"Bu Melda, apakah benar kalian sudah bersekutu dengan mereka?" tanya Pak ustadz Wahyu~ustadz yang lebih muda."Kalian tidak perlu tahu, lebih baik cepat tolong anak saya!" perintah Bu Melda pada kedua ustadz itu.Kedua ustadz yang mendengar ucapan Bu Melda hanya menggeleng kepalanya."Jangan mencoba menghalangiku untuk membawanya, karena mereka sudah terikat denganku!" ucap Kang Satria yang tengah berwujud siluman."Apa maksudnya mereka terikat denganmu?" tanya Ustad Wahyu."Dia dan satu lagi kawannya, yang selalu membantu Aksa untuk mencarikan budak untukku, dan sebagai imbalanya aku buat mereka lebih muda padahal umur mereka sudah ratusan tahun." ucap Kang Satria menunjuk Bu Melda.'A-apa ratusan tahun?' tanya batinku sambil menatap Bu Melda tak percaya."Bohong! Dasar iblis pendusta kau mau memgecohkan semua orang hah!" teriak Bu Melda tak terima."Baik aku akan kembalikan kau ke wujudmu yang semula. Ha
"Kemana kalian bawa wanita itu?" tanya Ayah saat kami baru masuk kedalam rumah."Mereka di bawa kerumah Pak Kades yang lama, Yah." jawabku."Cih! Seharusnya mereka itu di tempatkan di neraka saja," cibir Ayah."Yah tidak baik berbicara seperti itu," tegurku."Lagian ayah heran sama kamu, mereka itu sudah jahat sama kita dan kamu masih mau menolongnya," gerutu Ayah padaku, beliau saat ini benar-benar marah besar."Ayah, kita di ciptakan memiliki rasa empati dan kasih sayang, jika kita tidak menolongnya bukankah kita sama saja dengan mereka? Katamu mereka tak punya hati, bahkan mereka terbilang berhati iblis, lalu bagaimana dengan kita?" tanyaku padanya.Ayah hanya memalingkan wajahnya saat aku bertanya seperti itu."Tapi tetap saja mereka itu salah, dan apa kamu tidak berpikir? Bagaimana nanti jika ada korban selanjutnya?" tanya Ayah padaku."Kita doakan saja semoga mereka bertaubat dan tak mengulangi perbu
"Enggak ah, Akang nyebelin!" ucapku yang langsung menarik selimut tebal."Teteh ih," ucap irpan dengan wajah melasnya."Apa Kang?" tanyaku."Itu ih!" sahut yang membuatku tak mengerti."Si Akang kenapa sih? Belum minum obat?" tanyaku lagi padanya."Bilangin ke si bapak ah! Teteh gak mau layanin suami," ancamnya padaku."Dih! Aduan si Akang" cibirku."Yaudah ayo atuh Teh," ajaknya sambil menarik tanganku."Akang mau bawa saya kemana?" tanyaku."Gak kemana-mana cuma suruh berdiri aja," jawabnya yang membuatku bingung."Emangnya saya patung Kang?" ucapku sambil memasang wajah cemberut."Iya Teteh itu patung yang ada di dalam diri saya," ucap Irpan sambil menyentuh dadanya."Itu jantung Kang, bukan patung." laratku sambil terkekeh.Irpan~pria yang telah menjadi suamiku itu hanya menyengir kuda."Teh, saya sebenarnya gak percaya bisa nikah sama Teteh." ucap I
"Akang saya berangkat kerja dulu ya," ucapku saat aku sudah rapi, dan bersiap berkerja di pabrik garmen seperti biasa."Loh Teteh emang gak ngambil cuti nikah?" tanya Irpan."Enggak Kang, tadinya saya pikir ya nggak bakalan jadi nikah. Hehe," jawabku sambil mengggaruk kepala."Teteh ngarepin gak jadi nikah sama saya?" tanya Irpan sambil mencabbikan bibirnya."Ih kan tadinya bukan sama Akang nikahnya," jawabku."Maksudnya?" tanyanya lagi heran."Tadinya kan saya mau nikah sama iblis itu Kang, jadi saya pikir gak bakalan jadi nikah atau gak bakalan bertahan lama gitu." jawabku menjelaskan semuanya."Sekarang 'kan Teteh udah nikah, jadi bisa ambil cuti kan?" tanyanya."Tetep gak bisa Kang, soalnya saya belum bilang ke atasan." jawabku yang membuat raut wajahnya memelas."Ih Teteh gak ngertiin," ucapnya dengan tingkah anak kecil.Aku berusaha menahan tawaku saat melihat tingkah lucunya yang se
"Saudara?" tanya Ayahku pada Irpan."Iya Pak saudara kandung saya," jawab Irpan."Memang kapan dia akan datang?" tanya Ayahku."Nanti sorean mungkin datangnya, Pak." jawab Irpan, namun raut wajah Ayah terlihat tengah kebingungan."Kenapa Pak?" tanya Irpan."Saya bingung, kalau saudara kamu mau nginep di sini, mau tidur dimana? Tahu sendiri kan kamar di rumah ini hanya ada dua," ucap Ayah menjelaskan kebingungannya."Ah gampang itu mah Pak, saudara saya, malah sudah terbiasa tidur nemplok di dinding," ucap Irpan."Kayak tokek dong Kang," sahutku sambil tertawa."Bukan Teh, tapi kaya cicak,"ujar Irpan sambil tertawa terbahak-bahak."Astaghfirullah, udah jam delapan," ucapku kaget saat melihat jarum jam di pergelangan tanganku."Mau kemana Teh? Kan saya udah bilang jangan kerja hari ini," perintah Irpan padaku dengan gaya suami galak."Dengerin tuh kata Pak suami," kekeh Ayah.
"Astaghfirullah!" Aku beristighfar saat melihat kondisi Mega semakin parah.Borok di lehernya membesar di iringi dengan keluarnya belatung."T-olong kami Putri," pinta Bu Melda yang sudah berwujud nenek-nenek umur ratusan tahunan."Ini kenapa bisa begini Nek?" tanya Mbak Puspa."Nenek? Saya ini masih muda!" sentak Bu Melda yang tidak terima.Sepertinya wanita itu tidak sadar dengan wujud tuanya yang sekarang."Bang--" lirih Mbak Puspa dengan suara ketakutan.Bang Adnan langsung memeluknya. Mungkin perasaan Mbak Puspa lebih sensitif karena ia tengah hamil."Hey! Nenek lampir beraninya membentak istri saya!" sentak balik Bang Adnan.Aku yang ingin memberitahu Bu Melda bahwa wujudnya tak seperti dulu lagi, mengambil cermin yang terdapat dalam tas-ku."Bu ini--" ucapku ragu-ragu sambil menyodorkan cerminku."Apa maksud kamu?" tanyanya dengan tatapan tak suka."Coba saja ibu l
'Tapi siapa wanita itu? Suaranya sangat familiar' tanyaku dalam hati, aku tak bisa melihat wajahnya karena wanita itu tengah membelakangiku.Wanita terus meminta ampunan, bahkan sampai bersujud di kedua ekor ular setengah manusia itu.Ular setengah manusia itu berjenis lelaki dan perempuan, mereka sama-sama memakai mahkota kerajaan, dan pakaian raja namun kakinya berupa ekor."Kau telah gagal memberikanku tumb*l," ucap lelaki yang setengah ular itu.'Dia K-ang Satria.' batinku, berarti benar selama ini dia bukan manusia, tapi siluman ular setengah manusia.'Lalu siapa wanita sejenis ular itu yang bersamanya?' tanya batinku."Suruh dia menari kembali!" perintah wanita mengerikan itu."Baik kanjeng ibu," ucap Kang Satria.Ll'Kanjeng ibu? Dia ibu asli dari Kang Satria?" tanya batinku bertubi-tubi.Kang Satria bersama algojo-algojonya mendekat ke arah wanita yang terduduk lemas di sana."Menari! At
Mega hanya menundukkan kepalanya, sementara para rombongan Dewi ular sudah semakin mendekat."Teteh," sebuah suara milik pria tiba-tiba memanggilku."Putri, ikuti suara itu Nduk" tiba-tiba ada suara seorang wanita yang sangat mirip dengan suara almarhumah ibuku."Tehhh!" suara pria familiar itu kembali memanggilku."A-kang" lirihku yang baru tersadar pemilik suara itu adalah suamiku~Irpan."Ayo, Nduk ikuti suara dan setitik cahaya itu." seru suara yang almarhumah ibu.Suara Irpan terus memanggil-manggilku, dan tepat saat aku mendongak ke atas memang ada setitik cahaya di sana. Entah kekuatan dari mana, aku bisa menggerakkan kaki dengan segera berbalik badan ke belakang.Ada dua jalan setapak di sana, yang kiri terdapat jalan rumah anyaman bambu yang tadi ku lewati, yang kanan terdapat hutan belantara. Aku bingung harus pilih yang mana, kanan atau kiri."Pilihlah yang kanan, Nduk."Namun tiba-tiba suara