Aku tidak menemukan sabun seperti yang aku cari jadi aku buka lemari yang menyimpan barang-barang kebutuhan mandi mas Aldi. Ada shaving cream, ada shampo khusus laki-laki serta alat pencukur dan semua botol yang memperhatikan yang ku asumsikan mungkin adalah sabun mandi yang dituang ke dalam bak mandi.
Karena tidak ada pilihan lain maka akupun menuangkan sabun itu ke dalam rendaman ku agak banyak agar sesuai dengan jumlah air yang hampir penuh dalam bathtub. "Apa Mas Aldi lupa kalau sekarang aku sudah satu rumah dengannya sehingga ia lupa meminta kepada asisten yang untuk menyiapkan kebutuhan mandiku?" Sialnya, aku pun lupa memasukkan sabunku di hotel tadi karena terburu-buru diajak pergi olehnya. busa sabun mulai timbul dan aku dengan gembira merendam di dalam air hangat yang mengeluarkan aroma wangi mewah tersebut. "Wah, nyaman sekali," ujarku sambil merebahkan diri menikmati hangatnya bak pemandian sembari menikmati pemandangan di luar sana. Karena saking nyamannya aku menyedihkan kepala dan tidak menyadari bahwa diriku tertidur hingga ku sadarkan diri ketika tiba-tiba kurasakan hidung ini kesulitan bernafas. Ketika kubuka mata, aku terkesiap karena aku tidak bisa melihat sekelilingku. Semuanya busa dan aku tak tahu harus keluar dari mana, sekuat apapun menyibak busa itu tetap saja gagal, busa sudah memenuhi ruangan kamar mandi berlantai parquet tersebut. "Apakah aku tadi terlalu banyak membubuhkan bubuk sabun?" Kini, kusesali diri yang ceroboh dan kampungan ini. Aku mencoba berteriak minta tolong tapi busa-busa itu seorang menghalangi suaraku makan aku sendiri kesulitan untuk mendengar. "Ya Tuhan, kenapa aku bisa ketiduran?" "Tolong ... Tolong ...." Aku outus asa dan ayahnya mampu berteriak sambil meraba raba di mana kiranya keran air sehingga aku bisa menyiram semua busa yang mengembang ini? Sialnya aku tak memakai sehelai benangpun di badan. Aku tak bisa menemukan handukku. Aku jatuh dalam keputus-asaan sambil mengais sisa udara yang mungkin bisa kugunakan untuk bertahan. Sesak rasanya napas ini, kepalaku juga mulai pusing menghirup busa sabun, perlahan lahan kurasakan keadaanku mulai menurun. Hingga tiba tiba pintu kamrandi terdengar terbuka, suara orang orang ramai memanggil dan derap langkah mereka. Lalu aku lupa segalanya. * Aku mengerjap perlahan sambil berusaha membuka mata, kusesuaikan cahaya terang yang kini seakan menembus kelopak mata. "Apa kamu sudah sadar?" Kudengar suara suamiku bertanya. "Apa aku masih hidup?" Ia lantas tertawa terbahak-bahak melihatku, "Ya Tuhan kau membuatku takut saja." "Kenapa?" tanya aku seolah tidak berdosa padahal aku saat ini sangat malu padanya. "Kalau kamu tidak mengerti cara penggunaan bubuk mandi kenapa harus membubuhkan sebanyak itu? jika aku tidak segera pulang mungkin kau sudah mati di dalam kamar mandi." Ia menatapku seksama di sampingku sedang aku berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain agar tak gugup menatapnya. "Terima kasih karena Mas Aldi menyelamatkanku." "Iya aku harus menyelamatkanmu karena kau adalah istriku," balasnya yang entah mengapa kata-katanya tadi membuat hatiku tersentak bahagia. "Apa?" aku ingin mencoba memastikan ucapannya. "Maksudku kita punya kesepakatan dan kalau kau meninggal maka kata-kata kita akan batal." Jadi hanya itu yang dia pikirkan? "Kupikir batal di menyelamatkanku karena perduli," ucapku dengan nada sedih. "Tentu saja aku peduli aku peduli padamu dan juga khawatir dan ibumu jika ada apa-apa pasti dia akan mencariku dan aku tidak bisa menanggung semua itu." Hanya tentang itu? kupikir ada yang lain di hatinya? Tapi mustahil juga aku berharap dia akan membalas perasaan sukaku, mustahil. pemuda tampan yang kaya juga mapan pasti juga mencari wanita yang berkelas cantik dan elegan ada Mungkin ia akan mencari istri golongan menengah kebawah dan hidup di kampung lagi mengontrak, ah terlalu muluk-muluk jika aku berharap ia menyukaiku. Jujur, caranya yang dingin tapi perhatian membuatku gemas, suka dan makin penasaran. "Apa kamu lapar?" tanyanya memecah lamunanku. "Ya, Mas aku lapar." "Aku tak meminta pelayan untuk membawakan makanan," ucapnya sambil bangkit dan meraih kunci mobil. "Mau ke mana Mas?" "Ada urusan dan kau harus ingat lain kali jangan bertanya aku akan kemana dan mau apa itu bukan urusanmu," ucapnya sambil berlalu dan menutup pintu di belakangnya. Pria kaku itu terkadang membuatku sakit hati dengan keangkuhannya tapi di sisi lain aku menyukai cara ia mengurusi dan memberiku perhatian. Tiba-tiba pintu kembali terbuka dan wajahnya menyembul dari sana. "Kau makanlah terlebih dahulu tidak usah menungguku karena aku akan pulang larut." "Aku tidak akan menunggumu, Pak, karena itu bukan tugasku." Raut wajahnya berubah tidak suka, seperti kehilangan tenaga dan dominasinya sebagai suami. "Jadi ...." kini Dia terlihat ragu, "kamu mau dibawakan apa?" Apa? apa aku tidak salah dengar barusan? Dia menawariku sesuatu? "Tidak ada yang saya inginkan, Pak, hati-hati di jalan," ucapku sengaja dengan ucapan formal sambil membalikkan badan. "Kamu marah?" "Tidak, mana mungkin ada bawahan yang memarahi atasannya, tidak mungkin kan Pak?" Tiba- tiba ia terlihat termenung sendiri.Pukul 9 malam Mas Aldi pulang aku menyadari kehadirannya karena saat itu memang aku belum tertidur."Kau sudah tidur?" tanyanya yang sedang meletakkan dua kantong plastik di atas meja."Aku tidak menjawabnya sama sekali.""Kalau belum tidur bangunlah dan makan martabak yang aku bawakan untukmu, aku juga bawakan nasi goreng spesial."Aku sudah makan tadi." Tanpa sengaja Aku menjawab ucapannya di balik selimutSejenak ia tertawa lalu kemudian duduk di meja kerja dan membuka komputernya."Jangan bohong, nanti kau lapar.""Aku bilang aku sudah makan.""Tapi si Bibi mengatakan kalau kau belum makan dan tidak turun sama sekali ke bawah, apa yang terjadi?""Aku sedang tidak mood untuk turun ke mana-mana," jawabku."Kamu adalah pengantin di rumah ini dan seharusnya kau membaur dengan mertua dan kedua iparmu," ujarnya sambil menekuni layar laptopnya."Oh ya, aku belum bertemu dengan mereka.""Itu adikku memang sibuk dan hanya berada di rumah di akhir pekan.""Apa yang mereka lakukan?""Merek
Aku terbangun ketika matahari bersinar sangat cerah, saat aku membuka mata aroma kopi menguar menyentuh penciumanku, di meja tak jauh dari pembaringanku aneka roti sarapan telah dibawakan pelayan.Aku kagum dengan gaya hidup orang kaya, bangun tidur pun mereka langsung menikmati sarapannya, tanpa berpikir harus mencari uang dari mana untuk membeli bahan makanan lalu menyiapkan, luar biasa!"Kamu sudah bangun?"Suamiku datang menghampiri Ia terlihat segar seusai mandi, masih mengenakan handuk model kimono melilit tubuhnya yang atletis. Ya Tuhan, gairahku tumbuh melihat wajah seksi itu basah oleh titik titik air.Astaga, pikiranku jalan jalan lagi.Ia menggeser pintu lemari, mengeluarkan pakaiannya, lalu sesaat kemudian handuk yang ia pakai ditanggalkannya, tentu saja melihat itu aku terpekik, tidak kuduga sebelumnya, jika suamiku yang berwajah tampan, dengan rambut basah dan dada bidangnya yang berotot menambah pesona dan keseksiannya berani melepas handuk di hadapanku."Hei, ada
kutatap pantulan diriku di kaca yang terlihat sangat berbeda dari sebelumnya, yang aku gunakan dari atas ke bawah, dari ujung kaki hingga ujung kepala outfit yang mahal dengan harga selangit. Ketika aku yang hanya sales show room ponsel biasa tiba-tiba menjadi seorang nyonya yang terlihat elegan dan berubah total."Nadia cepat turun mobil jemputan sudah datang," panggil ibu mertua dari bawah sana."Ya Nyonya," jawabku langsung mengambil tas dan segera mengenakan sepatu lalu menutup pintu kamar dan turun ke bawah."Jangan panggil nyonya lagi kau adalah menantu rumah ini tidak akan enak didengar orang lain seperti itu," katanya dengan nada serius."Iya Mama, Maaf aku lupa.""Di perusahaan nanti tidak perlu banyak bicara jika mereka bertanya tentang latar belakang mu, katakan saja kalau lulusan universitas dari Kanada dan orang tuamu adalah pengusaha batubara.'"Tapi jika mereka bertanya lebih lanjut bagaimana Mama?""Ada tim humas perusahaan kami yang akan selalu mendampingi kamu sebag
"kok cemberut aja?""Gak ada."Jawabku yang entah pagi-pagi ini merasa badmood."Kalau kamu ingin sarapan kamu tinggal pesan apa yang kamu inginkan, pembantu akan belikan, ataukah pengen jalan-jalan supir akan mengantar ke mana kau pergi," tawarnya.Aku hanya membuang nafas kasar sampai membalikkan badan lalu memeluk guling."Mestinya kau siapkan aku sarapan, karena posisimu adalah istriku.""Aduh Pak direktur anda punya banyak pembantu yang bisa siapkan makanan apapun yang anda inginkan, iya kan?" "Seingatku kau bekerja untukku," sanggahnya.Oh iya, aku lupa Aku adalah bawahannya, jadi dengan beringsut malas-malas aku turun dari ranjang dan pergi menyiapkan suamiku sarapan.Ah, suami, dia bukan suami, dia hanya orang yang kebetulan mengikatku dalam ikatan pernikahan, mana ada cinta atau hubungan selayaknya suami dan istri. Konyol!Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah ini lalu kembali menerawang, andai seseorang jadi menantu rumah ini dan mendapatkan cinta dari semua penghuni
Tatapan mata kami bertemu ketika aku membuka pintu kamar, dia masuk dengan langkah gontai namun ketika menatapku memakai baju tidur yang dihadiahkan salah satu Tante Mas Aldi, ia sedikit membulatkan mata.Gaun tidur satin warna merah maroon dengan sedokit pulasan make up natural dan sedikit percikan parfum dengan wangi yang sensual, membuatnya sulit mengalihkan pandangan mata.Berkali kali kulihat ia menelan ludah menatap belahan pakaian yang ukurannya di atas paha itu. Agaknya aku mengerti, dan mulai bersorak dalam hati berharap suamiku akan menyukai ini."Kenapa, Mas, ada yang aneh?""Tumben cantik banget," gumamnya pelan sambil melonggarkan ikatan dasi."Gak kok, aku coba mau cobain lingerie pemberian Tante Ririn," jawabku sambil tersipu pelan."Baju itu tipis, kamu gak masuk angin?"Duh, kalau dia bertanya seperti ini, aku jadi malu, dan terlihat konyol. Tidakkah dia mengerti bahwa aku mengenakan ini untuk menyenangkan pandangan matanya.Benar saja, Lima menit menatapku tanpa be
"Kamu harus lebih sering keluar kota sekarang, karena harus bertemu klien dan mengurus semua bisnis kita," ucap ayah Mas Aldi ketika kami sedang berkumpul di meja makan untuk makan malam."Iya Pa, aku ngerti," jawab Mas Aldi santai menyendokkan makanannya.Ada yang mengherankan di keluarga ini ketika keluarga lain bercengkerama dan penuh canda tawa di meja makan, mereka sebaliknya, hanya diam dan seolah tenggelam di dunianya sendiri.Mereka terdiam seribu bahasa dan tidak ada seorang anak pun yang berinisiatif memulai percakapan dan menceritakan kegiatan harinya dengan orang tua ataupun orangtua dengan lembut memberi wejangan terbaik kepada anak-anak mereka.Keluarga yang aneh."Ajaklah istrimu sekalian menghabiskan bulan madu kalian," suruh Papa mertua."Enggak penting Pa, aku akan pergi menemui klien lalu di segera kembali ke sini," jawabnya."Berlibur di villa keluarga kita akan menyenangkan untuk istrimu, Aku tidak ingin hubungan kalian kaku."unsur ayah mertua sangat bagus dan
"ayo cepat," ujarnya memberi isyarat dengan lambaian."Iya, Mas,. Bentar ... Nyangkut," jawabku pelan."Buruan."Ia kembali membalikkan badan, sambil tetap menarik roda koper, aku merutuk kenapa juga roda itu harus tersangkut, dan kenapa juga Mas Aldi begitu acuh dengan keadaan ini. Tidakkah dia memperhatikan bagaimana orang-orang menertawakanku?Selagi terus berusaha aku tak menyadari bahwa pria tampan dengan wangi parfum khas kayu kayuan elegan telah hadir di belakangku, melingkari tubuh kecil ini dengan posturnya dan ia menyentuh tanganku sambil membantuku mengangkat koper itu.Seketika orang yang tadinya tertawa jadi terdiam seketika."Maafkan kalo istri saya membuat kalian tertawa," ujar Mas Aldi sukses membuat orang sekitar yang duduk dan berlalu lalang jadi diam dan malu."Oh, istrinya Pak ... Saya kira asis ....""Dia istriku sayang," potong Mas Aldi sambil melingkarkan lengan di bahuku dengan hangat."Ayo, Sayang, kita masuk ke ruang tunggu.""Iya, Mas," jawabku lirih dan se
Kuhampiri dengan anggun, lalu menghempas diri di antara kerumunan wanita cantik itu. Mas Aldi kaget begitu juga wanitanya."Eh, siapa ini Mas?""Uhm, pegawai saya, maksudku, asisten," balasnya santai."Ehm .. hhem ... saya istrinya, saya benaran istrinya, kami kemari bulan madu, kalian mau lihat surat nikah?""Wooow ...." Mereka kaget sekaligus ada raut tak percaya."Kamar kami nomor 405, silakan ke sana buat yang penasaran," ujarku sambil memperlihatkan kartu kunci kamar."Masak sih?""Atau langsung ke resepsionis, konfirmasi kalo pesanan ini buat pasangan," jawabku santai dan membuat mereka segan dan langsung menjaga jarak pada Mas Aldi."Benarkah itu mas Aldi?" tanya mereka."Eggak, siapa yang bilang Mas Aldi," menggeleng cepat menolak pertanyaan para gadis-gadis cantik itu."Ya udah deh, kalau dia udah punya istri lebih baik kita mundur aja," ujar seorang wanita sambil bangkit dari tempat duduknya dan diiringi oleh gadis-gadis seksi lainnya hingga mereka benar-benar tidak bersisa
Aku tahu, memilih Mas Aldi dalam hidupku juga bukan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang harus kuhadapi dengan sabar dan penuh kekuatan. Misalnya ibu tirinya yang hanya melihat uang sebagai sesuatu yang bernilai. Sedang hubungan dia dan Mas Aldi berjalan datar, terkesan berpura-pura baik dan dipaksakan agar nampak seperti ibu yang baik di depan suaminya.Aku tahu, adik-adik Mas Aldi akan mencibirku, begitu juga beberapa wanita yang pernah dekat dengannya, mereka tak akan berhenti untuk menggoda suamiku, sampai Mas Aldi kembali bertekutk lutut.*Kulangkahkan kaki, mencari pria yang menikahiku beberapa bulan lalu ke kantornya. Penampilanku yang hanya berkemeja kotak dan celana jeans serta sebuah tas selempang yang tersampir di bahu sangat kontras dengan tempat di mana aku berpijak saat ini.Resepsionis datang dan bertanya apa keperluanku--yang lusuh dan tidak elegan ini-- datang ke kantor mereka."Aku mencari suamiku," jawabku.Wanita berseragam rapi itu mengernyit, mungkin lupa ata
Aku ingin memilih sekarang dan mengakhiri kemelut cinta segitiga yang membuatku bingung memilih antar Mas Aldi atau Rizal. Terlebih ketika aku sudah berdamai dengannya beberapa saat tadi."Aku akan menyusul Mas Aldi malam nanti," gumamku setelah baru saja di antar olehnya pulang.Ketika masuk ke dalam rumah kudapati ibu sedang termenung sendiri di meja makan, wajahnya amat sedih dan sesekali ia mengusap deraian air mata di pipi."Ibu ... ibu kenapa?" tanyaku pelan sambil menghampiri dan menggenggam tangannya."Ibu hanya memikirkan bagaimana masa depan pernikahanmu Nadia, sedih sekali melihat ketika wanita sebayamu sedang berbahagia dengan rumah tangga mereka, sedangkan kamu terpisah dari suamimu sendiri dan berada di dalam ketidakpastian.""Sebenarnya aku sendiri yang membuat pernikahan ini berada dalam ketidakpastian, mudah untuk kembali dan berbahagia lagi tapi karena sakit hati aku membeli untuk berlarut-larut mendiamkan masalah ini. Tapi ibu tenang saja sekarang," jawabku pelan."
Selepas kepergiannya ada rasa kesepian yang tiba-tiba memenuhi dinding hatiku. Kemarin aku telah membencinya, berkali-kali muak padanya, tapi mendengar semua penuturan yang menyedihkan tadi, membuat sudut pandangku berubah dan seketika menjadi iba.Lalu bagaimana dengan perasaan hatiku yang tiba-tiba dicuri Mas Rizal dengan perhatian dan kelembutannya?Seharusnya tak kubiarkan ruang kosong di hati diisi cinta lain hingga statusku resmi menjanda, apa akibatnya sekarang setelah memutuskan jauh dari suami, kini aku dilema sendiri."Kalo kau mencintaiku maka tahanlah aku." Itu pintanya sesaat sebelum pergi.Aku tahu persis bahwa jika kali ini ia patah hati karena penolakanku, maka itu akan mengulang luka lama yang dia derita, sakitnya akan terbuka kembali, dan hatinya akan semakin ditutupi kegelapan abadi. Akan susah sekali untuk membuatnya tersenyum dan hangat lagi."Apa yang kamu lakukan Nak, kok kamu gitu sama suamimu?""Aku harus bagaimana, Bu?""Kenapa memutuskan berpisah sementara
Kususuri jalan trotoar dengan langkah gontai seolah-olah boneka, atau jasad yang tidak bernyawa. Hatiku terbelah menjadi dua dan aku tidak tahu harus kemana, suami dan pria itu, dua hal yang terus berputar dan menyita fokus otakku.Aku lelah memikirkan itu.Kubuka pintu, engsel berderit dan wajah tampan dengan cambang halus yang tumbuh di sekitar pipinya menoleh, menyunggingkan senyum manis yang tulus, senyum yang jarang kulihat ketika ia masih kanebo keringku, es batu yang melelehkan, ah patah hati mengingatnya Meski seni mencinta adalah cara paling mudah menyakiti diri sendiri, aku tetap melakukanny, dan tak pernah menyangka bahwa sakitnya akan seburuk ini. Bertubi tubi dan merenggut akalku.Kubuka pintu rumah, engsel berderit dan mengalihkan perhatian pria tampan dengan jambang halus yang mulai menumbuhi pipinya dia tersenyum memperlihatkan aksen paling manis di wajahnya, aksen yang jarang sekali kulihat ketika dia masih ku sebut sebagai kanebo kering milikku.Ah, kenapa aku bisa
Sedang sibuk menekuni semua tugas dalam memberi label pada hp yang sudah didaftarkan Imei-nya, tiba tiba pria yang selalu memiliki senyum hangat dan tatapan menggoda, datang dan meletakkan secangkir kopi dengan gelas kertas."Aku, udah merindukanmu dan memutuskan untuk langsung datang ke counter ini.""Tidak ada tempat untuk merindukan seseorang, ini adalah tempat penjualan HP," jawabku sambil tertawa."Sungguh aku tidak bisa mengalihkan diri dari memikirkan kamu," ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja lalu menopang dagunya, menatapku lekat."Jangan melihat aku seperti itu, aku akan merasa canggung," jawabku tersenyum."Hei, aku tahu aku salah merindukan milik orang lain, tapi aku tidak bisa menepis perasaanku, Nadia," ujarnya dengan tatapan penuh keseriusan. Aku juga tidak mendengar sebuah kebohongan dari nada bicaranya."Iya, situasi ini memang tidak menguntungkan untuk kita,"jawabku sambil tersenyum dan melanjutkan pekerjaan."Mengapa reaksi mengubah begitu santai
Bangunkan pria yang tertidur di depan TV sambil menepuk bahunya."Hei bangun, Ini sudah pagi,"ujarku dengan kesal karena di jam 8 di saat matahari sudah terik dia masih saja tertidur pulas.Ia menggeliat sesaat lalu berusaha mengerti akan membuka matanya."Apa sih istriku? Seorang Istri membangunkan suaminya dengan mesra memeluk lalu menyiapkan secangkir kopi, tapi kau malah membentakku," keluhnya sambil kembali memeluk bantal guling dan memejamkan mata."Bangun dan berangkatlah ke kantormu Aku tidak mau disalahkan ibu mertua karena kau tertidur di sini dan kau lalai dengan tugasmu.""Mengapa kau memanggilku dengan panggilan kau' padahal sebelumnya kalau selalu menyebut ku dengan kata sapaan Mas dan saat itu amat merdu terdengar di telingaku, ada apa kau berubah sedrastis ini?""Aku sudah katakan sebelumnya bahwa sejak Kau mengusirku dari hidupmu aku putuskan untuk menghapus semua perasaanku.""Sebelumnya kau punya perasaan?" tanyanya sambil mengulum senyum."Tidak." Aku membuang muka
Akan kukemanakan semua barang yang dibawa dari sebuah toko elektronik ternama di kota ini. Barang-barang tersebut sangat mewah tidak cocok dengan rumah kami yang sudah reot dan terbuat dari dinding triplek.Pria itu berdiri dengan wajah bangga sekaligus bersikap bahwa dirinya seolah memberikan sebuah jasa yang besar. Padahal sebaliknya aku sangat kesal, kini para tetangga berkerumun dan melihat mobil tersebut menurunkan barang-barang yang cukup membuat mereka berdecak kagum."Wah Mpok Zahra dapat menantu tajir, lihat buktinya, keren banget," ujar seorang ibu berdaster sambil menggendong anaknya."Iya, tapi aku ragu, jangan-jangan si menantunya dipelet mana mungkin pria tampan dan tajir melintir mau dengan si Nadia yang tidak begitu menarik itu, apalagi latarnya hanya orang miskin," timpal ibu yang lain."Eh, betul, jangan-jangan diguna-guna," bisik yang lain."Aduh, Ibu-ibu, saya pun tidak memaksa dia untuk menjadi suami saya, tapi dia sendiri yang bersikeras bahwa kami tidak boleh b
Kujemput ibuku dari sana setelah satu hari berdiam dan bermalam di rumahku, aku akan menjemputnya dan mengeluarkannya dari mansion mewah yang mengekang kebebasan kami.*Ketika sampai di depan gerbang dua orang penjaga membukakan pintu tanpa aba-aba mereka mempersilakanku masuk dengan penuh hormat dan mengawal ku sampai ke depan pintu utama."Terima kasih tapi saya tidak perlu dijaga Pak," ujarku sambil mengangguk dan tersenyum kepada mereka."Tidak apa-apa Nyonya itu memang sudah kewajiban kami," jawab Mereka."Tidak bisa Bang biasanya saya dipanggil Nadia saja, apakah kalian melihat ibu saya?""Ada tadi Nyonya, dia sedang menyiram bunga," jawab salah satu dari satpam itu."Terima kasih kalau begitu."Aku buka pintu lalu mengedarkan pandangan memindai ruangan yang berlantai full marmer gaya bangunan khas Eropa yang mewah serta warna putih yang mendominasi. Sofa meja dan perabotan berkilau dengan ornamen warna emas, serta pajangan yang juga terbuat dari emas dan perak."Benar-benar ru
"Kenapa kau membuang barang milikku, kenapa kau lancang sekali, Mas," ujarku dengan kesal."Kau tidak berhak mendapat hadiah dari orang lain selain dari suamimu sendiri," jawabnya."Tapi kau lancang sekali, kau tidak bertanya padaku dulu," gumamku sambil bangkit dan menjauhinya.Lancang sekali dia melakukan itu, meski dia suamiku harusnya dia tak bersikap sesuka hati, seolah-olah aku boneka yang dipermainkan begitu saja dan tidak punya hak untuk bicara."Nadia tunggu, ayo kita pulang, aku sudah menunggumu dari tadi," ajaknya."Pulanglah lebih dulu, aku masih ada kerjaan," jawabku ketus.Wajahnya terlihat kecewa namun tak urung dia pergi juga dari tempat kerjaku, aku tak mau semobil dengannya, rasanya risih diri ini terus berdua dengan pria yang semalam tadi telah ... ah, aku malu menyebutnya sendiri.*Kulangkahkan kaki menyusuri trotoar dengan langkah gontai, sambil membayangkan adegan pemaksaan tadi malam serta meresapi rasa sakit yang menekan di pangkal paha, terasa lengkap pende