Share

Berpisah?

Penulis: Wanti Arifianto
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 15:28:38

Aku memejam, menikmati guyuran air yang menerpa kepala. Dalam hati berharap agar semua ini hanya mimpi di siang hari, dan tidak benar-benar terjadi.

Namun, keberadaanku di sini menyentak kesadaran. Bahwa aku benar-benar ada di situasi amat sialan, yang mempertemukan kembali dengan Danar.

Dalam balutan dingin yang mulai menusuk, ingatanku lagi-lagi mengembara jauh. Menyusuri lorong waktu, saat aku dan Danar masih bersama dalam sebuah ikatan. Cinta ... dan apa pun itu.

“Udah lama?” Danar melangkah cepat melintasi pintu kaca. Senyuman yang ia tampakkan mampu melebur kerinduan yang menggunung dalam hati ini.

“Lama!” Aku mencebik, lalu mendekapnya erat.

“Tadi delay sejam. Apa mungkin pesawatnya ngerjain kita?” Danar membalas pelukan, dan mengusap-usap kepalaku. Hal yang selalu berhasil menyusupkan syahdu.

Tahu apa yang paling membahagiakan saat menjalani hubungan jarak jauh? Yaitu saat bertemu seperti sekarang. Meski hanya bertemu setahun sekali, bagiku ini lebih dari cukup.

Kabar baiknya, kami telah bertunangan saat ia datang tahun lalu, tepat saat hubungan jarak jauh ini menyentuh tahun ketiga.

Dalam setahun, Danar akan menghabiskan tiga sampai empat hari di Makassar. Pernah ia menawarkan agar aku yang gantian berkunjung ke Bali, tapi Ibu tidak mengizinkan.

“Kalo Danar yang ke sini, Ibu izinkan. Tapi, jangan menurunkan martabatmu sebagai perempuan, dengan tinggal ke rumah Danar, kecuali sebagai menantu.”

Begitu kata Ibu, dan aku hanya bisa menurut. Meski dalam hati ingin rasanya ikut Danar sekali-kali. Toh, kami sudah bertunangan. Akan tetapi, tetap saja, Ibu dan Ayah tidak memberiku izin.

“Orang sudah menikah saja bisa cerai, Rin. Apalagi masih tunangan.” Ibu menatapku penuh arti, dan baru kusadari apa maksudnya.

Maka, aku hanya menurut saja. Saat Danar ke Makassar pun, Ibu meminta ia menginap di rumah, daripada di hotel. Kami berinteraksi selayaknya keluarga, tak terjadi apa pun. Sampai kami berada dalam satu kesempatan, berdua dalam keadaan rumah tengah sepi.

“Pulang lusa bisa nggak?” Kutarik tangan Danar, agar ia semakin mengeratkan pelukan. “Masih kangen.” Aku menambahkan.

Saat ini, kami hanya berdua saja di rumah. Saling memeluk, sembari menyaksikan acara televisi di sore yang berhias gerimis.

“Nggak bisa. Kan udah seminggu?”

Aku berbalik, membuat wajah kami semakin dekat. Aku yang memang sejak tadi di pangkuannya mencebik. “Kerja mulu!”

Dikecupnya bibirku sekilas, lalu tersenyum. Matanya menatapku dengan lembut. “Buat masa depan kita juga, ‘kan?”

Merasa dekapan Danar di pinggang kian erat, aku mendekat. Menghapus jarak di antara kami. Berusaha meleburkan rasa yang kian menjajah hati.

Entah berapa lama kami saling menyentuh, tanpa jarak. Sampai usapan lembut Danar membuatku tersentak dan mendorongnya.

“Nggak ... aku ... aku nggak bisa!” ucapku putus-putus, sembari mendekap tubuh. Terusan yang tadi kukenakan, telah teronggok di bawah sofa sekarang. Segera kuraih, kemudian memakainya dengan asal.

“Kenapa?” Danar merengkuh, tapi aku berusaha menjauh.

“Aku nggak bisa.” Aku menggeleng dengan air mata mulai menitik. Kemudian berlari menuju kamar. Meski harus berdamai dengan hati, logika, juga ... hasrat.

Setelah sore itu, semua hal di antara aku dan Danar terasa canggung. Aku yang biasa mendekapnya lebih dulu, entah mengapa disergap rasa yang aneh. Apalagi saat Ibu menatapku, rasa bersalah itu semakin besar.

Sementara itu, Danar terasa mengambil jarak. Apakah ia kecewa karena kemarin kami tidak melakukannya? Tapi ... bukankah kami memang belum boleh melakukannya?

“Tunggu aku.” Danar mengecup keningku lama, kala aku mengantarnya ke bandara. Entah mengapa, melepasnya kali ini terasa begitu berat sekarang.

“Hati-hati.” Kupeluk Danar sekali lagi, sebelum ia memasuki pintu kaca. Masih sempat pula kubalas lambaian tangannya seperti saat ia berpamitan.

Aku tidak pernah menduga, jika itu adalah pelukan terakhir kami. Sebab, setelah hari itu ia tidak pernah lagi datang. Baik sekadar untuk berlibur seperti sebelumnya, pun membalas pesanku.

Mengingat itu semua, lagi-lagi dadaku terasa sesak.

Kuputar kran air, yang semula hangat menjadi dingin. Tak peduli jika besok seluruh tubuh akan dipenuhi ruam merah atau apa pun itu. Kugosok tubuh dan bibir dengan kasar berkali-kali, berharap jejak yang ditinggalkan Danar bisa menghilang. Sesaat kemudian, aku meluruh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

Apa yang baru saja kami lakukan mengingatkanku pada apa yang pernah terjadi dulu. Lagi-lagi, aku nyaris menyerah padanya, pada kelembutannya yang masih sama.

Bagaimana aku bisa membiarkan Danar menyentuhku lagi setelah apa yang dilakukannya? Bagaimana jika tadi aku lepas kendali dan membiarkan hubungan terlarang terjadi antara kami?

Ah ... aku masih beruntung, karena alarm ponsel yang berbunyi. Alarm yang memang di-setting agar berbunyi tepat jam tiga pagi, di hari Senin dan Kamis. Sebab, di dua hari itu Arsyl akan berpuasa, dan aku yang menemaninya bangun.

Arsyl?

Mengingatnya, aku segera bangkit, dan mematikan rinai air dari shower. Gegas kusambar jubah mandi, dan meninggalkan kamar mandi dengan tubuh menggigil. Begitu sampai di luar, segera kusambar ponsel untuk melakukan panggilan.

“Halo?” Terdengar suara serak di seberang sana.

“Kamu baru bangun?” Aku bertanya pelan, berusaha menyembunyikan suara serak dan sengau.

“Kamu kenapa?” Suara di seberang terdengar panik. “Kamu kedinginan?”

“Arsyl, aku—“

“Atau tidur terlambat karena minum kopi?”

“Arsyl—“

“Arini, sudah kubilang, kan—“

“Aku baik-baik saja.” Sialnya, aku terbatuk di akhir kalimat.

“Kamu flu? Sudah kubilang, di sana dingin. Kalau ada kegiatan sampai malam, pakai jaket sama kaus kaki.”

“Sudah jam empat lewat. Nanti kamu terlambat.” Aku mengingatkan. “Ada makaroni di kulkas, kamu tinggal hangatkan saja.”

Lalu, aku mengabsen beberapa hal yang biasanya ia jadikan menu. Entah mengapa, kali ini justru aku yang mencemaskannya. Jika boleh jujur, ingin rasanya pulang dan menemani Arsyl makan. Padahal, biasanya aku akan menunggu dalam kantuk dan sebal.

“Nanti kegiatan kamu mulai jam berapa?” Ia bertanya, terdengar sambil mengunyah.

“Pagi. Kenapa?”

“Kalo gitu, tidur aja lagi. Ntar gantian aku yang bangunin.”

Aku hanya mengangguk, seakan-akan ia ada di sini. Arsyl benar, aku butuh tidur. Sebab, sejak semalam tak sedikit pun mata ini memejam.

“Setelah sarapan, minum obat, baru keluar.”

“Hmm ....” Kujawab seperlunya, sembari membekap mulut dengan telapak tangan. Mendengar suaranya, rasa bersalah menenggelamkanku kian dalam.

“Ya udah. Have a nice day, Honey.”

Kudekap ponsel di dada, dan lagi-lagi air mata ini jatuh tanpa diminta.

**

Kegiatan reuni pagi ini diawali dengan senam di halaman samping hotel. Suasana begitu meriah, tapi aku hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Tak enak rasanya, tampil ke sana dengan mata bengkak dan wajah sembab. Es batu yang kuminta untuk mengompres mata tak bekerja banyak.

'Kamu di mana?'

Begitu pesan dari nomor asing masuk, dan hanya kuabaikan. Meski tak ada nama yang tertera, tapi aku bisa tahu siapa pengirimnya.

'Arini, please jangan bikin aku semakin merasa bersalah. Kamu di mana?'

Lagi, pesan itu kuabaikan. Sebenarnya, mengabaikan Danar seperti ini menyakiti hatiku sendiri. Sebab, pada akhirnya hati yang merindu ini bertemu dengan pemiliknya.

Namun, entah mengapa ada rasa bersalah begitu besar menutupi kebahagiaanku. Juga ... ada luka yang terkoyak kembali kala menatap wajahnya.

Awalnya, kupikir bertemu Danar bisa mengobati luka hati ini karena ulahnya. Nyatanya, dengan bertemu kembali justru menyadarkanku jika luka yang ia tunggalkan cukup dalam. Sedalam kenangan yang hanya manis saat terbiar dalam ingatan, bukan untuk diulang.

Berusaha menjauh dari Danar seperti sekarang, aku merana. Ada kehampaan dalam hatiku, sesuatu yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Kenapa?

Kurapikan syal yang membelit di leher, juga merapatkan jaket demi menghalau dingin. Bogor memang sangat dingin di pagi hari, ditambah hotel yang memang terletak di ketinggian.

Baru saja aku akan beranjak, saat ponselku bergetar. Arsyl. Ia menepati janji membangunkanku. Kami berbincang sebentar, dan seperti biasa ia mengucapkan pesan cinta di akhir panggilan.

Kalimat manis yang kali ini membuatku sesak. Kata sayang yang membiaskan bimbang. Juga ... ungkapan kasih darinya yang membuat satu sisi hatiku kian pedih.

**

Jam delapan pagi kami semua berkumpul untuk sarapan. Ketua panitia memberi instruksi agar kami semua keluar dari kamar, dan berkumpul di halaman membawa serta barang bawaan.

Ini adalah hari terakhir di hotel, sebelum kami melanjutkan kegiatan menuju Taman Safari. Rombongan akan berangkat ke destinasi wisata tersebut, menggunakan bis. Kemudian seluruh rangkaian acara akan berakhir di sana, lalu berpisah di sore hari.

Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit, iring-iringan bis kami sampai di tujuan. Semua orang bersukacita, mana kala berjumpa dengan aneka satwa. Tawa menghias bibir mereka semua, tapi tidak denganku. Dalam keramaian ini, justru sepi yang terasa mendekap jiwa.

“Es krim?” Seseorang menyodorkan es krim cokelat tepat di depan wajahku.

“Danar—“

“Soal semalam, aku minta maaf.” Suaranya terdengar mengiba.

“Please jangan sebut apa pun.” Aku berpaling. Masih berusaha menetralkan debar dalam dada, yang selalu saja seperti ini saat ia menyapa.

“Rin ....”

Kusambar es krim di tangannya, kemudian menjauh secepat mungkin. Aku harus tetap waras, dan menempatkan posisi, bahwa aku tetaplah seorang istri. Akan tetapi, kaki ini terhenti saat ia menarik tanganku.

“Rin, please!”

“Silakan datang kalo kamu sudah punya jawaban untuk semua pertanyaanku. Silakan datang, kalau kamu sudah punya alasan kenapa bisa mengabaikanku selama itu.” Kutatap dia setajam yang aku bisa.

“Kalau tidak, anggap kita nggak pernah ketemu.”

“Apa itu artinya aku masih punya kesempatan?”

“Untuk mengabaikanku sekali lagi?”

Danar melepaskan tanganku. Ia balas menatap dengan kesedihan yang ingin kuabaikan.

“Sejak kamu pergi, bukankah seharusnya kita selesai, Danar?” Suaraku bergetar. “Kenapa kamu datang? Kenapa kamu mewacanakan reuni yang sialan ini?”

“Aku pergi, kalau kamu bilang kita selesai. Tapi satu hal yang aku yakini, perasaan kita masih sama, Rin.”

Kutarik tangan dari genggamannya, lalu menentang tatapan Danar dengan kecewa. Kutunjuk dadanya sembari berkata penuh penekanan. “Jangan jadi pengecut, Danar!”

**

Acara yang seharusnya menyenangkan ini, entah mengapa berubah jadi sebaliknya. Tiap detik terasa begitu lama, dan aku ingin semua ini segera berakhir.

Sementara itu, Danar terus ada di sisiku. Ia tidak peduli, meski teman-teman menggoda dengan siulan, atau meneriakkan nama kami dengan suara sumbang. Orang yang tak paham akan menyangka kami adalah suami istri.

Tibalah kami di acar penutupan. Semua berkumpul di dekat pintu masuk, membentuk lingkaran. Kami saling menautkan tangan, mengucap banyak doa. Berharap satu saat bisa berkumpul lagi.

Kemudian, ketua panitia memimpin doa, dan menutup acara diiringi tepukan meriah. Kami bubar dengan tertib setelah saling berpeluk, lantas menuju bis.

“Aku antar.” Tiba-tiba, Danar ada di belakangku. Yang mengejutkan, ia membawa serta kopor milikku.

“Nggak perlu.” Aku berusaha meraih kopor itu, tapi Danar melangkah santai menuju mobilnya.

“Danar!”

“Nanti aku jelaskan sama kamu.”

Kutarik tangannya, memaksa ia berhenti. “Nggak perlu, aku berubah pikiran!”

“Kamu bilang butuh penjelasan, 'kan?"

"Nggak!"

"Jadi, apa kamu pikir aku akan berhenti setelah sejauh ini, Arini?”

Danar balas menatapu. Tajam, menikam. Dan aku ... lagi-lagi hanya bisa bungkam.

**

Bersambung ....

Bab terkait

  • PETAKA REUNI   Pengecut

    Alunan musik instrumental memenuhi kabin mobil. Irama saksofon milik Kenny G mendayu-dayu, seakan-akan menggugah segenap memori yang memang tak pernah layu. Hal yang sebelum ini mati-matian kuhapus, nyatanya kembalinhidup, bahkan kian menggebu.Ya ... bagaimanapun pendapat orang tentang bodohnya aku mengendalikan diri atas kisah ini, nyatanya semua rasaku masih tetap terpelihara. Untuk Danar, seperti ada rasa yang enggan menjadi hambat, meski sekian lama terbiar. Berada satu mobil dengan Danar, membuatku deja vu. Aku seperti dilempar pada pertemuan kami terakhir kali, kala mengantarnya ke bandara. Lalu, memoriku memutar waktu, mengajakku menapaki hari ketika melepasnya dulu ...."Kamu ... tahun depan, apa kamu mau liburan ke sini lagi? Mm ... maksud aku, nanti kita bakalan ketemu lagi, 'kan?" Ini memang terdengar bodoh. Namun, entah mengapa semua menjadi canggung setelah insiden sore kemarin. Semalam, Danar tak banyak bicara. Kami makan dalam diam, seakan-akan semua pembahasan tak l

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Tempat Pulang

    Setelah berhasil menembus kemacetan parah selama beberapa jam, aku dan Danar sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar jam delapan malam. Menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kerja, sungguh membuatku lelah. Ditambah kebersamaan dengan Danar ... maka kerumitan dalam hati dan hidupku lengkaplah sudah. Masih ada dua jam lebih menunggu penerbanganku yang terjadwal pukul 10.40. Tadi, Danar sempat mengajak untuk menghabiskan waktu, sekadar berjalan-jalan atau menikmati salah satu sudut Kota Jakarta. Namun, dengan tegas aku menolak. Bagaimanapun, kami adalah dua orang dewasa yang terikat rasa. Aku tak ingin terjebak rasa, lalu terseret lebih jauh kepada hal yang tak seharusnya. Seperti saat di Taman Safari, Danar benar-benar tak melepasku. Sekilas, kami benar-benar seperti pasangan mesra yang terus bergandengan sepanjang jalan. Aku bahkan lupa, apa dulu dia pernah menggenggam jemariku sehangat ini. Gestur yang ditunjukkannya, benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Namun benar

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Terjebak Berdua

    "Aku udah bilang, nggak usah jemput." Aku berkata ketika meninggalkan area kedatangan. Arsyl menggamit pinggangku, sementara satu tanganku yang lain memegang buket bunga darinya. Ini adalah penanda bahwa hubungan kami sudah berjalan sepuluh bulan lamanya. Yang bisa kulihat, Arsyl kian bersemangat setiap bulannya ketika merayakan hari spesial kami. Aku masih ingat, di bulan pertama pernikahan, dia hanya memberi sekuntum mawar putih. Bulan berikutnya, dia memberikan beberapa kuntum mawar, salah satu di antaranya berwarna merah. Lalu sekarang, aku menerima buket berukuran besar. Sebagai perempuan, jelas aku bahagia. Meski tak seperti di drama-drama, tetapi yang dilakukan Arsyl cukup membuatku mampu melebarkan tawa. Dia selalu menganggapku ada, meski kami tak sedang bersama. Perhatiannya mengalir, seperti memiliki untaian rasa yang tak pernah ada habisnya, untukku. “Apa kamu pikir, aku tega biarin kamu naik taksi di jam seperti ini?” Dia balas berkata, menoleh sejenak melihatku. “Ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Momongan?

    Aku menatap Arsyl dengan sorot ingin tahu. Datang ke kamarku setelah berpisah lama dan di jam seperti ini, apa yang dia pikirkan?Arsyl menggaruk tengkuk, lalu mendekat setelah menutup pintu. “Sebenernya ... selama kamu nggak ada, mamaku ada di sini. Dan selama itu juga, tiap pulang dari rumah sakit buat istirahat, aku tidur di sini, di kamar kamu.”Ah!“Aku bisa saja tidur di kamar tamu atau di depan TV, Rin. Tapi, aku takut mama curiga. Ah, iya. Aku benar-benar hanya tidur saja, Rin. Nggak gangguin barang-barang kamu.” Dia berkata seperti melakukan pengakuan dosa.Melihat mimik wajah Arsyl, aku tertawa. Bagaimana bisa dia secanggung itu di rumahnya sendiri? Namun, kemudian tawaku pergi, tatkala membayangkan harus berbagi kamar dengannya dalam keadaan sekacau ini.Aku kembali berpikir. Pernah ibuku mendapati Arsyl tidur di ruang keluarga. Saat itu, kami beralasan bahwa dia tidak masuk kamar karena tertidur saat menyaksikan acara olahraga. Namun, jika kejadian serupa terus terulang, b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16
  • PETAKA REUNI   Modus

    Selepas kepergian Arsyl, aku kembali ke dalam. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Namun, kali ini aku melakukan semuanya sembari mengobrol dengan Mama. Dia sedang duduk di ruang TV, merajut sesuatu. Mama Indi adalah perempuan aktif. Sambil duduk begini, dia masih menyibukkan diri dengan merajut. Yang aku tahu, banyak sekali barang di rumahnya adalah hasio buatan sendiri. Taplak meja, gorden, semua hasil rajutannya. Selain itu, Mama Indi juga pandai memasak. Mertuaku ini adalah tipe ibu yang dirindukan anak-anaknya. Bahkan, Arsyl akan makan dengan lahap bila kami berkunjung ke rumah Mama. Biasanya, Mama Indi akan bertanya kami ingin makan apa, lalu menyiapkan dan menyajikannya begitu kami sampai. Di awal menikah dulu, Mama Indi juga mengajariku cara memasak menu kesukaan Arsyl. Tanpa mama tahu, bahwa aku tak pernah bisa memasak apa pun yang diajarkannya. Lebih tepatnya, aku selalu memilih hidangan sederhana untuk dinikmati bersama Arsyl. "Kamu kenapa nggak cari pembantu

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • PETAKA REUNI   Clue

    “Kalian kenapa?” Mama menatap kami bergantian.Apakah kalian pernah melakukan kekonyolan dan tertangkap basah? Jika iya, itulah yang kurasakan sekarang. Sementara itu, Arsyl hanya berdeham beberapa kali. Mungkin saja dia tersedak?“Dari tadi kayak nggak fokus.” Mama masih melihat ke arah kami, seperti seorang detektif.“Nggak, Ma.” Arsyl menjawab singkat. Oh, astaga! Ingin rasanya aku menginjak kakinya, supaya memberikan penjelasan kepada Mama. Kenapa mengarang cerita dan meyakinkan semua orang selalu saja menjadi bagianku?“Kalian mau ngomong sesuatu sama mama? Atau mungkin ... pagi ini ada kabar baik?” Mama meletakkan sendok, dan menumpu dagu pada jemari yang terjalin di meja.Arsyl ... selamatkan aku!“Misalnya Mama mau punya cucu?” Arsyl menimpali. Dia tersenyum ketika berkata demikian, mengingatkanku pada senyumannya semalam. Tunggu. Semalam?Sontak aku menoleh dan melotot ke arah Arsyl. Apa yang dia katakan?“Sabar, Ma. On process!” Arsyl mengedip ke arahku, dan itu sukses mem

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-17
  • PETAKA REUNI   Seperti Seharusnya

    Sepulang dari rumah Mama Indi, hidupku dan Arsyl kembali seperti semula. Kami tidur di kamar terpisah, menyapa seperlunya. Tak banyak waktu dan kesempatan yang menjebak kami berdua saja dalam satu ruangan. Meski jujur saja, aku dan Arsyl memang lebih dekat satu sama lain setelah berbagi kamar lebih dari satu minggu. "Kamu berani tidur sendiri, 'kan?" Begitu Arsyl menggodaku kala itu, setibanya kami di rumah. "Kalo kamu takut, aku ada di kamar sebelah." Aku hanya tertawa, lalu mencibirnya. "Kamu lupa, kalo aku pemberani? Setiap malem aku sendirian di rumah, sampe kamu pulang yang seringnya hampir tengah malam. Sebagai istri, aku nggak nyusahin, tauk." Arsyl tertawa kecil. "Ah, iya. Istri. Tapi, sebagai istri, kamu nggak baik-baik amat, Rin."Aku mencebik. Melihatnya tertawa, kemudian aku menyipitkan mata ketika berkata,. "Nggak baik gimana, maksudnya? Aku udah masak, jagain rumah, bersih-bersih--""Ada satu lagi, Rin." Dia menyela. "Apa? Aku kan--""Apa harus aku jelasin?"Seketik

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • PETAKA REUNI   Kutukan Semesta

    Hari ini, Arsyl berangkat lebih pagi. Sementara itu, aku masih di rumah dan baru akan keluar jam sepuluh nanti. Kantorku akan mengadakan pameran unit sedan keluaran terbaru di sebuah mal, dan aku ditugaskan untuk ke sana menyelesaikan segala sesuatunya. Itu sebabnya, aku tidak begitu buru-buru. Sisa waktu yang masih lumayan lama, membuat aku menyempatkan diri membereskan meja makan lebih dulu. Tak lupa, aku menyiapkan makanan kecil dan buah potong sebagai bekal. Ketika aku masih menyiapkan segala sesuatunya,, sebuah panggilan masuk.Kak Amy?Seketika, jantungku berdetak lebih cepat. Ada apa? Haruskah kuterima panggilan itu? Ah, pikiranku lantas penuh dengan ketakutan-ketakutan yang gagal untuk kusederhanakan.Satu panggilan kubiarkan tanpa terjawab. Dalam hati, aku masih menimbang kalimat apa yang akan aku siapkan, jika mungkin Kak Amy menanyakan hal yang tak ingin kujawab. Namun, akhirnya aku menyapa pada dering keempat.“Halo, Kak. Maaf, tadi aku di kamar mandi. Kenapa?” Aku berbo

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19

Bab terbaru

  • PETAKA REUNI   Terima Kasih (ending)

    “Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh

  • PETAKA REUNI   Hadiah Kedua

    Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit

  • PETAKA REUNI   Tentang Komitmen

    “Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d

  • PETAKA REUNI   Hari-Hari yang Manis

    Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam

  • PETAKA REUNI   Reuni Kedua

    “Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau

  • PETAKA REUNI   Untuk Kamu

    “Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab

  • PETAKA REUNI   Meja Hijau

    “Kamu sudah siap?” Arsyl mendekat, lalu mengelus bahuku. Setelah menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya hari itu datang juga. Meski setengah hati, akhirnya aku menghadiri hari yang sebenarnya ingin aku hindari. Namun, bagaimana lagi? Aku tidak boleh lari, bukan? Aku tersenyum. Kami sudah sejauh ini dan tidak akan mundur lagi. “Iya.”Arsyl menatap dengan sorot serius. “Kalo kamu nggak bisa, nggak apa-apa, Rin.” “Aku nggak apa-apa. Mungkin, ini kali terakhir aku bertemu Danar.” Kutatap Arsyl dengan saksama. “Bukannya ... bukannya harusnya aku yang tanya ke kamu? Nggak apa-apa, ‘kan, kalo misalnya aku ketemu sama dia sekali lagi?”Dia menggeleng, lalu tersenyum. “Nggak ada alasan, buat aku nggak percaya sama kamu.” Usai berkata, Arsyl memeriksa bawaan kami sekali lagi. Dia selalu begitu bila kami akan bepergian. Memastikan tak ada barang yang ketinggalan memang selalu menjadi tugasnya. Untuk setiap hal, dia memang sangat teliti, apalagi bila itu menyangkut kesehatanku dan calon b

  • PETAKA REUNI   Wanita dari Masa Lalu

    Sejak malam aku pulang dari rumah Ibu sambil menyembunyikan tangis dari Arsyl, aku belum pernah ke sana lagi. Rasanya, aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Lalu, kesibukanku di kantor kujadikan alasan untuk beristirahat di rumah saja di akhir pekan. Selain itu, perut yang sudah membesar memang membatasi tenagaku, tak bisa seperti dulu.Seperti hari ini misalnya. Aku hanya bersantai di kamar meski matahari sudah meninggi. Akhir pekan ini aku sendiri, karena Arsyl ke rumah sakit sejak pagi. Entah kesibukan apa yang dia lakukan, aku tak begitu banyak bertanya. Sempat dia menawarkan agar aku ke rumah Ibu, tetapi aku menolaknya.Tak bosan dengan bahan bacaan yang baru saja kubeli, aku berniat akan menghabiskan sepanjang hari dengan membaca. Beberapa jenis makanan ringan sudah siap di meja, berikut buah potong yang tak pernah ketinggalan. Sering lapar membuat aku berubah menjadi manusia pemakan apa saja. Ah ... apa semua perempuan hamil akan begini di trimester ketiga mereka? Atau hanya

  • PETAKA REUNI   Salahku

    “Kok aku agak heran sama Kakak.” Raya maju satu langkah, berdiri di sisi Anita. Dia menoleh sebentar ke arah adik bungsu kami seolah-olah meminta pertimbangan, lalu kembali menatapku dengan sorot setajam sebelumnya. “Susah banget buat move on dari Kak Danag ... apa mungkin ... kalian pernah terlalu jauh?”Untuk beberapa saat, pertanyaan Raya itu berhasil membuat duniaku berhenti. Bukan saja karena terkejut. Lebih dari itu, aku sama sekali tidak menduga bila pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibir adikku sendiri. Bagaimana bisa dia mencurigaiku sampai seperti itu? Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir bahwa aku akan merusak kehormatan keluarga?“Apa karena itu juga, Kakak pergi ke acara reuni tahun lalu?” Raya masih menatapku. Dia seperti lupa caranya berkedip. “Apa mungkin ... di sana terjadi sesuatu di antara kalian, sampai Kakak begini?”Aku masih tak dapat berkata-kata. Sungguh, ini terlalu mengejutkan untuk sebuah kenyataan. Bagaimana mungkin, Raya mengungkit semuanya k

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status