Sore harinya, setelah merasa cukup beristirahat, aku dan Arsyl memulai perjalanan wisata kami. Sesuai rencana, kami menuju Pantai Marumasa sebagai destinasi pertama, yang letaknya paling dekat dengan resor.Ah, iya. Sebenarnya kami tidak benar-benar istirahat. Sebab, bukan Arsyl namanya jika tidak memaksaku melalui hari dengan keramas. Alasan saja menyuruhku istirahat, nyatanya justru dialah yang membuatku lelah. Bahkan, pendingin ruangan yang ada di kamar seperti tak berguna ketika dia sudah membuai.“Mama sudah bilangh, jangan sampe aku capek. Kamu, ya!” Aku mencebik. Dia hanya meringis saja. Namun, dia menepati janji dengan tidak menunda perjalanan kami menuju daerah wisata di tempat ini. Waktu tiga hari akan kami maksimalkan dengan berpelesir. jalan santai saja, karena memang kondisi tidak memungkinkan aku berjalan terlalu lelah. Menurut yang kubaca, Pantai Marumasa tak kalah indah dengan ikon Bulukumba, Pantai Bira. Hanya saja, medan yang sedikit sulitlah yang mungkin menjadika
Seruan-seruan yang bersahutan memanggil namaku, perlahan pudar dan menghilang. Keributan yang sempat terdengar juga entah menyingkir ke mana, menyisakan aku berdiri tegak di tempat asing yang entah apa.Ketika aku bangun dan melihat sekeliling, hanya ada gumpalan-gumpalan putih serupa awan cumolonimbus yang terbentuk sebelum hujan turun. Sementara itu, aku berdiri tepat di tengah-tengahnya, mengenakan gaun putih yang aku sendiri lupa kapan pernah memilikinya.Aku merasa langkahku begitu ringan, menapak pada obyek selembut kapas. Sejauh mata memandang, hanya hamparan putih yang terlihat. Aku seperti berada di lautan kabut tebal tak bertepi. Aku berusaha mengingat, kenapa dan kapan sampai bisa berada di sini. Namun, tak ada yang bisa kuingat. Aku bahkan tak ingat, apakah pernah memiliki rencana berkunjung ke tempat yang begitu senyap seperti ini. Nyaris tak ada suara di sini. Embusan angin pun tak ada, meski aku merasa cukup sejuk, bahkan dingin. Dunia yang kutempati ini seperti ruang
Ternyata, setelah pertemuan di hotel dalam acara pernikahan adik ipar Raya, Danar terus membuntutiku. Dia masih ada di Kota Makassar, berkeliaran di sekitarku seperti penguntit hanya karena tak ingin hubungan kami selesai. Tak hanya itu, pukulan yang saat itu dilayangkan Arsyl untuknya berhasil menyulut dendam di hatinya, hingga ingin membalas dengan berniat menghabisi Arsyl. Begitu dalamkah cintanya, sampai dia berniat mengakhiri hidup orang lain hanya karena ingin mendapatkanku? Dia bahkan rela menghabiskan banyak hari untuk tinggal di kota yang jauh dari kampung halamannya. Aku yakin, biaya yang dihabiskannya untuk menguntitku pun tak sedikit. Benarkah itu cinta? Ah, tidak. Sepertinya itu bukan cinta. Sebab yang aku pahami, cinta adalah rasa damai yang membuat seseorang rela menahan sakit. Cinta jugalah yang membuat seseorang rela berkorban demi melihat kebahagiaan orang yang dicintai. Tentang cinta, Danar-lah yang mengajarkan itu kepadaku, ketika dia pergi hanya demi menepati j
“Hai!” Seperti biasa, suara yang amat nyaman di telinga itu menyapaku. Sore ini—seperti sore-sore sebelumnya, Arsyl masuk ke kamar perawatan seraya mengembangkan senyum lebar. Di tangannya ada buket bunga mawar merah. Ah, bahkan mawar yang dibawanya kemarin dan pagi tadi belum juga layu. Bila sepuluh hari dirawat di sini, mungkin kamar ini akan berubah menjadi taman mawar. Oh, iya. Jangan lupakan sekotak pie susu yang dibawanya, kudapan wajib di kamar ini. Setelah keluar rumah sakit, mungkin makanan itu bukan favoritku lagi. Padahal, aku cuma bilang ingin memakan satu atau dua, tetapi setiap hari dia memesankannya untukku.“Gimana kabar kamu hari ini?” Arsyl meletakkan kotak pie ke meja, lalu berjalan menuju ranjang tempatku berbaring.“Hai, Dok. Mau visite, apa nginep?” Aku menyambutnya dengan senyum yang sama. Lebih dari apa pun, meski sepanjang hari kami ada di tempat yang sama, tapi ... aku sangat rindu kepadanya. Sejak aku dirawat, Arsyl juga tak pernah pulang. Bila siang hari
Setelah berulang kali meyakinkannya, Arsyl menepati janji. Pada hari Minggu yang telah disepakati, kami bertolak ke Bulukumba untuk menemui Danar. Bila biasanya aku menyampaikan apa pun kepada Kak Amy, kali ini berbeda. Aku dan Arsyl tak mengabarkan apa pun kepada pihak keluarga. Bukan tanpa alasan aku dan Arsyl sepakat merahasiakan ini. Sebab, masalah cinta segitiga ini memang sudah selayaknya selesai tanpa campur tangan atau sepengetahuan pihak lain. Jadi, demi mengurangi kecurigaan, kami berkata akan staycation di hotel.Sepanjang perjalanan, tak banyak obrolan di antara aku dan Arsyl. Aku hanya melihat keluar, membuka jendela, lalu menikmati embusan angin. Tak lupa, aku meminta dia berhenti di jalan yang kami lalui dulu, salah satu sisi di mana kincir angin terlihat dengan baik.Kami tiba di kota tujuan sekitar jam satu siang. Setelah makan dan beristirahat, aku dan Arsyl langsung menuju tempat Danar ditahan. Entah bagaimana nasibnya sekarang, apakah dia sudah dijenguk keluargany
Tanggal merah berurutan di hari Jumat dan Sabtu membuat aku dan Arsyl memiliki banyak waktu luang. Setelah meninggalkan kantor polisi, kami tak langsung pulang. Sesuai dengan kata ketika berpamitan baik kepada Kak Amy, Mama Indi atau ibuku, kami tinggal beberapa saat. Ya ... sekadar mengulang apa yang dulu pernah batal kami lakukan ketika mengunjungi kota ini, Bulukumba yang indah.Sepanjang jalan menuju pantai tebing Marumasa, Arsyl menggenggam tanganku. Sesekali, dia membuat jemari kami saling bertaut satu sama lain. Jujur, setelah semua yang terjadi sepanjang hari ini mulai dari rumah sampai ke lapas tadi, apa yang dilakukannya ini amat menenangkan. Aku yang memang terus saja gusar, akhirnya bisa bernapas lega.Tak hanya menepati janji, Arsyl juga merupakan lelaki yang menunaikan ikrarnya sendiri. Akad yang diucapkannya di depan Ayah ketika itu, benar-benar dia tepati. Menjadi pakaianku, menutupi aib yang terjadi di dalam rumah tangga kami karena ulahku ... Arsyl, aku benar-benar b
Embusan angin pantai terasa sejuk membelai wajah. Lelah yang mendera sedari pagi, mulai perjalanan lima jam sampai ketemu Danar, hilang sudah. Semua terbayar dengan pemandangan indah yang menghampar di depan mata. Harusnya, semua pemandangan ini sudah kunikmati dua bulan lalu, ketika pertama kali mengunjungi tempat ini. Namun, tak apa aku baru bisa melakukannya sekarang. Bila ada yang bilang bahwa sesuatu akan indah pada waktunya, maka hari inilah semua itu terjadi kepadaku. Sore ini, berteman senja yang hampir turun menghujani bumi, aku menatap lautan nan indah dengan perasaan bungah. Ah ... beginikah rasanya? Semua konflik hati ini sudah selesai, terganti dengan ketenangan yang membawa damai. Akhir yang kuharap indah ketika memulai segalanya dengan Danar, benar-benar berakhir indah. Tentu saja akhir sebuah kisah itu berjalan dengan orang lain, bukan Danar. "Ngelamun aja." Aku menoleh ketika Arsyl tiba. Dia datang membawa satu buah kelapa hijau dengan dua pipet di atasnya. Kata
“Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k