Usai membersihkan tubuh seperlunya, aku berdiri di depan cermin. Dalam balutan gaun tidur berbahan satin tipis ini, aku merasa tak ada yang berbeda dengan penampilanku. Namun, pertanyaan Raya tadi terus saja terngiang di benakku. Hamil? Masih menatap diri sendiri, aku meraba perut. Akankah semu akan berubah bila itu benar-benar terjadi? Ketika berkonflik dengan Arsyl beberapa bulan lalu, aku menginginkan hal itu terjadi. Aku berharap segera ‘isi, seperti harapan banyak orang. Tentu saja, hadirnya buah hati kan merekatkan hubungan kami. Akan tetapi, mengapa saat ini aku justru didera takut? Aku menghela napas, masih berdiri di depan cermin di ruang wardrobe. Saat ini, aku dan Arsyl baru saja menapaki hari sebagai suami istri yang sesungguhnya. Kami melalui banyak hari dengan bahagia hingga hari ini. Lalu, akankah semua berubah bila ada anggota baru dalam keluarga ini?Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruang wardrobe. Selama apa pun aku menyelisik tempat ini, hanya pintu-pintu l
Pagi ini, aku sengaja pura-pura tertidur lelap saat Arsyl bangun dan berolahraga. Pertanyaannya semalam membuat aku penasaran, apakah sebenarnya yang terjadi pada diriku sekarang. Bila diingat-ingat, aku memang bekum mengalami siklus bulanan sejak pertama kali kami saling memiliki beberapa bulan yang lalu. Siklus bulananku yang memang sering berantakan, awalnya membuat aku abai. Namun, sepertinya kali ini aku penasaran. Apakah setelah banyak malam berlalub dii antara aku dan Arsyl, akan membuahkan sesuatu? Setelah Arsyl keluar kamar, aku turun dari ranjang dengan amat berhati-hati. Selanjutnya, seperti pencuri, aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Aku takut, tiba-tiba Arsyl muncul, mengambil sesuatu yang tertinggal, misalnya. Kukunci pintu kamar mandi dengan perasaan waswas. Lalu, kutarik laci teratas, dari lemari penyimpanan sabun. Jantungku berdetak puluhan kali lebih cepat ketika mendapati sebuah testpack di sana.Alat pendeteksi kehamilan itu adalah benda yang dibawakan Kak A
Hari-hariku selanjutnya masih sama, menenun kabahagiaan yang tengah menerpa. Kadang aku berpikir bahwa masalah yang merundung kemarin itu adalah jalan agar aku bisa menikmati kebahagiaan ini dengan penuh sukacita. Kata pepatah, pasti ada pelangi setelah hujan. Ya, demikianlah hidup yang kujalani sekarang. Sekarang, aku tak lagi memeram diri di kamar sepulang bekerja. Rasa kesepian karena harus menyendiri sepanjang hari ketika di rumah terkikis perlahan. Belakangan ini, aku sering keluar sekadar menyapa tetangga, mengakrabkan diri dengan sekitar. Untuk orang sepertiku, tentu ini tidaklah mudah. Aku sangat berbeda dengan Arsyl yang bisa akrab dengan semua orang, termasuk dengan keponakan kami. Aku cenderung diam dan enggan memulai percakapan lebih dulu. Aku juga tak memiliki banyak teman. Hanya beberapa teman kuliah yang tersisa, juga teman kantor yang itu-itu saja. Bila dikumpulkan, teman dekatku benar-benar bisa dihitung jari saking sedikitnya. Itu sebabnya, aku menganggap ini seb
Tak bermain-main dengan ucapannya, Arsyl benar-benar membawaku menapaki masa bulan madu kami yang tak bisa disebut bulan madu. Dia memesan resort yang sama, benar-benar kamar yang dulu kami tempati untuk menghabiskan waktu dua malam sebagai orang asing, alih-alih suami istri.Kami sampai setelah Magrib. Masih mengenakan baju kantor dan rok span hitam, Arsyl menjamuku dengan makan malam romantis. Meski ini terlihat wow seperti di drama dan film, tapi aku merasa ini aneh. Sudah kubilang, kan, keluargaku dan keluarga Arsyl berbeda? Mungkin, hal semacam ini biasa bagi Arsyl. Namun, ini terlalu berlebihan menurutku. Terlalu indah untuk terjadi di dunia nyata. Bayangkan saja, aku yang berasal dari keluarga biasa dan sederhana, harus makan malam di sebuah meja besar, lilin tinggi, dan aneka menu yang ... sedikit aneh. Aku benar-benar seperti Upik Abu yang diperlakukan bak putri raja oleh Arsyl.Harusnya, ini menjadi hal yang amat berkesan. Namun, sepertinya bayi dalam perutkulah yang membua
Bila ada yang bilang bulan madu itu merupakan hal yang paling berkesan setelah menikah, aku setuju dengan pendapat itu. Sempat menjalani bulan madu semu, akhirnya aku dan Arsyl memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu dengan bahagia dan penuh sukacita. Meski di Bali hanya seperti mimpi, tetapi kami menapaki semua hal yang dulu pernah kami lakukan. Bedanya, di bulan madu kedua ini kami menyusuri setiap sisi jalan sambil bergandengan tangan. Kami seperti pasangan dimabuk asmara yang enggan untuk dipisahkan. Tak hanya menyusuri pantai, kami juga mengunjungi pusat oleh-oleh. Minggu pagi sebelum kembali ke Makassar, aku dan Arsyl bahkan menyempatkan mandi di laut, juga sarapan ala-ala selebritis. Dan sungguh, aku dibuat bahagia karena kejutannya kali ini. Bila dulu aku ingin bulan madu semu itu cepat selesai, kali ini berbeda. Langkahku meninggalkan Pulau Dewata seperti terayun tak rela. Aku masih ingin menikmati semua ini, berharap kebahagiaan dan tawa dengan Arsyl terus tercipta. A
“Arsyl bener, Rin. Kamu di sini aja. Lagian, aku nganterin kamu sekalian anterin si Kembar ke sekolah. Searah juga, ‘kan. Jadi, nggak ada yang direpotkan.“ Kak Amy berkata seraya menyuguhkan kudapan untukku. Sore ini, sepulang kantor Arsyl membawaku ke rumah Mama Indi, dengan alasan dia akan pergi untuk suatu urusan di luar kota. Hanya dua hari dia di sana, tetapi Arsyl tak mengizinkanku di rumah saja. Padahal, aku sudah berkata semuanya akan terkendali sampai dia datang. Akan tetapi, seperti yang pernah kukatakan bahwa dia sangat berlebihan, Arsyl tak mengizinkan aku di rumah sendiri. Dia bilang, bersama Mama dan Kak Amy, aku akan lebih terjamin. Arsyl bahkan meminta agar Kak Amy mengantar jemput selama dua hari dia tak di rumah.“Ini apaan, Kak? Wangi banget.” Arsyl mengendus ke arah piring yang masih mengepulkan asap. “Perasaan Kakak nggak pernah bikin beginian.”“Kroket. Tapi dari ubi jalar.” Kak Amy menyuguhkan piring berisi sebuah kroket kepada Arsyl. “Kamu kan bilang kalo Ari
Pagi baru menyapa ketika aku dan Arsyl bersiap. Sekali lagi Arsyl memeriksa bawaan kami, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara itu, tak lupa aku menyiapkan bekal beberapa jenis buah dan buah potong untuk di perjalanan.Larut dalam sukacita, morning sickness yang biasanya menyapaku, kali ini pergi entah ke mana. Rasanya aku sangat bersemangat untuk pergi kali ini. Padahal, biasanya aku tak pernah larut dalam euforia apa pun, meski itu kami akan berlibur ke luar negeri. “Kamu udah ngabarin mama?” tanyaku ketika Arsyl selesai mandi. Semalam, Mama Indi dan Kak Amy kemari hanya untuk menyampaikan banyak pesan. Jangan kecapaian, jangan makan sembarangan, jangan lupa mengucap salam bila masuk ke tempat-tempat tertentu. Meski dunia telah semakin maju, tetapi mitos terkait tempat-tempat tertentu masih dipakai sebagian orang untuk menghindari hal-hal tak diinginkan. Lalu, karena ingin semua baik-baik saja, aku mengiakan semuanya. Meskipun aku dan Arsyl tidak percaya mitos, tetap saja
Sore harinya, setelah merasa cukup beristirahat, aku dan Arsyl memulai perjalanan wisata kami. Sesuai rencana, kami menuju Pantai Marumasa sebagai destinasi pertama, yang letaknya paling dekat dengan resor.Ah, iya. Sebenarnya kami tidak benar-benar istirahat. Sebab, bukan Arsyl namanya jika tidak memaksaku melalui hari dengan keramas. Alasan saja menyuruhku istirahat, nyatanya justru dialah yang membuatku lelah. Bahkan, pendingin ruangan yang ada di kamar seperti tak berguna ketika dia sudah membuai.“Mama sudah bilangh, jangan sampe aku capek. Kamu, ya!” Aku mencebik. Dia hanya meringis saja. Namun, dia menepati janji dengan tidak menunda perjalanan kami menuju daerah wisata di tempat ini. Waktu tiga hari akan kami maksimalkan dengan berpelesir. jalan santai saja, karena memang kondisi tidak memungkinkan aku berjalan terlalu lelah. Menurut yang kubaca, Pantai Marumasa tak kalah indah dengan ikon Bulukumba, Pantai Bira. Hanya saja, medan yang sedikit sulitlah yang mungkin menjadika
“Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh
Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit
“Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d
Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam
“Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau
“Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab
“Kamu sudah siap?” Arsyl mendekat, lalu mengelus bahuku. Setelah menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya hari itu datang juga. Meski setengah hati, akhirnya aku menghadiri hari yang sebenarnya ingin aku hindari. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak boleh lari, bukan? Aku tersenyum. Kami sudah sejauh ini dan tidak akan mundur lagi. “Iya.”Arsyl menatap dengan sorot serius. “Kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Rin.” “Aku nggak apa-apa. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu Danar.” Kutatap Arsyl dengan saksama. “Bukannya ... bukannya harusnya aku yang tanya ke kamu? Nggak apa-apa, ‘kan, kalo misalnya aku ketemu sama dia sekali lagi?”Dia menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak ada alasan, buat aku nggak percaya sama kamu.” Usai berkata, Arsyl memeriksa bawaan kami sekali lagi. Dia selalu begitu bila kami akan bepergian. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan memang selalu menjadi tugasnya. Untuk setiap hal, dia memang sangat teliti, apalagi bila itu menyangkut kesehatanku dan calon b
Sejak malam aku pulang dari rumah Ibu sambil menyembunyikan tangis dari Arsyl, aku belum pernah ke sana lagi. Rasanya, aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Lalu, kesibukanku di kantor kujadikan alasan untuk beristirahat di rumah saja di akhir pekan. Selain itu, perut yang sudah membesar memang membatasi tenagaku, tak bisa seperti dulu.Seperti hari ini misalnya. Aku hanya bersantai di kamar meski matahari sudah meninggi. Akhir pekan ini aku sendiri, karena Arsyl ke rumah sakit sejak pagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan, aku tak begitu banyak bertanya. Sempat dia menawarkan agar aku ke rumah Ibu, tetapi aku menolaknya.Tak bosan dengan bahan bacaan yang baru saja kubeli, aku berniat akan menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Beberapa jenis makanan ringan sudah siap di meja, berikut buah potong yang tak pernah ketinggalan. Sering lapar membuat aku berubah menjadi manusia pemakan apa saja. Ah ... apa semua perempuan hamil akan begini di trimester ketiga mereka? Atau hanya
“Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k