163. Punya Lisa? (Bagian B)"Ya sudah kalau begitu, kami melihat-lihat dulu ya, Bu," kata Ibu sambil menarik tanganku, untuk kembali berbalik ke etalase.Namun tanpa disangka-sangka, Bu Maryam mengikuti langkah kami. Dia berdiri di sebelah Ibu, ikut melihat-lihat ke etalase yang sedang memajang gelang dan juga kalung. Sesekali dia berkomentar, kalau gelang yang ada di sana terlihat murahan, tidak seperti gelang yang dia pakai.Ibu hanya mengangguk, dan menggeleng, sesekali dia juga bergumam untuk menyahuti kata-kata Bu Maryam. Tetapi aku melihat Ibu tidak terlalu antusias, untuk berbicara dengan besannya itu."Oh iya, An, yang mana yang bagus, kalau menurut kamu?" tanya Ibu sambil menunjukkan dua buah kalung ke arahku. Terlihat cukup besar, dan juga cukup padat. Aku bisa mengira, setidaknya kalung ini beratnya hampir mencapai dua puluh gram, dan juga terlihat sangat indah di mataku."Yang mana saja terlihat bagus, Bu!" jawabku sekenanya."Oalah, Bu Sri. Tidak usah bertanya kepada ora
164. Punya Lisa? (Bagian C)"Tapi ini memang terlalu besar untuk Ana, Bu. Carikan saja yang kecil-kecil," kataku lagi.Aku bisa mendengar Mbak pemilik toko itu tertawa kecil, dia lalu menggeleng sambil menatapku dengan pandangan geli."Ada apa ya, Mbak? Kenapa mbaknya tertawa?" tanyaku sungkan."Baru Mbak Ana ini, yang mau dibelikan emas besar oleh mertuanya, malah menolak, Mbak. Biasanya menantu Ibu yang satu lagi, kalau datang ke sini dibelikan emas, maka dia yang memilih paling besar. Maunya besar kurang besar," kata Mbak itu lagi.Aku langsung meringis sambil menatap Ibu dengan pandangan tidak enak. "Bukannya Ana tidak mau, Bu. Tetapi itu terlalu besar untuk Ana, lagi pula nanti uang Ibu habis. Pilihkan saja yang kecil-kecil, namun terlihat elegan!" kataku lagi."Oalah! Dasar kamu itu bodoh!" kata Bu Maryam tiba-tiba. "Ya kalau mertuamu itu mau belikan emas, harusnya kamu itu pilih yang paling gede, yang paling besar!" kata Bu Maryam Lagi."Tapi saya tidak mau menyusahkan Ibu, Bu
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)165. Gosip (Bagian A)“An!” Suara Bi Ramlah terdengar hingga ke dalam, aku yang sedang menyusun mie instan langsung menoleh.Namun, Bi Ramlah belum terlihat. Kebiasaan! Suka sekali berteriak padahal dia belum sampai ke tempat yang dituju, apa salahnya menunggu sebentar, sih? Heran sekali aku.“An!” Suaranya kembali terdengar, dilengkapi dengan kemunculannya di depan toko.Dia langsung mendudukkan dirinya di kursi, dan melambaikan tangannya ke arahku. Mungkin maksudnya agar aku menghampirinya, tapi sorry-sorry sajalah, pekerjaanku masih banyak. Tidak ada waktu untuk bergosip!“An! Mau dengar gosip tentang Lisa tidak?” tanya Bi Ramlah dengan alis yang terangkat.Yah, kalau tentang Lisa boleh juga! Aku langsung bergegas mendatangi Bi Ramlah, namun tetap memasang wajah yang terlihat cuek dan juga malas. Tentunya agar Bibi dari suamiku itu tidak tahu kalau aku tengah antusias saat ini.“Apa sih, Bi? Pagi-pagi sudah mengajak orang berb
166. Gosip (Bagian B)Oh, yeahhhh …Aku sama sekali tidak menyesal karena sudah meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita Bi Ramlah, karena apa yang dia ceritakan memang benar-benar fenomenal dan membuat aku menjadi sangat bersemangat.~Aksara Ocean~"Dek, nanti malam tidak usah masak!" kata Mas Abi tiba-tiba.Dia baru saja pulang dari kantor desa, mengurus surat sertifikat atas tanah, sawah, juga rumah yang Ibu beri untuknya. Karena kebetulan Ibu memang menyuruh untuk segera diurus, dan kebetulan juga uang kami memang cukup."Kenapa, Mas?" tanyaku ingin tahu. Padahal sebelum dia pergi tadi, dia sudah menyuruhku untuk membeli ikan nila karena dia ingin nila bakar untuk menu makan malam nanti. Eh, setelah ikan nilanya dibeli dia malah menyuruhku untuk tidak memasak. "Oh, kata Ibu nanti malam makan di sana saja. Tadi Ibu beli daging sapi, karena sapinya Wak Leman masuk lubang jadi di sembelih. Ibu masak rendang, sam sop juga," kata Mas Abi cepat.Dia sedang menggantung rentengan shamp
167. Gosip (Bagian C)"Ya, siapa yang tahu, Mas. Mungkin saja Mas ketemu Rika yang bekerja di toko baju itu di kantor desa, aku 'kan tidak tahu," kataku sambil mengangkat bahu. "Lah, terus si Rika ini ngomong apa?" tanyaku lagi."Aduh … Mas ngomongnya kok jadi tidak enak, ya!" kata Mas Abi sambil menggaruk rambutnya."Memangnya dia ngomong apa?" tanyaku berusaha sabar."Mas takut jatuhnya malah ghibah, Dek, dan juga fitnah. Ini dosa, loh!" kata mas Abi dengan pandangan memelas."Ya Allah, Mas. Kalau Mas tidak mau memberitahu, seharusnya ngomong dari tadi. Bukannya malah memberi teka-teki seperti ini, membuat orang penasaran saja!" kataku dengan nada ketus.Mas Abi malah cengengesan, dia hanya menatapku dengan pandangan geli, dan juga tidak nampak sedikitpun rasa bersalah di wajahnya Suamiku itu benar-benar sangat pintar membuatku marah dan juga kesal."Maaf, maaf!" kata Mas Abi akhirnya."Ya terus si Rika ini ngomong apa?" tanyaku lagi."Dia ini ngomong, kalau Mbak Lisa …."Oalah, tern
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)168. Kebun Aji (Bagian A)“Bu, kok masak rendang, sih? Aku ‘kan nggak bisa makan!”Tebak siapa yang berbicara! Iya, itu Lisa. Si manusia super rempong dan juga lebay, aku hanya makna dalam diam dan menikmati rendang buatan Ibu dengan nikmat dan juga tekun.Wong, sudah dibuatkan susah payah, masak malah protes. Ya nggak punya akal namanya!“Namanya juga Ibu belinya daging, Sa. Ya, Ibu buat Rendang lah,” sahut Ibu dengan santai.“Ya ‘kan bisa beliin ayam kampung, Bu. Terus di masak rendang juga buatku,” katanya manja.“Iya, lain kali!” balas Ibu singkat.“Terus aku makan apa dong sekarang ini?” tanya Lisa dengan nada ketus.“Ya makan apa yang ada, Mbak. Memangnya ada apa dengan rendang daging? Enak begini, kok!” kata Mas Abi cepat.“Mbakmu ini kena kolesterol, Bi. Nggak bisa makan daging,” kata Mas Aji menyahuti. Aku dan Mas Abi kompak mengucapkan ‘oooohhhhhh’ secara kompak, ternyata begitu realitanya. Sayang ya, masih muda kena k
169. Kebun Aji (Bagian B)"Mbak jangan ngada-ngada dong, itu fitnah namanya!" Kukatakan dengan nada ketus, yang penuh dengan penekanan."Fitnah gimana? Udah deh, cuman kita berdua loh, yang di sini. Masa kamu nggak mau bagi-bagi ajian, yang udah dikasih sama dukun kamu!" sahut Lisa dengan nada santai. "Apa salahnya sih, bagi-bagi sama aku? Toh, harta Ibu juga tidak akan habis kalau dinikmati oleh kita berdua. Ya, kalau kamu berhasil memakai ajian dari dukun itu, mungkin saja di aku juga akan berhasil, kan?" Lanjut Lisa lagi."Iya, tapi masalahnya aku nggak ke dukun, Mbak! Mungkin Mbak itu yang ke dukun, kalau aku sih menggunakan cara halal saja untuk berdekatan dengan Ibu," balasku sambil mencibir sinis."Enak saja kamu nuduh aku ke dukun, aku ini emang disayangi Ibu karena aku itu cantik, aku glowing, dan aku adalah menantu yang dia idam-idamkan. Karena aku mempunyai pekerjaan sebagai pegawai negeri!" kata Lisa sambil tersenyum remeh. "Kalau kamu sih, apa yang bisa dibanggakan? Sekar
170. Kebun Aji (Bagian C)"Kan kamu sudah sering Ibu belikan, ya sekarang giliran Ana lah. Ganti-gantian!" balas Ibu."Ya, namanya udah di toko emas, Bu. Ya apa salahnya belikan Lisa sekalian?" tanya Mas Aji dengan nada lembut.Begitu mendayu, dan juga begitu menghanyutkan, inilah yang selalu menjadi senjata kakak kandung suamiku itu untuk bisa mengambil hati Ibu dan juga memeras apapun yang Ibu punya dengan mulutnya itu."Bener kata Mas Aji, Bu. Seharusnya Ibu membelikan sesuatu untukku juga," kata Lisa dengan nada manja. "Sudah lama nih, Ibu tidak membelikan apa-apa untukku!" Lanjutnya lagi."Lama bagaimana? Wong lima bulan yang lalu saja, Ibu memberikan uang tiga puluh juta untukmu membeli motor, kok!" jawab Ibu sambil mencibir."Ya ampun, Bu! Jangan diingat-ingat lagi kenapa!" sahut Lisa dengan nada frustasi."Bagaimana Ibu tidak mengingatnya, bahkan jika Ibu ingin melupakannya sekalipun, Ibu tetap tidak bisa. Terus mengingat hal itu, berulang-ulang, saat Ibu dibohongi. Sampai ka