Share

PETAKA REUNI
PETAKA REUNI
Penulis: Wanti Arifianto

Dia

Penulis: Wanti Arifianto
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 15:07:23

"Bagaimana kabarmu?"

Aku mengerjap. Dia? Kerongkonganku seketika kering, kepala terasa pening. Tuhan ... apa ini? Apa aku tidak salah lihat?

Tangannya masih terulur di hadapanku. Ingin rasanya balas menjabat, tapi aku takut dia bisa merasakan tanganku yang mendadak dingin. Bertemu dengannya setelah terpisah sekian lama ... entah mengapa aku berdebar-debar. Seperti gadis yang baru disapa cinta pertama.

"Arini?"

Panggilannya membuatku tergagap. "Ah, i--iya. Aku ... aku baik."

Kemudian, aku mengulurkan tangan dengan ragu. Saat tangan kami bersambut, aku merasa sesuatu bermekaran indah. Di sini, di dalam hatiku.

Tatapan kami bertemu. Sesaat, sebab aku segera mengalihkan pandang ke arah lain. Namun, meninggalkan dampak begitu berat. Seperti ada aliran listrik yang membawa efek kejut ringan di tanganku, lalu menyebar sampai ke hati.

Membiarkan tangan dalam genggamannya, aku bagai dilempar ke masa lalu. Saat-saat indah yang pernah terlewati di antara kami, ketika menempuh pendidikan di kampus yang sama.

"Kamu nggak berubah." Dia berkata dengan mata yang masih meneliti wajahku.

Ditatap sedemikian rupa, jantungku kian berdentam dengan tidak sopan. Riuh gemuruh, bak genderang perang yang ditabuh bersamaan. Sentuhan ringan ini membawa getar ke seluruh tubuh, juga mengobrak-abrik perasaanku sampai tak karuan.

"Ah, kamu. Apaan, sih!" Kuselipkan rambut ke belakang telinga, demi menghalau panas yang mulai menjalar di pipi.

"Ehm!"

Entah berapa lama tangan kami saling menjabat. Sampai, dehaman itu membuatku menarik tangan dengan perasaan kikuk. Kenapa semua jadi secanggung ini?

"Cie ... CLBK nih yeee!" Salah seorang teman meledek dengan wajah lucu.

"CLBK apaan!" Aku menyela, masih dengan wajah yang terasa hangat. Kemudian, aku mengambil jarak darinya, orang yang masih berhasil membangkitkan debar di dada.

Bagaimanapun, kami memang memiliki sejarah di kampus ini. Dulu, kisah cintaku dengan lelaki itu melegenda, dan menjadi pembicaraan lintas fakultas. Maklum, baik aku dan dia, kami sama-sama pejabat BEM yang aktif di berbagai kegiatan.

"Ya kali aja, Rin. Kan banyak tuh, yang CLBK setelah reuni!" Teman yang memakai name tag panitia itu masih menggoda.

"Oh, iya! Kamu datang sendiri, Nar?" Kali ini, teman panitia itu berpaling. Tak lagi menatapku seperti tadi.

Lelaki yang ditanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum yang terukir di bibirnya, entah mengapa terasa bak tikaman belati yang mampu mengoyak rindu. Rasa untuknya yang kembali membara, karena pertemuan ini.

Kami bercakap sebentar, lalu memasuki ballroom hotel yang telah ramai. Suara musik mengalun, mengiringi keceriaan yang ada dalam ruangan. Masing-masing orang bertukar kabar, membuat aura bahagia menaungi acara ini.

Banyak di antara teman alumni yang membawa pasangan, juga anak mereka. Tentu saja, itu menampilkan harmoni indah nan menyejukkan hatiku. Andai saja ....

Reuni ini sudah digagas selama setahun. Sebagai alumni, kami diperbolehkan mengangsur biayanya selama dua belas bulan. Sebab, tak semua di antara kami memiliki kesamaan nasib yang baik. Kebebasan finansial, misalnya.

Beberapa kali reuni sempat diwacanakan, tapi gagal karena kendala biaya dari beberapa teman. Sementara itu, penyelenggara tak ingin meninggalkan salah satu di antara kami. Sampai akhirnya, seorang donatur menggelontorkan dana cukup besar, yang bisa mendanai akomodasi teman dari luar kota, termasuk aku.

Awalnya aku menolak. Namun, pihak penyelenggara berkata bahwa itu adalah fasilitas yang mereka berikan untuk peserta di luar kota. Akhirnya, aku menerima setelah sepakat untuk membayar setengahnya.

Bertempat di sebuah hotel berbintang, tentu saja acara ini dikonsep dengan baik oleh panitia. Acara yang berlangsung dua hari ini memiliki banyak agenda menyenangkan. Cukuplah untuk liburan, atau me time buat yang lelah bekerja sepanjang waktu.

"Oke, dalam kesempatan ini, saya mewakili panitia mengucapkan terima kasih banyak buat mantan ketua BEM yang paling tampan sepanjang sejarah, Danar Pradipta!"

Tepukan bergemuruh menyambut ucapan ketua panitia yang sedang memberi sambutan. Sementara aku, mendengar nama itu disebut aku sontak menoleh ke sisi kanan. Jadi, dia yang membiayaiku?

"Kalo nggak ada Danar, kita nggak akan ngumpul di sini, di tempat yang sejuk ini. Oleh karena itu, kita kasih kesempatan buat Danar, supaya menyampaikan sepatah dua patah kata."

Sekilas Danar berbalik dan melemparkan senyum penuh arti. Kemudian, ia beranjak menuju panggung. Senyuman masih merekah, mengiringi langkahnya yang terayun dengan tegap.

Benarkah ia sesukses itu sekarang? Sampai mampu menyumbangkan uang puluhan juta untuk acara ini, bukankah itu artinya dia cukup mapan?

Seketika, kekaguman padanya membuncah, memenuhi segenap ruang hatiku.

**

"Ini juga acaranya baru selesai, ya masa jauh-jauh dari Makassar, aku cuma ke sini buat tidur?" Aku memutar bola mata. Entah mengapa, perhatian dari suamiku terasa mengusik hati sekarang.

"Aku cuman mau mengingatkan, supaya kamu nggak tidur terlalu malam. Jangan terlalu banyai minum kopi."

"Iya." Kujawab dengan malas berbagai petuah di ujung sana, sebelum mengakhiri panggilan.

Memiliki istri dengan riwayat alergi, Arsyl memang se-perhatian itu. Bahkan, ia memastikan beberapa obat tidak tertinggal, saat aku akan berangkat ke kota ini.

"Dari siapa?"

Langkahku menuju lift terhenti, saat sebuah tanya terucap begitu dekat. Entah sejak kapan Danar ada di belakangku. Apakah dia mendengar percakapanku tadi?

"Ah ... itu. Bukan siapa-siapa." Aku menggigit bibir. "Dari rumah," lanjutku seraya menyembunyikan ponsel ke belakang tubuh.

Danar mengangguk, lalu menindis tombol lift di angka dua belas.

"Kamar kamu di lantai dua belas juga?" Aku mengajukan tanya.

Danar mengangguk. "Kamu di sana juga? Apa mungkin ... kita jodoh?"

"Aku--"

"Ayo."

Kalimatku terjeda, saat pintu lift terbuka. Tanpa aba-aba, Danar menggamit pinggangku sambil memasuki lift. Diperlakukan seperti ini, tentu saja membuatku salah tingkah. Apalagi, tak ada orang lain di dalam lift, dan Danar tak menjauhkan tangan dari pinggang ini.

"Bagaimana kalau kita ke lounge yang di roof top?" Danar mengajukan tanya, memecah kebisuan.

"Hah?"

"Ada live music di sana, dan aku jamin kamu pasti suka."

"Tapi, Nar. Aku--"

"Ayolah, By. Setelah sepuluh tahun, ini kali pertama kita ketemu, 'kan? Belum tentu kita bisa ketemu lagi tahun depan."

By? Baby?

Danar menatapku dengan sorot menuntut. Tatapan yang sedari dulu berhasil membuatku bertekuk lutut. Di masa lalu, aku bahkan bisa memaafkan kesalahan yang ia perbuat, hanya dengan tatapan mata saja.

Akhirnya aku setuju. Maka, tanpa mengulur waktu, kami menuju atap gedung. Sepanjang menuju lounge, Danar masih menggamit pinggangku.

Sejuknya udara Kota Bogor langsung menyergap, begitu kaki ini menjejak lounge dengan penerangan temaram itu. Ditambah blus berbahan sifon yang aku kenakan, membuat dingin leluasa menusuk, dan masuk melalui celah pori.

Sejenak aku menarik napas, menyesuaikan dengan udara di sekeliling. Sampai terasa sebuah jaket dipakaikan ke tubuh ini, menghalau dingin, juga menguarkan aroma wangi yang membawa damai dalam satu waktu. Wangi yang berhasil membangkitkan memori setelah sekian lama mati suri.

"Dingin?" Danar mencondongkan wajah, membuat kami begitu dekat.

Apa yang dilakukannya ini lagi-lagi melemparku ke masa lalu. Pada suatu malam yang kami habiskan di tepi pantai, pada acara binakrab dalam rangka penyambutan mahasiswa baru.

Saat itu, aku mengenakan jaketnya sepanjang malam. Tak hanya itu, Danar juga memelukku selama acara berlangsung. Ya ... kami memang semesra itu, dulu. Tak jarang, kemesraan itu kami tampakkan tanpa canggung.

"Ini nggak terlalu tebal. Tapi lumayan buat melindungi badan kamu dari baju yang tipis."

Kalimat Danar menyentakku dari lamunan. Entah berapa kali kenangan kami melintasi pikiranku seharian ini. Kepingan-kepingan indah antara aku dan Danar terus menari-nari, seakan-akan baru terjadi.

"Nggak usah, Nar. Aku--"

"Kalo kamu masih Arini yang sama dengan yang kukenal dulu, maka kamu masih punya alergi dingin."

Danar masih ingat itu juga?

"Terima kasih." Jujur, aku tersanjung.

Demi mengalihkan debaran hati karena tatapannya, aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekejap kemudian, aku terpesona dengan keindahan lounge yang ditata sedemikian rupa, mirip dengan kafe kekinian. Hanya saja, lounge ini berkonsep out door.

Lampu-lampu bulat menyerupai taman tampak berbaris rapi, menaungi kursi yang berjajar teratur. Konsep taman bunga yang berpadu dengan restoran menampilkan kesan elegan, dan alami dalam satu waktu.

"Suka?"

Aku hanya mengangguk. Pun tak mengelak, saat lagi-lagi Danar meraih pinggangku, membawa diri ini ke salah satu sudut tempat nan indah.

"Kamu di sini sebentar. Aku mau pesan minuman."

"Tapi, Nar. Kan pelayannya bisa ke sini?"

Protesku sia-sia, karena Danar lebih dulu beranjak. Kuperhatikan setiap gerakannya, termasuk saat ia berbincang dengan pelayan. Kemudian, ia melangkah ke tempat pemain musik. Apa yang Danar lakukan?

Tanyaku terjawab, ketika alunan musik mengudarakan lagu Lagu Rindu milik Kerispatih.

Danar ... dia masih ingat semuanya?

"Kamu masih ingat?" tanyaku saat dia sampai.

"Apa menurutmu, kisah kita adalah cerita kosong yang mudah dilupakan?"

"Danar, aku--"

"Aku kangen kamu, Rin."

Mendadak aku kehabisan oksigen. Terlebih saat Danar menggenggam tanganku yang terulur di meja. Diremasnya dengan lembut, hingga menyusupkan hangat ke setiap sudut sanubari.

"Danar ...."

Lelaki itu menatap sayu, membuat hatiku kian bertalu tak menentu. Entah siapa yang lebih dulu memulai, tapi jarak di antara kami nyaris terhapus sekarang.

"Aku masih mencintaimu, Arini."

Tak bisa kubalas kalimat itu. Aku terpaku, menatap lekat sepasang mata Danar di antara keremangan. Lalu, jarak di antara kami benar-benar terhapus, begitu Danar menempelkan bibirnya ke bibirku.

Kelembutan ini, genggamannya, caranya menyebut namaku .... Semua yang kurasa memberi penegasan, bahwa ia masih Danar yang sama. Danarku, sepuluh tahun yang lalu ....

***

Bersambung ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
wah kacau nih arini
goodnovel comment avatar
Mei
bener2 ya... reunian itu terkadang melukuhlantahkan pertahan...
goodnovel comment avatar
Airin Ahmad
Aku dataang!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • PETAKA REUNI   Terenggut

    Untuk beberapa saat lamanya, aku hanyut dalam buaian indah ini. Meski ada sebagian sisi logika yang menolak, tapi seluruh syaraf di permukaan tubuhku mendamba kelembutan ini. Danar ... lagi-lagi dia berhasil membawaku kembali ke masa lalu. Saat kami melewati setiap hari penuh suka cita dan canda tawa. Saat kami menunjukkan kemesraan kepada semesta.Ini salah. Dilihat dari sisi mana pun tetaplah salah. Namun, entah mengapa aku tak pernah mendapati kesalahan yang begitu dibenarkan oleh hatiku sendiri. Aku mengerjap, ketika kami kembali berjarak. Sementara debaran dalam dada semakin menggila, seperti jantung ini akan lepas dari tempatnya. Untuk sejenak aku memejam. Berusaha memegang kendali atas hati, yang tiba-tiba menyusupkan perasaan aneh.Tampak wajah Danar masih begitu dekat, ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut, khas seseorang yang baru saja melabuhkan rindu. Kenapa Danar tidak bertanya? Bukankah seharusnya dia bertanya tentang h

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-12
  • PETAKA REUNI   Egois

    Danar melepas tautan bibir kami, saat pintu lift terbuka di lantai dua belas. Dengan cepat dia menarikku ke dalam sebuah kamar, yang letaknya berjarak dua kamar dari kamarku sendiri. Entah ini sesuatu yang telah direncanakan atau sebuah kebetulan, aku bahkan tak peduli.Danar mendudukkanku ke tepi ranjang, sedangkan dia sendiri bersila di lantai, dengan menumpu kepala di pahaku. Tak lama kemudian, dia menengadah sembari memegang tanganku.“Maaf.”Aku berpaling, mengarahkan pandangan ke luar dinding kaca. Tatapanku berusaha menembus kelam di luar sana, yang gelap menyerupai perasaanku saat ini. Harusnya aku bahagia bertemu dengannya sekarang. Harusnya hati ini bahagia dan berdebar, seperti saat dia menjabat tanganku di awal jumpa sore tadi.Akan tetapi, entah mengapa justru dada ini bagai ditimpa batu besar sekarang. Sesak, sampai rasanya bernapas saja sulit. Kenapa takdir bermain atas hidupku dengan tidak adil? Kenapa semesta merenggut semua dengan seenaknya, melalui Danar? Berbagai

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-12
  • PETAKA REUNI   Berpisah?

    Aku memejam, menikmati guyuran air yang menerpa kepala. Dalam hati berharap agar semua ini hanya mimpi di siang hari, dan tidak benar-benar terjadi. Namun, keberadaanku di sini menyentak kesadaran. Bahwa aku benar-benar ada di situasi amat sialan, yang mempertemukan kembali dengan Danar. Dalam balutan dingin yang mulai menusuk, ingatanku lagi-lagi mengembara jauh. Menyusuri lorong waktu, saat aku dan Danar masih bersama dalam sebuah ikatan. Cinta ... dan apa pun itu.“Udah lama?” Danar melangkah cepat melintasi pintu kaca. Senyuman yang ia tampakkan mampu melebur kerinduan yang menggunung dalam hati ini. “Lama!” Aku mencebik, lalu mendekapnya erat. “Tadi delay sejam. Apa mungkin pesawatnya ngerjain kita?” Danar membalas pelukan, dan mengusap-usap kepalaku. Hal yang selalu berhasil menyusupkan syahdu.Tahu apa yang paling membahagiakan saat menjalani hubungan jarak jauh? Yaitu saat bertemu seperti sekarang. Meski hanya bertemu setahun sekali, bagiku ini lebih dari cukup. Kabar bai

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-12
  • PETAKA REUNI   Pengecut

    Alunan musik instrumental memenuhi kabin mobil. Irama saksofon milik Kenny G mendayu-dayu, seakan-akan menggugah segenap memori yang memang tak pernah layu. Hal yang sebelum ini mati-matian kuhapus, nyatanya kembalinhidup, bahkan kian menggebu.Ya ... bagaimanapun pendapat orang tentang bodohnya aku mengendalikan diri atas kisah ini, nyatanya semua rasaku masih tetap terpelihara. Untuk Danar, seperti ada rasa yang enggan menjadi hambat, meski sekian lama terbiar. Berada satu mobil dengan Danar, membuatku deja vu. Aku seperti dilempar pada pertemuan kami terakhir kali, kala mengantarnya ke bandara. Lalu, memoriku memutar waktu, mengajakku menapaki hari ketika melepasnya dulu ...."Kamu ... tahun depan, apa kamu mau liburan ke sini lagi? Mm ... maksud aku, nanti kita bakalan ketemu lagi, 'kan?" Ini memang terdengar bodoh. Namun, entah mengapa semua menjadi canggung setelah insiden sore kemarin. Semalam, Danar tak banyak bicara. Kami makan dalam diam, seakan-akan semua pembahasan tak l

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Tempat Pulang

    Setelah berhasil menembus kemacetan parah selama beberapa jam, aku dan Danar sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar jam delapan malam. Menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kerja, sungguh membuatku lelah. Ditambah kebersamaan dengan Danar ... maka kerumitan dalam hati dan hidupku lengkaplah sudah. Masih ada dua jam lebih menunggu penerbanganku yang terjadwal pukul 10.40. Tadi, Danar sempat mengajak untuk menghabiskan waktu, sekadar berjalan-jalan atau menikmati salah satu sudut Kota Jakarta. Namun, dengan tegas aku menolak. Bagaimanapun, kami adalah dua orang dewasa yang terikat rasa. Aku tak ingin terjebak rasa, lalu terseret lebih jauh kepada hal yang tak seharusnya. Seperti saat di Taman Safari, Danar benar-benar tak melepasku. Sekilas, kami benar-benar seperti pasangan mesra yang terus bergandengan sepanjang jalan. Aku bahkan lupa, apa dulu dia pernah menggenggam jemariku sehangat ini. Gestur yang ditunjukkannya, benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Namun benar

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Terjebak Berdua

    "Aku udah bilang, nggak usah jemput." Aku berkata ketika meninggalkan area kedatangan. Arsyl menggamit pinggangku, sementara satu tanganku yang lain memegang buket bunga darinya. Ini adalah penanda bahwa hubungan kami sudah berjalan sepuluh bulan lamanya. Yang bisa kulihat, Arsyl kian bersemangat setiap bulannya ketika merayakan hari spesial kami. Aku masih ingat, di bulan pertama pernikahan, dia hanya memberi sekuntum mawar putih. Bulan berikutnya, dia memberikan beberapa kuntum mawar, salah satu di antaranya berwarna merah. Lalu sekarang, aku menerima buket berukuran besar. Sebagai perempuan, jelas aku bahagia. Meski tak seperti di drama-drama, tetapi yang dilakukan Arsyl cukup membuatku mampu melebarkan tawa. Dia selalu menganggapku ada, meski kami tak sedang bersama. Perhatiannya mengalir, seperti memiliki untaian rasa yang tak pernah ada habisnya, untukku. “Apa kamu pikir, aku tega biarin kamu naik taksi di jam seperti ini?” Dia balas berkata, menoleh sejenak melihatku. “Ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Momongan?

    Aku menatap Arsyl dengan sorot ingin tahu. Datang ke kamarku setelah berpisah lama dan di jam seperti ini, apa yang dia pikirkan?Arsyl menggaruk tengkuk, lalu mendekat setelah menutup pintu. “Sebenernya ... selama kamu nggak ada, mamaku ada di sini. Dan selama itu juga, tiap pulang dari rumah sakit buat istirahat, aku tidur di sini, di kamar kamu.”Ah!“Aku bisa saja tidur di kamar tamu atau di depan TV, Rin. Tapi, aku takut mama curiga. Ah, iya. Aku benar-benar hanya tidur saja, Rin. Nggak gangguin barang-barang kamu.” Dia berkata seperti melakukan pengakuan dosa.Melihat mimik wajah Arsyl, aku tertawa. Bagaimana bisa dia secanggung itu di rumahnya sendiri? Namun, kemudian tawaku pergi, tatkala membayangkan harus berbagi kamar dengannya dalam keadaan sekacau ini.Aku kembali berpikir. Pernah ibuku mendapati Arsyl tidur di ruang keluarga. Saat itu, kami beralasan bahwa dia tidak masuk kamar karena tertidur saat menyaksikan acara olahraga. Namun, jika kejadian serupa terus terulang, b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Modus

    Selepas kepergian Arsyl, aku kembali ke dalam. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Namun, kali ini aku melakukan semuanya sembari mengobrol dengan Mama. Dia sedang duduk di ruang TV, merajut sesuatu. Mama Indi adalah perempuan aktif. Sambil duduk begini, dia masih menyibukkan diri dengan merajut. Yang aku tahu, banyak sekali barang di rumahnya adalah hasio buatan sendiri. Taplak meja, gorden, semua hasil rajutannya. Selain itu, Mama Indi juga pandai memasak. Mertuaku ini adalah tipe ibu yang dirindukan anak-anaknya. Bahkan, Arsyl akan makan dengan lahap bila kami berkunjung ke rumah Mama. Biasanya, Mama Indi akan bertanya kami ingin makan apa, lalu menyiapkan dan menyajikannya begitu kami sampai. Di awal menikah dulu, Mama Indi juga mengajariku cara memasak menu kesukaan Arsyl. Tanpa mama tahu, bahwa aku tak pernah bisa memasak apa pun yang diajarkannya. Lebih tepatnya, aku selalu memilih hidangan sederhana untuk dinikmati bersama Arsyl. "Kamu kenapa nggak cari pembantu

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17

Bab terbaru

  • PETAKA REUNI   Terima Kasih (ending)

    “Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh

  • PETAKA REUNI   Hadiah Kedua

    Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit

  • PETAKA REUNI   Tentang Komitmen

    “Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d

  • PETAKA REUNI   Hari-Hari yang Manis

    Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam

  • PETAKA REUNI   Reuni Kedua

    “Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau

  • PETAKA REUNI   Untuk Kamu

    “Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab

  • PETAKA REUNI   Meja Hijau

    “Kamu sudah siap?” Arsyl mendekat, lalu mengelus bahuku. Setelah menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya hari itu datang juga. Meski setengah hati, akhirnya aku menghadiri hari yang sebenarnya ingin aku hindari. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak boleh lari, bukan? Aku tersenyum. Kami sudah sejauh ini dan tidak akan mundur lagi. “Iya.”Arsyl menatap dengan sorot serius. “Kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Rin.” “Aku nggak apa-apa. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu Danar.” Kutatap Arsyl dengan saksama. “Bukannya ... bukannya harusnya aku yang tanya ke kamu? Nggak apa-apa, ‘kan, kalo misalnya aku ketemu sama dia sekali lagi?”Dia menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak ada alasan, buat aku nggak percaya sama kamu.” Usai berkata, Arsyl memeriksa bawaan kami sekali lagi. Dia selalu begitu bila kami akan bepergian. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan memang selalu menjadi tugasnya. Untuk setiap hal, dia memang sangat teliti, apalagi bila itu menyangkut kesehatanku dan calon b

  • PETAKA REUNI   Wanita dari Masa Lalu

    Sejak malam aku pulang dari rumah Ibu sambil menyembunyikan tangis dari Arsyl, aku belum pernah ke sana lagi. Rasanya, aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Lalu, kesibukanku di kantor kujadikan alasan untuk beristirahat di rumah saja di akhir pekan. Selain itu, perut yang sudah membesar memang membatasi tenagaku, tak bisa seperti dulu.Seperti hari ini misalnya. Aku hanya bersantai di kamar meski matahari sudah meninggi. Akhir pekan ini aku sendiri, karena Arsyl ke rumah sakit sejak pagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan, aku tak begitu banyak bertanya. Sempat dia menawarkan agar aku ke rumah Ibu, tetapi aku menolaknya.Tak bosan dengan bahan bacaan yang baru saja kubeli, aku berniat akan menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Beberapa jenis makanan ringan sudah siap di meja, berikut buah potong yang tak pernah ketinggalan. Sering lapar membuat aku berubah menjadi manusia pemakan apa saja. Ah ... apa semua perempuan hamil akan begini di trimester ketiga mereka? Atau hanya

  • PETAKA REUNI   Salahku

    “Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k

DMCA.com Protection Status