“Kamu harus tau, aku memang nggak pernah pergi. Aku nggak sepengecut itu untuk lari dari pertunangan kita, Arini. Hanya saja, aku memang nggak bisa kembali.”Danar masih menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang tak ingin kudengar. Sementara itu, aku hanya menatap nanar kepadanya, berusaha untuk tak kembali luluh dengan semua kalimat yang kian tak masuk akal. “Nyatanya kamu pergi, ‘kan?” Kuhapus lelehan air mata, meski percuma. Sebab, sebanyak apa pun aku melakukannya, air mata ini terus saja membasahi pipi, seiring luka lama yang menggores hati. “Harusnya, kata-kata kamu bikin aku bahagia, Danar. Seperti semua kata-kata kamu yang memang selalu bisa menenangkan aku, dari dulu. Kamu yang selalu berhasil bikin aku bahagia, dan kamu yang selalu berhasil bikin aku ketawa. Tapi ....” Aku berhenti, lalu mengenang semua yang pernah dilakukannya dulu, sebelum menjatuhkan luka untukku sedalam ini.Dengan Danar, aku pernah merasa bahagia tak terkira. Tetapi, dengannya juga aku terpuruk, hingga
Langkah Ibu yang mendekat itu terasa bagai vonis mati. Detik demi detik berada di rumah ini rasanya begitu menyakiti. Bagaimana bisa, orang-orang yang mencintaiku menghancurkan aku sedalam ini?“Kamu kenapa?” Ibu mengulur tangan menyentuh pipiku. Dia tampak heran melihat aku yang menangis seperti anak kecil. “Kamu berantem sama Arsyl?” Kelembutan yang ditunjukkan Ibu membuatku kian tenggelam dalam tangis. Dalam sesal, dalam sesak luar biasa.“Aku ... aku ketemu Danar, Bu.”“D-Danar?” Mata Ibu sedikit membulat, kata-katanya juga sedikit tergagap. Maka, apa boleh jika sekarang aku curiga pada Ibu juga?“Jadi, Ibu juga tau?” Aku mengambil kesimpulan.“Arini ....“Aku melepaskan tangan Ibu yang masih melekat di pipi, lalu mengayun langkah ke halaman belakang. Tak jauh di depanku, tampak Ayah berdiri di tepi kolam ikan. Ayahku itu menaburkan sesuatu ke kolam, memberi makan ikan-ikan lele peliharaannya. Seperti Arsyl, Ayah memang suka memelihara jenis hewan air itu.“Ayah.” Aku mendekat
“Kalau sekarang kamu dan adik-adikmu melihat kami bahagia, merasa bahwa kita adalah keluarga bahagia, itu bukan karena cinta kami.” Ibu kembali berkata. “Kami bisa seperti ini, karena berhasil mendapatkan restu itu kembali. Dan kami menyesal telah membangkang orang tua seperti itu. Hingga kalian menjadi korban, tumbuh menjadi anak-anak yang tak memiliki leluhur untuk diakui sebagai keluarga.” Ayah menambahkan. Perjuangan Ayah dan Ibu untuk mendapatkan restu amatlah sulit. Butuh waktu belasan tahun, sampai Ibu bisa mendapatkan maaf dari orang tuanya. Bahkan, akhirnya Ibu tahu, bahwa pria yang nyaris menjadi suaminya ternyata terlibat sebuah kejahatan. Tak hanya itu, dia juga melakukan kekerasan kepada istrinya, lalu mereka bercerai.Kisah itu seperti membuka kesadaran Kakek, bahwa Ibu mengambil pilihan benar dengan menikahi Ayah. Itu pun ketika Kakek dan Nenek berada di ujung ajal. Hingga pada akhirnya, aku mengenal mereka sebagai leluhur, ketika usiaku menginjak dewasa.Aku bahagia
Hari ini, setelah menghabiskan waktu beberapa hari terbaring di ranjang, akhirnya aku bangun dan memutuskan memasak. Selain sudah merasa sehat, tak ada alasan untukku berlama-lama di tempat tidur. Oleh karena itu, siang tadi aku menyempatkan diri ke pasar, membeli beberapa bahan dapur yang memang habis sejak beberapa hari yang lalu. Arsyl cukup sibuk, karena mengganti waktu kerja selama aku sakit. Itu sebabnya, dia tak sempat berbelanja. Meski selama aku sakit, makanan tetap tersedia. Kiriman Mama Indi, juga ibuku. Hari ini, aku akan menyiapkan kejutan untuk Arsyl. Tak berlebihan rasanya, sebab dia telah merawatku dengan sabar selama ini. Anggap saja, ini sekaligus ucapan terima kasih atas kesabarannya. Aku bahkan tidak menyangka, dia merelakan banyak hal hanya demi menemaniku. Apalah memang ... Aku begitu berharga untuknyq?Aku baru saja mandi dan berniat memilih baju, ketika tak sengaja membuka laci di salah satu lemari. Sejenak, aku tertegun ketika mendapati map berwarna kuning
“Itu kesukaan kamu, itu juga, itu juga.” Begitu kata Arsyl sembari menunjuk ke meja, pada deretan makanan yang tadi dibawa Mama Indi untukku. “Kadang, aku heran sama mama. Yang jadi anaknya itu, aku atau kamu?” Dia berkata lagi. “Yang dikirim makanan kesukaan kamu semua, sampai mama lupa sama anaknya sendiri.”Aku hanya tertawa menanggapi kalimatnya. Dia memang benar. Mamak Amy selalu mengingat aku, bahkan sejak dulu sebelum aku menjadi menantunya. Sepulang dari jalan-jalan atau berlibur, Mama akan menelepon dan berkata bahwa dia memiliki oleh-oleh untukku. "Mama juga ngirim makanan buat kamu. Ada woky ayam sama ikan cakalang suwir. Tapi, karena kebanyakan dan banyak makanan lain, jadinya aku simpen di kulkas. Mau aku panasin?" Aku menawarkan. Dia menggeleng, lalu merentangkan satu tangan ke arahku. "Nggak usah. Aku makan kue ini aja. Nggak mau makan lagi." "Yakin, nggak nyesel?" Dia hanya menggeleng. Bila sudah begini, aku merasa dia memang banyak mewarisi sifat mamanya. untuk s
Pagi kami berjalan seperti sedia kala, layaknya ratusan hari yang telah terlewati. Arsyl sibuk dengan olahraga, aku berkutat menaklukkan dapur. Sebenarnya, sejak awal menikah kami melakukan ini. Tak ada yang aneh, tak ada yang istimewa. Hanya saja, kali ini aku merasa semuanya berbeda, seperti ada yang istimewa. Beberapa kali aku menoleh ke ara pintu. Sudah hampir jam setengah tujuh, tetapi Arsyl masih belum juga kembali. Apa lagi kali ini? Apakah salah satu tetangga mengajaknya menjadi panitia kegiatan RT lagi?Dibanding aku, Arsyl memang lebih akrab dengan tetangga. Maklum, dia tinggal di sini sejak lajang, dan aku belum genap setahun menemaninya. Sering tetangga mengajak dia terlibat dalam kegiatan di kompleks perumahan ini, seperti beberapa saat lalu ketika mereka berembuk soal perayaan hari kemerdekaan. Sebenarnya aku sudah melarang, takut dia kelelahan. Namun, dia berkata akan melakukan semuanya. Tak apa, bukan hal yang terjadi setiap hari. Maka, aku pun tak lagi memaksakan ke
Jarak dari kantorku ke rumah Ibu tidaklah jauh. Namun, kali ini rasanya jalanan bertambah panjang ratusan kali lipat, dan kami tak kunjung sampai. Selama itu pula, Arsyl berusaha menenangkan aku yang begitu gelisah, ingin secepatnya sampai di tujuan. Saat sampai di rumah Ibu, Arsyl masih menggenggam tanganku. Dia mengangguk sekali lagi, sebagai isyarat bahwa akan selalu mendampingi. Mungkin, ini juga merupakan upaya meyakinkan kepadaku bahwa semua tentang Raya akan tetap baik-baik saja. Setelah sekian lama diam dan larut dalam kegelisahan, akhirnya aku balas mengangguk. Kuhela napas dalam, lalu memutuskan turun lebih dulu. Dalam hati, aku mengudarakan banyak doa, semoga semua tentang adikku memang baik-baik saja.Kuteguhkan hati, kemudian menuju ruang tengah beriringan dengan Arsyl. Lagi-lagi, dia meremas jemariku, menguarkan hangat sampai ke seluruh sisi kalbu. Lalu, aku memelankan langkah ketika melihat pemandangan di hadapan.Tak jauh di hadapanku kini, tampak Raya bersimpuh di
“Aku nggak benar-benar pergi, Arini. Ayahmu yang memaksaku berjanji, agar aku menyerahkan kebahagiaanmu kepada mereka. Apa yang bisa aku lakukan? Di depanku ada seorang ayah yang meminta anaknya kembali.”“Seperti yang kamu tau, aku berjuang. Tapi, aku bisa apa kalo ayahmu mau kamu menikah dengan pilihannya? Jika ayahmu berjanji akan lebih membahagiakanmu, janji apa yang harus kutepati selain menjauh?””Aku menepati janji, Arini. Aku menepati janji bikin kamu selalu bahagia. Ya, meski tentu saja bukan aku yang membahagiakanmu, tetapi kamu memang benar-benar hidup bahagia.” “Sebab, kata ayahmu, tidak ada kebahagiaan melebihi kasih sayang keluarga. Aku harus menjawab bagaimana, karena kasih sayang keluarga yang dimaksud ayahmu, adalah hal yang saat itu tidak bisa diberikan keluargaku untuk kamu.”“Apa itu salah, Arini? Aku hanya minta waktu, tapi ayahmu tidak memberikannya. Dia tidak percaya kepadaku, Rin. Dia tidak percaya kalo aku bisa meyakinkan orang tuamu supaya mereka menerimamu