“Arsyl bener, Rin. Kamu di sini aja. Lagian, aku nganterin kamu sekalian anterin si Kembar ke sekolah. Searah juga, ‘kan. Jadi, nggak ada yang direpotkan.“ Kak Amy berkata seraya menyuguhkan kudapan untukku. Sore ini, sepulang kantor Arsyl membawaku ke rumah Mama Indi, dengan alasan dia akan pergi untuk suatu urusan di luar kota. Hanya dua hari dia di sana, tetapi Arsyl tak mengizinkanku di rumah saja. Padahal, aku sudah berkata semuanya akan terkendali sampai dia datang. Akan tetapi, seperti yang pernah kukatakan bahwa dia sangat berlebihan, Arsyl tak mengizinkan aku di rumah sendiri. Dia bilang, bersama Mama dan Kak Amy, aku akan lebih terjamin. Arsyl bahkan meminta agar Kak Amy mengantar jemput selama dua hari dia tak di rumah.“Ini apaan, Kak? Wangi banget.” Arsyl mengendus ke arah piring yang masih mengepulkan asap. “Perasaan Kakak nggak pernah bikin beginian.”“Kroket. Tapi dari ubi jalar.” Kak Amy menyuguhkan piring berisi sebuah kroket kepada Arsyl. “Kamu kan bilang kalo Ari
Pagi baru menyapa ketika aku dan Arsyl bersiap. Sekali lagi Arsyl memeriksa bawaan kami, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara itu, tak lupa aku menyiapkan bekal beberapa jenis buah dan buah potong untuk di perjalanan.Larut dalam sukacita, morning sickness yang biasanya menyapaku, kali ini pergi entah ke mana. Rasanya aku sangat bersemangat untuk pergi kali ini. Padahal, biasanya aku tak pernah larut dalam euforia apa pun, meski itu kami akan berlibur ke luar negeri. “Kamu udah ngabarin mama?” tanyaku ketika Arsyl selesai mandi. Semalam, Mama Indi dan Kak Amy kemari hanya untuk menyampaikan banyak pesan. Jangan kecapaian, jangan makan sembarangan, jangan lupa mengucap salam bila masuk ke tempat-tempat tertentu. Meski dunia telah semakin maju, tetapi mitos terkait tempat-tempat tertentu masih dipakai sebagian orang untuk menghindari hal-hal tak diinginkan. Lalu, karena ingin semua baik-baik saja, aku mengiakan semuanya. Meskipun aku dan Arsyl tidak percaya mitos, tetap saja
Sore harinya, setelah merasa cukup beristirahat, aku dan Arsyl memulai perjalanan wisata kami. Sesuai rencana, kami menuju Pantai Marumasa sebagai destinasi pertama, yang letaknya paling dekat dengan resor.Ah, iya. Sebenarnya kami tidak benar-benar istirahat. Sebab, bukan Arsyl namanya jika tidak memaksaku melalui hari dengan keramas. Alasan saja menyuruhku istirahat, nyatanya justru dialah yang membuatku lelah. Bahkan, pendingin ruangan yang ada di kamar seperti tak berguna ketika dia sudah membuai.“Mama sudah bilangh, jangan sampe aku capek. Kamu, ya!” Aku mencebik. Dia hanya meringis saja. Namun, dia menepati janji dengan tidak menunda perjalanan kami menuju daerah wisata di tempat ini. Waktu tiga hari akan kami maksimalkan dengan berpelesir. jalan santai saja, karena memang kondisi tidak memungkinkan aku berjalan terlalu lelah. Menurut yang kubaca, Pantai Marumasa tak kalah indah dengan ikon Bulukumba, Pantai Bira. Hanya saja, medan yang sedikit sulitlah yang mungkin menjadika
Seruan-seruan yang bersahutan memanggil namaku, perlahan pudar dan menghilang. Keributan yang sempat terdengar juga entah menyingkir ke mana, menyisakan aku berdiri tegak di tempat asing yang entah apa.Ketika aku bangun dan melihat sekeliling, hanya ada gumpalan-gumpalan putih serupa awan cumolonimbus yang terbentuk sebelum hujan turun. Sementara itu, aku berdiri tepat di tengah-tengahnya, mengenakan gaun putih yang aku sendiri lupa kapan pernah memilikinya.Aku merasa langkahku begitu ringan, menapak pada obyek selembut kapas. Sejauh mata memandang, hanya hamparan putih yang terlihat. Aku seperti berada di lautan kabut tebal tak bertepi. Aku berusaha mengingat, kenapa dan kapan sampai bisa berada di sini. Namun, tak ada yang bisa kuingat. Aku bahkan tak ingat, apakah pernah memiliki rencana berkunjung ke tempat yang begitu senyap seperti ini. Nyaris tak ada suara di sini. Embusan angin pun tak ada, meski aku merasa cukup sejuk, bahkan dingin. Dunia yang kutempati ini seperti ruang
Ternyata, setelah pertemuan di hotel dalam acara pernikahan adik ipar Raya, Danar terus membuntutiku. Dia masih ada di Kota Makassar, berkeliaran di sekitarku seperti penguntit hanya karena tak ingin hubungan kami selesai. Tak hanya itu, pukulan yang saat itu dilayangkan Arsyl untuknya berhasil menyulut dendam di hatinya, hingga ingin membalas dengan berniat menghabisi Arsyl. Begitu dalamkah cintanya, sampai dia berniat mengakhiri hidup orang lain hanya karena ingin mendapatkanku? Dia bahkan rela menghabiskan banyak hari untuk tinggal di kota yang jauh dari kampung halamannya. Aku yakin, biaya yang dihabiskannya untuk menguntitku pun tak sedikit. Benarkah itu cinta? Ah, tidak. Sepertinya itu bukan cinta. Sebab yang aku pahami, cinta adalah rasa damai yang membuat seseorang rela menahan sakit. Cinta jugalah yang membuat seseorang rela berkorban demi melihat kebahagiaan orang yang dicintai. Tentang cinta, Danar-lah yang mengajarkan itu kepadaku, ketika dia pergi hanya demi menepati j
“Hai!” Seperti biasa, suara yang amat nyaman di telinga itu menyapaku. Sore ini—seperti sore-sore sebelumnya, Arsyl masuk ke kamar perawatan seraya mengembangkan senyum lebar. Di tangannya ada buket bunga mawar merah. Ah, bahkan mawar yang dibawanya kemarin dan pagi tadi belum juga layu. Bila sepuluh hari dirawat di sini, mungkin kamar ini akan berubah menjadi taman mawar. Oh, iya. Jangan lupakan sekotak pie susu yang dibawanya, kudapan wajib di kamar ini. Setelah keluar rumah sakit, mungkin makanan itu bukan favoritku lagi. Padahal, aku cuma bilang ingin memakan satu atau dua, tetapi setiap hari dia memesankannya untukku.“Gimana kabar kamu hari ini?” Arsyl meletakkan kotak pie ke meja, lalu berjalan menuju ranjang tempatku berbaring.“Hai, Dok. Mau visite, apa nginep?” Aku menyambutnya dengan senyum yang sama. Lebih dari apa pun, meski sepanjang hari kami ada di tempat yang sama, tapi ... aku sangat rindu kepadanya. Sejak aku dirawat, Arsyl juga tak pernah pulang. Bila siang hari
Setelah berulang kali meyakinkannya, Arsyl menepati janji. Pada hari Minggu yang telah disepakati, kami bertolak ke Bulukumba untuk menemui Danar. Bila biasanya aku menyampaikan apa pun kepada Kak Amy, kali ini berbeda. Aku dan Arsyl tak mengabarkan apa pun kepada pihak keluarga. Bukan tanpa alasan aku dan Arsyl sepakat merahasiakan ini. Sebab, masalah cinta segitiga ini memang sudah selayaknya selesai tanpa campur tangan atau sepengetahuan pihak lain. Jadi, demi mengurangi kecurigaan, kami berkata akan staycation di hotel.Sepanjang perjalanan, tak banyak obrolan di antara aku dan Arsyl. Aku hanya melihat keluar, membuka jendela, lalu menikmati embusan angin. Tak lupa, aku meminta dia berhenti di jalan yang kami lalui dulu, salah satu sisi di mana kincir angin terlihat dengan baik.Kami tiba di kota tujuan sekitar jam satu siang. Setelah makan dan beristirahat, aku dan Arsyl langsung menuju tempat Danar ditahan. Entah bagaimana nasibnya sekarang, apakah dia sudah dijenguk keluargany
Tanggal merah berurutan di hari Jumat dan Sabtu membuat aku dan Arsyl memiliki banyak waktu luang. Setelah meninggalkan kantor polisi, kami tak langsung pulang. Sesuai dengan kata ketika berpamitan baik kepada Kak Amy, Mama Indi atau ibuku, kami tinggal beberapa saat. Ya ... sekadar mengulang apa yang dulu pernah batal kami lakukan ketika mengunjungi kota ini, Bulukumba yang indah.Sepanjang jalan menuju pantai tebing Marumasa, Arsyl menggenggam tanganku. Sesekali, dia membuat jemari kami saling bertaut satu sama lain. Jujur, setelah semua yang terjadi sepanjang hari ini mulai dari rumah sampai ke lapas tadi, apa yang dilakukannya ini amat menenangkan. Aku yang memang terus saja gusar, akhirnya bisa bernapas lega.Tak hanya menepati janji, Arsyl juga merupakan lelaki yang menunaikan ikrarnya sendiri. Akad yang diucapkannya di depan Ayah ketika itu, benar-benar dia tepati. Menjadi pakaianku, menutupi aib yang terjadi di dalam rumah tangga kami karena ulahku ... Arsyl, aku benar-benar b