Jarak dari kantorku ke rumah Ibu tidaklah jauh. Namun, kali ini rasanya jalanan bertambah panjang ratusan kali lipat, dan kami tak kunjung sampai. Selama itu pula, Arsyl berusaha menenangkan aku yang begitu gelisah, ingin secepatnya sampai di tujuan. Saat sampai di rumah Ibu, Arsyl masih menggenggam tanganku. Dia mengangguk sekali lagi, sebagai isyarat bahwa akan selalu mendampingi. Mungkin, ini juga merupakan upaya meyakinkan kepadaku bahwa semua tentang Raya akan tetap baik-baik saja. Setelah sekian lama diam dan larut dalam kegelisahan, akhirnya aku balas mengangguk. Kuhela napas dalam, lalu memutuskan turun lebih dulu. Dalam hati, aku mengudarakan banyak doa, semoga semua tentang adikku memang baik-baik saja.Kuteguhkan hati, kemudian menuju ruang tengah beriringan dengan Arsyl. Lagi-lagi, dia meremas jemariku, menguarkan hangat sampai ke seluruh sisi kalbu. Lalu, aku memelankan langkah ketika melihat pemandangan di hadapan.Tak jauh di hadapanku kini, tampak Raya bersimpuh di
“Aku nggak benar-benar pergi, Arini. Ayahmu yang memaksaku berjanji, agar aku menyerahkan kebahagiaanmu kepada mereka. Apa yang bisa aku lakukan? Di depanku ada seorang ayah yang meminta anaknya kembali.”“Seperti yang kamu tau, aku berjuang. Tapi, aku bisa apa kalo ayahmu mau kamu menikah dengan pilihannya? Jika ayahmu berjanji akan lebih membahagiakanmu, janji apa yang harus kutepati selain menjauh?””Aku menepati janji, Arini. Aku menepati janji bikin kamu selalu bahagia. Ya, meski tentu saja bukan aku yang membahagiakanmu, tetapi kamu memang benar-benar hidup bahagia.” “Sebab, kata ayahmu, tidak ada kebahagiaan melebihi kasih sayang keluarga. Aku harus menjawab bagaimana, karena kasih sayang keluarga yang dimaksud ayahmu, adalah hal yang saat itu tidak bisa diberikan keluargaku untuk kamu.”“Apa itu salah, Arini? Aku hanya minta waktu, tapi ayahmu tidak memberikannya. Dia tidak percaya kepadaku, Rin. Dia tidak percaya kalo aku bisa meyakinkan orang tuamu supaya mereka menerimamu
'Kamu masih di Makassar?''Temui aku di tempat kemarin, jam tiga sore.'Setelah melalui perdebatan panjang dan pemikiran matang, akhirnya pesan itu kukirimkan. Beberapa kali aku menarik napas panjang, berharap ini adalah keputusan terbaik yang kuambil selama hidupku.Danar dan Arini .... Pada akhirnya, kisah kami hanya berupa sebuah elegi yang tak boleh dikenang lagi.Apa pun yang pernah terjadi dengan Danar, semuanya harus benar-benar selesai sebelum aku memulai hidup baru bersama Arsyl. Ya. Pada akhirnya, aku harus memilih hidupku sendiri. Kali ini, bukan untukku sendiri. Ada keluarga. Adikku. Ayahku. Dan ... suamiku.Meski keraguan masih membayangi, tetap saja aku meneguhkan hati. Lalu, ketika sampai di titik ini, aku merasa bangga. Sebab sebagai anak, kakak, dan juga istri ... akhirnya aku berhasil mempertahankan mereka alih-alih menjamu dan berpesta dengan egoku sendiri. Aku tidak ingin menjadi pengkhianat karena sibuk memikirkan dan mencintai laki-laki lain kala bersama suamiku
Aku mengulur tangan, lalu meraih telapak tangan Danar yang ada di meja. Meski tentu saja, sesuatu dalam dadaku berdebar ketika kembali menyentuhnya. "Kita salah, Danar. Dilihat dari sisi mana pun, tidak ada hal yang bisa membenarkan ini. Jadi, mari kita akhiri."“Apa benar, nggak ada kesempatan lagi untukku, Arini?” Danar balas menggenggam tanganku. "Meninggalkan kamu, adalah hal yang sangat aku sesali, Arini. Tidak bisakah kita kembali seperti dulu lagi?'Aku menggeleng, meski dalam hati berteriak bahwa inilah yang kuinginkan sejak lama. Pengakuan bahwa Danar menyesal meninggalkanku, dia yang mengiba karena ingin kami kembali seperti dulu, adalah hal yang aku harapkan terjadi ketika kami bertemu kembali.. Sungguh, tidak ada yang lebih kuinginkan atas kisah tanpa tepi ini selain pengakuannya. Akan tetapi, setelah yang dialami Raya, aku berpikir kembali. Melihat kekecewaan dan ketakutan Ayah serta Ibu atas perpisahan anak-anaknya, logikaku bekerja di atas semuanya. Aku tidak boleh eg
Untuk beberapa saat, aku merasa seluruh dunia ini benar-benar berhenti. Betapa tidak? Saat ini, Danar sedang mencengkeram tanganku. Posisi kami seperti nyaris berciuman, dengan dia yang menyudutkanku ke pintu lift. Ini ... ini benar-benar seperti kejadian ketika kami di Bogor dulu. Bedanya ... Arsyl. Dia ... suamiku berada tepat di depanku, menyaksikan semuanya. Siapa pun akan salah paham bila melihat posisi antara aku dan Danar saat ini. Apalagi, yang melihatku adalah Arsyl. Suamiku. Tuhan ... kalimat apa yang akan kugunakan sebagai penjelasan?“A-Arsyl, aku ....” Aku menggeleng, berusaha menjelaskan. Namun, suaraku tercekat di tenggorokan. Menghadapi situasi yang amat sialan aku benar-benar tak tahan.Sementara itu, Arsyl menatapku dan Danar bergantian, tanpa ekspresi berarti. Tatapannya dingin, paling dingin dari yang selama ini aku temui. Dia bahkan tidak pernah melihatku sedingin itu, dan ini ... mengerikan. Bagaimana bila terjadi keributan di sini? Bagaimana bila semua berakhir
Kamar kami benar-benar hening. Hanya ada suara dari video yang terputar dari ponsel milik Arsyl. Sampai semuanya berhenti, ditutup helaan napas Arsyl yang terdengar berat. “Dan dia juga yang membuat aku nggak punya kesempatan sama sekali untuk mendekati kamu?” Dia hanya bertanya, seolah-olah tidak pernah mendengar penjelasanku.“Bahkan sampai hampir satu tahun, aku sama sekali belum bisa ambil hati kamu, Rin. Sedalam itu rasa yang kamu simpan untuk dia?”“Arsyl ... berapa kali harus aku bilang bahwa kami—““Dia pasit bahagia, Rin. Karena setelah sekian lama pun, rasa kamu buat dia nggak pernah berubah.”Aku beranjak dari ranjang, kemudian bersimpuh di bawah kaki Arsyl. Tangisku pecah dan terdengar pilu di telingaku sendiri. Dalam tangis dan rasa bersalah ini aku menggeleng, sedangkan air mata semakin deras membasahi pipi. “Maafkan aku. Maafkan aku ....” “Kupikir, kedekatan kita belakangan ini membuat aku punya ruang di hati kamu, Rin. Nyatanya aku salah. Jadi, benar, semua di antar
Kak Amy hanya menyimak tanpa bertanya. Dia menepati janji untuk datang berkunjung setelah aku meneleponnya semalam. Seperti semalam saat meneleponnya, tadi pun aku menyambutnya dengan air mata. Kak Amy datang tepat setelah aku ulang bekerja. Tak hanya membelikan beberapa makanan kesukaanku, dia juga membawa masakan Mama Indi. Setiap ada yang kemari, mama mertuaku itu memang selalu menitipkan makanan untukku dan Arsyl .... Ah, Arsyl. Bahkan hanya dengan mengingat namanya saja, aku kembali meneteskan air mata. Aku yang dulu mau menikah dengannya dengan tujuan berpisah, mengapa kini sangat takut kehilangan. Apakah ini tanda bahwa cinta untuknya telah tumbuh tanpa kusadari. “Aku nggak tau harus ngomong apa, Rin. Harusnya, kemaren itu memang kamu nggak nemuin Danar sendiri. Harusnya, aku ada sama kamu. Jadi, Arsyl nggak salah paham.”Kak Amy berkata seraya menutup kembali hidangan yang telah disajikannya. Sekeras apa pun dia membujuk, aku sama sekali tak tertarik untuk makan. Lalu,
“Kamu kenapa, Rin?” Mbak Susi bertanya. Wajar kalimat itu terlontar darinya, sebab ini adalah kali ke sekian dia melihatku meninggalkan meja. “Sakit, ya? Kamu pucet banget loh, itu.” Mbak Susi melongok melalui sekat kubikelnya. Dia terus menatap sampai aku duduk kembali ke kursiku. “Nggak, Mbak. Aku nggak apa-apa.” Aku berusaha tersenyum, meski sejujurnya kepalaku mulai pusing karena kebanyakan menangis. Untungnya, saat ini hanya ada aku dan Mbak Susi saja di ruangan. Jadi, tidak ada yang mendengar obrolan kami, meski bersifat pribadi. Tadinya, dia mengajakku ke kantin, tetapi aku menolak. Alasan akan menyelesaikan pekerjaan cukup bisa diterima Mbak Susi. Lalu, dia memesan makanan dari kantin bawah, dan dibawa ke meja kami masing-masing. Rasanya, selera makanku hilang sejak Arsyl tidak pulang. Jangankan untuk makan, semua yang kulakukan seperti tak ada artinya. Semua terjadi begitu cepat. Sampai sekarang, aku bahkan tidak menyangka bila Danar tega menciptakan perpecahan dalam ru