107. Kunjungan Ibu! (Bagian C)Aku yang memang tidak mau membahas ini lebih jauh, langsung mengalihkan pandangan dan juga mencari kesibukan dengan memijat tangan Mas Abi. Tetapi, aku masih bisa merasakan tatapan tajam Ibu padaku dan sukses membuat aku mengerang kesal."Kenapa sih, Bu?" tanyaku dengan sewot."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Ibu balik."Lah, ditanya kok, malah balik nanya, Bu!" Aku memprotes."Kamu sehat, An?" tanya Ibu tiba-tiba."Hah? Sehatlah, Ibu kok tanya begitu, kenapa?" tanyaku ingin tahu.“Sumpah, kamu itu tidak cocok diam-diam, dan menjadi anak kalem seperti ini!” kata Ibu lagi. “Kamu jangan membuat orang lain takut!” Lanjut Ibu lagi.“Hah?” Aku kembali memekik heran. “Takut kenapa?” tanyaku lagi.“Kamu pasti dirasuki oleh demit!” kata Ibu dengan cepat. “Kembalikan menantuku yang cerewet itu, wahai demit laknat!” pekik Ibu tiba-tiba.Bug!Satu buah bantal mendarat di wajahku dengan sempurna, benar-benar sakit. Karena bantal dan juga guling yang aku miliki memang t
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)108. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian A)Ibu dengan cepat langsung bergegas ke depan, dia pasti menyadari kalau yang memanggilnya tadi adalah Lisa. Aku menghela nafas dengan panjang l, lalu mengikuti langkah Ibu dengan langkah yang lebih lebar.Aku penasaran dengan apa yang diinginkan Lisa, karena bagaimanapun juga dia sampai nekat meneleponku tadi untuk menemukan keberadaan Ibu. Bukankah itu artinya, dia memiliki sesuatu yang penting?"Nduk! Ngapain kamu nyusul ke sini?" tanya Ibu heran.Kami saat ini sedang ada di teras, dengan Lisa yang bersedekap dan menatapku dengan pandangan tajam. Namun, aku memasang wajah polos dan tak berdosa, balik menatapnya seakan tengah bertanya, ada apa?"Bukannya tadi kamu bilang Ibu nggak ada di sini, An?" tanyanya dengan ketus."Lah, tadi memang Ibu tidak ada di sini!" balasku dengan santai."Bohong!" pekiknya dengan penuh drama yang memuakkan."Bohong bagaimana?" tanyaku dengan santai."Ya k
109. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian B)Makanya Ibu menyetujui kata-kataku yang mengatakan kalau dia baru sebentar di sini, toh, dia di sini memang masih sekitar empat puluh lima menitan, dan itu artinya masih sangat sebentar bagi Ibu, sedangkan bagi Lisa sudah seperti empat puluh lima tahun lamanya."Kamu mau apa, Nduk?" tanya Ibu pada Lisa."Aku mau ngajak Ibu ke pasar," balasnya manja, dan juga berlebihan. Terlihat sekali kalau dia tengah berusaha mengejekku."Ke pasar? Ngapain, Nduk? Ini sudah siang!" kata Ibu heran."Aku mau beli baju, Bu. Temenin, yuk!" kata Lisa lagi.Cih! Aku mendecih sinis di dalam hati, merasa jijik luar biasa melihatnya. Apa dia kira, dia itu imut? Amit-amit, iya!Ibu terlihat berpikir sebentar, dia menatapku, kemudian menoleh ke arah dalam rumah beberapa saat, lalu dia kembali lagi menatap Lisa dengan pandangan serba salah."Bagaimana, ya? Abi sedang sakit, Ibu lagi mijitin dia," kata Ibu menolak dengan halus.Aku bisa melihat Lisa yang melotot dengan
110. Gaya Sosialita, Uang tak Ada (Bagian C)"Ta—tapi, Bu …." Lisa masih berusaha membujuk Ibu."Sudahlah, Mbak. Biarkan Ibu di sini, wong tidak setiap hari juga, 'kan?!" kataku dengan cepat. "Mana tau dengan keberadaan Ibu di sini, Mas Abi akan lebih cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala!" kataku lagi."Iya, Nduk! Abi itu susah sekali minum obat, kalau tidak ada Ibu dia tidak akan minum obat. Kalau begitu kapan sembuhnya?" sahut Ibu dengan lembut."Iya, benar, Mbak!" Aku turut campur."An! Please deh, aku tuh nggak ngomong sama kamu!" kata Lisa emosi. "Bisa nggak sih, kamu masuk aja ke dalam sana? Aku punya sesuatu yang harus diomongin sama Ibu!" katanya mengusirku."Eh, apaan sih, Mbak? Lupa ya? Aku ingetin, deh!" sahutku tak terima. "Ini adalah rumahku, dan aku bebas mau di mana aja! Mau di halaman kek, mau di kamar mandi kek, mau nemplok di tiang ini kek, aku bebas!" kataku dengan ketus.Lisa terlihat sangat menahan diri untuk tidak mencakar wajahku, dia menggeram marah dan la
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)111. Orang Misterius! (Bagian A)“Mbak, saya harap kerjasama ini akan berlangsung selamanya ya, dan saya juga harap kalau toko Mbak ini bakalan ramai,” kata Bayu dengan lembut.Dia ini masih muda, dan juga tampan. Anak dari pemilik grosir besar di kota sana, tempat aku dan Aira mendapatkan bahan-bahan untuk mengisi toko milik kami. Dari mulai bahan pokok, seperti beras, gula, minyak, sabun, telur, tepung, mie instan, hingga cemilan dan juga makanan ringan, aku ambil dari Bayu.Dia bahkan bersedia mengantarkan semuanya ke sini, setelah dari tempat Aira dia langsung ke rumahku untuk mengantarkan apa-apa saja yang sudah aku pesan. Alhamdulillah, semuanya lengkap. Dan aku sangat puas dengan barang-barang yang Bayu sediakan, karena masa kadaluarsanya masih jauh.Untung saja Gunawan kenal dengan orang tua Bayu, sehingga kami bisa mendapatkan supplier yang murah dan juga berkualitas. “Aamiin, terimakasih doanya ya, Bay. Mbak juga mengh
112. Orang Misterius! (Bagian B)"Tapi aku yakin, pom mini ini bakalan maju, Mbak. Wong belum ada juga yang punya, kan? Masak segini banyaknya warga yang punya kendaraan, nggak perlu bahan bakar," kata Bayu menyemangati. "Apalagi halaman Mbak luas, jangankan motor, mobil pun bisa masuk dengan mudah untuk beli bahan bakar," katanya lagi.Mendengar kata-kata Bayu membuat semangatku berkobar dengan kuatnya, aku optimis kalau usahaku akan maju dan berhasil. Aku harus menunjukkan pada orang-orang kalau kami bisa bangkit dan sukses."Kamu pinter banget ngerayu, Bay!" kataku pada Bayu. "Niat jualan bahan sembako doang, eh malah merambat ke pom mini!" kataku lagi sambil menatapnya dengan pandangan kesal."Kesempatan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baoknya, Mbak!" kata Bayu dengan mantap. "Lagian 'kan, di sini itu potensial banget buat bagun usaha, Mbak. Bismillah aja dulu, biar Allah yang menggerakkan hati orang-orang, Mbak!" kata Bayu dengan bijaknya.Aku dan Mas Abi terkekeh kompak, anak
113. Orang Misterius! (Bagian C)"Walah, An. Ya mbok nggak usah kebanyakan halu, emangnya kamu mampu? Kalau Lisa sih, emang pegawai negeri, ya!" kata Bi Ramlah sambil memonyongkan bibirnya ke kiri dan ke kanan."Ya mampu lah, Bi. Bangun rumah, beli tanah, beli perabotan mahal, beli motor, aku mampu, kok. Kan, Bibi udah liat sendiri!" kataku dengan santai. "Aku sih, nggak mau sombong, Bi. Diam-diam, santai, main halus. Tapi lihat? Ada rumah, ada usaha, ada motor," kataku dengan bangga.Bi Ramlah menelan ludah, dia lalu mendudukkan dirinya di kursi yang memang sudah Mas Abi sengaja buatkan untuk pelanggan yang datang ke toko untuk belanja nanti.Aku mengangkat bahu, dan mengambil kemoceng untuk membersihkan rak yang sudah Mas Abi buat tempo hari. Nanti aku akan memajang, minyak goreng, kecap, dan aneka barang lainnya di sini."Mau di tata sekarang, An?" tanya Bi Ramlah kepo."Nggak, Bi. Nanti malam aja," sahutku tanpa menoleh."Kenapa nggak sekarang?" tanya Bi Ramlah penasaran."Nggak a
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)114. Tunggakan Lisa! (Bagian A)"Ada perlu apa ya, Pak?" tanya Bi Ramlah dengan cepat.Wajahnya terlihat luar biasa kepo, karena ada orang yang mencari Lisa dengan penampilan sangar seperti ini. Walaupun mereka terlihat sangat sopan, tetapi tetap saja tato di lengan Bapak yang satunya membuat orang lain menjadi ngeri-ngeri sedap."Kami dari pihak leasing, ingin menarik motor seudari Lisa Artha. Karena dia sudah menunggak cicilan selama tiga bulan, kami sudah memberi surat peringatan kepada beliau, tetapi dia tidak juga menghiraukan peringatan kami, jadi terpaksa kami menarik sepeda motor yang dia miliki," kata Bapak bertato dengan sopan.Aku dan Bi Ramlah sontak saling berpandangan lagi, begitu terkejut dengan jawaban dari Bapak bertato. Karena bagaimanapun juga, setahu kami Lisa memang membeli sepeda motor itu dengan cara cash. Apalagi, Ibu memang memberikan uang tunai sebanyak tiga puluh juta, kepada Lisa untuk membantu membeli