Aku pikir kamu sudah pulang.” Kak Amy berkata lagi. “Terlalu lama biarkan masalah kalian sampai berlarut-larut tanpa penyelesaian, aku malah takut nantinya jadi bom waktu.” Aku diam, tetapi dalam hati membenarkan kalimat Kak Amy. Apa pun itu masalahnya, bila dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi masalah besar. Apalagi yang aku alami sekarang. Aku dan Arsyl benar-benar diam di tempat tanpa sebuah penyelesaian. Aku menyugar rambut, menopang dagu pada satu tangan yang tertumpu di meja. Mengapa hariku ini sungguh berat? Setelah obrolan dengan Ibu yang membiaskan kecewa di hati kami masing-masing, kini aku harus terlibat pembicaraan dengan Kak Amy. Memang, Kak Amy tak berpihak kepada siapa pun. Dia selalu menunjukkan dukungan untuk aku dan Arsyl secara berimbang. Kak My tak pernah berat sebelah, meski tahu aku ada dalam posisi bersalah dan menyakiti hati adiknya. Namun, ini lebih memberikan tekanan mental untukku. Bagaimana bila aku gagal bertahan? Masih bisakah Kak Amy mengangga
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku sekarang, maka tidak ada yang bisa kuungkapkan sebagai jawabannya. Semuanya campur aduk. Bahagia, canggung, malu, gempuran rasa itu mendekapku dalam satu waktu. Namun, yang paling terasa dari semua itu adalah lega. Sebab, Arsyl sudah menerima dan memaafkan aku. Saat ini, adakah yang lebih baik dari itu?“Sekarang masih kangen?” tanya Arsyl sembari mengusap punggungku.Kubiarkan tanya itu tak terjawab, dan lalu membenamkan wajah semakin dalam ke dadanya. Setelah mengabaikanku dan membuat jarak di antara kami, aku tak ingin beranjak sedikit pun darinya.Mungkin, sebagian wanita mengalami rasa canggung ini di malam pertama pernikahan mereka. Aku pun tak tahu bagaimana mereka membuka percakapan setelah bercinta. Ah, bercinta? Aku bahkan tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Saat ini, aku terlalu malu untuk berkata-kata. Jangankan berbicara dengan baik, mengatur deru napas saja rasanya sulit sekali. Apakah bercinta itu memang begini
“Curang!” Aku menatap Arsyl yang kini berpakaian. Sementara itu, aku duduk bersandar di kepala ranjang.Pagi ini, setelah semua yang terjadi, aku hanya bisa berdiam di rumah. Kupikir, Arsyl akan menemani seharian. Kami bisa berdua, menghabiskan sepanjang hari dengan bermesraan atau melakukan hal-hal manis lainnya. Ternyata, semua itu hanya keinginan yang tak akan terwujud. Dia bersiap sebelum jam sembilan dan akan segera meninggalkan aku sendirian di rumah. Namun begitu, aku tetap bahagia. Sebab, kepulanganku semalam menjadi akhir dari semua nestapa. Kesalahan yang kulakukan kemarin seperti menguap entah ke mana. Benar kata orang, bahwa sebaiknya masalah suami istri itu diselesaikan di atas ranjang, tanpa siapa pun tahu. Logikanya, suami istri bermesraan dalam diam. Sudah sewajarnya bila segala masalah mereka pun diselesaikan tanpa drama dan keributan. Dan untuk masalah terbesar dalam rumah tangga ini, kami benar-benar menyelesaikannya di dalam kamar, di atas ranjang dalam arti yang
Menuruti semua kata-kata Arsyl, hari ini aku benar-benar di rumah saja. Surat sakit yang dikirimkannya ke kantorku, membuat ponselku tak henti menyuarakan notifikasi. Banyak teman yang menanyakan keadaanku, sampai beberapa yang lain ingin menjenguk.Sebenarnya, perhatian yang diberikan beberapa teman itu bukanlah hal yang berlebihan. Sebab, selama ini aku adalah orang yang nyaris tak pernah meminta izin kecuali ada hal yang sangat penting. Bahkan, selama ini aku tetap memaksa bekerja meski dalam keadaan tak enak badan.Aku masih ingat, dalam setahun terakhir sepertinya hanya pernah minta izin dua hari saja. Karena sakit beberapa waktu yang lalu. Itu pun terhitung hanya setengah hari dikali dua, karena pagi harinya aku masih memaksa datang ke kantor, dan melanjutkan pekerjaan dari rumah di sore harinya. Bahkan, saat menikah dulu, aku tak meminta izin. Akad nikah yang dilangsungkan hari Sabtu dan lanjut ke resepsi di malam harinya, membuat aku mencukupkan hari Minggu untuk beristirahat
Sejak malam yang menjadi titik balik hubungan kami itu, hari yang kulewati bersama Arsyl terasa lebih indah. Rumah kami jadi penuh warna, canda, dan tawa, seakan-akan di dunia ini tak ada yang namanya kesedihan. Kami berdua bagai sepasang suami istri yang terlahir kembali. Seperti pengantin baru yang tengah menapaki masa bulan madu.Kami berbagi kemesraan, layaknya sepasang kekasih yang baru saja menapaki indahnya cinta pertama. Kami selalu mengawali hari dengan saling memeluk, bisikan kata mesra, juga mengucapkan banyak harapan agar kehidupan di depan sana hanya berisi kebahagiaan saja.Bersama menapaki pernikahan tanpa melewati proses pacaran, kami benar-benar memanfaatkan banyak waktu untuk saling mengenal. Hal-hal yang dulu tak pernah kami bicarakan, kini dibahas dengan sangat menyenangkan. Berbagi cerita tentang keseharian di tempat kerja seperti menjadi hal wajib sekarang.Setiap sudut rumah kami yang semula sepi, terasa hangat. Ditambah jejak percintaan kami yang tertinggal ha
Senyuman Danar terkembang, seiring tangannya yang tadi disembunyikannya dalam saku celana, diangkatnya keluar. Orang lain tentu melihat ini adalah bentuk keramahan. Namun, tidak denganku. Lagi-lagi, Danar ingin menunjukkan betapa dia masih memiliki hak untuk mempermainkan kehidupanku. Langkahku hampir saja surut ke belakang, andai saja Arsyl tidak memindahkan tangannya yang tadi kugandeng ke pinggang ini. Tanpa berniat memamerkan kemesraan kepada Danar, aku kembali meraih tangan Arsyl dan mengeratkan dekapan di sana. “Kamu ... apa kabar?” Danar masih mengulurkan tangannya untuk kusambut. Sapaannya kali ini mengingatkan aku pada apa yang dia lakukan ketika kami berjumpa di cara reuni. Sama seperti hari ini, dia hanya menanyakan kabar. Lalu, saat itu dengan bodohnya aku membuka pintu hati ini lebar-lebar. Namun, semua tak akan terulang sekarang. Sebab Arini yang ada di hadapannya kini, bukan Arini yang dulu begitu mudah hanyut dalam pesonanya. kini, aku berdiri di hadapannya dengan b
Usai membersihkan tubuh seperlunya, aku berdiri di depan cermin. Dalam balutan gaun tidur berbahan satin tipis ini, aku merasa tak ada yang berbeda dengan penampilanku. Namun, pertanyaan Raya tadi terus saja terngiang di benakku. Hamil? Masih menatap diri sendiri, aku meraba perut. Akankah semu akan berubah bila itu benar-benar terjadi? Ketika berkonflik dengan Arsyl beberapa bulan lalu, aku menginginkan hal itu terjadi. Aku berharap segera ‘isi, seperti harapan banyak orang. Tentu saja, hadirnya buah hati kan merekatkan hubungan kami. Akan tetapi, mengapa saat ini aku justru didera takut? Aku menghela napas, masih berdiri di depan cermin di ruang wardrobe. Saat ini, aku dan Arsyl baru saja menapaki hari sebagai suami istri yang sesungguhnya. Kami melalui banyak hari dengan bahagia hingga hari ini. Lalu, akankah semua berubah bila ada anggota baru dalam keluarga ini?Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruang wardrobe. Selama apa pun aku menyelisik tempat ini, hanya pintu-pintu l
Pagi ini, aku sengaja pura-pura tertidur lelap saat Arsyl bangun dan berolahraga. Pertanyaannya semalam membuat aku penasaran, apakah sebenarnya yang terjadi pada diriku sekarang. Bila diingat-ingat, aku memang bekum mengalami siklus bulanan sejak pertama kali kami saling memiliki beberapa bulan yang lalu. Siklus bulananku yang memang sering berantakan, awalnya membuat aku abai. Namun, sepertinya kali ini aku penasaran. Apakah setelah banyak malam berlalub dii antara aku dan Arsyl, akan membuahkan sesuatu? Setelah Arsyl keluar kamar, aku turun dari ranjang dengan amat berhati-hati. Selanjutnya, seperti pencuri, aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Aku takut, tiba-tiba Arsyl muncul, mengambil sesuatu yang tertinggal, misalnya. Kukunci pintu kamar mandi dengan perasaan waswas. Lalu, kutarik laci teratas, dari lemari penyimpanan sabun. Jantungku berdetak puluhan kali lebih cepat ketika mendapati sebuah testpack di sana.Alat pendeteksi kehamilan itu adalah benda yang dibawakan Kak A