185. Suka Keributan! (Bagian C)Aku menggeleng pelan, dan menatapnya dengan pandangan tajam. Lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya, dan menatap halaman rumahku dengan gugup. Dia kelihatan salah tingkah, padahal aku hanya menatapnya."Mau beli apa, Mas?" tanyaku dengan santai kepada Mas Aji.Dia saat ini sedang berkacak pinggang, di samping kursi yang diduduki oleh Mas Abi. Wajahnya terlihat tidak santai, tapi aku bersikap masa bodoh saja. Memangnya aku melakukan tindak kriminal dengan menolak memberikan hutangan padanya?"Kalian ini, makin lama makin bertingkah, ya!" Itu kalimat pertama yang dia keluarkan, dan aku hanya mengangguk. Tidak ambil pusing."Jangan kalian kira, kalian itu sudah hebat! Kalian belum ada apa-apanya dibanding aku! Kalian dengar?" pekiknya emosi.Lagi-lagi aku mengangguk santai."Punya toko begini saja, sudah sombong! Orang kaya baru, ya begini. Merasa paling hebat! Paling kaya! Paling wah!" pekiknya lagi.Aku kembali mengangguk.Hening!Aku tidak lagi m
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant) 186. Bergulat! (Bagian A)[Baru punya toko kecil begitu saja, sudah sangat sombong! Heh ingat, ya! Kamu itu bukan siapa-siapa, tapi sombongnya naudzubillah. Dasar OKB!] LisaBlackPinkeu membuat status baru, dan aku bisa dengan jelas mengetahui kalau itu adalah akun Lisa. Dia tak pernah mengubah nama akunnya, walau banyak yang mengatainya alay. Tetapi dia cuek saja, karena dia merasa dirinya mirip seperti Lisa dari grup besutan WaiJi itu.[Maklum, Dek! Mereka itu gak pernah senang hidupnya! Jadi sekali punya uang langsung katrok!] AdjiTaeTaeLovers membalas.Nah, itu akun Mas Aji. Dia baru saja membalas postingan Lisa, baru saja beberapa detik yang lalu. Dan yang bertanya kenapa nama akunnya begitu? Aku juga tidak tahu, mungkin dia fanboy dari Taehyung member BiTiEs. [Kalian ngomongin siapa, sih?] EmaCayankMasBie ikut nimbrung.Yang tanya itu siapa? Itu adalah Ema, calon madu yang diberikan mereka untkku dulu. Pemilik toko baju,
187. Bergulat! (Bagian B)Tapi, apa yang dia pikirkan? Membuat aku penasaran saja, dia tambah aneh setelah Bapak berkunjung ke sini tadi. Sebenarnya ada apa, sih?"Mas! Kamu denger nggak, aku ngomong apa?" tanyaku menggoyangkan lengannya."Hah?! Kamu ngomong apa, Dek? Maaf, Mas nggak fokus. Mas capek banget," kata Mas Abi sambil menunjukkan wajah permohonan maaf.Aku menghela nafas panjang, walau kesal harus aku tahan. Mas Abi akan bercerita, di saat waktunya sudah tepat! Itu yang aku sugestikan pada diriku sendiri, agar aku tidak mengalami rasa kesal yang berkepanjangan."Kalau Mas capek, Mas tidur saja. Nanti biar aku yang tutup toko sendirian," kataku sambil mengusap lengannya."Ah, mending Mas yang tutup. Kamu liat-liat aja lagi," kata Mas Abi dengan cepat.Dia mulai membereskan toko untuk ditutup, dan aku hanya bisa mengangkat bahu dan kembali melihat keadaan akun pesbuk Lisa. Investigasi belum selesai! [Ya Allah, ketus banget kamu, Sa! Somse bener! Pantas saja Mas Aji nggak be
188. Bergulat! (Bagian C)"Mau ke mana, An?" Rasanya dejavu, saat aku melihat Bi Ramlah yang sedang menatapku dengan pandangan berbinar. Bukankah ini sama seperti kemarin? Jangan bilang dia ma—"Ke pasar? Ikut, dong!" Hap! Dia langsung melompat ke atas boncengan, padahal aku belum mengiyakan. Ya Allah, Bi Ramlah benar-benar sesuatu."Bibi mau apa? Kalau nggak beli apa-apa jangan ikut," kataku ketus, menolak secara terang-terangan."Ish, suudzon saja!" sahut Bi Ramlah sambil mencubit kecil pinggangku. "Bibi mau belanja sayur, kok!" katanya dengan semangat."Tunggu Kang Ujang aja, lah," tolakku lagi."Ya Allah, An! Orang nebeng doang pun, pelit amat!" sahutnya mendramatisir keadaan."Udah deh, Dek! Ajak aja lah, lagian kan kamu jadi ada temannya," pekik Mas Abi dari dalam.Aku memutar bola mata, dan Bi Ramlah memkik senang. Ish, jika saja bukan Mas Abi yang menyuruh maka aku akan kekeh untuk tidak mengajak Bi Ramlah ke pasar.Aku menarik gas, sehingga motorku mulai berjalan dengan la
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant) 189. Sidang di Balai Desa (Bagian A)Aku bahkan tidak mampu mengeluarkan suaraku, saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Rini. Bagaimana bisa Mbak Ruli dan juga Lisa bergumul habis-habisan di sini tadi?“Yang bener, Mbak? Ini bukan hoax, kan?” tanyaku ingin tahu."Ya bener, An! Kamu kira Mbak bohong gitu?" tanya Mbak Rini tidak suka."Ya bukannya gitu, Mbak. Tapi ini Lisa loh, Lisa yang somsenya naudzubillahimindzalik. Kok, bisa gitu loh … dia bergumul di pasar sama Mbak Ruli? Emang masalahnya apa?" tanyaku lagi."Iya, yah! Sayang banget kita tadi berhenti di rumah ibumu, An! Kalau tadi kita langsung ke sini, kan kita bisa melihat tuh pertarungan Ruli sama Lisa. Haduh … nggak rezeki!" ujar Bi Ramlah tiba-tiba.Aku menatap Bibi suamiku itu dengan pandangan tajam, tapi sepertinya dia terlihat tidak peduli karena dia malah asik memilih cabai hijau sekarang.Bi Ramlah terlihat cuek bebek, dia sama sekali tidak kelihat
190. Sidang di Balai Desa (Bagian B)"Oh, maaf, maaf, Mbak. Itu sama belanjaanku sekalian, ya udah sini tak bawakan. Ayo kita duduk dulu, aku mau cerita!" kata Bi Ramlah dengan tergesa-gesa.Dia kemudian menarik lengan Ibu dan mendudukkan diri mereka di kursi teras, sedangkan aku berjalan mendekat dengan santai. Biarkan saja biarlah yang menjelaskan, aku tidak mau ikut-ikutan."Apaan, sih? Gosip apa? Kalau tidak penting, aku tidak mau tahu ya!" kata Ibu sambil menatap Bi Ramlah dengan pandangan tajam."Nggak penting bagaimana? Kalau ini berkaitan dengan menantu kesayangan Mbak itu," sahut Bi Ramlah sambil mencibir."Lisa? Kenapa sama dia?" tanya Ibu dengan kening yang berkerut bingung."Lisa itu berantem sama Ruli di pasar tadi, dan sekarang sudah dibawa ke kantor desa," kata Bi Ramlah menjelaskan."Astaghfirullahaladzim! Berantem sama Ruli, di pasar? Kok, bisa Ram?" tanya Ibu dengan panik."Ya, mana aku tahu, Mbak. Aku nggak sempat nanya pula, lagian pas aku sampai sana sama Ana, pe
191. Sidang di Balai Desa (Bagian C)Sedangkan aku duduk di belakang Mas Abi, dan mencubit kecil bahu suamiku itu hingga da terlonjak kaget dan menoleh."Eh! Kamu kok, di sini, Dek?" tanya Mas Abi dengan bingung."Iya, dengar kabar tadi di pasar. Langsung ke sini sama Ibu dan Bi Ramlah," sahutku dengan cepat. "Mas kok di sini? Siapa yang jaga toko?" tanyaku ingin tahu."Diajak Bapak, ya udah Mas ikut. Toko tutup, Dek," sahut Mas Abi tak kalah cepat."Mana si Lisa?" bisikku padanya."Lah, segitu besarnya kamu nggak kelihatan?" tanya Mas Abi sambil menunjuk ke depan.Dan aku langsung bisa melihat keberadaan Lisa dan Mbak Ruli di depan sana, duduk di kursi, bersebelahan, di tengah-tengah ruangan. Seperti tersangka kejahatan saja."Udah mulai? Masalahnya apa, Mas?" tanyaku pada Mas Abi."Belum, lagi nunggu suami Mbak Ruli," balas Mas Abi pelan. Ahhhh! Aku mengangguk paham, keluarga Mbak Ruli memang belum ada di sini, baik itu suaminya, ataupun keluarganya yang lain. Bisa habis si Lisa d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)192. Persidangan yang alot! (Bagian A)Semua orang yang ada di sana langsung terdiam, hening, sunyi, sepi, bahkan suara napas semua orang tidak bisa aku dengar. Apa semua orang menahan napas dengan kompak, ya? Hebat!Lisa dan juga Mbak Ruli di depan sana langsung terdiam, aku tidak tahu pasti bagaimana dengan wajah mereka, karena aku hanya bisa melihat punggung mereka. Tapi yang pasti, aku bisa yakin kalau mereka saat ini pasti takut dengan teriakan yang baru saja dikeluarkan oleh Pak Kades.Pak Kades itu baik, sopan, jujur, dan juga bertanggung jawab. Sebagai pemimpin, dia tidak pernah neko-neko. Tapi, aku maklum saat dia kehilangan kewarasan saat berhadapan dengan Lisa dan juga Mbak Ruli. Siapa sih, yang tahan berhadapan dengan mereka berdua sekaligus?Hmmmm, mungkin tidak ada!"Maaf, Pak. Silahkan lanjutkan," ujar Mbak Ruli memecah keheninganLumayan, setidaknya dia mau meminta maaf. Tidak seperti Lisa yang malah memalingkan w