disentuh seorang pun. Ya, aku memang belum pernah berpacaran dengan serius, karena hanya sibuk bergelut dengan kesibukan bekerja dan mencari nafkah. Kini pria yang ada dihadapanku menciumku tanpa aba-aba.

Aduh Ibu ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status