"Bagaimana tertarik?"
Ulangnya. "Kenapa harus saya, padahal, kan bisa menyewa model atau wanita yang lebih cantik." "Aku bisa melakukan itu, tapi terlihat tidak masuk akal, dengan gadis biasa golongan menengah lebih natural bagiku." "Apa? Dia Ia menyebutku golongan menengah? Meski itu kenyataan, tapi rasanya kok nyeri ya?" Aku membatin. "Berapa lama?" "Sampai aku tidak membutuhkanmu," jawabnya. "Bagaimana kalo saya menolak?" "Aku yakin kamu tidak akan rugi, hidupmu akan bergelimpangan kemewahan, dan derajatku menanjak seketika.", "Percuma itu hanya sementara, lagipula kalo sampai ketahuan, maka rumor akan beredar dan menjadi skandal yang tidak akan baik untuk Anda dan perusahaan Anda." "Aku punya tim humas yang akan mengendalikan semua berita yang beredar." "Intinya tujuan anda apa? Demi meluluskan permintaan orang tua atau ada hal lain." "Aku tak bisa menjelaskan, tapi jika kau setuju akan kulit berkas kontrak yang bisa kau pelajari." "Bagaimana jika perjanjian kerja lebih banyak merugikan saya?" "Aku akan menggantinya dengan uang." Ujarnya dengan raut datar. "Apakah hanya tentang uang saja?" "Kita bekerja membanting tulang, bersaing kecerdasan dan kemampuan, rela berkorban banyak waktu dan tenaga, demi apa lagi kalau bukan demi uang?" "Terlalu sederhana jika saya menyebut Anda sombong, namun saya akan memikirkan hal itu." "Baik terima kasih, kau bisa pergi sekarang." Aku melangkah pergi meninggalkan tower lantai lima milik PT Indo Palm raya itu. * "Lo yakin, lo ga lagi halu kan diajak nikah sama pengusaha?" Kata sahabatku Nina yang saat itu berkunjung ke kostku. "Iya." Aku menahan singkat sambil mengunyah keripik kentang. "Aldian Hariyanto? Cowo keren dan tajir itu? Di I*-nya aja punya banyak penggemar. Semua orang mimpi jadi bininya dan lu tiba-tiba diajak nikah, lu pacaran sama dia, sejak kapan?" Ingin menceritakan yang sebenarnya namun ragu jika sahabatku yang 'pecicilan' ini akan keceplosan mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain, tentu itu akan melanggar kontrak kerjaku dengan Pak Aldi. "Hei, lu pacaran sama dia?" Sekali lagi temanku menggeplak tangan ini. "I-iya," jawabku gugup. "Tapi gua gak pernah lihat Lo jalan sama dia?" "Lo kepo amat si, Nin, kehidupan kencan dan percintaan kan privasi gue." "Heleh hari gini Lo ngomong privasi, dasar," sungutnya merajuk. "Tapi Lo doain gua ya, semoga rumah tangga gua berjalan baik nantinya," pintaku. "Iya, insyallah, gua doakan, tapi lu harus serius berbakti jadi bini, Lo jangan mentang mentang udah kaya jadi belagu dan songong sama teman." "Enggak, kok Nin tenang aja." * Kontrak kerja sudah kutanda tangani, dua hari yang lalu, seperti biasa sambil menunggu kabar dari calon suamiku yang tajir itu aku tetap beraktifitas seperti biasa, bekerja dan pulang ke rumah kontrakan sederhana di akan aku dan ibu juga adikku tinggal bersama. [Gaun pengantinnu sudah aku pesankan, semuanya sudah siap, berikut juga perhiasannya, Minggu depan kita langsungkan acara. ] Ya ampun. Ia memilihkan gaun tanpa bertanya sedikitpun padaku aku ingin mengenakan apa di hari itu, tapi karena ini nikahnya hanya settingan mungkin aku tak perlu banyak membuat keluhan. Sesaat kemudian ponselku berdenting, sebuah gambar masuk, gaun pengantin bergaya klasik dengan kerudung menjuntai panjang yang mewah. Aku terpana melihatnya, mungkin harga gaun itu sangat mahal. [Wah, indah sekali, Terima kasih. Tapi anda menyewa di mana, Pak ] [Apa, menyewa? Aku tidak menyewa, aku membelinya ekslusif untukmu. ] [Benarkah?] [Jam lima sore nanti, akan ada tim yang menjemput kalian untuk pindah. ] Aku terkejut dengan sikap tidak terduga pria kaya itu. [Pindah kemana? Kami belum beli rumah, Pak. ] [ Aku sudah belikan sebuah rumah sederhana di komplek dekat klinik ibumu ] [Aduh terima kasih Pak, anda baik sekali, Saya tidak akan sanggup membayar kebaikan Anda.] [Cukup jadi istri yang baik saja] Aku hampir terbawa perasaan andai tidak segera menyadari bahwa ini hanya bagian dari kesepakatan kontrak kerja, hubungan profesional. [Siap, Pak. Tapi mengapa anda bela-belain beli rumah, bukankah itu akan merugikan.] [Akan memalukan bagiku jika mertuaku hanya tinggal di kontrakan kumuh sedangkan anaknya tinggal di mansion megah. ] Ava? Kumuh katanya? Dasar es balok tidak berperasaan. Dia tidak pernah menyadari bahwa betapa beratnya membayar kontrakan di tengah semakin mahalnya harga kebutuhan. Sekarang Kuberi ia julukan baru, Kanebo kering bermulut pedas. * Sampai pada waktunya, Akad nikah dan resepsi yang kini berlangsung semarak dan penuh canda tawa. Di tengah sana ada mereka yang kusebut mertua dan keluarga besarnya sedang bersulang merayakan pernikahan pewaris usaha raksasa mereka. Kulirik diri sendiri dan semua benda mahal yang kini melekat di tubuhku, agak janggal sebenarnya mendadak menjadi kaya dan seorang nyonya. Ada banyak kegundahan dalam dada ini tentang banyaknya skenario yang harus kujalani sebagai istri bayaran. Bagaikan jika mertua bertanya dengan detail hubungan kami dan keterangan yang kami berikan berbeda, bagaimana jika secepatnya mereka ingin diberi penerus keturunan? Tiba tiba mertuaku mendekat dan mengajakku turun untuk membaur ke para undangan. "Yuk turun, kita kenalan dengan sahabat dan keluarga," ajaknya. "I-iya," jawabku yang kemudian melangkah, diikuti oleh Pak Aldi. Ketika sampai di tengah ruangan, di mana semua orang bisa melihat kami, tiba-tiba pembawa acara meminta kami untuk melakukan wedding dance, tentu saja permintaan itu membuatku gugup karena seumur hidup aku tidak pernah berdansa apalagi kini pasanganku adalah pria berhati dingin yang ketika diajak bicara, jawabannya hanya ia dan tidak saja. "Aduh bagaimana ini saya tidak bisa berdansa," desisku di dekatnya berharap orang lain tidak mendengar pembicaraan kami. "Tenang saja, kau tinggal mengikuti langkahku saja." Ia lalu mendekatkan badan dan merangkul pinggangku membuatku salah tingkah, perlahan ia menyentuh tangan ini lalu menggerakkan tubuhnya mengikuti irama melodi yang mengalun, dan ajaib tubuhku juga tiba-tiba bisa bergerak mengikuti langkahnya tanpa canggung sedikit pun. "Menyenangkan bukan?" Bisiknya. "Iya," jawabku. "Tetaplah tersenyum dan terlihat bahagia." "Iya, Pak," jawabku yang saat itu tiba tiba lampu sorot pesta tepat menyinari kami. "Kini saatnya, pengantin pria mencium istrinya untuk pertama kali, beri teluk tangan yang meriah pada kedua pengantin," kata pemandu acara yang merupakan seorang artis dan presenter terkenal. Aku membulatkan mata padanya sedang ia masih terlihat cool dan santai saja. "Apa yang harus kulakukan," kataku dengan gugup. "Tetaplah bersikap wajar dan nikmati saja," katanya yang tiba-tiba saja mendekatkan wajah dan bibirnya hingga tak berjarak padaku. Ada sengatan serupa setrum menjalar di tubuh ini, dadaku mendadak berdebar kencang, pipiku memanas dan tak bisa kugambarkan seperti apa merahnya sekarang. Ketika sentuhan itu terlepas ia tersenyum tipis sambik mengedipkan sebelah mata. "Maaf." Ia mengatakan itu tanpa rasa beban sedikitpun. Oh tuhan, baru aja ia mengambil ciuman pertama dari bagian yang belum pernah disentuh seorang pun. Ya, aku memang belum pernah berpacaran dengan serius, karena hanya sibuk bergelut dengan kesibukan bekerja dan mencari nafkah. Kini pria yang ada dihadapanku menciumku tanpa aba-aba. Aduh Ibu ....Setelah acara pesta berakhir aku diarahkan oleh beberapa asisten keluarga Pak Aldian untuk meninggalkan ballroom, menuju kamar suite yang sudah dipesan khusus untuk pengantin.Ketika pintu kamar terbuka, aku sangat kagum sampai membulatkan mata melihat betapa mewahnya kamar yang disediakan untuk kami di hotel berbintang lima ini. Ranjang dengan ukuran king size yang bertabur bunga, selimut yang dibentuk seperti ornamen dua angsa yang saling berhadapan dan cahaya yang dibuat temaram dengan wangi yang sangat menyenangkan."Silakan masuk Nyonya, Pak Aldian akan datang beberapa saat lagi," ujar asisten tersebut dengan ramah ia yang membantuku mengangkat ekor gaunku lalu mendudukkanku di pinggir ranjang. "Apakah anda ingin mengganti pakaian sekarang nyonya?""Tidak usah, aku akan mengganti sendiri nanti," balasku.Sebenarnya aku bimbang apakah aku harus mengganti pakaian sekarang atau masih akan menggunakannya? karena saat ini aku adalah seorang pengantin.Aku bangkit menyibak tirai je
Tatkala kubuka mata, terbangun dari lelap tidurku di hari pertama menjadi seorang istri, kudapati ranjang pengantin kami telah sepi kuraba kasur dan bantal bantal sambil mengusap wajah berkali-kali mengumpulkan nyawa dan kesadaranku. "Kau sudah bangun?" tanya atasanku itu yang juga suamiku ia terlihat telah mandi dan mengenakan kemeja dan sedang membenahi kancingnya. "Iya," jawabku pelan. "Apakah semalam tidurmu nyenyak?" "Iya," balasku. "Sarapan akan dibawakan petugas hotel bangunlah bergegaslah karena kita harus pulang ke rumah." "Ke rumah siapa?" Aku tahu pertanyaanku pertanyaan bodoh. Dia menatapku sekilas lalu berkata, "tujuannya sudah jelas." Mestinya pagi-pagi ini aku mendapatkan suntikan mood dan semangat yang bagus tapi menjumpai si Es balok yang dingin membuatku hanya mampu membuang napas kasar ah, sudahlah. Pukul 9 pagi kami berdua hendak check out dari hotel berbintang 5 yang menjadi saksi malam pengantin bisu kami. Kemudian kami berjalan bersisian menyusuri ko
"Ini Adalah kamar kita," ucapnya sambil membuka pintu kamar yang luasnya 5 kali luas kamarku di rumah. Tentu saja aku terpesona karena interior di dalamnya sangat indah dan mewah, perabotan terbuat dari kayu dan kamar di set dengan tema rustic yang elegan "Wah luas sekali, Pak. Kataku sambil menghempaskan diri di sofa yang empuknya belum pernah kucoba selama hidupku."Sofa ini nyaman, aku bisa tidur di sini.""Terserah kau saja, tapi seperti yang aku katakan, kau bebas tidur di ranjang.""Tapi ranjangnya adalah ranjang Pak Aldi."Ia menghampiriku menjongkokkan diri hingga wajahnya sejajar dengan wajahku perlahan ia dekatkan wajah itu sehingga mau tidak mau aku memundurkan diri sambil melirik ke kanan dan ke kiri berusaha menetralisir debaran di dalam hati, tatapan matanya seakan akan membuatku seperti es batu yang ditimpa sinar mentari."Kita suami istri 'kan?" tanyanya dengan penuh penekanan."Settingan 'kan?" Balasku hati hati.Dia mengangguk sambil tersenyum lalu menjauhkan di
Aku tidak menemukan sabun seperti yang aku cari jadi aku buka lemari yang menyimpan barang-barang kebutuhan mandi mas Aldi. Ada shaving cream, ada shampo khusus laki-laki serta alat pencukur dan semua botol yang memperhatikan yang ku asumsikan mungkin adalah sabun mandi yang dituang ke dalam bak mandi.Karena tidak ada pilihan lain maka akupun menuangkan sabun itu ke dalam rendaman ku agak banyak agar sesuai dengan jumlah air yang hampir penuh dalam bathtub."Apa Mas Aldi lupa kalau sekarang aku sudah satu rumah dengannya sehingga ia lupa meminta kepada asisten yang untuk menyiapkan kebutuhan mandiku?" Sialnya, aku pun lupa memasukkan sabunku di hotel tadi karena terburu-buru diajak pergi olehnya.busa sabun mulai timbul dan aku dengan gembira merendam di dalam air hangat yang mengeluarkan aroma wangi mewah tersebut."Wah, nyaman sekali," ujarku sambil merebahkan diri menikmati hangatnya bak pemandian sembari menikmati pemandangan di luar sana.Karena saking nyamannya aku menyedihk
Pukul 9 malam Mas Aldi pulang aku menyadari kehadirannya karena saat itu memang aku belum tertidur."Kau sudah tidur?" tanyanya yang sedang meletakkan dua kantong plastik di atas meja."Aku tidak menjawabnya sama sekali.""Kalau belum tidur bangunlah dan makan martabak yang aku bawakan untukmu, aku juga bawakan nasi goreng spesial."Aku sudah makan tadi." Tanpa sengaja Aku menjawab ucapannya di balik selimutSejenak ia tertawa lalu kemudian duduk di meja kerja dan membuka komputernya."Jangan bohong, nanti kau lapar.""Aku bilang aku sudah makan.""Tapi si Bibi mengatakan kalau kau belum makan dan tidak turun sama sekali ke bawah, apa yang terjadi?""Aku sedang tidak mood untuk turun ke mana-mana," jawabku."Kamu adalah pengantin di rumah ini dan seharusnya kau membaur dengan mertua dan kedua iparmu," ujarnya sambil menekuni layar laptopnya."Oh ya, aku belum bertemu dengan mereka.""Itu adikku memang sibuk dan hanya berada di rumah di akhir pekan.""Apa yang mereka lakukan?""Merek
Aku terbangun ketika matahari bersinar sangat cerah, saat aku membuka mata aroma kopi menguar menyentuh penciumanku, di meja tak jauh dari pembaringanku aneka roti sarapan telah dibawakan pelayan.Aku kagum dengan gaya hidup orang kaya, bangun tidur pun mereka langsung menikmati sarapannya, tanpa berpikir harus mencari uang dari mana untuk membeli bahan makanan lalu menyiapkan, luar biasa!"Kamu sudah bangun?"Suamiku datang menghampiri Ia terlihat segar seusai mandi, masih mengenakan handuk model kimono melilit tubuhnya yang atletis. Ya Tuhan, gairahku tumbuh melihat wajah seksi itu basah oleh titik titik air.Astaga, pikiranku jalan jalan lagi.Ia menggeser pintu lemari, mengeluarkan pakaiannya, lalu sesaat kemudian handuk yang ia pakai ditanggalkannya, tentu saja melihat itu aku terpekik, tidak kuduga sebelumnya, jika suamiku yang berwajah tampan, dengan rambut basah dan dada bidangnya yang berotot menambah pesona dan keseksiannya berani melepas handuk di hadapanku."Hei, ada
kutatap pantulan diriku di kaca yang terlihat sangat berbeda dari sebelumnya, yang aku gunakan dari atas ke bawah, dari ujung kaki hingga ujung kepala outfit yang mahal dengan harga selangit. Ketika aku yang hanya sales show room ponsel biasa tiba-tiba menjadi seorang nyonya yang terlihat elegan dan berubah total."Nadia cepat turun mobil jemputan sudah datang," panggil ibu mertua dari bawah sana."Ya Nyonya," jawabku langsung mengambil tas dan segera mengenakan sepatu lalu menutup pintu kamar dan turun ke bawah."Jangan panggil nyonya lagi kau adalah menantu rumah ini tidak akan enak didengar orang lain seperti itu," katanya dengan nada serius."Iya Mama, Maaf aku lupa.""Di perusahaan nanti tidak perlu banyak bicara jika mereka bertanya tentang latar belakang mu, katakan saja kalau lulusan universitas dari Kanada dan orang tuamu adalah pengusaha batubara.'"Tapi jika mereka bertanya lebih lanjut bagaimana Mama?""Ada tim humas perusahaan kami yang akan selalu mendampingi kamu sebag
"kok cemberut aja?""Gak ada."Jawabku yang entah pagi-pagi ini merasa badmood."Kalau kamu ingin sarapan kamu tinggal pesan apa yang kamu inginkan, pembantu akan belikan, ataukah pengen jalan-jalan supir akan mengantar ke mana kau pergi," tawarnya.Aku hanya membuang nafas kasar sampai membalikkan badan lalu memeluk guling."Mestinya kau siapkan aku sarapan, karena posisimu adalah istriku.""Aduh Pak direktur anda punya banyak pembantu yang bisa siapkan makanan apapun yang anda inginkan, iya kan?" "Seingatku kau bekerja untukku," sanggahnya.Oh iya, aku lupa Aku adalah bawahannya, jadi dengan beringsut malas-malas aku turun dari ranjang dan pergi menyiapkan suamiku sarapan.Ah, suami, dia bukan suami, dia hanya orang yang kebetulan mengikatku dalam ikatan pernikahan, mana ada cinta atau hubungan selayaknya suami dan istri. Konyol!Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah ini lalu kembali menerawang, andai seseorang jadi menantu rumah ini dan mendapatkan cinta dari semua penghuni
Aku tahu, memilih Mas Aldi dalam hidupku juga bukan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus kuhadapi dengan sabar dan penuh kekuatan. Misalnya ibu tirinya yang hanya melihat uang sebagai sesuatu yang bernilai. Sedang hubungan dia dan Mas Aldi berjalan datar, terkesan berpura-pura baik dan dipaksakan agar nampak seperti ibu yang baik di depan suaminya.Aku tahu, adik-adik Mas Aldi akan mencibirku, begitu juga beberapa wanita yang pernah dekat dengannya, mereka tak akan berhenti untuk menggoda suamiku, sampai Mas Aldi kembali bertekutk lutut.*Kulangkahkan kaki, mencari pria yang menikahiku beberapa bulan lalu ke kantornya. Penampilanku yang hanya berkemeja kotak dan celana jeans serta sebuah tas selempang yang tersampir di bahu sangat kontras dengan tempat di mana aku berpijak saat ini.Resepsionis datang dan bertanya apa keperluanku--yang lusuh dan tidak elegan ini-- datang ke kantor mereka."Aku mencari suamiku," jawabku.Wanita berseragam rapi itu mengernyit, mungkin lupa ata
Aku ingin memilih sekarang dan mengakhiri kemelut cinta segitiga yang membuatku bingung memilih antar Mas Aldi atau Rizal. Terlebih ketika aku sudah berdamai dengannya beberapa saat tadi."Aku akan menyusul Mas Aldi malam nanti," gumamku setelah baru saja di antar olehnya pulang.Ketika masuk ke dalam rumah kudapati ibu sedang termenung sendiri di meja makan, wajahnya amat sedih dan sesekali ia mengusap deraian air mata di pipi."Ibu ... ibu kenapa?" tanyaku pelan sambil menghampiri dan menggenggam tangannya."Ibu hanya memikirkan bagaimana masa depan pernikahanmu Nadia, sedih sekali melihat ketika wanita sebayamu sedang berbahagia dengan rumah tangga mereka, sedangkan kamu terpisah dari suamimu sendiri dan berada di dalam ketidakpastian.""Sebenarnya aku sendiri yang membuat pernikahan ini berada dalam ketidakpastian, mudah untuk kembali dan berbahagia lagi tapi karena sakit hati aku membeli untuk berlarut-larut mendiamkan masalah ini. Tapi ibu tenang saja sekarang," jawabku pelan."
Selepas kepergiannya ada rasa kesepian yang tiba-tiba memenuhi dinding hatiku. Kemarin aku telah membencinya, berkali-kali muak padanya, tapi mendengar semua penuturan yang menyedihkan tadi, membuat sudut pandangku berubah dan seketika menjadi iba.Lalu bagaimana dengan perasaan hatiku yang tiba-tiba dicuri Mas Rizal dengan perhatian dan kelembutannya?Seharusnya tak kubiarkan ruang kosong di hati diisi cinta lain hingga statusku resmi menjanda, apa akibatnya sekarang setelah memutuskan jauh dari suami, kini aku dilema sendiri."Kalo kau mencintaiku maka tahanlah aku." Itu pintanya sesaat sebelum pergi.Aku tahu persis bahwa jika kali ini ia patah hati karena penolakanku, maka itu akan mengulang luka lama yang dia derita, sakitnya akan terbuka kembali, dan hatinya akan semakin ditutupi kegelapan abadi. Akan susah sekali untuk membuatnya tersenyum dan hangat lagi."Apa yang kamu lakukan Nak, kok kamu gitu sama suamimu?""Aku harus bagaimana, Bu?""Kenapa memutuskan berpisah sementara
Kususuri jalan trotoar dengan langkah gontai seolah-olah boneka, atau jasad yang tidak bernyawa. Hatiku terbelah menjadi dua dan aku tidak tahu harus kemana, suami dan pria itu, dua hal yang terus berputar dan menyita fokus otakku.Aku lelah memikirkan itu.Kubuka pintu, engsel berderit dan wajah tampan dengan cambang halus yang tumbuh di sekitar pipinya menoleh, menyunggingkan senyum manis yang tulus, senyum yang jarang kulihat ketika ia masih kanebo keringku, es batu yang melelehkan, ah patah hati mengingatnya Meski seni mencinta adalah cara paling mudah menyakiti diri sendiri, aku tetap melakukanny, dan tak pernah menyangka bahwa sakitnya akan seburuk ini. Bertubi tubi dan merenggut akalku.Kubuka pintu rumah, engsel berderit dan mengalihkan perhatian pria tampan dengan jambang halus yang mulai menumbuhi pipinya dia tersenyum memperlihatkan aksen paling manis di wajahnya, aksen yang jarang sekali kulihat ketika dia masih ku sebut sebagai kanebo kering milikku.Ah, kenapa aku bisa
Sedang sibuk menekuni semua tugas dalam memberi label pada hp yang sudah didaftarkan Imei-nya, tiba tiba pria yang selalu memiliki senyum hangat dan tatapan menggoda, datang dan meletakkan secangkir kopi dengan gelas kertas."Aku, udah merindukanmu dan memutuskan untuk langsung datang ke counter ini.""Tidak ada tempat untuk merindukan seseorang, ini adalah tempat penjualan HP," jawabku sambil tertawa."Sungguh aku tidak bisa mengalihkan diri dari memikirkan kamu," ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu menopang dagunya, menatapku lekat."Jangan melihat aku seperti itu, aku akan merasa canggung," jawabku tersenyum."Hei, aku tahu aku salah merindukan milik orang lain, tapi aku tidak bisa menepis perasaanku, Nadia," ujarnya dengan tatapan penuh keseriusan. Aku juga tidak mendengar sebuah kebohongan dari nada bicaranya."Iya, situasi ini memang tidak menguntungkan untuk kita,"jawabku sambil tersenyum dan melanjutkan pekerjaan."Mengapa reaksi mengubah begitu santai
Bangunkan pria yang tertidur di depan TV sambil menepuk bahunya."Hei bangun, Ini sudah pagi,"ujarku dengan kesal karena di jam 8 di saat matahari sudah terik dia masih saja tertidur pulas.Ia menggeliat sesaat lalu berusaha mengerti akan membuka matanya."Apa sih istriku? Seorang Istri membangunkan suaminya dengan mesra memeluk lalu menyiapkan secangkir kopi, tapi kau malah membentakku," keluhnya sambil kembali memeluk bantal guling dan memejamkan mata."Bangun dan berangkatlah ke kantormu Aku tidak mau disalahkan ibu mertua karena kau tertidur di sini dan kau lalai dengan tugasmu.""Mengapa kau memanggilku dengan panggilan kau' padahal sebelumnya kalau selalu menyebut ku dengan kata sapaan Mas dan saat itu amat merdu terdengar di telingaku, ada apa kau berubah sedrastis ini?""Aku sudah katakan sebelumnya bahwa sejak Kau mengusirku dari hidupmu aku putuskan untuk menghapus semua perasaanku.""Sebelumnya kau punya perasaan?" tanyanya sambil mengulum senyum."Tidak." Aku membuang muka
Akan kukemanakan semua barang yang dibawa dari sebuah toko elektronik ternama di kota ini. Barang-barang tersebut sangat mewah tidak cocok dengan rumah kami yang sudah reot dan terbuat dari dinding triplek.Pria itu berdiri dengan wajah bangga sekaligus bersikap bahwa dirinya seolah memberikan sebuah jasa yang besar. Padahal sebaliknya aku sangat kesal, kini para tetangga berkerumun dan melihat mobil tersebut menurunkan barang-barang yang cukup membuat mereka berdecak kagum."Wah Mpok Zahra dapat menantu tajir, lihat buktinya, keren banget," ujar seorang ibu berdaster sambil menggendong anaknya."Iya, tapi aku ragu, jangan-jangan si menantunya dipelet mana mungkin pria tampan dan tajir melintir mau dengan si Nadia yang tidak begitu menarik itu, apalagi latarnya hanya orang miskin," timpal ibu yang lain."Eh, betul, jangan-jangan diguna-guna," bisik yang lain."Aduh, Ibu-ibu, saya pun tidak memaksa dia untuk menjadi suami saya, tapi dia sendiri yang bersikeras bahwa kami tidak boleh b
Kujemput ibuku dari sana setelah satu hari berdiam dan bermalam di rumahku, aku akan menjemputnya dan mengeluarkannya dari mansion mewah yang mengekang kebebasan kami.*Ketika sampai di depan gerbang dua orang penjaga membukakan pintu tanpa aba-aba mereka mempersilakanku masuk dengan penuh hormat dan mengawal ku sampai ke depan pintu utama."Terima kasih tapi saya tidak perlu dijaga Pak," ujarku sambil mengangguk dan tersenyum kepada mereka."Tidak apa-apa Nyonya itu memang sudah kewajiban kami," jawab Mereka."Tidak bisa Bang biasanya saya dipanggil Nadia saja, apakah kalian melihat ibu saya?""Ada tadi Nyonya, dia sedang menyiram bunga," jawab salah satu dari satpam itu."Terima kasih kalau begitu."Aku buka pintu lalu mengedarkan pandangan memindai ruangan yang berlantai full marmer gaya bangunan khas Eropa yang mewah serta warna putih yang mendominasi. Sofa meja dan perabotan berkilau dengan ornamen warna emas, serta pajangan yang juga terbuat dari emas dan perak."Benar-benar ru
"Kenapa kau membuang barang milikku, kenapa kau lancang sekali, Mas," ujarku dengan kesal."Kau tidak berhak mendapat hadiah dari orang lain selain dari suamimu sendiri," jawabnya."Tapi kau lancang sekali, kau tidak bertanya padaku dulu," gumamku sambil bangkit dan menjauhinya.Lancang sekali dia melakukan itu, meski dia suamiku harusnya dia tak bersikap sesuka hati, seolah-olah aku boneka yang dipermainkan begitu saja dan tidak punya hak untuk bicara."Nadia tunggu, ayo kita pulang, aku sudah menunggumu dari tadi," ajaknya."Pulanglah lebih dulu, aku masih ada kerjaan," jawabku ketus.Wajahnya terlihat kecewa namun tak urung dia pergi juga dari tempat kerjaku, aku tak mau semobil dengannya, rasanya risih diri ini terus berdua dengan pria yang semalam tadi telah ... ah, aku malu menyebutnya sendiri.*Kulangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan langkah gontai, sambil membayangkan adegan pemaksaan tadi malam serta meresapi rasa sakit yang menekan di pangkal paha, terasa lengkap pende