63. Modus Bi Ramlah! (Bagian B)"Tapi aku mau pergi, Bi," kataku menolak dengan halus."Pergi kemana?" tanyanya ingin tahu."Aku mau pergi ke pasar, bareng Mas Abi," kataku lagi."Abinya mana?" tanyanya sambil celingak-celinguk kekiri dan kekanan."Mas Abi lagi mandi ke sungai," kataku dengan jujur, karena capek terlalu lama berdiri, ku akhirnya ikut mendudukkan bokongku di sofa lainnya."Halah, masih di sungai saja. Ya udah sini aja dulu, kita ngobrol-ngobrol dulu," kata Bi Ramlah dengan semangat.Aku hanya menghela nafas dengan panjang, rasanya serba salah. Ingin sekali aku mengusir Bi Ramlah, namun bagaimanapun juga dia adalah Bibi Mas Abi dan itu artinya dia adalah Bibiku juga, tidak sopan rasanya saat aku mengusir dirinya dari rumahku sendiri."Gimana permintaan Bibi tadi?" tanyanya sambil menunjukkan wajah yang sangat cerah."Permintaan apa sih, Bi?" tanyaku tak mengerti."Yang tadi loh," katanya sambil menaik turunkan alisnya.Ingin sekali rasanya aku berteriak pada Bi Ramlah,
64. Modus Bi Ramlah! (Bagian C)"Iya, tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah nya untuk cicilan bank, tapi yang empat belas juta sekiannya Bibi mau pergunakan untuk membeli emas. Bibi pusing loh, An. Soalnya saudara Pak Lek mu, mau datang, dan Bibi itu nggak punya perhiasan sama sekali. Bibi mau membeli emas agar mereka itu hormat kepada Bibi," kata Bi Ramlah menjelaskan panjang lebar.Aku menatapnya dengan alis terangkat tinggi, apa katanya? Ingin membeli perhiasan? Yang tidak-tidak saja Bi Ramlah ini, bagaimana bisa dia ingin membeli perhiasan dengan cara meminjam uang orang lain?Lagipula, kenapa gengsinya sangat tinggi? Dia tidak ingin terlihat susah didepan keluarga Pak Lek, dengan cara mengorbankan orang lain yang dia pinjam uangnya.Bi Ramlah benar-benar sangat egois, aku tidak habis pikir kenapa ada orang seperti dirinya diciptakan di muka bumi ini."Ya ampun, Bi. Nggak usah yang aneh-aneh, deh. Nggak usah pakai perhiasan lah, ngapain juga? Bibi harus minjam-minjam uang ke ora
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)65. Curiga! (Bagian A)Pondasi rumahku sudah di bangun, dan Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, dan tidak ada kendala yang berarti. Mas Abi dan juga teman-temannya mengerjakan pembangunan rumah kami dengan sangat cepat.Banyak tetangga yang terkejut dengan pondasi yang tengah Mas Abi bangun, karena kami memang membangun rumah yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari rumah si Lampir. Setelah berdiskusi dengan Emak dan juga Aira, aku memutuskan untuk membangun rumah yang besar dan juga mewah. Entah kenapa aku sekarang ini tidak mau kalah dari si Lampir, apakah ini penyakit hati?Tapi, kata Aira ini adalah suatu hal yang wajar. Toh, aku memakai uangku sendiri bukan memakai uang mertuaku ataupun meminta bantuan dengan cara menjual sebagian lahan mereka.Aku hanya tidak ingin diremehkan, aku ingin dilihat. Apakah salah? Aku ingin menunjukkan pada seluruh keluarga Mas ABi yang dari dulu sangat mengagung-agungkan si Lampir,
66. Curiga! (Bagian B)Siapa lagi yang memanggil namaku, sih? Membuat orang menjadi terganggu saja, pembicaraanku dan juga Bu Mutia terpaksa terhenti akibat panggilannya. Aku langsung mendongak saat sebuah kepala nongol dari pintu gubukku ini.Itu Ibu, mau apa dia ke sini? Semenjak terakhir kali dia dan juga Ema ke sini, dia sama sekali tidak pernah berkunjung lagi, dan jujur saja aku merasa sangat tenang karena hal itu.Seolah-olah ada beban berat yang terangkat dari pundakku, tapi kenapa dia datang lagi? Apa dia tidak ada pekerjaan? Namun, aku langsung bangkit dan menyalaminya, bagaimanapun juga dia adalah Ibu mertuaku dan itu artinya dia adalah Ibu dari suamiku.“Masuk, Bu,” kataku sambil mempersilahkan dia untuk masuk ke dalam gubuk.Ibu langsung masuk dan celingak-celinguk menatap ke sekeliling, dia sepertinya sedang mencari sesuatu. Mencari apa, sih?“Ibu nyari apa?” tanyaku dengan bingung, sambil kembali mendidihkan air untuk membuatkan Ibu minum.“Mana sofa yang Ibu kasih? Kok
67. Curiga! (Bagian C)“Sudahlah, lupakan!” ujar Ibu akhirnya.Aku dan Bu Mutia langsung berpandangan, namun setelahnya Bu Mutia menerima telpon dari anaknya yang mengatakan kalau dia sedang ada tamu di rumahnya. Dan Bu Mutia terpaksa harus berpamitan segera, dia pergi setelah berbasa-basi sebentar denganku dan juga Ibu.Kini hanya tinggal aku dan juga Ibu yang duduk di sini, Ibu yang masih menatap keluar hanya diam dan itu membuat aku merasa canggung.“Ibu sudah makan?” tanyaku memulai pembicaraan. “Ana masak sayur asam kalau Ibu mau makan,” kataku lagi menawarkan.“Ibu sudah makan, apa maksud kamu tanya begitu?” tanya Ibu dengan ketus. Aku langsung menatap Ibu dengan pandangan heran, “maksud apa, Bu?” tanyaku tak mengerti.“Apa kamu kira Ibu nggak punya beras di rumah? Jangan sok kamu, An!” katanya lagi dengan nada yang semakin ketus. “Kamu menghina Ibu namanya!” kata Ibu lagi.Astaghfirullahaladzim, aku mengelus lembut dadaku saat mendengar penuturan Ibu. Padahal niatku baik, tapi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)68. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian A)“Hah?!” Aku langsung keluar dan berjalan dengan cepat menuju ke bawah pohon mangga yang sedari tadi tidak aku perhatikan, di sana teronggok plastik polybag yang tadi menutupi sofa milikku.Tapi kemana isinya? Kenapa hanya plastiknya saja yang tertinggal? Sofaku di mana?“MAS! MAS!” Aku memanggil Mas Abi sambil berjalan melewati pondasi yang mulai berdiri kokoh, namun aku sama sekali tidak menemukan keberadaan suamiku itu. Padahal belum ada lima menit kami bersama, dia sudah menghilang saja.“Mas Abi mana, Bang?” tanyaku pada Bang Ridho.Dia adalah tukang yang diajak kerja oleh Mas Abi, orangnya ramah dan juga baik. Dan yang paling penting, kerjanya sangat cekatan, dan juga efisien, wajar saja kalau Mas Abi mengajaknya untuk bekerja.Bang Ridho menatapku dengan pandangan heran, sedangkan kedua kernet yang sedang mengaduk semen juga langsung menatapku dengan pandangan yang sama.“Kenapa, An? A
69. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian B)“Ah, mau apa, Dek? Mas malas ke sana, lagi pula kalian itu baru saja bertemu. Kamu mau apa kembali bertemu dengan Ibu?” tanya Mas Abi dengan nada heran.“Ada yang mau aku bicarakan dengan Ibu, Mas,” kataku lagi.Aku memang tidak mau mengatakan kepada mas Abi kalau sofa yang tadi ada di halaman kini sudah diambil oleh Ibu, sepertinya suamiku itu juga tidak menyadari atas hilangnya sofa yang aku bungkus dengan plastik polybag itu. Biar saja dia akan tahu sendiri nanti."Memangnya penting ya, Dek? Kalau nggak terlalu penting, bagaimana kalau nanti malam saja kita ke rumah Ibu?" Mas Abi mencoba bernegosiasi kepadaku."Ini penting, dan harus sekarang!" kataku setengah memaksa.Aku bisa melihat Mas Abi yang menghela nafas dengan lelah, kemudian mengangguk singkat. Dia lalu lalu berjalan ke arah Bang Ridho dan berpamitan pada temannya itu, aku dengan sigap mengunci gubukku dan langsung naik ke motor yang sudah dihidupkan mesinnya oleh Mas Abi."Ayo cepat,
70. Mendatangi Rumah Ibu! (Bagian C)“Tetap saja itu namanya kamu membuang pemberian Ibu, lagi pula seharusnya kamu mikir kalau punya barang itu dimasukkan semuanya ke dalam rumah, kalau tidak muat, ya buat yang lebih besar!” kata Ibu lagi dengan nada ketus.“Itu hanya untuk sementara, Bu. Bukan selamanya kami letakkan di halaman,” ujar Mas Abi tiba-tiba. “Lagipula Ibu tidak ada hak lagi untuk mengambil sofa itu, karena Ibu sudah memberikannya kepada istriku,” kata Mas Abi sambil menatap ibunya dengan pandangan tajam.“Abi kamu ini apa-apaan, sih? Sudah tidak ada hormat-hormatnya kepada orang tua sendiri!” ujar Bapak tiba-tiba. “Lagipula, ibumu sudah menjelaskan kalau sofa itu kalian buang!” kata Bapak lagi.“Tidak hormat dari mana, Pak? Aku merasa tidak dihargai karena tiba-tiba saja sofa itu sudah Ibu ambil dengan diam-diam, jika Ibu memang ingin memintanya kembali maka Ibu bisa mengatakan kepada kami. Tidak dengan cara mengambilnya diam-diam seperti itu,” ujar Mas Abi lagi. “Dan sa