110. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian C)"Ta—tapi, Bu …." Lisa masih berusaha membujuk Ibu."Sudahlah, Mbak. Biarkan Ibu di sini, wong tidak setiap hari juga, 'kan?!" kataku dengan cepat. "Mana tau dengan keberadaan Ibu di sini, Mas Abi akan lebih cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala!" kataku lagi."Iya, Nduk! Abi itu susah sekali minum obat, kalau tidak ada Ibu dia tidak akan minum obat. Kalau begitu kapan sembuhnya?" sahut Ibu dengan lembut."Iya, benar, Mbak!" Aku turut campur."An! Please deh, aku tuh nggak ngomong sama kamu!" kata Lisa emosi. "Bisa nggak sih, kamu masuk aja ke dalam sana? Aku punya sesuatu yang harus diomongin sama Ibu!" katanya mengusirku."Eh, apaan sih, Mbak? Lupa ya? Aku ingetin, deh!" sahutku tak terima. "Ini adalah rumahku, dan aku bebas mau di mana aja! Mau di halaman kek, mau di kamar mandi kek, mau nemplok di tiang ini kek, aku bebas!" kataku dengan ketus.Lisa terlihat sangat menahan diri untuk tidak mencakar wajahku, dia menggeram marah dan la
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)111. Orang Misterius! (Bagian A)“Mbak, saya harap kerjasama ini akan berlangsung selamanya ya, dan saya juga harap kalau toko Mbak ini bakalan ramai,” kata Bayu dengan lembut.Dia ini masih muda, dan juga tampan. Anak dari pemilik grosir besar di kota sana, tempat aku dan Aira mendapatkan bahan-bahan untuk mengisi toko milik kami. Dari mulai bahan pokok, seperti beras, gula, minyak, sabun, telur, tepung, mie instan, hingga cemilan dan juga makanan ringan, aku ambil dari Bayu.Dia bahkan bersedia mengantarkan semuanya ke sini, setelah dari tempat Aira dia langsung ke rumahku untuk mengantarkan apa-apa saja yang sudah aku pesan. Alhamdulillah, semuanya lengkap. Dan aku sangat puas dengan barang-barang yang Bayu sediakan, karena masa kadaluarsanya masih jauh.Untung saja Gunawan kenal dengan orang tua Bayu, sehingga kami bisa mendapatkan supplier yang murah dan juga berkualitas. “Aamiin, terimakasih doanya ya, Bay. Mbak juga mengh
112. Orang Misterius! (Bagian B)"Tapi aku yakin, pom mini ini bakalan maju, Mbak. Wong belum ada juga yang punya, kan? Masak segini banyaknya warga yang punya kendaraan, nggak perlu bahan bakar," kata Bayu menyemangati. "Apalagi halaman Mbak luas, jangankan motor, mobil pun bisa masuk dengan mudah untuk beli bahan bakar," katanya lagi.Mendengar kata-kata Bayu membuat semangatku berkobar dengan kuatnya, aku optimis kalau usahaku akan maju dan berhasil. Aku harus menunjukkan pada orang-orang kalau kami bisa bangkit dan sukses."Kamu pinter banget ngerayu, Bay!" kataku pada Bayu. "Niat jualan bahan sembako doang, eh malah merambat ke pom mini!" kataku lagi sambil menatapnya dengan pandangan kesal."Kesempatan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baoknya, Mbak!" kata Bayu dengan mantap. "Lagian 'kan, di sini itu potensial banget buat bagun usaha, Mbak. Bismillah aja dulu, biar Allah yang menggerakkan hati orang-orang, Mbak!" kata Bayu dengan bijaknya.Aku dan Mas Abi terkekeh kompak, anak
113. Orang Misterius! (Bagian C)"Walah, An. Ya mbok nggak usah kebanyakan halu, emangnya kamu mampu? Kalau Lisa sih, emang pegawai negeri, ya!" kata Bi Ramlah sambil memonyongkan bibirnya ke kiri dan ke kanan."Ya mampu lah, Bi. Bangun rumah, beli tanah, beli perabotan mahal, beli motor, aku mampu, kok. Kan, Bibi udah liat sendiri!" kataku dengan santai. "Aku sih, nggak mau sombong, Bi. Diam-diam, santai, main halus. Tapi lihat? Ada rumah, ada usaha, ada motor," kataku dengan bangga.Bi Ramlah menelan ludah, dia lalu mendudukkan dirinya di kursi yang memang sudah Mas Abi sengaja buatkan untuk pelanggan yang datang ke toko untuk belanja nanti.Aku mengangkat bahu, dan mengambil kemoceng untuk membersihkan rak yang sudah Mas Abi buat tempo hari. Nanti aku akan memajang, minyak goreng, kecap, dan aneka barang lainnya di sini."Mau di tata sekarang, An?" tanya Bi Ramlah kepo."Nggak, Bi. Nanti malam aja," sahutku tanpa menoleh."Kenapa nggak sekarang?" tanya Bi Ramlah penasaran."Nggak a
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)114. Tunggakan Lisa! (Bagian A)"Ada perlu apa ya, Pak?" tanya Bi Ramlah dengan cepat.Wajahnya terlihat luar biasa kepo, karena ada orang yang mencari Lisa dengan penampilan sangar seperti ini. Walaupun mereka terlihat sangat sopan, tetapi tetap saja tato di lengan Bapak yang satunya membuat orang lain menjadi ngeri-ngeri sedap."Kami dari pihak leasing, ingin menarik motor seudari Lisa Artha. Karena dia sudah menunggak cicilan selama tiga bulan, kami sudah memberi surat peringatan kepada beliau, tetapi dia tidak juga menghiraukan peringatan kami, jadi terpaksa kami menarik sepeda motor yang dia miliki," kata Bapak bertato dengan sopan.Aku dan Bi Ramlah sontak saling berpandangan lagi, begitu terkejut dengan jawaban dari Bapak bertato. Karena bagaimanapun juga, setahu kami Lisa memang membeli sepeda motor itu dengan cara cash. Apalagi, Ibu memang memberikan uang tunai sebanyak tiga puluh juta, kepada Lisa untuk membantu membeli
115. Tunggakan Lisa! (Bagian B)Bi Ramlah dengan semangat langsung berjalan untuk mengantarkan kedua lelaki itu ke rumah Ibu dan Bapak, aku benar-benar dibuat heran oleh tingkahnya. Bagaimana bisa dia begitu semangat ketika orang lain mendapatkan sebuah musibah?Ibaratnya orang lain mendapat musibah, maka Bi Ramlah yang akan mendapatkan bahan untuk bergosip dengan orang-orang di desa ini. Aku yakin Lisa tidak akan luput dari gosipan Bi Ramlah, hingga satu bulan ke depan.Aku langsung bergegas masuk ke dalam rumah, saat melihat motor yang dikendarai oleh kedua orang debt collector itu mengikuti langkah kaki Bi Ramlah secara perlahan. Bagaimanapun juga, aku harus memberitahu Mas Abi tentang hal ini."Mas! Mas! Oh Mas!" Aku menepuk punggungnya, yang saat ini malah enak-enakan tidur padahal Kakak iparnya tengah terlibat masalah dengan pihak leasing."Apa sih, Dek? Mas baru tidur juga, udah dibangunin!" sahut Mas Abi dengan ketus, dia kelihatannya benar-benar mengantuk karena terlihat dar
116. Tunggakan Lisa (Bagian C)"Emang aku boleh ikut?" tanyaku sambil menatapnya dengan pandangan tertarik."Lah, ya boleh … datang ke rumah Ibu sendiri masa kamu nggak boleh ikut," Kata Mas Abi lagi. "Ayo, Mas tunggu di depan!" katanya sambil mengedikkan kepalanya ke samping."Oke, aku pakai jilbab dulu ya, Mas!" kataku dengan semangat, lalu mengambil jilbab instan yang ada di lemari dan memakainya di kaca, bagaimanapun juga aku harus terlihat paripurna walaupun belum mandi.Aku dan Mas Abi lalu berboncengan dengan mesra, menggunakan nemex berwarna biru ke rumah Ibu, yah setidaknya motor nemex yang kami kendarai tidak kredit. Tetapi aku beli menggunakan uang yang diberikan Emak, dengan cara cash! No credit, credit!Setelah sampai di rumah Ibu aku bisa melihat kedua debt collector itu yang sudah duduk di kursi teras, dengan ibu dan juga Bi Ramlah yang ada di sana. Ibu saat melihat kami datang, langsung berdiri dan melambaikan tangannya ke arah Mas Abi.Suamiku itu lantas dengan cepat
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)117. Keputusan Ibu! (Bagian A)“Tunggu!” Kami semua menoleh ke arah halaman, di sana ada Bapak yang sepertinya baru pulang dari kebun. Dia menatap Pak Sofyan dan juga Pak Abdul dengan pandangan heran, dia mengkode Ibu agar segera mengikuti langkahnya yang kini memasuki rumah.“Sebentar ya, Bapak-bapak!” kata Ibu dengan sungkan. “An, buatin Paka Sofyan dan juga Pak Abdul minum!” suruh Ibu padaku.“Baik, Bu!” sahut mereka kompak.Aku hanya mengangguk cepat dan mengikuti langkah kaki Ibu yang sudah masuk ke dalam rumah, di dalam aku bisa melihat Bapak yang sedang bicara dengan Ibu di depan pintu kamar mereka. Aku segera ke dapur, dan mengambil satu teko air dan mengisinya dengan sirup dan juga es batu. Setelah meletakkannya di atas nampan bersama beberapa buah gelas, aku langsung membawanya ke depan.“Jadi bagaimana?!”Aku masih bisa mendengar suara Ibu yang menyahuti ucapan Bapak, dan aku bisa menyimpulkan kalau mereka tengah be