Kalau untuk penyuka buku kultivasi, pasti bisa membayangkan suasana yang panas terjadi di ruangan apartemen ketika Katon mengeluarkan kalimat sefrontal itu. Ratih akan menoleh dengan murka lalu menyemburkan api atau kilat melalui matanya dan menembak ke arah Katon. Membuat pria itu meledak di tempat. Tapi pada kehidupan nyata, Ratih hanya menoleh dengan tatapan setajam pisau sementara keempat temannya yang lain menatap mendadak ke arah Katon dengan wajah terkejut. Hanya Emily yang menahan tawa. “Kau sudah bertunangan?” “Wah, maaf. Sepertinya kami melewatkan pesta pertunanganmu, Ratih!” “Dia mengkhayal? Kamu model khayalannya?” “Kalian sedang syuting drama romantis atau gimana?” Kawan-kawan Ratih selain Emily saling mengeluarkan komentar, tumpang tindih satu sama lain ke arah Ratih. Membuat gadis Jawa itu memejamkan mata indahnya dengan sebal tetapi menutup mulut dari semua komentar temannya. Katon tersenyum mendapati respon lucu tapi menyenangkan itu. Ia berjalan penuh percaya
Kawan-kawan Ratih bertahan sampai dengan makan malam. Mereka mulai membubarkan diri dari rapat menjelang jam makan dan Katon melihat kalau tim ini cukup kompak sampai dengan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak canggung membagi tugas. Sebagian merambah lemari es Ratih dan mulai memasak, sebagian yang lain membereskan buku-buku dan alat presentasi rapat mereka. Ratih malah memilih masuk ke dalam kamar tidurnya. Untuk sesaat, Katon berpikir, Jangan-jangan seluruh kelompok Ratih tinggal di dalam apartemen ini. Dengan adanya dua kamar tidur dan satu tempat tidur sofa semua memungkinkan. Katon menghela napas. Apakah ia salah menilai? Apakah selama ini Ratih hidup bebas di Paris? Baru saja Katon berpikir, apakah tetap bertahan di ruang tamu atau terjun membantu menyiapkan makan malam, Ratih keluar dari kamar tidurnya dan orang pertama yang ia tatap adalah Katon. Sekali pandang Katon tahu. Ratih telah menghubungi orang tuanya dan mendapat detil perihal pertunangan mereka. Masih ada kema
Ratih mengerjap dan berusaha menguasai mulutnya. Ia menarik tangan dari remasan tangan Katon dan berbalik menghadap wastafelnya lagi. “Aku juga Dan!” bentaknya kesal. “Berapa?” tanya Katon manis sambil melongok mencari wajah Ratih. Gadis itu diam dan memilih tidak menjawab. Ratih diam karena levelnya di bawah Katon. Ia masih Go-Dan, atau pemegang sabuk hitam level lima. Sekarang Ratih memahami alasannya kedua orang tuanya menerima lamaran Katon. Bukan hanya bisnis yang mereka pikirkan. Tetapi Katon adalah lelaki yang mampu menundukkannya dalam arti yang sebenarnya. Katon mengacak kepala Ratih dengan lembut dan meninggalkan gadis yang sewot mengusap kepalanya seolah ingin menghapus jejak tangan Katon. Ia memilih melangkah kembali ke ruang tamu dan menatap kawan Ratih satu-persatu. Dia yang paling tua di sini dan dia mau dihormati. Bagaimana bisa tidak ada seorangpun yang beranjak untuk pulang di kala dia sudah mendeklarasikan diri sebagai tunangan Ratih? Perlukah ia banting mereka
“Tidak. Terima kasih.” Ratih menjawab dengan ketus. “Ouch! Itu menyakiti hatiku.” Katon berpura-pura kesakitan sambil memegang dadanya. “Apa kataku, tidak mudah, Ton!” gelak Emily. “Aku tahu. Tetapi aku punya kekuatan ajaib. Kami sebut restu ibu.” Katon sok berbisik padahal ia menyuarakan dengan keras. “Aku tahu ini! Indonesia dengan segala adat ketimurannya,” ujar Sarah penuh semangat. “Yakan! Sesuatu yang berurusan dengan karma dan kualat?” tambah Emily. Ratih mendelik ke arah dua temannya. “Karma dan kualat tidak menyeberangi lautan!” tukasnya mendebat kedua temannya yang malah tertawa. “Begitukah?” Katon bergerak sedikit di atas jok, tampak kalau ia akan mengambil ponsel di saku jeansnya. “Mas!” bentak Ratih sewot. Ia takut Katon bakal menelepon ibunya lagi. Menganggu waktu ibunya untuk hal yang tidak penting. Dan membuat ia menerima omelan seperti kemarin karena lambat membuka pintu untuk Katon. “Ya, Sayang?” respon Katon makin menyebalkan Ratih. “Sialan! Aku duluan!”
“Ratih, yang baru datang itu Stuart. Kami berteman saat aku dan Morgan kuliah di Inggris.” Katon meninggalkan Ratih yang cemberut dan ditertawakan Morgan sambil memperkenalkan sahabat-sahabatnya. “Hello, Mam. Stuart Rufus, Baron muda paling tampan di Yorkshire,” Stuart mendekati Ratih dan mencium punggung tangan Ratih dengan keanggunan seorang aristokrat. “Dia bisa menjadi teman bertanding anggarmu, Stu.” Katon bersuara dari balik lemari es karena ia sedang mengambil beberapa buah untuk dihidangkan kepada Ratih. “Oya? Kejutan menyenangkan!” seru Stuart menatap ke arah Ratih yang lebih rendah darinya. “Dia, adik kelas kami di mata kuliah umum. Dia selalu mengikuti kami kemanapun, semacam fans berat,” kata Morgan ke arah Ratih tetapi sengaja mengejek Stuart. Setelah berkata seperti itu Morgan melompat menghindar dari siku tajam Stuart. “Saat itu aku sedang menyelidiki, Mam. Apa jadinya kalau dua orang moron berkumpul bersama,” Stuart membalas ejekan Morgan. “Yea, mengundang moron
“Ikutan terjun ke pertempuran, dong. Hebat!” seru Stuart gembira. “Masalahnya kami baru tahu kalau suku yang lebih banyak adalah Suku Warao. Dan suku ini kanibal. Mereka menyerang suku yang lebih kecil, belakangan kami tahu adalah suku kuno Urarina, untuk mereka konsumsi,” lanjut Morgan. Ratih mendelik. “Berarti bukan pertempuran. Itu perburuan?” tanya Stuart. “Tepat sekali. Kami tahunya setelah terjun ke lapangan. Bagaimana menurutmu?” tanya Morgan. Stuart terkekeh geli. “Kok kalian bisa selamat? Harusnya kalian sudah jadi sate!” gelaknya penuh keceriaan. “Katon bawa pistol!” “Oh.” Stuart langsung menutup mulutnya. Sementara Ratih semakin mendengar perbincangan para pria ini wajahnya semakin takjub, bukan takut. Ternyata Katon dan Morgan pernah kontak, tidak hanya satu suku kuno. Tetapi dua?! “Oleh karena itu, Neng Ayu. Ketika Ibu bilang kalau kamu sedang ada proyek dengan tribe kuno di Hutan Amazon. Aku segera memaksa mempercepat pertunangan kita dengan demikian aku punya hak
Entah apa yang dilakukan oleh Katon, Morgan dan Stuart kepada jajaran dosen pembimbing di Universite Paris Pantheon Sorbonne maupun Lembaga Funai, karena ketiganya bisa bergabung dengan mudah pada kelompok belajar Ratih. Dan bersama-sama berangkat ke Brazil. Rombongan mereka berangkat dari Bandara Internasional Charles De Gaule, Perancis. Pada saat melakukan check-in, Katon dan kedua sahabatnya melalui pintu yang berbeda dan dikawal petugas keamanan bandara. Membuat heran Ratih dan kelompoknya. “Tunanganmu orang penting atau kriminal?” tanya Devon kepada Ratih. Wanita Jawa itu hanya mengendikkan bahu. Iapun tidak paham mengapa ketiga orang tersebut mendapat perlakukan berbeda. Yang Ratih dan kawan-kawannya tidak ketahui. Katon dan para sahabatnya harus check-in melalui jalur khusus karena pada saat pembelian tiket pesawat, mereka mendaftarkan diri secara legal kalau akan membawa senjata api dan amunisinya. Itu sebabnya ketika check-in, mereka dikawal petugas keamanan dan dibawa k
Lelaki itu menatap pergelangan tangan yang dihiasi jam. Katon tahu, mode jam tangan Morgan menunjukkan kompas dan kalender bulan selain jam normal. Lalu, Morgan menatap ke langit. Christopher bergantian melihat ke arah Katon dan Morgan, seketika memahami dia orang ini bergerak saling melengkapi. Satu memiliki kelebihan yang lain menyempurnakan dengan keahlian berbeda. “Tidak usah pake penerangan. Malam ini bulan purnama sempurna. Tetapkan perahu di bagian tengah sungai dan kita manfaatkan cahaya bulan. Beri penerangan kecil pada kompas saja, supaya kita tetap bisa mempertahankan arah.” Morgan berkata dalam satu tarikan napas kepada Christopher lalu kembali turun menuju haluan dan melakukan pengawasan. “O-oke ....” Christopher menyahut gugup pada punggung Morgan yang berlalu cepat. Ia kembali menatap ke arah Katon dan menyadari, Katon membagi pandangannya ke haluan perahu dan Ratih yang sedang berbincang masalah tugas bersama Devon, Daniel dan Sarah. “Sejauh apa kalian mengenal Suku
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas