154. Kejutan dari Ibu! (Bagian B)Aku bisa melihat dari ekor mataku, Ibu yang sepertinya terkesiap dengan apa yang Lisa ucapkan. Dia lalu menatap Lisa dengan pandangan tajam."Salah Ibu? Salah Ibu dari mana? Kok, bisa-bisanya kamu menyalahkan Ibu, ini udah nggak betul, Sa! Nggak betul namanya!" kata Ibu tidak terima."Ya salah ibu lah, kalau Ibu mau membayarkan tunggakan itu maka motor itu tidak akan ditarik!" kata Lisa dengan nada ketus. "Ibu sih, pelit banget sekarang sama kami," kata Lisa lagi.Ibu terlihat menghela nafas dengan panjang, dan juga berat. Sepertinya dia tengah meredam amarah yang sudah memuncak, terlihat dari wajahnya yang memerah dan juga nafasnya yang memburu."Salah Ibu, iya sih ini salah Ibu. Karena Ibu terlalu memanjakan kalian selama ini," kata Ibu dengan nada ketus. "Salah Ibu juga yang selalu menuruti apapun yang kalian inginkan, makanya mulai dari sekarang Ibu sudah membuat keputusan yang benar. Dengan tidak lagi memberikan apapun kepada kalian, lagi pula ka
155. Kejutan dari Ibu! (Bagian C)"Ya nggak tahu, Mas. Mungkin aja Mas Abi lagi bincang-bincang sama Pak Rasyid," kataku sekenanya, Pak Rasyid adalah suami dari Bu Sulis yang memang berada di rumah."Lama amat sih, lelet kayak cewek!" kata Mas Aji lagi.Aku hanya menatap Mas Aji dengan pandangan bosan, suruh siapa dia menunggu di sini? Tohz dia bisa pergi dan pulang ke rumahnya bersama Lisa.Kami juga tidak mengharapkan keberadaan mereka di sini, tapi sepertinya mereka berdua benar-benar kepo dengan apa yang ikan akan Ibu sampaikan, jadi mereka tetap bertahan di sini sampai selesai.Tak lama kemudian aku bisa melihat Mas Abi yang datang dengan membawa sebuah piring di tangannya, yang tertutup daun pisang. Dia langsung tersenyum dan meletakkan piring itu di atas meja."Ini apa, Bi?" tanya Ibu ingin tahu."Bu Sulis tadi buat bakwan, Bu. Jadi dia menyuruh Abi untuk menunggu sebentar, dan membawa ini pulang," kata Mas Abi dengan cepat.Lisa dengan cepat lalu membuka piring itu dan kami
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)BAB 62Tidak lagi dapat suplai dana apapun!Kemudian hening, kami semua tidak mengeluarkan suara apapun, seolah kami sedang menyelami pemikiran kami masing-masing. Sama seperti aku dan juga Mas Abi, Lisa dan juga Mas Aji hanya terpekur dan saling menatap satu sama lainnya dengan pandangan yang sulit diartikan.Bagaimanapun juga, perkataan Ibu tadi memang benar-benar hal yang sangat mengejutkan bagi kami semua. Karena Ibu dari dulu memang selalu berpihak kepada Mas Aji, dan selalu menomor duakan Mas Abi.Ketika Mas Aji diberikan lahan sawit, serta beberapa hektar sawah, Mas Abi sama sekali tidak mendapatkan hal itu. Begitu juga ketika Mas Aji dibangunkan sebuah rumah, di atas tanah yang dibeli oleh Bapak dan Ibu, Mas Abi juga tidak mendapatkan hal tersebut.Bahkan rumah yang dibangun oleh Ibu dan juga Bapak untuk Mas Aji, luasnya hampir menyamai rumah yang mereka tempati. Begitu juga dengan perabotan yang mahal dan juga lengkap, m
157. Tidak lagi dapat suplai dana apapun! (Bagian B)"Apaan sih, Bi? Kok malah menjalar ke mana-mana? Siapa yang mau menguasai semua harta Ibu dan Bapak, hah?" sahut Mas Aji dengan cepat."Loh, dengan kalian yang menyarankan aku untuk tidak menerima pemberian dari Ibu dan Bapak, itu sudah tanda-tanda kalau kalian ingin menguasai semuanya. Memangnya kenapa, kalau aku menerima rumah itu menjadi milikku? Toh, tidak ada ruginya kepada kalian, karena kalian sudah memiliki hal yang sama!" sahut Mas Abi sambil menatap mata Mas Aji, dengan pandangannya nyalang. "Ini yang tidak aku suka!" sahut Lisa tiba-tiba. "Kamu itu kalau punya harta sedikit saja, sudah mulai sombong, sudah mulai angkuh, tidak menghormati kami lagi. Ingat dong! Ibu yang memberi itu kepada kalian, tidak usah sok hebat dan juga sok berkuasa!" kata Lisa lagi."Yang sombong siapa sih? Heran deh, emang gini ya kalau orang punya penyakit hati, semua-semua serba salah, karena dia tidak suka saat orang lain bahagia!" sahutku samb
"Loh, Mbak nuduh kami ingin mengusir Ibu dan juga Bapak?" tanya Mas Abi lagi. "Iya, bener yang Mbak bilang. Rambut sama hitam, tetapi isi hati orang kita tidak tahu dalamnya bagaimana. Sama seperti kalian ini, ketika Ibu dan juga Bapak memiliki banyak uang, kalian masih sayang kepada mereka, tapi ketika mereka sudah tidak mempunyai uang lagi dan mereka sakit-sakitan, apa kalian mau mau mengurusnya?" tanya Mas Abi menembak langsung.Aku bisa melihat Lisa yang terlihat gelagapan, menjawab pertanyaan yang Mas Abi berikan."Bukannya tuduhan itu terlalu sadis, Mbak?" tanyaku lagi. "Bahkan jika Ibu tidak memberikan satu peser pun harta mereka untuk Mas Abi, dan ketika Ibu sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, maka aku siap menampung Ibu di rumah kami!" kataku dengan nada tegas.Aku bisa melihat Ibu yang menatapku dengan pandangan dalam, begitu juga dengan Lisa dan Mas Abi yang langsung mencebik sinis ke arahku. Mereka sepertinya tidak mempercayai ucapanku, dan malah memberikan pandangan menge
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)159. Toko Emas! (Bagian A)"Apaan, sih, kalian teriak-teriak saja dari tadi! Nanti dikira orang kita ini kemalingan, kalau ada warga yang datang ke sini, bagaimana? Gara-gara mendengar teriakan kalian itu!" kata Ibu dengan nada tidak suka. "Kalian ini sudah besar, tetapi seperti anak kecil saja. Sama-sama sudah dewasa, suami istri kok sifatnya sama!" cibir Ibu lagi."Ya gimana kami nggak kaget, Bu. Bagaimana bisa Ibu menghentikan suplai dana kepada keluarga kami?" kata Mas Aji tidak suka."Loh, kenapa tidak bisa? Bukannya Ibu sudah bilang berkali-kali dari semalam?" tanya Ibu dengan menaikkan alisnya tinggi-tinggi. "Seharusnya kamu sudah dengar Aji, dari semalam Ibu bilang, Ibu akan menghentikan suplai dana untuk kalian. Ibu tidak mau lagi memberikan apapun kepada kalian!" kata Ibu menjelaskan."Ta—tapi … aku kira Ibu bercanda, Bu. Bagaimana bisa Ibu seperti itu? Bahkan Ibu tidak mau memberikan jajan untuk Naufal dan juga Salsa,
160. Toko Emas! (Bagian B)Sekarang aku sudah terbiasa mendengar Ibu yang berbicara seperti ini, karena aku tahu walaupun dia bersikap ketus dan juga dingin, tetapi dia memang benar-benar menyayangi suamiku. Jadi aku sudah tidak lagi mempunyai keraguan apa-apa kepadanya, aku hanya harus meyakini kalau Ibu menyayangi kami!"Bu, Ibu tidak mau pikir-pikir lagi?" tiba-tiba suara Mas Aji kembali terdengar.Ibu langsung memutar bola matanya, dan langsung berdiri memasuki toko dia sama sekali tidak menghiraukan perkataan Mas Aji."Ibu sudah memikirkan ini dan juga sudah mengambil keputusan, jadi kamu tidak boleh mempertanyakan keputusan yang Ibu sudah ambil!" kata Ibu dengan nada tegas, tanpa melihat sama sekali ke belakang. "Ana siapkan belanjaan Ibu tadi, karena Ibu mau pulang, mau memasak. Takut Bapakmu pulang cepat," kata Ibu lagi.Aku segera bergegas dan mengambil semua pesanan yang Ibu katakan tadi, karena bagaimanapun juga aku benar-benar bahagia saat ini. Bukan karena mendapatkan ha
161. Toko Emas! (Bagian C)"Lama juga nggak apa-apa, Dek. Ya udah sana, cepet Antar Ibu," kata Mas Abi santai. "Oh ya, nanti kalau nggak merepotkan, bisa nggak kamu ke pasar sebentar? Terus belikan es dawet yang di depan toko emas," kata Mas Abi lagi, sambil menunjukkan cengiran kecil."Ya sudah, nanti aku ke pasar dulu, dan membelikan es dawet yang Mas minta. Aku sama Ibu pergi ya, Mas. Assalamualaikum!" kataku berpamitan.Aku tidak sempat menunggu Mas Abi menjawab salamku, karena aku sudah menarik gas dengan dalam lalu melaju ke rumah ibu dengan kencang."Kamu mau ke pasar, An? Beli es dawet buat Abi?" tanya Ibu setelah kami sampai di rumahnya."Iya, Bu. Pesanan Mas Abi, ya aku belikan saja sekalian. Toh, ke pasar juga tidak membutuhkan waktu lama!" kataku sambil mengangkat bahu.Aku lalu membantu Ibu membawa belanjaannya ke teras, terutama beras yang berat itu, sedangkan Ibu hanya membawa kantong plastik yang berisikan barang-barang lainnya dan aku yakin itu juga tidak kalah beratm