103. Ibu dan Anna (Bagian B)Setelah semuanya selesai, aku lalu bergegas keluar dan tak lupa mengunci pintu dengan teliti. Dengan cekatan aku memasukkan makanan yang ingin kubawa tadi ke dalam jok motor, dan melaju ke rumah Ibu dengan santai.Udara pagi terasa sangat sejuk dan juga nyaman, karena masih belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Jarak antara rumahku dan rumah Ibu tidaklah jauh, hanya sekitar lima rumah saja. Tetapi dengan jarak yang lumayan berjauhan, tidak berdempetan seperti di kota sana. Di sini masih banyak tanah kosong, tidak seperti di kota yang sudah sulit mencari tanah untuk di huni dan digarap.Stelah sampai di rumah Ibu, aku langsung memarkirkan motorku dengan mantap. Membuka bagasi, dan mengambil makanan yang sudah aku siapkan. Di teras aku bisa melihat Bapak yang sedang merokok.Dia terlihat terkejut dengan kedatanganku, namun aku berusaha bersikap biasa saja. Semenjak Bapak datang ke rumah dan kami bertengkar tempo hari, aku memang belum ada bertemu deng
104. Ibu dan Anna (Bagian C)“Kalau sadar, tidak mungkin mantuku yang tukang protes dan juga tukang membantah itu mau minta maaf!” kata Ibu lagi. “Pasti ada demit yang saat ini sedang masuk ke dalam tubuhmu!” kata Ibu dengan mata yang melirik tajam.“Ya Allah, Bu. Ini Ana, dan tidak ada demit yang masuk ke tubuhku ini!” kataku lagi dengan cepat, kemudian Ibu hanya diam tidak menyahut kata-kataku barusan. “Ibu mau memaafkan Ana ‘kan? Ana benar-benar lepas kontrol kemarin, dan berakhir dengan mengusir Ibu dan juga Bapak dari rumah. Sebenarnya Ana benar-benar tidak mempunyai niatan seperti itu, Bu!” kataku lagi mengulangi kata kataku, dengan cara sejelas-jelasnya dan sesingkat-singkatnya.“Hmmmm!” gumam Ibu dengan singkat, dan juga tidak jelas.Aku kemudian meneguk ludahku dengan susah payah, ternyata Ibu yang mengomel lebih baik daripada Ibu yang diam seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena canggung.Tapi di dalam sepi seperti ini, hanya berdua dengan I
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)105. Kunjungan Ibu! (Bagian A)“Makanya jangan sok kuat, tau hujan bukannya meneduh. Malah terobos saja!” Ibu mengomel, dia memijat kening Mas Abi dengan lembut.“Seharusnya itu sadar sama kemampuan tubuh, sudah tahu kecapekan! Malah sok hebat!” omelnya lagi.Mas Abi hanya mengerang saat kepala dipijat Ibu, apalagi kadang Ibu menekan kepala suamiku itu dengan gemas. Tapi aku bisa melihat wajahnya yang terlihat sangat menikmati, sepertinya sentuhan ibu menjadi obat terampuh untuknya.Ini sudah siang, aku bahkan terkejut saat Ibu datang ke sini tadi. Dia tidak ada bilang apa-apa, hanya masuk dan terus ke kamar menemui Mas Abi. Ibu berdecak saat melihat Mas Abi bergelung di dalam selimut, bergetar kedinginan namun tanpa mengeluarkan suara apapun."Kebiasaan! Sakit nggak mau ngomong, nanti kamu magi diam-diam, Bi. Orang nggak tahu!" Ibu kembali mengomel dengan kecepatan yang menakjubkan. "Sudah minum obat?" tanya Ibu pada Mas Abi.S
106. Kunjungan Ibu! (Bagian B)“Dari mana kamu, An?” tanya Ibu sambil menoleh ke arahku.“Dapur, Bu. Buatin Ibu minum,” kataku cepat.Aku langsung bergegas memutari ranjang dan mendudukkan diri disisi lain, berseberangan dengan Ibu yang saat ini sedang menatapku dengan alis terangkat sebelah."Apa, Bu?" tanyaku tak mengerti, tatapan Ibu terlihat aneh."Nggak!" kata Ibu dengan ketus.Eh? Kenapa, sih? Aku jadi bingung, aku salah apa? Biasanya kalau Ibu begini, pasti ada yang tidak dia sukai dariku. Tapi apa? Dia sudah aku buatkan minum, dan juga jendela kamarku terbuka, loh.Sehingga Ibu tidak kegerahan, dan juga kepanasan. Sebenarnya aku mau pamer AC pada Ibu, tapi sayang Mas Abi sedang sakit dan aku tidak mungkin membuat dia tambah sakit.Kemudian hening, tidak ada pembicaraan yang berarti. Aku dan ibu tenggelam dalam kesunyian dan juga keheningan, tidak ada yang membuka suara di antara kami. "Ibu ke sini diantar siapa?" tanyaku ingin tahu.Selain ingin membuka pembicaraan agar tidak
107. Kunjungan Ibu! (Bagian C)Aku yang memang tidak mau membahas ini lebih jauh, langsung mengalihkan pandangan dan juga mencari kesibukan dengan memijat tangan Mas Abi. Tetapi, aku masih bisa merasakan tatapan tajam Ibu padaku dan sukses membuat aku mengerang kesal."Kenapa sih, Bu?" tanyaku dengan sewot."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Ibu balik."Lah, ditanya kok, malah balik nanya, Bu!" Aku memprotes."Kamu sehat, An?" tanya Ibu tiba-tiba."Hah? Sehatlah, Ibu kok tanya begitu, kenapa?" tanyaku ingin tahu.“Sumpah, kamu itu tidak cocok diam-diam, dan menjadi anak kalem seperti ini!” kata Ibu lagi. “Kamu jangan membuat orang lain takut!” Lanjut Ibu lagi.“Hah?” Aku kembali memekik heran. “Takut kenapa?” tanyaku lagi.“Kamu pasti dirasuki oleh demit!” kata Ibu dengan cepat. “Kembalikan menantuku yang cerewet itu, wahai demit laknat!” pekik Ibu tiba-tiba.Bug!Satu buah bantal mendarat di wajahku dengan sempurna, benar-benar sakit. Karena bantal dan juga guling yang aku miliki memang t
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)108. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian A)Ibu dengan cepat langsung bergegas ke depan, dia pasti menyadari kalau yang memanggilnya tadi adalah Lisa. Aku menghela nafas dengan panjang l, lalu mengikuti langkah Ibu dengan langkah yang lebih lebar.Aku penasaran dengan apa yang diinginkan Lisa, karena bagaimanapun juga dia sampai nekat meneleponku tadi untuk menemukan keberadaan Ibu. Bukankah itu artinya, dia memiliki sesuatu yang penting?"Nduk! Ngapain kamu nyusul ke sini?" tanya Ibu heran.Kami saat ini sedang ada di teras, dengan Lisa yang bersedekap dan menatapku dengan pandangan tajam. Namun, aku memasang wajah polos dan tak berdosa, balik menatapnya seakan tengah bertanya, ada apa?"Bukannya tadi kamu bilang Ibu nggak ada di sini, An?" tanyanya dengan ketus."Lah, tadi memang Ibu tidak ada di sini!" balasku dengan santai."Bohong!" pekiknya dengan penuh drama yang memuakkan."Bohong bagaimana?" tanyaku dengan santai."Ya k
109. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian B)Makanya Ibu menyetujui kata-kataku yang mengatakan kalau dia baru sebentar di sini, toh, dia di sini memang masih sekitar empat puluh lima menitan, dan itu artinya masih sangat sebentar bagi Ibu, sedangkan bagi Lisa sudah seperti empat puluh lima tahun lamanya."Kamu mau apa, Nduk?" tanya Ibu pada Lisa."Aku mau ngajak Ibu ke pasar," balasnya manja, dan juga berlebihan. Terlihat sekali kalau dia tengah berusaha mengejekku."Ke pasar? Ngapain, Nduk? Ini sudah siang!" kata Ibu heran."Aku mau beli baju, Bu. Temenin, yuk!" kata Lisa lagi.Cih! Aku mendecih sinis di dalam hati, merasa jijik luar biasa melihatnya. Apa dia kira, dia itu imut? Amit-amit, iya!Ibu terlihat berpikir sebentar, dia menatapku, kemudian menoleh ke arah dalam rumah beberapa saat, lalu dia kembali lagi menatap Lisa dengan pandangan serba salah."Bagaimana, ya? Abi sedang sakit, Ibu lagi mijitin dia," kata Ibu menolak dengan halus.Aku bisa melihat Lisa yang melotot dengan
110. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian C)"Ta—tapi, Bu …." Lisa masih berusaha membujuk Ibu."Sudahlah, Mbak. Biarkan Ibu di sini, wong tidak setiap hari juga, 'kan?!" kataku dengan cepat. "Mana tau dengan keberadaan Ibu di sini, Mas Abi akan lebih cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala!" kataku lagi."Iya, Nduk! Abi itu susah sekali minum obat, kalau tidak ada Ibu dia tidak akan minum obat. Kalau begitu kapan sembuhnya?" sahut Ibu dengan lembut."Iya, benar, Mbak!" Aku turut campur."An! Please deh, aku tuh nggak ngomong sama kamu!" kata Lisa emosi. "Bisa nggak sih, kamu masuk aja ke dalam sana? Aku punya sesuatu yang harus diomongin sama Ibu!" katanya mengusirku."Eh, apaan sih, Mbak? Lupa ya? Aku ingetin, deh!" sahutku tak terima. "Ini adalah rumahku, dan aku bebas mau di mana aja! Mau di halaman kek, mau di kamar mandi kek, mau nemplok di tiang ini kek, aku bebas!" kataku dengan ketus.Lisa terlihat sangat menahan diri untuk tidak mencakar wajahku, dia menggeram marah dan la
532. Keadaan Lisa!"Ada apa, Dek?""Ibu ... bapak, Mas.""Ibu sama bapak kenapa, Dek?""Kita harus segera ke rumah sakit, Mas.""Memangnya kenapa, Dek? ngomong dulu sama Mas. Jangan buat Mas gak karuan.""Buruan Mas kita pergi ke rumah sakit.""Hei, tunggu, kalian mau ke mana? ibu dan bapak, maksudnya Sri dan Arman? kenapa mereka?" tanya Nuraini. Ana menggeleng, dia tak mau menjelaskan apapun pada Nuraini. Ana langsung menarik Abi keluar dan segera menaiki mobil mereka. "Ada apa, Dek, ngomong sama Mas?" tanya Abi saat di dalam mobil. "Ibu ... bapak ... kecelakaan, Mas.""Astagfirullah.""Bentar, aku bilang Bulek Romlah dulu buat jaga toko." Anna berjalan menuju tokonya. "Bulek tolong jaga toko dulu yah. Ana dan Mas Abi harus ke rumah sakit.""Kenapa kalian mendadak ke rumah sakit, ada apa, Na?""Ibu dan bapak kecelakaan, Bulek. Kami harus segera ke rumah sakit.""Innalilahi. Ya sudah hati-hati, Na. Kamu gak usah mikirin toko, biar Bulek yang jaga, insyallah aman dan amanah. Kalian
531. Kabar yang mengejutkan! (Bagian B)Abi menghempaskan kepalan tangannya di atas meja yang terbuat dari kayu jati, meja yang Ana beli sepaket dengan sofa yang tengah mereka duduki ini. Dia tidak pernah melihat Abi yang semarah ini, suaminya itu terlihat seperti orang lain di matanya. Tidak ada sosok Abi yang biasanya Ana lihat.“ABI! DURHAKA KAMU, YA!” Nuraini memekik heboh.Jelas jantungnya hampir melompat saat Abi menggebrak meja dengan kekuatan seperti tadi, dia menatap anak yang dia lahirkan itu dengan tatapan tajam. Namun, Abi malah balik menatapnya dengan tatapan yang tak kalah tajam.“Silahkan pergi dari sini, sebelum kesabaran saya habis!” kata Abi dengan suara yang bergetar.“Tidak! Kamu adalah anakku, dan wajar jika aku ada di rumahmu sekarang ini.” Nuraini berbicara dengan santai. “Apa uang -uang yang Bapak berikan belum cukup?” tanya Abi dengan kekehan kecil di ujung bibirnya. “Uang apa?” tanya Nuraini sok polos.“Bukannya Anda mengancam Bapak, akan mengungkapkan jati
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar Secara Elegan) 530. Kabar yang mengejutkan! (Bagian A) “A—apa?” Ana bahkan tidak bisa mencerna apa yang Abi katakan, Amran memberi uang kepada Nuraini? Kenapa? Apakah mereka kembali berhubungan? Apakah itu artinya Amran kembali berkhianat dengan orang yang sama, dan membuat Sri terluka? Demi Allah, Ana tidak akan rela jika hal itu benar terjadi. Dia tidak akan sanggup melihat awan mendung kembali menggelayuti wajah Sri, jika dulu dia Ana tidak ada di sana untuk menghentikan tragedi perselingkuhan itu, maka kali ini Ana tidak akan diam. Dia akan berusaha untuk membuat Amran dan juga Sri tetap bersama, tanpa ada orang ketiga, walaupun itu adalah Ibu kandung suaminya sendiri. “Kamu ngomong apa, Mas? Kamu tahu dari mana? Dan kenapa Bapak memberi uang pada Ibu Nuraini?” tanya Ana bertubi-tubi. “Aku tahu, sebab aku melihat sendiri Bapak yang memberikan uang itu. Kami ke sawah bersama, tetapi Bapak pergi tiba-tiba. Awalnya aku sama sekali tidak
529. Dusta atau Nyata? (Bagian C)Ana bisa melihat wajah Nuraini yang berubah pias, namun dia masih berpikir positif. Mungkin wanita paruh baya itu gugup karena ditanya Abi dengan nada tajam seperti itu, Ana mengamati Nuraini sama seperti Abi yang memaku pandangannya pada Ibu kandungnya itu."Aku dilarang oleh Amran dan juga Sri untuk menemuimu, mereka mengancamku dan juga menekanku agar aku tidak menunjukkan wajahku di depanmu!" kata Nuraini dengan lantang. "Mereka yang memisahkan kita, bukan aku yang tidak ingin menemuimu. Kau anakku, mana mungkin aku tega menelantarkan mu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya!" kata Nuraini lagi.Ana langsung tertegun, dia tidak percaya jika kedua mertuanya melakukan hal tersebut. Mereka adalah orang yang baik, tidak mungkin mereka menghalangi seorang Ibu bertemu dengan anaknya.Lain Ana, lain pula dengan Abi. Lelaki itu hanya diam, dan juga tidak memberikan respon apapun. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, dengan tangan yang bersedekap di depan da
528. Dusta atau Nyata? (Bagian B)Rambut yang dicat merah, baju kaos ketat, dan celana jeans yang tak kalah ketat. Gila! Ibu kandung suaminya ini seperti anak remaja saja, padahal Ana yakin kalau umurnya pasti tidak jauh berbeda dengan Sri.Ana saja yang baru berusia dua puluh lima tahun, malu jika harus berpakaian seperti itu. Ah ... tidak, tidak. Aina yang masih berumur sembilan belas tahun pun, tidak pernah berpakaian seperti itu.Padahal adik bungsunya itu masih remaja, tahu mengenai fashion yangs edang trend, tetapi alhamdulillahnya Aina sangat menjaga tubuhnya dari pakaian yang terbuka dan selalu memakai jilbab yang bisa menjaga auratnya.Yah, semakin tua bumi ini, semakin banyak tingkah penghuninya. Huft! Ana mendesah kasar, ingin julid tapi Nuraini adalah Ibu kandung suaminya, dan itu artinya dia termasuk mertua Ana juga.Tetapi tidak mau julid pun Ana tidak mampu, serba salah jadinya.“Itu kan kata-kata kamu doang, aslinya mah saya nggak tahu apa yang ada di hati kamu! Bisa a
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)527. Dusta atau Nyata? (Bagian A)"Mas …." Ana mendesah, menggeleng pelan sambil menatap Abi dengan pandangan dalam.Wanita itu berharap kalau suaminya tidak akan bertindak gegabah, bukankah tidak boleh jika mengambil keputusan saat sedang emosi? Ana tidak mau, Abi menyesal pada akhirnya.Sedangkan Abi sendiri belum mengendurkan sedikitpun wajahnya yang tegang, dia jelas-jelas menunjukkan raut ketidaksukaannya dan juga raut keberatan akan kehadiran Nuraini di sini."Bukankah saya sudah bilang berkali-kali? Jangan datang dan mencoba untuk merusak kebahagiaan kami!" Suara Abi terdengar lantang. "Sampai kapanpun, ibu saya hanya ada satu dan itu tidak akan berubah!" lanjutnya lagi "Iya, ibumu hanya ada satu orang, dan itu adalah aku! Bukan wanita jahannam itu!" Nuraini menyahut tak kalah lantang. "Yang membawamu ke dunia ini adalah aku, bukan dia!" katanya lagi, sambil memelototi Abi.Abi mendengus, dan mengalihkan pandangannya ke a
526. Ibu Kandung Abi (Bagian C)"Saya yakin Ana tidak akan berbuat seperti itu. Lagi pula Ana sudah tahu yang sebenarnya, saya sudah jujur kepadanya sejak beberapa bulan yang lalu. Jadi tidak ada lagi yang harus saya takutkan!" kata Abi dengan nada mantap.Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, kemudian dia terkekeh sinis. Dia mengangguk-angguk mengerti, dan menatap Ana dengan pandangan dalam."Kalau begitu, aku tidak akan sungkan lagi," katanya dengan nada pelan. "Saya adalah Nuraini—Ibu kandung Abi!" kata wanita itu sambil menyeringai kecil.Ana tidak menyahut, dan hanya menatapnya dengan diam. Namun, tak lama kemudian wanita itu mengangguk dan berusaha menyunggingkan senyum kecil sebagai balasannya."Saya Ana—istri dari Mas Abi!" ujar Ana dengan mantap. "Maaf jika saya tidak mengenali Ibu sebelumnya," lanjutnya lagi.Abi dan juga Nuraini tentu saja merasa heran, bagaimana bisa Ana bersikap setenang ini? Wanita itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, tidak ada keterkejutan a
525. Ibu Kandung Abi (Bagian B)"Oh, ketemu sama Mas Abi? Ibu kenal juga sama suami saya?" tanya Ana dengan alis yang terangkat tinggi. "Jarang-jarang ada teman SMA, yang sudah lama tidak bertemu, tapi mengenal anak dari temannya tersebut," kata Ana lagi.Wanita itu menatap Ana dengan pandangan tajam, dia memindai penampilan istri Abi ini dengan alis yang terangkat tinggi. Penampilan Ana terlihat sederhana, hanya memakai tunik, dan juga kulot, serta jilbab instan di kepalanya.Tidak ada perhiasan emas di tangannya, baik itu di jari, maupun di pergelangan tangan Ana tidak ada apapun. Wanita itu kemudian menyunggingkan senyum sinis, dan mengambil kesimpulan kalau sepertinya anak kesayangannya ini salah memilih istri.Secara keseluruhan, Ana dinilai tidak layak untuk bersanding dengan Abi!"Itu bukan urusan kamu, itu urusan saya dengan Abi. Kamu tidak berhak ikut campur dengan urusan kami!" ujar wanita itu dengan nada kesal."Lah, nggak berhak bagaimana, Bu? Saya ini adalah istri Mas Abi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)524. Ibu Kandung Abi (Bagian A)POV AUTHORAbi langsung mendengus sinis saat mendengar kata-kata wanita itu, dia kemudian terkekeh kecil dan menolehkan pandangannya ke arah tembok. Selama beberapa saat, dia terpaku menatap tembok itu dengan pikiran yang gamang.Di dalam hati lelaki itu, jelas dan juga mutlak, dia merasa keberatan dengan kehadiran wanita ini di rumahnya. Walaupun wanita itu mengaku sebagai Ibu kandungnya, tetapi tetap saja Abi merasa tak suka.Ibu yang dia kenal semenjak dia kecil hingga sekarang ini adalah Sri. Wanita itulah yang Abi anggap sebagai Ibu, dan juga penolongnya. Jelas saja Abi merasa berat, untuk menerima orang lain masuk ke dalam kehidupannya. "Jangan bersikap seperti orang yang tidak tahu tata krama, Abi! Kamu ternyata sudah dibesarkan dengan cara yang sangat buruk oleh Sri!" kata wanita itu dengan sangat ketus, dan juga mengejek.Abi langsung mendecih sinis, dia menolehkan pandangannya dan menata