235. Murka Sri! (Bagian B)"Sudah, sudah! Nggak usah banyak alasan! Sana cepat keluar, makan di ruang makan! Jangan makan di kamar! Memangnya kamu itu pengantin baru? Pakai acara makan di kamar segala, kamu itu tidak takut menjadi ular kalau makan di kasur? Hah?" ujar Sri tidak mau mendengar, dia menunjuk ke arah luar."Itu hanya mitos, Bu. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa Ibu takut-takuti seperti itu!" Aji menggerutu dengan kesal.Dia langsung berdiri dan keluar dari kamar dengan kaki yang menghentak, sedangkan Abi saat ini sudah terkekeh sambil memegangi perutnya. Lelaki itu merasa lucu karena ibunya mengusir Aji, dengan cara menyampaikan mitos yang dulu sering dia sampaikan kepada mereka berdua.Dulu, sewaktu mereka masih kecil, mereka memang sangat sering meminta makan di kamar. Karena Abi dan juga Aji memang ada tipe anak yang malas untuk keluar, dan lebih memilih untuk berada di kamar. Karena di kamar mereka, memang disediakan PlayStation oleh Sri dan juga Amran. Dan untuk m
236. Murka Sri! (Bagian C)Anak sulungnya ini bukan tipe pemikir, suka bekerja, bertindak, dan juga bicara tanpa berpikir lebih dahulu. Dan melihat Aji yang tengah berpikir serius seperti ini, tentu saja adalah hal yang langka."Nggak mikirin apa-apa, Bu. Cuma lagi pusing saja," sahut Aji dengan lesu."Pusing kenapa?" tanya Sri cepat."Uang tabungan anak-anak, Bu." Aji berujar lirih.Sri langsung diam, benar tebakannya tadi. Memang firasat seorang Ibu tidak akan meleset, dan dia kembali membuktikannya walau sudah puluhan tahun lamanya dia menjadi Ibu dari kedua putranya ini."Kenapa memangnya?" tanya Sri ingin tahu. "Kan, kemarin istrimu bilang semuanya sepuluh juta. Dan uangnya juga sudah ada, lalu apa masalahnya lagi, Ji?" tanya Sri dengan cemas.Hahhhhhhh ….Aji menghela nafas berat, dia kemudian mendudukkan dirinya dan menyugar rambutnya. Terlihat sangat frustasi dan juga hilang arah, sukses membuat Sri semakin cemas dan kini menatap Abi meminta penjelasan.Sedangkan yang ditatap,
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)237. Terungkap (Bagian A)"I—itu …." Sri menunggu, begitu juga dengan Abi yang diam-diam menyimak. Walau terlihat cuek tapi dia juga penasaran, uang enam ratus juta itu tidak sedikit. Dan Abi setuju dengan apa yang ibunya katakan, dia juga tidak yakin kalau Aji dan Lisa mempunyai tabungan sebanyak itu.Apalagi ditilik dari kehidupan kakak iparnya itu yang begitu hedon dan juga mewah Lisa selalu saja bersikap seperti Tuan Putri yang harus dituruti keinginannya baik itu oleh Aji oleh kedua orang tuanya dan juga orang-orang di sekitar mereka"Ji, ngomong itu yang jelas. Dari mana kamu dapat uang segitu banyaknya?" Sri kembali bertanya, semakin menekan Aji dengan pertanyaannya.Mimik wajahnya sudah terlihat panik, dan juga cemas. Kekhawatiran itu terlihat jelas, membuat Aji langsung tidak enak hati. Bagaimanapun juga, dia tahu kalau Sri sampai mengetahui hal ini. Maka dia tidak akan selamat."I—itu …."Aji sudah berusaha untuk berbi
238. Terungkap (Bagian B)Padahal, bukan sekali dua kali Karta menawari Abi untuk meminjam uang padanya. Walau Abi hanya kuli bangunan, tapi siapapun tahu kalau harta milik Amran dan juga Sri itu sangat banyak. Jelas, diantaranya akan menjadi milik Abi pada akhirnya.Makanya Karta sangat getol menawarkan pinjaman, namun Abi dan juga Anna cukup tangguh. Mereka bahkan tak tergoyahkan, dan lebih memilih hidup susah dibanding harus tercekik jeratan rentenir macam Karta."Ya Allah, Ji. Ibu dan Bapak tak pernah mengajarkan kalian untuk melakukan hal yang dilarang agama, apalagi memakan riba!" Sri berujar lemah. "Walau kami tidak terlalu paham agama, tapi kami tahu besarnya dosa riba. Tidak pernah sekalipun kalian kami beri makan dari uang tidak halal, lah sekarang? Kok, begini kelakuanmu, Nang? Ya Allah …." Sri menangis, dia terisak kecil.Cemas, khawatir, kecewa, marah, takut, semuanya bercampur menjadi satu. Dia benar-benar tak habis pikir, dan dia tak mampu menguraikan benang kusut di da
239. Terungkap (Bagian C)Dia kemudian menunduk, tatapannya terpaku menatap sprei berwarna biru yang terpasang apik di ranjang milik Sri. Tatapan Aji terasa kosong, dia saat ini benar-benar tidak bisa memikirkan apapun.Terlalu banyak masalah yang menghantui kehidupan rumah tangganya, dan masalah yang terbesar memang ada pada kata disaat mereka meminjam uang kepada Karta."Sudah berapa bulan kamu meminjam uang kepada Karta?" tanya Sri ingin tahu, dan berusaha semakin mengorek informasi yang ingin diketahuinya pada Aji."Sudah empat bulan, Bu!" sahut Aji dengan lesu."Empat bulan?!" Abi memekik kecil. "Mas! Sudah berapa uang yang kalian keluarkan untuk juragan Karta? Karena menurut kabar yang beredar, dia mematok bunga sebanyak 10% untuk setiap pinjaman yang dia berikan. Jika Mas meminjam uang sebanyak enam ratus juta, maka enam puluh juta rupiah harus Mas bayar setiap bulannya, dan itu artinya sudah dua ratus empat puluh juta yang Mas bayar kepada juragan Karta!" lanjut Abi lagi denga
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)240. Ultimatum! (Bagian A)"Nggak, bukan rumah ataupun sawah, Bu!" Aji menyahut cepat."Terus? Darimana kamu dapat uangnya? Tiga ratus juta, Ji. Tiga ratus juta," ujar Sri dengan penuh penekanan. "Tabungan aku," ujar Aji dengan sangat lirih, bahkan bisa dibilang hampir berbisik."Tabungan?" Sri bertanya sangsi."Iya tabungan aku," katanya lagi."Oh, kamu masih belum mau jujur sama kami?" tanya Sri dengan sangat sinis."Bu—""Apa?" Sri langsung menyambar.Wanita berusia lima puluh tiga tahun itu benar-benar geram saat ini, apalagi saat melihat Aji yang kelihatannya masih menutup-nutupi sesuatu. Jika rumah dan juga sawahnya aman, lalu apa sumber uang lainnya? "Yang pasti bukan rumah dan juga sawah," sahut Aji setengah hati."Ya lalu apa?" Sri kembali mendesak. "Bisa saja kalian menggadaikan rumah itu, apalagi rumah iru atas nama Lisa," ujar Sri lagi."Tidak, Bu. Sertifikat rumah dan juga sawah masih aman di tanganku. Ibu tidak pe
241. Ultimatum! (Bagian B)Dia semakin menekankan perkataannya kepada Aji, dan dia hanya bisa berharap kalau anak sulungnya itu akan mematuhi perkataannya. Karena bagaimanapun juga Sri benar-benar sudah hilang kesabaran, dengan kebodohan dan juga kebucinan Aji."Kamu itu yang mbok pintar sedikit kenapa toh, Ji? Apa yang dikatakan oleh istrimu, selalu kamu ikuti. Apa yang dikatakan oleh Lisa, selalu kamu penuhi. Boleh kamu membelikan apapun untuk dia, Ibu tidak masalah karena itu memang sudah tugas kamu sebagai suaminya untuk memenuhi kebutuhannya!" Sri menatap Aji dengan lekat. "Kamu juga boleh membantu mertuamu, tentu saja jika kamu mempunyai uang dan mampu. Ibu juga tidak masalah, kok. Tetapi, jika kamu mempertaruhkan masa depan anak-anakmu hanya demi keluarga istrimu, maka Ibu benar-benar akan marah. Ibu memberikan kebun sawit itu untukmu, agar kamu mempunyai pegangan untuk masa depan Naufal dan juga Salsa. Bukan untuk kamu investasikan kepada Marwan! Ibu benar-benar tidak habis pi
242. Ultimatum! (Bagian C)"Apa? Kamu nyariin Abi? Ini orangnya, bawa pulang sana." Aji berseru, sambil menunjuk Abi."Hah? Nggak, kok. Aku mau ketemu Ibu, bukan nyari Mas Abi," kata Anna dengan cepat. "Tapi kamu ngapain di situ, Mas? Bukannya tadi pagi pergi sama Bang Ridho?" tanya Anna ingin tahu.Dia berjalan mendekati ranjang, dan mendudukkan dirinya di sana. Tepat di samping Abi, walau harus sempit-sempitan tapi dia memaksakan tubuhnya untuk ikut duduk di sana."Udah pulanglah, dan Mas ngadem dulu di sini," sahut Abi cepat. "Kamu kok di sini, Dek? Siapa yang jaga toko, Dek? Kok, kamu tinggal?" Abi balas bertanya."Oh, ada Emak sama Aina di rumah kok, Mas. Makanya aku ke sini, toko dijaga Aina, Mas. Aman!" sahut Anna cepat."Oalah, Emak datang?" Abi berseru senang."Iya, di rumah sama Aina. Makanya Mas jangan keluyuran aja!" Anna mencebik sinis.Abi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, apalagi saat melihat istrinya yang melotot galak. Maklum saja, yang namanya wanita