97. Rahasia Abi (Bagian B)Suara Mas Abi terdengar jelas di telingaku, dia menatapku dengan pandangan dalam dari seberang sana. Tangan kirinya masih memegang bilah bambu, dan tangan kanannya memegang sebuah palu. Aku hanya mengangguk, namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Karena aku sangat yakin, ketika aku berbicara maka air mata yang aku tahan akan mengalir. Karena aku sama sekali bukan orang yang pintar, untuk menahan sebuah tangisan.“Mas sudah membuatkan sambal teri untuk kita makan, kalau kamu lapar kamu bisa makan terlebih dahulu. Mas akan menyelesaikan pekerjaan Mas terlebih dahulu, dan akan menyusul setelahnya,” sahut Mas Abi dengan lembut.Dia kemudian membalikkan badannya, dan kemudian kembali memaku bambu yang tadi dipegangnya karena aku bisa melihat kalau amben itu sudah hampir siap.Ah, bahkan ketika bertengkar seperti ini, ketika aku bahkan tidak memasakkan makanan untuk dirinya, dia malah membuatkan lauk untuk kami makan bersama.Aku benar-benar merasa bersalah sa
98. Rahasia Abi (Bagian C)“Apa yang ingin Mas bicarakan?” kataku sambil menyusut ingus. “Jika Mas hanya ingin membicarakan tentang keluarga Mas saja, lebih baik tidak usah. Karena aku benar-benar tidak ingin membicarakan mereka lagi, sudahlah! Kita harus menjauhi sesuatu yang bisa membuat kita bertengkar!” kataku sambil mengusap lengannya, dan menatapnya dengan lembut. “Sudah cukup kita bertengkar kemarin, aku tidak mau lagi ada pertengkaran diantara kita, Mas!” Mashabi terlihat berpikir sebentar, namun kemudian dia menggeleng dengan tegas dan menatapku dengan pandangan mantap.“Tidak! Mas akan membicarakan hal ini denganmu, dan Mas harap setelahnya kamu bisa menerima dan tidak akan bertanya tanya lagi. Jadi sekarang, buatkan segelas kopi terlebih dahulu, lalu kamu kembali ke sini dan Mas akan menceritakan segalanya!” kata Mas Abi lagi dengan cepat.Dia kemudian kembali menekuni pekerjaannya, membuat amben yang sudah hampir selesai, hanya beberapa bilah bambu lagi yang tinggal di pa
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)99. Anak Haram! (Bagian A)"Hah?!" Aku bisa melihat Mas Abi yang bingung menanggapi ucapanku, karena aku baru saja menuduh dia menuruti permintaan Ibu dan menikah dengan Ema.Wanita yang mempunyai jabatan sebagai seorang pegawai negeri, dan juga mempunyai sebuah grosir dan toko pakaian yang cukup terkenal dan juga besar.Jika Mas Abi dengan Ema, maka aku yakin kehidupannya memang akan lebih baik, namun apakah suamiku itu benar-benar melakukan hal itu?"Kamu apa-apaan sih, Dek! Mas tidak mungkin melakukan hal itu, mana mungkin Mas mau menikah dengan Ema!" sahut Mas Abi dengan cepat dan juga tidak terima."Lalu apa yang ingin Mas bicarakan? Sepertinya sangat penting, aku sampai deg-degan tak karuan begini!" kataku sambil minum es teh manis milikku."Mas itu mau berbicara sama kamu, mengenai alasan Ibu yang terlihat pilih pilih kasih antara Mas dan juga Mas Aji!" kata Mas Abi tiba-tiba.Alu lalu menoleh dengan cepat ke arahnya. "Ha
100. Anak Haram! (Bagian B)"Jadi tentu saja dia selalu bersikap ketus padamu, Dek. Bagaimana bisa dia menyayangimu, sedangkan dia sendiri tidak menyayangi suamimu ini. Ibu juga tidak akan bisa menyayangi anak-anak kita nanti, karena anak-anak kita bukanlah darah dagingnya!" kata mas Abi lagi dengan lirih."Dari kapan Mas tahu mengenai hal ini?" tanyaku ingin tahu."Dari kecil! Dari kecil, Mas sudah tahu mengenai hal ini!" sahut Mas Abi cepat."Kok, bisa?" tanyaku tak percaya."Mas sering mendengar Bapak dan Ibu bertengkar, Ibu selalu mengatakan kalau dia tersiksa harus membesarkan anak haram suaminya sendiri. Ibu tidak sudi membesarkan Mas, dan banyak lagi cacian lainnya!" kata Mas Abi sambil terlihat mengingat-ingat. "Mas lama-lama kebal, semakin beranjak besar Mas semakin tahu apa arti anak haram dan anak pembawa sial yang sering Ibu lontarkan ketika dia marah pada Bapak! Mas bertanya pada Nenek, tentunya dengan memaksa hingga Nenek menceritakan semuanya," kata Mas Abi lagi."Saat
101. Anak Haram! (Bagian C)“Mas benar-benar bahagia karena kamu, Mas bisa bertemu dengan keluarga yang sebenarnya. Mas bisa bertemu Emak dan juga adik-adik, jadi Mas bisa merasakan mempunyai keluarga yang benar-benar menyayangi Mas dengan tulus!” kata Mas Abi dengan nada yang sangat lembut.“Tentu saja! Kami adalah keluarga Mas, dan Mas tidak perlu meragukan hal itu. Kami juga menyayangi Mas, tentu saja sayang yang sangat tulus!” kataku sambil menatapnya dengan pandangan tak kalah lembut.Kami langsung terdiam dan larut dalam pikiran kami masing-masing, karena bagaimanapun juga aku tahu kalau Mas Abi membutuhkan waktu untuk berpikir dan juga untuk menata ulang hatinya setelah dia membuka rahasia sebesar ini.“Apakah itu sebabnya Mas Abi selalu menuruti permintaan Ibu?” tanyaku ingin tahu.“Iya, Mas hanya ingin berterima kasih kepadanya, karena dia sudah mau membesarkan Mas hingga sekarang ini. Makanya Mas tidak terlalu banyak menuntut kepada Ibu, Mas juga tidak pernah membantah kepad
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)102. Ibu dan Anna (Bagian A)[Mbak, aku mau ke rumah Bulek Rumi dari hari ini saja. Mbak kapan ke sana?]Aira mengirimkan pesan padaku, dia menanyakan perkara kami yang harus datang ke pesta pernikahan anak Bulek Rumi. Saudara jauh dari mendiang Bapak, dia tinggal di desa yang sama dengan Emak."Mbak besok saja, Dek. Soalnya, masmu lagi nggak enak badan. Kemarin kehujanan, dan tadi malam batuk pilek!" balasku dengan cepat.[Kami menginap di rumah Emak, Mbak! Ya sudah kalau begitu, besok saja ke sininya!] Tulis Aira lagi."Oke, salam buat Emak, ya!" balasku lagi.Aku lalu segera berjalan menuju kamar, di mana Mas Abi sedang meringkuk di dalam selimut. Terlihat jelas kalau suamiku itu tengah tertidur dengan pulas, aku meraba keningnya, basah!Dia sudah berkeringat, dan alhamdulillah dia sepertinya tidak jadi demam. Panasnya sudah turun dan aku sangat bersyukur akan hal itu, Mas Abi yang sakit adalah hal yang sangat aku hindari. Dia
103. Ibu dan Anna (Bagian B)Setelah semuanya selesai, aku lalu bergegas keluar dan tak lupa mengunci pintu dengan teliti. Dengan cekatan aku memasukkan makanan yang ingin kubawa tadi ke dalam jok motor, dan melaju ke rumah Ibu dengan santai.Udara pagi terasa sangat sejuk dan juga nyaman, karena masih belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Jarak antara rumahku dan rumah Ibu tidaklah jauh, hanya sekitar lima rumah saja. Tetapi dengan jarak yang lumayan berjauhan, tidak berdempetan seperti di kota sana. Di sini masih banyak tanah kosong, tidak seperti di kota yang sudah sulit mencari tanah untuk di huni dan digarap.Stelah sampai di rumah Ibu, aku langsung memarkirkan motorku dengan mantap. Membuka bagasi, dan mengambil makanan yang sudah aku siapkan. Di teras aku bisa melihat Bapak yang sedang merokok.Dia terlihat terkejut dengan kedatanganku, namun aku berusaha bersikap biasa saja. Semenjak Bapak datang ke rumah dan kami bertengkar tempo hari, aku memang belum ada bertemu deng
104. Ibu dan Anna (Bagian C)“Kalau sadar, tidak mungkin mantuku yang tukang protes dan juga tukang membantah itu mau minta maaf!” kata Ibu lagi. “Pasti ada demit yang saat ini sedang masuk ke dalam tubuhmu!” kata Ibu dengan mata yang melirik tajam.“Ya Allah, Bu. Ini Ana, dan tidak ada demit yang masuk ke tubuhku ini!” kataku lagi dengan cepat, kemudian Ibu hanya diam tidak menyahut kata-kataku barusan. “Ibu mau memaafkan Ana ‘kan? Ana benar-benar lepas kontrol kemarin, dan berakhir dengan mengusir Ibu dan juga Bapak dari rumah. Sebenarnya Ana benar-benar tidak mempunyai niatan seperti itu, Bu!” kataku lagi mengulangi kata kataku, dengan cara sejelas-jelasnya dan sesingkat-singkatnya.“Hmmmm!” gumam Ibu dengan singkat, dan juga tidak jelas.Aku kemudian meneguk ludahku dengan susah payah, ternyata Ibu yang mengomel lebih baik daripada Ibu yang diam seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena canggung.Tapi di dalam sepi seperti ini, hanya berdua dengan I