100. Anak Haram! (Bagian B)"Jadi tentu saja dia selalu bersikap ketus padamu, Dek. Bagaimana bisa dia menyayangimu, sedangkan dia sendiri tidak menyayangi suamimu ini. Ibu juga tidak akan bisa menyayangi anak-anak kita nanti, karena anak-anak kita bukanlah darah dagingnya!" kata mas Abi lagi dengan lirih."Dari kapan Mas tahu mengenai hal ini?" tanyaku ingin tahu."Dari kecil! Dari kecil, Mas sudah tahu mengenai hal ini!" sahut Mas Abi cepat."Kok, bisa?" tanyaku tak percaya."Mas sering mendengar Bapak dan Ibu bertengkar, Ibu selalu mengatakan kalau dia tersiksa harus membesarkan anak haram suaminya sendiri. Ibu tidak sudi membesarkan Mas, dan banyak lagi cacian lainnya!" kata Mas Abi sambil terlihat mengingat-ingat. "Mas lama-lama kebal, semakin beranjak besar Mas semakin tahu apa arti anak haram dan anak pembawa sial yang sering Ibu lontarkan ketika dia marah pada Bapak! Mas bertanya pada Nenek, tentunya dengan memaksa hingga Nenek menceritakan semuanya," kata Mas Abi lagi."Saat
101. Anak Haram! (Bagian C)“Mas benar-benar bahagia karena kamu, Mas bisa bertemu dengan keluarga yang sebenarnya. Mas bisa bertemu Emak dan juga adik-adik, jadi Mas bisa merasakan mempunyai keluarga yang benar-benar menyayangi Mas dengan tulus!” kata Mas Abi dengan nada yang sangat lembut.“Tentu saja! Kami adalah keluarga Mas, dan Mas tidak perlu meragukan hal itu. Kami juga menyayangi Mas, tentu saja sayang yang sangat tulus!” kataku sambil menatapnya dengan pandangan tak kalah lembut.Kami langsung terdiam dan larut dalam pikiran kami masing-masing, karena bagaimanapun juga aku tahu kalau Mas Abi membutuhkan waktu untuk berpikir dan juga untuk menata ulang hatinya setelah dia membuka rahasia sebesar ini.“Apakah itu sebabnya Mas Abi selalu menuruti permintaan Ibu?” tanyaku ingin tahu.“Iya, Mas hanya ingin berterima kasih kepadanya, karena dia sudah mau membesarkan Mas hingga sekarang ini. Makanya Mas tidak terlalu banyak menuntut kepada Ibu, Mas juga tidak pernah membantah kepad
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)102. Ibu dan Anna (Bagian A)[Mbak, aku mau ke rumah Bulek Rumi dari hari ini saja. Mbak kapan ke sana?]Aira mengirimkan pesan padaku, dia menanyakan perkara kami yang harus datang ke pesta pernikahan anak Bulek Rumi. Saudara jauh dari mendiang Bapak, dia tinggal di desa yang sama dengan Emak."Mbak besok saja, Dek. Soalnya, masmu lagi nggak enak badan. Kemarin kehujanan, dan tadi malam batuk pilek!" balasku dengan cepat.[Kami menginap di rumah Emak, Mbak! Ya sudah kalau begitu, besok saja ke sininya!] Tulis Aira lagi."Oke, salam buat Emak, ya!" balasku lagi.Aku lalu segera berjalan menuju kamar, di mana Mas Abi sedang meringkuk di dalam selimut. Terlihat jelas kalau suamiku itu tengah tertidur dengan pulas, aku meraba keningnya, basah!Dia sudah berkeringat, dan alhamdulillah dia sepertinya tidak jadi demam. Panasnya sudah turun dan aku sangat bersyukur akan hal itu, Mas Abi yang sakit adalah hal yang sangat aku hindari. Dia
103. Ibu dan Anna (Bagian B)Setelah semuanya selesai, aku lalu bergegas keluar dan tak lupa mengunci pintu dengan teliti. Dengan cekatan aku memasukkan makanan yang ingin kubawa tadi ke dalam jok motor, dan melaju ke rumah Ibu dengan santai.Udara pagi terasa sangat sejuk dan juga nyaman, karena masih belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Jarak antara rumahku dan rumah Ibu tidaklah jauh, hanya sekitar lima rumah saja. Tetapi dengan jarak yang lumayan berjauhan, tidak berdempetan seperti di kota sana. Di sini masih banyak tanah kosong, tidak seperti di kota yang sudah sulit mencari tanah untuk di huni dan digarap.Stelah sampai di rumah Ibu, aku langsung memarkirkan motorku dengan mantap. Membuka bagasi, dan mengambil makanan yang sudah aku siapkan. Di teras aku bisa melihat Bapak yang sedang merokok.Dia terlihat terkejut dengan kedatanganku, namun aku berusaha bersikap biasa saja. Semenjak Bapak datang ke rumah dan kami bertengkar tempo hari, aku memang belum ada bertemu deng
104. Ibu dan Anna (Bagian C)“Kalau sadar, tidak mungkin mantuku yang tukang protes dan juga tukang membantah itu mau minta maaf!” kata Ibu lagi. “Pasti ada demit yang saat ini sedang masuk ke dalam tubuhmu!” kata Ibu dengan mata yang melirik tajam.“Ya Allah, Bu. Ini Ana, dan tidak ada demit yang masuk ke tubuhku ini!” kataku lagi dengan cepat, kemudian Ibu hanya diam tidak menyahut kata-kataku barusan. “Ibu mau memaafkan Ana ‘kan? Ana benar-benar lepas kontrol kemarin, dan berakhir dengan mengusir Ibu dan juga Bapak dari rumah. Sebenarnya Ana benar-benar tidak mempunyai niatan seperti itu, Bu!” kataku lagi mengulangi kata kataku, dengan cara sejelas-jelasnya dan sesingkat-singkatnya.“Hmmmm!” gumam Ibu dengan singkat, dan juga tidak jelas.Aku kemudian meneguk ludahku dengan susah payah, ternyata Ibu yang mengomel lebih baik daripada Ibu yang diam seperti ini. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena canggung.Tapi di dalam sepi seperti ini, hanya berdua dengan I
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)105. Kunjungan Ibu! (Bagian A)“Makanya jangan sok kuat, tau hujan bukannya meneduh. Malah terobos saja!” Ibu mengomel, dia memijat kening Mas Abi dengan lembut.“Seharusnya itu sadar sama kemampuan tubuh, sudah tahu kecapekan! Malah sok hebat!” omelnya lagi.Mas Abi hanya mengerang saat kepala dipijat Ibu, apalagi kadang Ibu menekan kepala suamiku itu dengan gemas. Tapi aku bisa melihat wajahnya yang terlihat sangat menikmati, sepertinya sentuhan ibu menjadi obat terampuh untuknya.Ini sudah siang, aku bahkan terkejut saat Ibu datang ke sini tadi. Dia tidak ada bilang apa-apa, hanya masuk dan terus ke kamar menemui Mas Abi. Ibu berdecak saat melihat Mas Abi bergelung di dalam selimut, bergetar kedinginan namun tanpa mengeluarkan suara apapun."Kebiasaan! Sakit nggak mau ngomong, nanti kamu magi diam-diam, Bi. Orang nggak tahu!" Ibu kembali mengomel dengan kecepatan yang menakjubkan. "Sudah minum obat?" tanya Ibu pada Mas Abi.S
106. Kunjungan Ibu! (Bagian B)“Dari mana kamu, An?” tanya Ibu sambil menoleh ke arahku.“Dapur, Bu. Buatin Ibu minum,” kataku cepat.Aku langsung bergegas memutari ranjang dan mendudukkan diri disisi lain, berseberangan dengan Ibu yang saat ini sedang menatapku dengan alis terangkat sebelah."Apa, Bu?" tanyaku tak mengerti, tatapan Ibu terlihat aneh."Nggak!" kata Ibu dengan ketus.Eh? Kenapa, sih? Aku jadi bingung, aku salah apa? Biasanya kalau Ibu begini, pasti ada yang tidak dia sukai dariku. Tapi apa? Dia sudah aku buatkan minum, dan juga jendela kamarku terbuka, loh.Sehingga Ibu tidak kegerahan, dan juga kepanasan. Sebenarnya aku mau pamer AC pada Ibu, tapi sayang Mas Abi sedang sakit dan aku tidak mungkin membuat dia tambah sakit.Kemudian hening, tidak ada pembicaraan yang berarti. Aku dan ibu tenggelam dalam kesunyian dan juga keheningan, tidak ada yang membuka suara di antara kami. "Ibu ke sini diantar siapa?" tanyaku ingin tahu.Selain ingin membuka pembicaraan agar tidak
107. Kunjungan Ibu! (Bagian C)Aku yang memang tidak mau membahas ini lebih jauh, langsung mengalihkan pandangan dan juga mencari kesibukan dengan memijat tangan Mas Abi. Tetapi, aku masih bisa merasakan tatapan tajam Ibu padaku dan sukses membuat aku mengerang kesal."Kenapa sih, Bu?" tanyaku dengan sewot."Kamu ini kenapa, sih?" tanya Ibu balik."Lah, ditanya kok, malah balik nanya, Bu!" Aku memprotes."Kamu sehat, An?" tanya Ibu tiba-tiba."Hah? Sehatlah, Ibu kok tanya begitu, kenapa?" tanyaku ingin tahu.“Sumpah, kamu itu tidak cocok diam-diam, dan menjadi anak kalem seperti ini!” kata Ibu lagi. “Kamu jangan membuat orang lain takut!” Lanjut Ibu lagi.“Hah?” Aku kembali memekik heran. “Takut kenapa?” tanyaku lagi.“Kamu pasti dirasuki oleh demit!” kata Ibu dengan cepat. “Kembalikan menantuku yang cerewet itu, wahai demit laknat!” pekik Ibu tiba-tiba.Bug!Satu buah bantal mendarat di wajahku dengan sempurna, benar-benar sakit. Karena bantal dan juga guling yang aku miliki memang t