Karena Katon meminta seperti itu, tentu saja Satria membawa Katon kembali ke Indonesia. Arini dan Rosalind yang datang belakangan tidak mengetahui kalau Katon sudah berada di rumah industri lagi. Satria pun tidak merasa perlu memberitahu istri dan puteri keduanya ketika mereka tiba di malam hari, dua hari setelah kedatangan putera sulung dan dirinya. Pagi hari, seperti biasa. Arini bangun tanpa ada Satria di sisinya. Sang suami selalu meninggalkan tempat tidur lebih dulu untuk berolahraga. Arini mandi dan membawa dirinya sendiri turun ke dapur lalu bekerja menyiapkan sarapan untuk keluarga bersama asisten rumah tangganya. Ketika berjalan menuju ke dapur, pandangannya menuju ke jendela yang mengarah ke kebun belakang dan Arini terkesiap. Satria sedang berolahraga bersama Katon. Arini berlari kecil sambil tertawa senang. Ia membuka pintu dapur ke halaman belakang dan menghambur ke arah puteranya. Katon sudah berhenti melakukan Kata ketika mendengar pintu terbuka dan tawa Arini yang
Tentu saja hasil penyelidikan Satria tidak menemukan hal yang mencurigakan dari seorang Ratih Ayu Putraningtyas. Sebagai putri bungsu sebuah keluarga kaya, ternyata Ratih bukanlah gadis yang manja. Hasil penyelidikan Satria menemukan Ratih Ayu Putraningtyas adalah wanita yang sopan, penurut, dan mandiri. Dia juga wanita yang cinta damai dan tidak suka bertengkar, meskipun ia menguasai Karate dan mahir bermain anggar. Pada poin ini Satria sudah jatuh kagum kepada puteri bungsu Teguh Putra dan mulai memahami mengapa Katon tidak sanggup menolak pesonanya. Ratih Ayu adalah lulusan Sekolah International terbaik di Jakarta dan setelah lulus mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Perancis. Namun, kekurangannya, Ratih cenderung mudah curiga, jahil, ceroboh, ambisius, sering ingkar janji, dan tidak merasa puas dengan yang dimiliki. Satria menandai hal ini dan akan mendiskusikan dengan putera sulungnya. “Bukankah Papa selalu bercerita, bahwa Mama adalah gadis ceroboh ketika pertama bertemu
“Terima kasih, Pak Teguh,” jawab Satria dan menerima jabat tangan Teguh Putra. “Wah, bersama Nyonya Satria?” Teguh Putra untuk sementara mengabaikan Katon. “Senang bertemu dengan Pak Teguh, apa kabar?” sahut Arini ramah ketika mendapat giliran berjabat tangan dengan Teguh Putra. “Kabar baik. Di usia senja ini, bukankah kabar baik yang selalu dinanti, Bu Satria?” ujarnya. Mereka tertawa bersama membenarkan pemikiran itu. “Ini istri saya, Siti Amira.” Teguh Putra membawa pasangannya ke samping dan memperkenalkan pada Arini dan Satria. Kedua wanita paruh baya itu saling menempelkan pipi dengan sopan dan berkenalan. “Benar sekali, kata Pak Teguh tadi. Kabar baik memang selalu dinanti di usia senja ini. Seperti halnya kami. Semoga kedatangan kami membawa kabar baik.” sambut Satria ketika Siti Amira dan Arini selesai beramah-tamah. “Hahaha ... melihat cerahnya wajah Anda semua. Saya harap begitu. Katon?” Teguh Putra mengulurkan tangannya dan Katon menerima sekaligus mencium punggung t
“Ayah, Ibu, saya anggap lamaran saya diterima. Proses selanjutnya saya serahkan kepada Mama dan Papa. Sementara saya, dengan rendah hati mohon ijin untuk turut campur dalam kehidupan calon tunangan saya. Saya akan menjaga dia seperti menjaga mutiara paling suci. Ijinkan saya ikut mengawal Ratih dalam menyelesaikan proyeknya di hutan Amazon?” pinta Katon dengan sopan. Tentu saja Teguh Putra dan Siti Amira tercengang. Sudahlah panggilan sok akrab Katon yang langsung gas memanggil mereka dengan sebutan yang sama dengan Ratih. Sekarang malah ujuk-ujuk mau ikut menyusul Ratih ke Brazil. Di sisi lain Satria dan Arini berbeda sikap dan ekspresi. Satria dengan wajah datar dan kakunya sementara Arini sedikit kalut dan khawatir. Mereka tentu belum lupa pengalaman Katon dan Morgan menantang bahaya di hutan Amazon tetapi bagian Venezuela ketika bentrok dengan tribe kuno. Entah apakah mereka suku kuno yang sama yang akan diteliti oleh Ratih? “Putera saya ini memiliki pengalaman buruk dengan tri
Kalau untuk penyuka buku kultivasi, pasti bisa membayangkan suasana yang panas terjadi di ruangan apartemen ketika Katon mengeluarkan kalimat sefrontal itu. Ratih akan menoleh dengan murka lalu menyemburkan api atau kilat melalui matanya dan menembak ke arah Katon. Membuat pria itu meledak di tempat. Tapi pada kehidupan nyata, Ratih hanya menoleh dengan tatapan setajam pisau sementara keempat temannya yang lain menatap mendadak ke arah Katon dengan wajah terkejut. Hanya Emily yang menahan tawa. “Kau sudah bertunangan?” “Wah, maaf. Sepertinya kami melewatkan pesta pertunanganmu, Ratih!” “Dia mengkhayal? Kamu model khayalannya?” “Kalian sedang syuting drama romantis atau gimana?” Kawan-kawan Ratih selain Emily saling mengeluarkan komentar, tumpang tindih satu sama lain ke arah Ratih. Membuat gadis Jawa itu memejamkan mata indahnya dengan sebal tetapi menutup mulut dari semua komentar temannya. Katon tersenyum mendapati respon lucu tapi menyenangkan itu. Ia berjalan penuh percaya
Kawan-kawan Ratih bertahan sampai dengan makan malam. Mereka mulai membubarkan diri dari rapat menjelang jam makan dan Katon melihat kalau tim ini cukup kompak sampai dengan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak canggung membagi tugas. Sebagian merambah lemari es Ratih dan mulai memasak, sebagian yang lain membereskan buku-buku dan alat presentasi rapat mereka. Ratih malah memilih masuk ke dalam kamar tidurnya. Untuk sesaat, Katon berpikir, Jangan-jangan seluruh kelompok Ratih tinggal di dalam apartemen ini. Dengan adanya dua kamar tidur dan satu tempat tidur sofa semua memungkinkan. Katon menghela napas. Apakah ia salah menilai? Apakah selama ini Ratih hidup bebas di Paris? Baru saja Katon berpikir, apakah tetap bertahan di ruang tamu atau terjun membantu menyiapkan makan malam, Ratih keluar dari kamar tidurnya dan orang pertama yang ia tatap adalah Katon. Sekali pandang Katon tahu. Ratih telah menghubungi orang tuanya dan mendapat detil perihal pertunangan mereka. Masih ada kema
Ratih mengerjap dan berusaha menguasai mulutnya. Ia menarik tangan dari remasan tangan Katon dan berbalik menghadap wastafelnya lagi. “Aku juga Dan!” bentaknya kesal. “Berapa?” tanya Katon manis sambil melongok mencari wajah Ratih. Gadis itu diam dan memilih tidak menjawab. Ratih diam karena levelnya di bawah Katon. Ia masih Go-Dan, atau pemegang sabuk hitam level lima. Sekarang Ratih memahami alasannya kedua orang tuanya menerima lamaran Katon. Bukan hanya bisnis yang mereka pikirkan. Tetapi Katon adalah lelaki yang mampu menundukkannya dalam arti yang sebenarnya. Katon mengacak kepala Ratih dengan lembut dan meninggalkan gadis yang sewot mengusap kepalanya seolah ingin menghapus jejak tangan Katon. Ia memilih melangkah kembali ke ruang tamu dan menatap kawan Ratih satu-persatu. Dia yang paling tua di sini dan dia mau dihormati. Bagaimana bisa tidak ada seorangpun yang beranjak untuk pulang di kala dia sudah mendeklarasikan diri sebagai tunangan Ratih? Perlukah ia banting mereka
“Tidak. Terima kasih.” Ratih menjawab dengan ketus. “Ouch! Itu menyakiti hatiku.” Katon berpura-pura kesakitan sambil memegang dadanya. “Apa kataku, tidak mudah, Ton!” gelak Emily. “Aku tahu. Tetapi aku punya kekuatan ajaib. Kami sebut restu ibu.” Katon sok berbisik padahal ia menyuarakan dengan keras. “Aku tahu ini! Indonesia dengan segala adat ketimurannya,” ujar Sarah penuh semangat. “Yakan! Sesuatu yang berurusan dengan karma dan kualat?” tambah Emily. Ratih mendelik ke arah dua temannya. “Karma dan kualat tidak menyeberangi lautan!” tukasnya mendebat kedua temannya yang malah tertawa. “Begitukah?” Katon bergerak sedikit di atas jok, tampak kalau ia akan mengambil ponsel di saku jeansnya. “Mas!” bentak Ratih sewot. Ia takut Katon bakal menelepon ibunya lagi. Menganggu waktu ibunya untuk hal yang tidak penting. Dan membuat ia menerima omelan seperti kemarin karena lambat membuka pintu untuk Katon. “Ya, Sayang?” respon Katon makin menyebalkan Ratih. “Sialan! Aku duluan!”
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal