Aku memasuki rumah dengan langkah lesu. Asing sekali rasanya rumah ini. Entah mengapa rasanya begitu hampa. Padahal, biasanya aku juga sendiri, rumah pun dalam keadaan kosong ketika aku pulang bekerja. Mataku langsung menjelajah seisi ruang tamu ketika pintu terbuka. Kubuka pintu selebar-lebarnya, membiarkan udara masuk dan melepaskan kebebasanku sendiri. Sebab, sesak rasanya ketika membayangkan aku hanya seorang diri di sini. Apakah ... apakah Arsyl benar-benar tidak akan pulang lagi malam ini? Sampai kapan dia berdiam di rumah sakit dan mengabaikanku?Aku berjalan perlahan, lalu berhenti tepat di tengah ruangan. Tatapanku terarah pada foto pernikahan berukuran besar yang terpajang di dinding. Nuansa merah jambu dan perak di foto itu membuat aku dan Arsyl tampak bercahaya. Kata orang yang hadir dalam acara resepsi atau melihat foto itu, aura kami begitu terpancar di sana.Lalu, aku menatap foto itu sekali lagi. Tak ada senyum menghiasi bibirku ketika itu. Menunggu akad di bilik peng
Aku tak tahu, berapa lama sudah menghabiskan waktu dengan berkhayal di ruang tamu. Hingga malam menjelang, aku masih saja duduk di tempat yang sama, menatap foto pernikahan yang usianya hampir satu tahun. Sampai kemudian, ponselku berdering, menampakkan nama Kak Amy di layar. “Ya, Kak?” “Kamu nangis?” Alih-alih menyapa, pertanyaan itu yang dilontarkan Kak Amy ketika aku menjawab panggilannya. “Hampir.” Aku hanya tertawa ketika mengucapkannya. Tawa paling getir yang pernah keluar dari bibirku, setelah beberapa hari ini diliputi kesedihan.Tawa Kak Amy terdengar di seberang sana, sebelum dia mengembuskan napas berat. Sejak mengunjungiku tempo hari, Kak Amy lebih sering menelepon. Sekadar mengingatkan agar aku tak telat makan, atau menceritakan anak-anaknya. Kak Amy selalu saja punya bahan untuk menghibur dan mengajakku bicara. Beberapa kali dia juga meminta agar aku datang ke rumah Mama Indi. Hanya saja, aku belum sanggup bertemu siapa pun sekarang, takut bila tiba-tiba menangis dan
Malam sudah semakin menua, melewati batas pertengahannya. Namun, aku sama sekali masih belum bisa tidur. Akhir-akhir ini aku tak bisa tidur nyenyak. Banyak hal yang membuatku merasa aneh. Kupikir, semua akan kembali normal saat Arsyl pulang beberapa hari yang lalu. Nyatanya, saat tinggal bersama seperti sekarang, aku merasa jarak yang membentang di antara kami kian terbuka lebar.Arsyl, dia pulang dengan sosok yang berbeda. Dia pulang, tetapi seperti meninggalkan dirinya yang selama ini kukenal, entah di mana. Dia pulang sebagai orang asing, orang yang tak kukenali, dan bahkan ... mungkin dia pulang sebagai orang yang membenciku. Ingin aku memanggilnya, lalu membuka pembicaraan untuk menjelaskan semuanya. Ingin aku mengurutkan setiap hal di masa laluku, membuatnya mengerti atas apa yang sebenarnya terjadi, sampai aku lepas kendali dan melakukan perbuatan yang menyakitinya, menodai pernikahan kami. Akan tetapi, aku tak bisa. Arsyl sama sekali tak membuka ruang. Dia tak pernah memberi
Rasa penasaran karena hal semalam membuatku tak bisa tidur lagi. Aku benar-benar tak sedikit pun memicingkan mata malam ini. Pikiranku campur aduk. Ingin tahu, kesal, dan mungkin juga ... cemburu. Namun, untuk bertanya atau sekadar membuat Arsyl sadar akan keberadaanku, aku tak mampu. Tak tahu akan melakukan apa, aku memilih menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan rumah. Hal yang biasanya dilakukan orang seminggu sekali, kali ini kulakukan sendiri, tanpa lelah dan bahkan tanpa istirahat. Aku membersihkan seluruh rumah dengan hati-hati, tak ingin Arsyl sampai mendengar dan terbangun. Apa yang akan aku katakan sebagai alasan bila dia mendapatiku sekarang? Mungkin, hanya ada canggung yang lagi-lagi menjadi penengah di antara kami.Waktu baru menunjukkan angka tiga pagi ketika aku selesai membersihkan seluruh rumah. Bantal kursi, taplak meja, sampai keset dan gorden telah kuganti. Untung saja, lemari penyimpanan ada di belakang. Kalau tidak, tentu kegiatan membuka tutup laci akan meng
Hari-hari selanjutnya, keadaan di dalam rumah masih sama. Arsyl pulang setiap malam tetapi kami tak terlinat percakapan apa pun. Dia langsung menuju kamar, melangkah cepaf ketija melintasi pintu. Sebagai orang yang memang terlahir cerdas, Arsyl memilih cara terbaik dalam menghindariku. Kupikir, tinggal di rumah sendirian tanpa kepulangan Arsyl adalah situasi yang paling menyiksa. Nyatanya, keberadaannya di rumah, pulangnya setiap larut malam dan kembali pergi ketika pagi menyapa bahkan sebelum kami saling bertanya kabar, itu semua seperti racun yang membunuhku perlahan. Aku ada di rumah itu. Sebagai istri, sebagai teman bicara yang Arsyl butuhkan. Namun, satu kesalahan yang kulakukan agaknya terlalu fatal, hingga akhirnya dia mengabaikanku dari waktu ke waktu. Aku ada di hadapannya tapi Arsyl seperti enggan menyapa. Aku ada dan menantinya setiap hari, tetapi dia tak melihatku sama sekali. Tahukan rasanya ketika kita merasa tergantung dan begitu mendamba tetapi yang diharap tak kunju
Tak ingin membiarkan jarak di antara aku dan Arsyl semakin menjauh, pagi ini aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah sakit. Sesuai janji yang kubuat dengan Suster Eni beberapa waktu lalu, hari ini aku datang tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Kedatanganku pagi ini pun sengaja dan sesuai kesepakatan. Suster Eni yang memang dinas malam belum pulang, sekalian menungguku. Sementara itu, aku sepakat pergi pagi ini karena sekalian ke kantor. Tak apa meski rutenya memutar. Sesuatu yang kuperjuangkan memang lebih besar. Seumur hidup, aku tidak pernah mengiba kepada siapa pun, apalagi sampai mengucapkan maaf berkali-kali. Aku bahkan terus melakukannya tanpa peduli, meski diabaikan Arsyl berkali-kali. Jangankan menerima permintaan maafku, melihatku saja Arsyl seperti enggan. Akan tetapi, kali ini, aku merasa harus menerima semuanya. Berhari-hari aku merasakan sikap tak acuhnya Arsyl sebagai hukuman, karena memang telah melakukan kesalahan fatal. Satu hal yang terus kupegang untuk tak terluka kia
Tekad untuk memperbaiki semuanya membuatku menekan ego sedalam-dalamnya. Bagaimanapun, perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga ini bermula dari salahku. Aku yang kembali hanyut dalam pesona Danar dan tak bisa menata hati pasca reuni. Aku yang terlalu mendahulukan hati, padahal kisah lampau itu sama sekali tak berarti untuk diingat lagi.Bertemu Danar kala itu memang merusak semua tatanan yang tengah kubangun dengan susah payah. Akan tetapi, aku percaya pada hikmah dalam setiap kejadian. Sekuat tenaga pun aku berusaha menutupi kecurangan itu, tetap saja Arsyl bisa mengetahuinya. Sebab, Sang Maha ingin aku menerima konsekuensi atas semuanya, sebagai pengingat agar tak melakukannya di kemudian hari. Aku harus sadar, bahwa tugas istri adalah menjaga kehormatan suaminya. Bagaimanapun mengingkari ikatan itu, aku dan Arsyl tetaplah suami istri yang harus menjadi pakaian satu sama lain. Terima atau tidak, pernikahan ini bukan ikatan main-main. Janji itu diucapkan Arsyl penuh kesungguha
Dear, Arsyl. Aku paham kalo kamu marah. Silakan. Aku nggak akan protes atau keberatan.Karena memang ini semua salahku, dan aku akan terus minta maaf untuk itu.Seperti kamu yang ngasih aku waktu, maka kali ini pun sama.Ambil waktu sebanyak yang kamu mau.Aku nggak akan memaksa, juga nggak akan merayu.Tapi satu hal, Arsyl ... aku datang karena aku rindu.Aku mau kamu, dan aku mau memperbaiki semuanya.Bukan demi keluarga, tapi benar-benar demi aku dan kamu.Aku nggak mau kamu merasa tidak nyaman karena aku.Kalo keberadaanku di rumah bikin kamu harus menghabiskan waktu di luar, maka aku minta maaf.Pulanglah. Nggak perlu bohong dengan menyibukkan diri di rumah sakit.Karena aku tau, kamu cuma menghindar dari aku.Pulanglah, istirahat dan makan dengan baik di rumah.Aku menyimpan beberapa makanan beku seperti biasa.Pulanglah, karena kamu punya rumah untuk istirahat dengan baik.Meski istri yang kamu harapkan nggak ada di dalam rumah itu.Sementara itu, biar aku yang pergi.Dalam