Langkah Ibu yang mendekat itu terasa bagai vonis mati. Detik demi detik berada di rumah ini rasanya begitu menyakiti. Bagaimana bisa, orang-orang yang mencintaiku menghancurkan aku sedalam ini?“Kamu kenapa?” Ibu mengulur tangan menyentuh pipiku. Dia tampak heran melihat aku yang menangis seperti anak kecil. “Kamu berantem sama Arsyl?” Kelembutan yang ditunjukkan Ibu membuatku kian tenggelam dalam tangis. Dalam sesal, dalam sesak luar biasa.“Aku ... aku ketemu Danar, Bu.”“D-Danar?” Mata Ibu sedikit membulat, kata-katanya juga sedikit tergagap. Maka, apa boleh jika sekarang aku curiga pada Ibu juga?“Jadi, Ibu juga tau?” Aku mengambil kesimpulan.“Arini ....“Aku melepaskan tangan Ibu yang masih melekat di pipi, lalu mengayun langkah ke halaman belakang. Tak jauh di depanku, tampak Ayah berdiri di tepi kolam ikan. Ayahku itu menaburkan sesuatu ke kolam, memberi makan ikan-ikan lele peliharaannya. Seperti Arsyl, Ayah memang suka memelihara jenis hewan air itu.“Ayah.” Aku mendekat
“Kalau sekarang kamu dan adik-adikmu melihat kami bahagia, merasa bahwa kita adalah keluarga bahagia, itu bukan karena cinta kami.” Ibu kembali berkata. “Kami bisa seperti ini, karena berhasil mendapatkan restu itu kembali. Dan kami menyesal telah membangkang orang tua seperti itu. Hingga kalian menjadi korban, tumbuh menjadi anak-anak yang tak memiliki leluhur untuk diakui sebagai keluarga.” Ayah menambahkan. Perjuangan Ayah dan Ibu untuk mendapatkan restu amatlah sulit. Butuh waktu belasan tahun, sampai Ibu bisa mendapatkan maaf dari orang tuanya. Bahkan, akhirnya Ibu tahu, bahwa pria yang nyaris menjadi suaminya ternyata terlibat sebuah kejahatan. Tak hanya itu, dia juga melakukan kekerasan kepada istrinya, lalu mereka bercerai.Kisah itu seperti membuka kesadaran Kakek, bahwa Ibu mengambil pilihan benar dengan menikahi Ayah. Itu pun ketika Kakek dan Nenek berada di ujung ajal. Hingga pada akhirnya, aku mengenal mereka sebagai leluhur, ketika usiaku menginjak dewasa.Aku bahagia
Hari ini, setelah menghabiskan waktu beberapa hari terbaring di ranjang, akhirnya aku bangun dan memutuskan memasak. Selain sudah merasa sehat, tak ada alasan untukku berlama-lama di tempat tidur. Oleh karena itu, siang tadi aku menyempatkan diri ke pasar, membeli beberapa bahan dapur yang memang habis sejak beberapa hari yang lalu. Arsyl cukup sibuk, karena mengganti waktu kerja selama aku sakit. Itu sebabnya, dia tak sempat berbelanja. Meski selama aku sakit, makanan tetap tersedia. Kiriman Mama Indi, juga ibuku. Hari ini, aku akan menyiapkan kejutan untuk Arsyl. Tak berlebihan rasanya, sebab dia telah merawatku dengan sabar selama ini. Anggap saja, ini sekaligus ucapan terima kasih atas kesabarannya. Aku bahkan tidak menyangka, dia merelakan banyak hal hanya demi menemaniku. Apalah memang ... Aku begitu berharga untuknyq?Aku baru saja mandi dan berniat memilih baju, ketika tak sengaja membuka laci di salah satu lemari. Sejenak, aku tertegun ketika mendapati map berwarna kuning
“Itu kesukaan kamu, itu juga, itu juga.” Begitu kata Arsyl sembari menunjuk ke meja, pada deretan makanan yang tadi dibawa Mama Indi untukku. “Kadang, aku heran sama mama. Yang jadi anaknya itu, aku atau kamu?” Dia berkata lagi. “Yang dikirim makanan kesukaan kamu semua, sampai mama lupa sama anaknya sendiri.”Aku hanya tertawa menanggapi kalimatnya. Dia memang benar. Mamak Amy selalu mengingat aku, bahkan sejak dulu sebelum aku menjadi menantunya. Sepulang dari jalan-jalan atau berlibur, Mama akan menelepon dan berkata bahwa dia memiliki oleh-oleh untukku. "Mama juga ngirim makanan buat kamu. Ada woky ayam sama ikan cakalang suwir. Tapi, karena kebanyakan dan banyak makanan lain, jadinya aku simpen di kulkas. Mau aku panasin?" Aku menawarkan. Dia menggeleng, lalu merentangkan satu tangan ke arahku. "Nggak usah. Aku makan kue ini aja. Nggak mau makan lagi." "Yakin, nggak nyesel?" Dia hanya menggeleng. Bila sudah begini, aku merasa dia memang banyak mewarisi sifat mamanya. untuk s
Pagi kami berjalan seperti sedia kala, layaknya ratusan hari yang telah terlewati. Arsyl sibuk dengan olahraga, aku berkutat menaklukkan dapur. Sebenarnya, sejak awal menikah kami melakukan ini. Tak ada yang aneh, tak ada yang istimewa. Hanya saja, kali ini aku merasa semuanya berbeda, seperti ada yang istimewa. Beberapa kali aku menoleh ke ara pintu. Sudah hampir jam setengah tujuh, tetapi Arsyl masih belum juga kembali. Apa lagi kali ini? Apakah salah satu tetangga mengajaknya menjadi panitia kegiatan RT lagi?Dibanding aku, Arsyl memang lebih akrab dengan tetangga. Maklum, dia tinggal di sini sejak lajang, dan aku belum genap setahun menemaninya. Sering tetangga mengajak dia terlibat dalam kegiatan di kompleks perumahan ini, seperti beberapa saat lalu ketika mereka berembuk soal perayaan hari kemerdekaan. Sebenarnya aku sudah melarang, takut dia kelelahan. Namun, dia berkata akan melakukan semuanya. Tak apa, bukan hal yang terjadi setiap hari. Maka, aku pun tak lagi memaksakan ke
Jarak dari kantorku ke rumah Ibu tidaklah jauh. Namun, kali ini rasanya jalanan bertambah panjang ratusan kali lipat, dan kami tak kunjung sampai. Selama itu pula, Arsyl berusaha menenangkan aku yang begitu gelisah, ingin secepatnya sampai di tujuan. Saat sampai di rumah Ibu, Arsyl masih menggenggam tanganku. Dia mengangguk sekali lagi, sebagai isyarat bahwa akan selalu mendampingi. Mungkin, ini juga merupakan upaya meyakinkan kepadaku bahwa semua tentang Raya akan tetap baik-baik saja. Setelah sekian lama diam dan larut dalam kegelisahan, akhirnya aku balas mengangguk. Kuhela napas dalam, lalu memutuskan turun lebih dulu. Dalam hati, aku mengudarakan banyak doa, semoga semua tentang adikku memang baik-baik saja.Kuteguhkan hati, kemudian menuju ruang tengah beriringan dengan Arsyl. Lagi-lagi, dia meremas jemariku, menguarkan hangat sampai ke seluruh sisi kalbu. Lalu, aku memelankan langkah ketika melihat pemandangan di hadapan.Tak jauh di hadapanku kini, tampak Raya bersimpuh di
“Aku nggak benar-benar pergi, Arini. Ayahmu yang memaksaku berjanji, agar aku menyerahkan kebahagiaanmu kepada mereka. Apa yang bisa aku lakukan? Di depanku ada seorang ayah yang meminta anaknya kembali.”“Seperti yang kamu tau, aku berjuang. Tapi, aku bisa apa kalo ayahmu mau kamu menikah dengan pilihannya? Jika ayahmu berjanji akan lebih membahagiakanmu, janji apa yang harus kutepati selain menjauh?””Aku menepati janji, Arini. Aku menepati janji bikin kamu selalu bahagia. Ya, meski tentu saja bukan aku yang membahagiakanmu, tetapi kamu memang benar-benar hidup bahagia.” “Sebab, kata ayahmu, tidak ada kebahagiaan melebihi kasih sayang keluarga. Aku harus menjawab bagaimana, karena kasih sayang keluarga yang dimaksud ayahmu, adalah hal yang saat itu tidak bisa diberikan keluargaku untuk kamu.”“Apa itu salah, Arini? Aku hanya minta waktu, tapi ayahmu tidak memberikannya. Dia tidak percaya kepadaku, Rin. Dia tidak percaya kalo aku bisa meyakinkan orang tuamu supaya mereka menerimamu
'Kamu masih di Makassar?''Temui aku di tempat kemarin, jam tiga sore.'Setelah melalui perdebatan panjang dan pemikiran matang, akhirnya pesan itu kukirimkan. Beberapa kali aku menarik napas panjang, berharap ini adalah keputusan terbaik yang kuambil selama hidupku.Danar dan Arini .... Pada akhirnya, kisah kami hanya berupa sebuah elegi yang tak boleh dikenang lagi.Apa pun yang pernah terjadi dengan Danar, semuanya harus benar-benar selesai sebelum aku memulai hidup baru bersama Arsyl. Ya. Pada akhirnya, aku harus memilih hidupku sendiri. Kali ini, bukan untukku sendiri. Ada keluarga. Adikku. Ayahku. Dan ... suamiku.Meski keraguan masih membayangi, tetap saja aku meneguhkan hati. Lalu, ketika sampai di titik ini, aku merasa bangga. Sebab sebagai anak, kakak, dan juga istri ... akhirnya aku berhasil mempertahankan mereka alih-alih menjamu dan berpesta dengan egoku sendiri. Aku tidak ingin menjadi pengkhianat karena sibuk memikirkan dan mencintai laki-laki lain kala bersama suamiku
“Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh
Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit
“Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d
Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam
“Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau
“Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab
“Kamu sudah siap?” Arsyl mendekat, lalu mengelus bahuku. Setelah menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya hari itu datang juga. Meski setengah hati, akhirnya aku menghadiri hari yang sebenarnya ingin aku hindari. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak boleh lari, bukan? Aku tersenyum. Kami sudah sejauh ini dan tidak akan mundur lagi. “Iya.”Arsyl menatap dengan sorot serius. “Kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Rin.” “Aku nggak apa-apa. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu Danar.” Kutatap Arsyl dengan saksama. “Bukannya ... bukannya harusnya aku yang tanya ke kamu? Nggak apa-apa, ‘kan, kalo misalnya aku ketemu sama dia sekali lagi?”Dia menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak ada alasan, buat aku nggak percaya sama kamu.” Usai berkata, Arsyl memeriksa bawaan kami sekali lagi. Dia selalu begitu bila kami akan bepergian. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan memang selalu menjadi tugasnya. Untuk setiap hal, dia memang sangat teliti, apalagi bila itu menyangkut kesehatanku dan calon b
Sejak malam aku pulang dari rumah Ibu sambil menyembunyikan tangis dari Arsyl, aku belum pernah ke sana lagi. Rasanya, aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Lalu, kesibukanku di kantor kujadikan alasan untuk beristirahat di rumah saja di akhir pekan. Selain itu, perut yang sudah membesar memang membatasi tenagaku, tak bisa seperti dulu.Seperti hari ini misalnya. Aku hanya bersantai di kamar meski matahari sudah meninggi. Akhir pekan ini aku sendiri, karena Arsyl ke rumah sakit sejak pagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan, aku tak begitu banyak bertanya. Sempat dia menawarkan agar aku ke rumah Ibu, tetapi aku menolaknya.Tak bosan dengan bahan bacaan yang baru saja kubeli, aku berniat akan menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Beberapa jenis makanan ringan sudah siap di meja, berikut buah potong yang tak pernah ketinggalan. Sering lapar membuat aku berubah menjadi manusia pemakan apa saja. Ah ... apa semua perempuan hamil akan begini di trimester ketiga mereka? Atau hanya
“Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k