Share

Egois

last update Last Updated: 2022-10-12 15:27:12

Danar melepas tautan bibir kami, saat pintu lift terbuka di lantai dua belas. Dengan cepat dia menarikku ke dalam sebuah kamar, yang letaknya berjarak dua kamar dari kamarku sendiri. Entah ini sesuatu yang telah direncanakan atau sebuah kebetulan, aku bahkan tak peduli.

Danar mendudukkanku ke tepi ranjang, sedangkan dia sendiri bersila di lantai, dengan menumpu kepala di pahaku. Tak lama kemudian, dia menengadah sembari memegang tanganku.

“Maaf.”

Aku berpaling, mengarahkan pandangan ke luar dinding kaca. Tatapanku berusaha menembus kelam di luar sana, yang gelap menyerupai perasaanku saat ini. Harusnya aku bahagia bertemu dengannya sekarang. Harusnya hati ini bahagia dan berdebar, seperti saat dia menjabat tanganku di awal jumpa sore tadi.

Akan tetapi, entah mengapa justru dada ini bagai ditimpa batu besar sekarang. Sesak, sampai rasanya bernapas saja sulit.

Kenapa takdir bermain atas hidupku dengan tidak adil? Kenapa semesta merenggut semua dengan seenaknya, melalui Danar?

Berbagai tanya itu membuat air mata ini kembali menetes. Apa yang harus kulakukan sekarang, Tuhan?

“Maaf tidak memberimu kabar selama itu. Tapi, apa yang bisa kulakukan, Arini? Saat aku mau ke Makassar, papa kena serangan jantung mendadak, dan semua usaha keluarga harus aku kelola.”

Aku menggigit bibir, dengan air mata semakin deras. Apa pernikahan itu jadi salahku sekarang? Apa ketidaksabaran orang tuaku menunggu menyakiti perasaannya? Lalu, bagaimana denganku?

Seketika, ingatan itu berputar kembali. Kala Ibu dan Ayah memaksaku mengambil keputusan berat, lalu terpaksa setuju dengan semua jalan yang mereka pilih.

“Apa yang kamu tunggu dari Danar, Rin? Dia tidak menginginkan kamu, Nak. Sadarlah! Enam tahun bukan waktu yang sebentar.” Ibu menatapku tajam. Kalimat itu memang terucap pelan, tapi mampu menikam sampai ke jantungku.

“Kalau dia menginginkan kamu, seharusnya dia ngasih kabar, ‘kan? Tapi mana, Rin?”

“Bu, tolong kasih aku waktu. Aku yakin Danar pasti datang, Bu. Dia nggak pernah ingkar janji.” Aku mengiba, setengah putus asa dengan keyakinanku sendiri.

Danar ... kamu di mana?

“Sampai kapan? Sementara perjodohan antara kamu sama Arsyl sudah dibicarakan keluarga dengan serius..”

“Bu ....” Air mataku nyaris tumpah.

“Umurmu sudah tidak muda lagi untuk melajang. Ayah hanya tidak ingin kamu jadi gunjingan, lebih-lebih adikmu sudah punya anak.”

“Raya memutuskan menikah muda, dan sekarang Ibu bandingin aku sama dia?”

“Raya menikah umur dua puluh enam, Rin. Dan sekarang adikmu Anita juga sudah bertunangan.”

“Bu ....” Suaraku nyaris tercekat di tenggorokan.

“Anita menolak menikah, kalau kamu belum dapat kepastian. Sementara kamu tau sendiri, pihak keluarga calon suaminya terus mendesak. Ibu bisa apa, Nak? Kita akan malu kalau sampai pernikahan Anita batal.”

Ibu berpaling sembari menyeka sudut mata. Tampak sekali pengharapan dan ketakutan dalam setiap ucapannya.

Aku tidak terlahir dalam keluarga yang salah. Akan tetapi, klaim masyarakat terhadap perempuan lajang sepertiku memang agak berlebihan. Ditambah adik yang lebih dulu menikah, beberapa mitos berembus. Bahwa aku akan menjadi perawan tua, dan tidak akan menemukan jodoh.

“Keluarga kita ada di tanganmu sekarang, Rin.” Ibu bangkit, lalu meninggalkan kamarku begitu saja. Ada desah kecewa yang kutangkap, sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku memejam sesaat, lalu menengadah. Katakan padaku, Nar ... katakan apa yang harus aku berikan sebagai jawaban.

Aku bangkit, dan mengambil laptop di laci meja. Kubuka laman berkirim pesan elektronik, berharap kali ini mendapat jawaban dari Danar. Namun, nihil. Hanya ada pesan-pesanku yang kedaluwarsa tanpa pernah terbaca, sejak enam tahun lalu. Apa yang kuharap sama sekali tak terjadi. Pesanku tetap tak berbalas, memberi bukti bahwa Danar benar-benar telah hilang ditelan bumi.

Aku tidak tahu di mana Danar sekarang. Pun tidak paham kenapa ia memutus kontak di antara kami. Aku bahkan pernah dua kali ke Bali, sekadar mencari tahu di mana lelaki itu berada. Namun, mencari seseorang tanpa alamat jelas sama saja bak menemukan jarum di tumpukan jerami.

Dalam hal ini, kuakui aku memang bodoh. Menjalin hubungan sejak awal kuliah tanpa tahu alamat Danar, apa namanya?

Bisa saja saat ini Danar telah bahagia. Mungkin, itu sebabnya ia menghilang dan melupakanku. Tapi ... satu hal yang tidak ia pahami. Bahwa sakit karena rindu lebih menyiksa, dari pada gunungan kecewa.

Ya ... dalam keterpurukan mencintainya, kecewa dan sakit ini tidak lebih besar daripada rindu untuknya.

**

Setelah menghabiskan waktu beberapa pekan untuk berpikir, akhirnya aku setuju untuk menemui Arsyl. Bagaimanapun, sangat egois jika aku menjadi sebab putusnya pertunangan Anita.

Mengabaikan kaki yang gemetar, aku menyusuri deretan kursi kafe yang ramai sore ini. Ini adalah kali pertama aku memutuskan menjumpai laki-laki lain, setelah sekian lama menjaga hati. Hati yang mungkin telah Danar ingkari.

Ah ... Danar. Bahkan saat akan menemui orang lain, namanyalah yang melekat dalam ingatan.

Sebelumnya, aku dan Arsyl pernah beberapa kali bertemu dalam acara keluarga. Kebetulan, orang tua kami bersahabat sejak lama, dan sudah seperti keluarga.

Keluarga kami sering terlibat acara besar bersama, entah itu pesta pernikahan, liburan, dan sebagainya.

Sama-sama menyandang status lajang, membuat keluarga iseng menjodoh-jodohkan kami. Hingga pada suatu hari, orang tuanya benar-benar datang menanyakan kesediaanku, menjadi menantu di keluarga mereka. Dengan alasan mengeratkan hubungan di antara dua keluarga.

“Hay!”

Aku menoleh, lalu mendapati seseorang melambaikan tangan ke atas. Setelah menghela napas dan berusaha tenang, kuayun langkah menuju kursi yang terletak di sudut ruang.

“Sudah lama?” Aku menyapa, tak lupa mengembangkan senyuman.

“Nggak. Baru aja mau WA kamu.” Lelaki berkacamata itu tersenyum, menunjukkan lesung di salah satu pipinya.

Untuk beberapa lama kami terjebak hening dan canggung. Aku menyibukkan diri dengan memilih menu, sedangkan Arsyl sesekali memfokuskan perhatian pada ponselnya.

“Arsyl.” Aku memulai, dengan dentaman dalam dada semakin menjadi. “Soal perjodohan kita ....”

“Aku tau kamu belum siap, Rin.” Ia memotong. “Dan aku nggak keberatan, kalau kamu mau menolak. Perasaan nggak bisa dipaksa, ‘kan? Apalagi, pernikahan bersifat seumur hidup, dan bukan hubungan main-main.”

Aku menggeleng. “Bukan. Bukan itu maksud aku.”

Arsyl menatapku dengan saksama, seperti sedang menyelami perasaanku. “Terus?”

“Apa boleh aku mengajukan syarat?”

“Maksudmu?” Kali ini, dia tampak menyimak.

“Seperti yang kamu bilang, perasaan nggak bisa dipaksakan. Karena itu, aku mau hubungan kita mengalir. Maksudku ....” Aku ragu.

“Tanpa paksaan?” Arsyl menekan kalimat, seakan-akan menangkap maksudku.

Aku mengangguk. “Kasih aku waktu satu tahun. Kalo sampe saat itu aku belum—“

“Aku setuju.”

Aku tercekat. Kenapa semudah itu ia menyetujuinya? “Tapi, Arsyl. Aku belum—“

“Aku setuju, apa pun syarat dari kamu.” Dia tersenyum, seperti sedang memastikan jika semua akan baik-baik saja. Atau mungkin, dia berpikir satu tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat kami saling menerima. Entah.

“Apa kamu lagi nunggu seseorang?” Arsyl bertanya dengan tenang. Akan tetapi, ketenangan itu justru terasa menikamku. Tepat di sini, hati yang hampir patah karena lelah menanti.

“Kamu cinta banget sama dia?”

Refleks aku mengangguk. “Ah, m—maksud aku—“

“It’s okay.” Arsyl tersenyum lagi. “Aku siap lepasin kamu, kalo dia datang sebelum satu tahun pernikahan kita.”

Aku tercengang. Benarkah yang diucapkannya?

“Apa kamu juga lagi nunggu seseorang?” Aku bertanya. Ragu, merasa bersalah.

Arsyl menggeleng. “Nggak. Aku cuma takut, kalo akhirnya aku jatuh cinta lebih dulu.” Kali ini, ia menatapku dengan serius.

“Maaf.” Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Rasanya, menjanda lebih baik daripada pernikahan adikku dibatalkan. Paling tidak, aku sudah memenuhi keinginan keluarga, bukan?

“Bukan masalah. Anggap saja, kita lagi berusaha memahami satu sama lain dalam ikatan yang sah.”

“Terima kasih.”

“Jadi, kamu sepakat dengan pernikahan ini?”

Anggukanku menjadi akhir perjumpaan kami sore itu, lalu membawaku dalam acara pernikahan yang meriah. Semua keluarga tampak bahagia, begitu juga dengan Arsyl.

”Kamu boleh marah sama aku, Rin. Kamu bisa hukum aku, kalo itu yang kamu mau. Tapi, satu hal ... jangan membenciku.”

Kalimat Danar menyentakku dari lamunan panjang. Ia mengulur tangan, dan menghapus jejak basah di pipiku.

Aku menggeleng. “Aku sudah nikah, Danar.” Dengan suara bergetar, kalimat itu terucap. Entah mengapa, mengatakan hal ini seperti melakukan pengakuan dosa.

Danar bangkit sembari tersenyum masam. “Aku tau. Tapi, bagiku kamu tetap Arini-ku, dan status kamu nggak mengubah apa pun.”

Aku bangkit, dan menentang wajahnya. “Jangan egois! Jangan datang dan pergi seenaknya, seolah-olah aku ini barang yang bisa kamu abaikan sesuka hati!”

Danar menatapku tajam, membuat kilatan mata kami saling menikam. “Sekarang bilang, kalo kamu nggak cinta lagi sama aku, Arini!”

Dan aku tercekat. Kalimat itu terucap penuh harap dan penekanan. Aku ... kalah!

“Bilang sama aku harus gimana, Rin!” Dibingkainya lenganku, sembari mengutus tatapan tajam. “Sementara aku tau, perasaan kita masih sama.”

Pada akhir kalimat, Danar membelai pipiku. Hal yang membuat lidahku kelu, dan semua protes yang ingin kuutarakan tertelan begitu saja. Mengapa rasa untuknya begitu dalam?

“Aku nggak bisa, Nar.” Kugigit bibir, sembari menggeleng keras. “Aku nggak bisa jadi pengkhianat.” Air mataku meluncur begitu saja.

“Kamu sudah jadi pengkhianat, waktu memutuskan menikah, Arini.”

“Itu salahmu! Itu karena kamu—“

Tidak selesai kalimat itu, karena lagi-lagi Danar membuatku tak berkutik. Sialnya, seluruh syaraf dalam tubuhku merespons sentuhannya dengan tak tahu diri. Mendamba, penuh kerinduan!

**

Bersambung ....

Related chapters

  • PETAKA REUNI   Berpisah?

    Aku memejam, menikmati guyuran air yang menerpa kepala. Dalam hati berharap agar semua ini hanya mimpi di siang hari, dan tidak benar-benar terjadi. Namun, keberadaanku di sini menyentak kesadaran. Bahwa aku benar-benar ada di situasi amat sialan, yang mempertemukan kembali dengan Danar. Dalam balutan dingin yang mulai menusuk, ingatanku lagi-lagi mengembara jauh. Menyusuri lorong waktu, saat aku dan Danar masih bersama dalam sebuah ikatan. Cinta ... dan apa pun itu.“Udah lama?” Danar melangkah cepat melintasi pintu kaca. Senyuman yang ia tampakkan mampu melebur kerinduan yang menggunung dalam hati ini. “Lama!” Aku mencebik, lalu mendekapnya erat. “Tadi delay sejam. Apa mungkin pesawatnya ngerjain kita?” Danar membalas pelukan, dan mengusap-usap kepalaku. Hal yang selalu berhasil menyusupkan syahdu.Tahu apa yang paling membahagiakan saat menjalani hubungan jarak jauh? Yaitu saat bertemu seperti sekarang. Meski hanya bertemu setahun sekali, bagiku ini lebih dari cukup. Kabar bai

    Last Updated : 2022-10-12
  • PETAKA REUNI   Pengecut

    Alunan musik instrumental memenuhi kabin mobil. Irama saksofon milik Kenny G mendayu-dayu, seakan-akan menggugah segenap memori yang memang tak pernah layu. Hal yang sebelum ini mati-matian kuhapus, nyatanya kembalinhidup, bahkan kian menggebu.Ya ... bagaimanapun pendapat orang tentang bodohnya aku mengendalikan diri atas kisah ini, nyatanya semua rasaku masih tetap terpelihara. Untuk Danar, seperti ada rasa yang enggan menjadi hambat, meski sekian lama terbiar. Berada satu mobil dengan Danar, membuatku deja vu. Aku seperti dilempar pada pertemuan kami terakhir kali, kala mengantarnya ke bandara. Lalu, memoriku memutar waktu, mengajakku menapaki hari ketika melepasnya dulu ...."Kamu ... tahun depan, apa kamu mau liburan ke sini lagi? Mm ... maksud aku, nanti kita bakalan ketemu lagi, 'kan?" Ini memang terdengar bodoh. Namun, entah mengapa semua menjadi canggung setelah insiden sore kemarin. Semalam, Danar tak banyak bicara. Kami makan dalam diam, seakan-akan semua pembahasan tak l

    Last Updated : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Tempat Pulang

    Setelah berhasil menembus kemacetan parah selama beberapa jam, aku dan Danar sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar jam delapan malam. Menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kerja, sungguh membuatku lelah. Ditambah kebersamaan dengan Danar ... maka kerumitan dalam hati dan hidupku lengkaplah sudah. Masih ada dua jam lebih menunggu penerbanganku yang terjadwal pukul 10.40. Tadi, Danar sempat mengajak untuk menghabiskan waktu, sekadar berjalan-jalan atau menikmati salah satu sudut Kota Jakarta. Namun, dengan tegas aku menolak. Bagaimanapun, kami adalah dua orang dewasa yang terikat rasa. Aku tak ingin terjebak rasa, lalu terseret lebih jauh kepada hal yang tak seharusnya. Seperti saat di Taman Safari, Danar benar-benar tak melepasku. Sekilas, kami benar-benar seperti pasangan mesra yang terus bergandengan sepanjang jalan. Aku bahkan lupa, apa dulu dia pernah menggenggam jemariku sehangat ini. Gestur yang ditunjukkannya, benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Namun benar

    Last Updated : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Terjebak Berdua

    "Aku udah bilang, nggak usah jemput." Aku berkata ketika meninggalkan area kedatangan. Arsyl menggamit pinggangku, sementara satu tanganku yang lain memegang buket bunga darinya. Ini adalah penanda bahwa hubungan kami sudah berjalan sepuluh bulan lamanya. Yang bisa kulihat, Arsyl kian bersemangat setiap bulannya ketika merayakan hari spesial kami. Aku masih ingat, di bulan pertama pernikahan, dia hanya memberi sekuntum mawar putih. Bulan berikutnya, dia memberikan beberapa kuntum mawar, salah satu di antaranya berwarna merah. Lalu sekarang, aku menerima buket berukuran besar. Sebagai perempuan, jelas aku bahagia. Meski tak seperti di drama-drama, tetapi yang dilakukan Arsyl cukup membuatku mampu melebarkan tawa. Dia selalu menganggapku ada, meski kami tak sedang bersama. Perhatiannya mengalir, seperti memiliki untaian rasa yang tak pernah ada habisnya, untukku. “Apa kamu pikir, aku tega biarin kamu naik taksi di jam seperti ini?” Dia balas berkata, menoleh sejenak melihatku. “Ta

    Last Updated : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Momongan?

    Aku menatap Arsyl dengan sorot ingin tahu. Datang ke kamarku setelah berpisah lama dan di jam seperti ini, apa yang dia pikirkan?Arsyl menggaruk tengkuk, lalu mendekat setelah menutup pintu. “Sebenernya ... selama kamu nggak ada, mamaku ada di sini. Dan selama itu juga, tiap pulang dari rumah sakit buat istirahat, aku tidur di sini, di kamar kamu.”Ah!“Aku bisa saja tidur di kamar tamu atau di depan TV, Rin. Tapi, aku takut mama curiga. Ah, iya. Aku benar-benar hanya tidur saja, Rin. Nggak gangguin barang-barang kamu.” Dia berkata seperti melakukan pengakuan dosa.Melihat mimik wajah Arsyl, aku tertawa. Bagaimana bisa dia secanggung itu di rumahnya sendiri? Namun, kemudian tawaku pergi, tatkala membayangkan harus berbagi kamar dengannya dalam keadaan sekacau ini.Aku kembali berpikir. Pernah ibuku mendapati Arsyl tidur di ruang keluarga. Saat itu, kami beralasan bahwa dia tidak masuk kamar karena tertidur saat menyaksikan acara olahraga. Namun, jika kejadian serupa terus terulang, b

    Last Updated : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Modus

    Selepas kepergian Arsyl, aku kembali ke dalam. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Namun, kali ini aku melakukan semuanya sembari mengobrol dengan Mama. Dia sedang duduk di ruang TV, merajut sesuatu. Mama Indi adalah perempuan aktif. Sambil duduk begini, dia masih menyibukkan diri dengan merajut. Yang aku tahu, banyak sekali barang di rumahnya adalah hasio buatan sendiri. Taplak meja, gorden, semua hasil rajutannya. Selain itu, Mama Indi juga pandai memasak. Mertuaku ini adalah tipe ibu yang dirindukan anak-anaknya. Bahkan, Arsyl akan makan dengan lahap bila kami berkunjung ke rumah Mama. Biasanya, Mama Indi akan bertanya kami ingin makan apa, lalu menyiapkan dan menyajikannya begitu kami sampai. Di awal menikah dulu, Mama Indi juga mengajariku cara memasak menu kesukaan Arsyl. Tanpa mama tahu, bahwa aku tak pernah bisa memasak apa pun yang diajarkannya. Lebih tepatnya, aku selalu memilih hidangan sederhana untuk dinikmati bersama Arsyl. "Kamu kenapa nggak cari pembantu

    Last Updated : 2022-10-17
  • PETAKA REUNI   Clue

    “Kalian kenapa?” Mama menatap kami bergantian.Apakah kalian pernah melakukan kekonyolan dan tertangkap basah? Jika iya, itulah yang kurasakan sekarang. Sementara itu, Arsyl hanya berdeham beberapa kali. Mungkin saja dia tersedak?“Dari tadi kayak nggak fokus.” Mama masih melihat ke arah kami, seperti seorang detektif.“Nggak, Ma.” Arsyl menjawab singkat. Oh, astaga! Ingin rasanya aku menginjak kakinya, supaya memberikan penjelasan kepada Mama. Kenapa mengarang cerita dan meyakinkan semua orang selalu saja menjadi bagianku?“Kalian mau ngomong sesuatu sama mama? Atau mungkin ... pagi ini ada kabar baik?” Mama meletakkan sendok, dan menumpu dagu pada jemari yang terjalin di meja.Arsyl ... selamatkan aku!“Misalnya Mama mau punya cucu?” Arsyl menimpali. Dia tersenyum ketika berkata demikian, mengingatkanku pada senyumannya semalam. Tunggu. Semalam?Sontak aku menoleh dan melotot ke arah Arsyl. Apa yang dia katakan?“Sabar, Ma. On process!” Arsyl mengedip ke arahku, dan itu sukses mem

    Last Updated : 2022-10-17
  • PETAKA REUNI   Seperti Seharusnya

    Sepulang dari rumah Mama Indi, hidupku dan Arsyl kembali seperti semula. Kami tidur di kamar terpisah, menyapa seperlunya. Tak banyak waktu dan kesempatan yang menjebak kami berdua saja dalam satu ruangan. Meski jujur saja, aku dan Arsyl memang lebih dekat satu sama lain setelah berbagi kamar lebih dari satu minggu. "Kamu berani tidur sendiri, 'kan?" Begitu Arsyl menggodaku kala itu, setibanya kami di rumah. "Kalo kamu takut, aku ada di kamar sebelah." Aku hanya tertawa, lalu mencibirnya. "Kamu lupa, kalo aku pemberani? Setiap malem aku sendirian di rumah, sampe kamu pulang yang seringnya hampir tengah malam. Sebagai istri, aku nggak nyusahin, tauk." Arsyl tertawa kecil. "Ah, iya. Istri. Tapi, sebagai istri, kamu nggak baik-baik amat, Rin."Aku mencebik. Melihatnya tertawa, kemudian aku menyipitkan mata ketika berkata,. "Nggak baik gimana, maksudnya? Aku udah masak, jagain rumah, bersih-bersih--""Ada satu lagi, Rin." Dia menyela. "Apa? Aku kan--""Apa harus aku jelasin?"Seketik

    Last Updated : 2022-10-19

Latest chapter

  • PETAKA REUNI   Terima Kasih (ending)

    “Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh

  • PETAKA REUNI   Hadiah Kedua

    Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit

  • PETAKA REUNI   Tentang Komitmen

    “Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d

  • PETAKA REUNI   Hari-Hari yang Manis

    Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam

  • PETAKA REUNI   Reuni Kedua

    “Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau

  • PETAKA REUNI   Untuk Kamu

    “Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab

  • PETAKA REUNI   Meja Hijau

    “Kamu sudah siap?” Arsyl mendekat, lalu mengelus bahuku. Setelah menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya hari itu datang juga. Meski setengah hati, akhirnya aku menghadiri hari yang sebenarnya ingin aku hindari. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak boleh lari, bukan? Aku tersenyum. Kami sudah sejauh ini dan tidak akan mundur lagi. “Iya.”Arsyl menatap dengan sorot serius. “Kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Rin.” “Aku nggak apa-apa. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu Danar.” Kutatap Arsyl dengan saksama. “Bukannya ... bukannya harusnya aku yang tanya ke kamu? Nggak apa-apa, ‘kan, kalo misalnya aku ketemu sama dia sekali lagi?”Dia menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak ada alasan, buat aku nggak percaya sama kamu.” Usai berkata, Arsyl memeriksa bawaan kami sekali lagi. Dia selalu begitu bila kami akan bepergian. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan memang selalu menjadi tugasnya. Untuk setiap hal, dia memang sangat teliti, apalagi bila itu menyangkut kesehatanku dan calon b

  • PETAKA REUNI   Wanita dari Masa Lalu

    Sejak malam aku pulang dari rumah Ibu sambil menyembunyikan tangis dari Arsyl, aku belum pernah ke sana lagi. Rasanya, aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Lalu, kesibukanku di kantor kujadikan alasan untuk beristirahat di rumah saja di akhir pekan. Selain itu, perut yang sudah membesar memang membatasi tenagaku, tak bisa seperti dulu.Seperti hari ini misalnya. Aku hanya bersantai di kamar meski matahari sudah meninggi. Akhir pekan ini aku sendiri, karena Arsyl ke rumah sakit sejak pagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan, aku tak begitu banyak bertanya. Sempat dia menawarkan agar aku ke rumah Ibu, tetapi aku menolaknya.Tak bosan dengan bahan bacaan yang baru saja kubeli, aku berniat akan menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Beberapa jenis makanan ringan sudah siap di meja, berikut buah potong yang tak pernah ketinggalan. Sering lapar membuat aku berubah menjadi manusia pemakan apa saja. Ah ... apa semua perempuan hamil akan begini di trimester ketiga mereka? Atau hanya

  • PETAKA REUNI   Salahku

    “Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k

DMCA.com Protection Status