Pukul 21:30 malam,
Setelah menidurkan Nayla dan Naina, mata ini belum kunjung ingin terlelap di peraduan, masih terpekur membisu menatap pada dinding di mana foto pernikahan kami menggantung di sana. Ya, foto yang cepat tercabut dari tempatnya, dan miris sekali menyadari kenyataan bahwa selain kehilangan suami, aku juga kehilangan kamar kami dan secara teknis aku seperti kehilangan tempat di rumah ini. Malam ini tentu saja kami masih bertiga, karena ibu mertua tidak akan membiarkan Mas Haris untuk menghampiriku, dia akan memaksa agar Mas Haris untuk menghabiskan waktu dengan Adelia lalu menghasilkan seorang cucu laki-laki baginya. "Padahal anak laki-laki atau perempuan sama saja jika mereka berbakti dan menjadi anak yang sholeh." Aku menggumam sendiri. Tapi, ya, sudahlah karena ini sudah terjadi mau tidak mau aku harus bertahan untuk menjalaninya, demi kedua anak yang saat ini sedang tertidur lelap di mana masa depan mereka masih panjang, lagi pula belum ada jaminan jika Mas Haris dan Adelia akan hidup bersama selamanya. Ah, entah mengapa aku berharap mereka tidak cocok dan segera bercerai, bukan karena egois tapi lebih kepada apa yang disebut kepentingan dan keinginan untuk memiliki suamiku seutuhnya. Daripada sibuk memikirkan mereka sebaiknya Aku berusaha untuk tidur karena besok pagi aku harus bangun melakukan banyak hal dan menghadapi kenyataan. * Matahari telah bersinar dengan terang ketika aku sedang menjemur pakaian di belakang sekaligus menyapu halaman, tiba-tiba tanpa ku sadari maduku sudah berdiri di belakangku dia terlihat sedang menjemur handuknya, dan menetap untuk beberapa saat kepadaku. Sesaat kami saling melihat dalam situasi canggung mungkin dia sungkan untuk menyapaku dan akupun malas untuk berbicara dengannya. Hingga akhirnya dia memilih melangkah dan masuk kembali ke dalam rumah. "Untuk apa coba dia harus menatapku seperti itu, dasar pelakor," sungutku dengan perasaan tidak rela dan kesal. Aku telah menyiapkan sarapan sejak subuh dan ketika aku sedang sibuk mencuci piring tiba-tiba ibu mertua menyuruh Adelia untuk menyiapkan sarapan Mas Haris. "Del, siapkan sarapan suamimu," suruhnya dengan nada suamimu yang ditekankan seolah Mas Haris adalah milik Adelia saja. "Iya, Bu, baik." Gadis itu kemudian memeriksa panci dan kuali yang ada di kompor yang sudah kusiapkan,ada nasi goreng tapi belum kupindahkan ke atas meja. "Ini ada nasi goreng, Mas Haris mau Bu?" "Oh nasi goreng memang kesukaan Harris," jawab Ibu. "Baiklah kali begitu," jawabnya sambil menyendokkan nasi goreng tersebut lalu meletakkannya piring dan membawanya ke meja. * 5 menit berikutnya Mas Haris datang ke meja makan dengan keadaan yang sudah rapi mengenakan baju kerja. Ia nampak tersenyum dan istri mudanya segera mempersilahkan dia duduk dan menikmati sarapan. Tak lama kemudian mertua laki-laki dan perempuan juga bergabung dan minum teh di meja makan. "Terima kasih," ucap Mas Haris dan gadis itu tersenyum dan tersipu sedang aku semakin sakit hati melirik mereka dari wastafel ini. "Enak ya masakannya," gumam ibu yang ikut sarapan dan memuji makanan yang dihidangkan Adelia. Jelas-jelas aku yang memasaknya. "Ini kamu yang bikin 'kan?" tanya Mas Haris. "Uhm ...." Itu tersenyum namun sedikit memutar bola mata dengan gestur kecentilan. "Dasar tidak tahu malu, di depan mertua saja seperti itu." Aku makin kesal padanya. "Makasih ya, udah disiapkan sarapan." "Makasihnya sama aku Mas, karena aku sejak subuh tadi menyiapkan makanan itu," kataku ketus sambil menghempas piring ke wastafel, sukses membuat ibu mertua dan Adelia terkesiap dan saling memandang. "Ini ... dia yang bikin?" tanya Mas Haris sambil menunjukku, sedang ayah mertua hanya terdiam dan melanjutkan baca koran. "Uhm, mungkin , ah, namanya juga mantu baru, dia canggung Haris," bela Ibu namun sedikit gugup. "Bukannya Mas sudah menandai 'kan ciri khas makananku yang bawang putihnya agak dilebihkan seperti Mas Haris suka," ujarku sambil mendelik. "Maaf Laila, aku tidak bermaksud melupakanmu, tapi ... kenapa kamu tidak bergabung sarapan bersama kita?" Lanjut suamiku itu. "Tidak usah, nanti aku sakit perut," jawabku sambil meletakkan baskom dengan kasar. "Makanya Bu, tidak salah kaprah besok besok sebelum Ibu menguji makanan ibu harus memastikan dulu siapa yang membuatnya," ujarku sambil membawa keranjang cucian ke kamar mandi. "Ya ampun kasar sekali dia," sungut Ibu pelan. Aku tak peduli, yang penting pagi-pagi begini aku sudah membuatnya malu. * "Janganlah kamu membuat malu adik madumu di depan papa mertua dan suami," kata mertua rese yang tiba-tiba mendadak mendatangiku ketika aku sedang memotong sayuran di dapur. Sambil menghela nafas kulirik waktu sudah menemukan dua pukul 11 siang di mana satu jam lagi aku harus menjemput anak-anak. "Kenapa Ibu bisa jadi berat sebelah? ketika dia tidak disalahkan dan ibu terus-menerus mengintimidasi dan menyalahkanku," ujarku protes tapi masih tetap sibuk menyiapkan sayuran. "Aku tidak bermaksud begitu kok, aku menyayangi semua menantuku, buktinya ... andai aku membencimu pasti aku sudah menyuruh Haris untuk menceraikanmu," terangnya. "Apa bedanya Bu, bukannya Mas Haris butuh pelayan untuk menyiapkan semua kebutuhannya?" jawabku Sambil melepas celemek dan meraih kunci motor yang ada di atas kulkas. "Aku akan menjemput Nayla dan Naina ke sekolahnya, untuk sementara aku ingin minta tolong kepada Adelia untuk menggorengkan ikan yang sudah dibumbui di dalam kulkas," kataku sambil membenahi rambut dan meraih helm. "Nggak enak kalau ibu sudah menyuruhnya padahal dia masih baru di rumah ini." Gua melengos dan menghindar dari permintaanku. "Jika wanita itu tidak mau memasak maka kalian akan kelaparan sampai sore nanti," sendiri sampai tersenyum lalu meninggalkannya. "Jangan terlambat pulang Laila aku khawatir Haris dan papamu akan pulang sementara makanan belum siap," pintanya. "Makanya aku sudah bilang Bu, jika Ibu perlu asisten rumah tangga untuk melayani semua penghuni rumah, Ibu dan suami Ibu, kedua anak perempuan ibu dan menantu ibu yang baru, mereka semua butuh dilayani." "Tapi kan ada kamu yang bisa menolong Ibu dan menghandle semua urusan rumah ini," jawabnya sambil memaksakan senyum. "Pertanyaannya, aku pembantu atau menantu, Bu?" Pertanyaanku membuat dia terkejut dan langsung menutup mulutnya. "A ... bukan begitu ... kamu kok ketus banget sih?" Setiap kali dia punya keinginan yang hanya aku yang bisa melakukan, dia selalu berbicara lemah lembut. Tapi ketika dia berada di atas angin aku diperlakukan seperti sampah. "Aku pergi dulu, oh ya, aku ingat ada tugas tambahan untuk anak-anakku jadi sebagai ibu aku harus mendampingi dan mengantar mereka," kataku sambil melambai kecil "Lho tugas rumah gimana?" "Kan ada Adelia." "Tapi dia ...." "Aku juga punya tugas seorang ibu yang bertanggung jawab atas anak-anakku, Bu. Izinkan aku pengurus dan membimbing cucu ibu." Kuhidupkan motor dengan senyum dan merasa sedikit menang atas sikapnya yang sok berkuasa selama ini. Lagipula kenapa juga dia tidak akan membiarkan gadis itu mengerjakan tugas rumah tangga, bukankah posisi kami sama?Khusus hari ini aku membuat masakan spesial kesukaan Mas Haris dan ayah mertua yang baik. Rendang dan sup kikil terhidang lezat di meja, menguarkan aroma yang menggugah selera sekaligus membuat lapar.Tak lupa apa kau hidangkan capcay dan salad buah sebagai pelengkap makan malam keluarga kami, berharap bahwa Mas Haris akan menikmati makanannya dan terkenang pada semua masakan-masakanku, sehingga dia tidak pernah lupa bahwa aku masih di rumah ini untuk melayaninya.Semua makanan sudah siap, namun aku tak melihat seorang pun berada di ruang keluarga, padahal biasanya di jam-jam seperti ini mereka berkumpul menonton TV dan menikmati teh, sambil berdiskusi tentang banyak hal."Kemana mereka?" tanyaku dalam hati."Bu ... Makanannya sudah siap," panggilku."Bentar lagi, Ibu lagi ngerokin Ayahmu," jawab Ibu dari kamarnya."Baiklah."Sambil menunggu semua anggota keluarga aku kemudian menuju ke kamar dan melihat apa yang sedang dilakukan anakku ternyata mereka asyik bermain boneka dan rumah
"Laila kamu lihat pakaianku, nggak?" tanya Mas Haris."Coba lihat di ruang setrika, mungkin kelupaan ditambah aku belum sempat kemarin karena sibuk ngurusin anak-anak jawabku dari dapu"Tidak ada, Bund," teriak Mas Haris dari tempat menyetrika."Loh, bukannya aku sudah mencucinya kemarin, Mas? apakah tidak ada yang mengangkatnya aku menjemput anak-anak ke tempat mengaji?" tanyaku heran sekaligus cemas kalau-kalau masih basah di jemuran."Aku melihat Mbak Adelia mengangkat jemuran kemarin sore ketika hari hujan," ungkap Rini menimpali percakapan kami."Oh, kalau gitu coba tanya Adelia Mas," saranku.Mas Haris langsung menuju ke lantai atas untuk mencari istri mudanya dan bertanya di mana kemeja yang biasa dikenakan di hari Jumat."Katanya nggak tahu." Ia turun dari lantai dua dan menemuiku dengan wajah kebingungan."Nggak mungkin Mas, orang jelas-jelas aku yang nyucinya kemarin."Mas Haris mulai gusar karena matahari sudah tinggi, sementara dia belum menemukan pakaian kerjanya."Ke
*Kurasa aku telah lama berada dan terpendam di rumah mertua hanya menjadi seorang pelayan bagi suami dan mertua sendiri. Aku lupa mempedulikan kebahagiaanku, kepentingan, dan kebutuhanku sendiri.Andai pun aku peduli, aku tidak punya waktu atau biaya untuk memenuhi semuanya, maka dari itu kuputuskan untuk meminta izin kepada Mas Haris untuk membiarkan diri ini bekerja.Namun problem berikutnya timbul ketika aku harus menitipkan anak-anak ke Ibu mertua, sanggupkah dia mengurus kedua anakku dan memastikan bahwa mereka tidak menangis sepanjang hari? Kurasa sulit sekali.Mungkin aku membutuhkan waktu beberapa bulan lagi, hingga anak-anakku bisa mandiri dan tidak sering menangis ketika mendapati aku tidak berada di rumah."Mas boleh tidak aku bekerja?"tanyaku ketika malam ini dia menghampiri kami di kamar."Aku sudah mengatakan dari awal, bahwa gagasan tentang mencari pekerjaan adalah hal yang akan ku tolak Laila," jawabnya tegas."Aku membutuhkan biaya tambahan untuk kebutuhan ku sendi
Gadis itu menyeret langkahnya pelan mencoba mendekatiku aku yang meliriknya dengan ekor mata acuh tak acuh saja dengan kedatangannya, lebih memilih untuk mengurus bunga dan tanaman ibu mertua"Mbak boleh aku bicara denganmu," ucapnya memulai percakapan."Kenapa?!""Mbak boleh aku bicara , tapi ... kali ini lebih pribadi," ucapnya memulai percakapan."Apa yang kau inginkan berbicara denganku?" tanyaku sambil mendelik ke arahnya."Aku hanya ingin kita berdamai dan bersikap seperti saudara." Ia menggenggam tangannya satu sama lain."Bersikap seperti saudara?" tanyaku sambiltertawa getir."Aku hanya ingin hubungan kita baik dan tidak saling memusuhi Mbak," ujarnya sambil menelan ludah."Bagaimana, kau ingin aku bersikap baik sementara aku tidak pernah menginginkan kedatanganmu di dalam rumah tanggaku," jawabku sambil membuang daun daun kuning yang merusak pemandangan.Binar mata wanita itu. menunjukkan sebuah kesedihan dan dia tahu bahwa dia akan gagal membujukku untuk berdamai denganny
"semalam kamu langsung masuk ke kamar kamu dan tidak membantu ibu membereskan piring, akhirnya ibu dan Adelia yang berjibaku dengan banyaknya perabotan kotor dan meja yang berantakan," keluhnya ketika aku sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Entah mengapa pagi-pagi seperti ini dia sudah mengeluh, padahal di jam seperti ini seharusnya kita bersyukur dan berdoa agar kita mendapatkan keberkahan hidup dan rezeki, namun ia malah merusak pagi. "Aku capek Bu, aku lelah dan rasanya tidak enak badan.""Oh begitu ya kenapa kamu nggak bilang dari awal, ibu kan bisa kasih kamu obat," ujarnya sambil tersenyum.Ah, tahu dia hanya berpura-pura mengambil hatiku,aku tahu dia tidak ingin membuat menantu barunya telah sehingga dia harus berpura-pura baik agar aku mau menjadi pembantu mereka. Sayangnya semua jurus-jurus itu sudah tidak mempan lagi kepadaku."Aku juga punya obat di kamar Bu Ibu tidak perlu khawatir." Akupun menyunggingkan senyum."Oh iya kamu tahu kan kalau Adelia adalah menan
Sembari merebahkan diri di peraduan siang hari ini, aku sedikit memijit-mijit pelipis mencoba membuang semua beban pikiran.Aku tahu jika aku terus-menerus seperti ini hanya berada di rumah saja, maka, hidupku tidak akan pernah maju."Aku harus bekerja dan menghasilkan uang sendiri, agar mertua dan Mas Haris tidak memandang aku sebelah mata."Aku teringat bahwa memiliki sebuah kontak nama teman yang bernama Riska dan dia punya sebuah toko dan usaha laundry, kurasa aku bisa minta tolong untuk menjadi salah satu pekerja di tokonya.Jadi, kuambil ponsel dan langsung mencari nama kontak tersebut dan menghubunginya."Halo selamat pagi, assalamualaikum," sapaku ramah."Halo, hai, Laila sudah lama kamu tidak menelponku.""Sebenarnya aku meneleponmu untuk meminta sedikit bantuan Riska," ujarku pelan."Apa itu, Laila?""Aku ingin bekerja di toko atau tempat laundrymu," pintaku."Loh memangnya suamimu akan mengizinkan? Aku tahu kalau kamu sibuk mengurus mertua dan rumahmu, apakah mertuamu tidak
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya mertua laki-laki."Ini Yah, dia mau memaksa masuk kerja," jawab lelaki yang selalu bersembunyi di balik ketiak orang tuanya itu."Aku hanya ingin bekarja, Ayah, aku ingin punya penghasilan," jawabku pelan."Kalo suami tidak mengizinkan, sebaiknya tidak usah," ujar Bapak mertua pelan."Aku harus mengalihkan pikiran dan menghasilkan uang sendiri ayah, lagipula di rumah ini bukan aku sendiri yang mengurusnya," balasku dengan air mata sakit hati.Aku tahu saat ini di dapur sana, gadis sok lugu itu sedang tertawa jahat merayakan prahara yang sedang terjadi.Aku tahu dia puas dan hasratnya ingin mengusirku akan segera terealisasi."Kalo suami dan orang tua keberatan lantas apa yang akan kamu lakukan?"tanya ibu mertua sambil mendelik padaku."Aku tetap akan bekerja karena aku juga berhak untuk menjalani hidup seperti yang aku inginkan.""Kok kamu jatuhnya jadi semaunya gitu?""Aku hanya melakukan apa yang kuanggap baik.""Oh, jika memang begitu maumu, ti
Aku tak menegurnya, tidak ingin membuang waktuku aku tak mau banyak bicara, ia masuk dua jam setelah kejadian tadi ke kamar dan berdiri di depanku namun dia membisu.Aku mengacuhkannya dengan tetap sibuk membimbing anakku belajar sedang dia membisu, mungkin tak menemukan cara memulai kata kata."Apa yang kamu lakukan berdiri di situ?""mencari baju," ujarnya."Mana mungkin baju di dalam lemari akan keluar sendiri kalau tidak dikeluarkan," sindirku."Kalau begitu kamu saja yang mengeluarkannya," pintanya." Maaf aku sedang daring dengan anak-anak sehingga tidak bisa bangun sembarangan meninggalkan video call mereka.""Besok kamu mau pergi kerja lagi ya?""Yah tentu aku tidak akan menyerah di hari pertama," jawabku."aku masih berharap bahwa kamu akan menjadi ibu rumah tangga yang baik untukku tidak perlu merepotkan diri bekerja. Aku masih sanggup menafkahi kalian semua.""Kamu punya istri sekarang Mas, tanggung jawab mu dua kali lipat dari sebelumnya, jika kami makan maka dia pun haru
Sudah sebulan berlalu sejak kejadian Adelia tercebur ke dalam drainase. Aku lega karena tak seorang anggota keluarganya datang mencariku untuk melakukan kekacauan di sini, aku lega sekali. Praktis, hidupku berjaan normal sesudah itu.Suatu pagi di bulan Agustus, ketika aku tengah sibuk menyusun barang dan menyambut pembeli, aku disentak oleh suara lembut seorang wanita di belakangku."Laila ...."Kubalikkan badan dan Ibu medtua berdiri di sana sambil tersenyum padaku, entah apa makna senyumnya itu, yang pasti aku mulai punya prasangka tak baik padanya."Kenapa hanya menatapku, apakah kau tak akan menawarkan keramaha untuk mampir di lapakmu?""Oh, maaf, silakan, Nyonya," jawabk canggung.Aku enggan menyebutnya Ibu, karena dia memang bukan ibuku!"Kenapa kau kaku sekali sekarang Laila?" Dia tersenyum dan duduk di bangku yang berada di dekat tumpukan sabun cuci."Tidak apa-apa, aku hanya menjaga sikap Nyonya, bagaimana kabar Nyonya?," balasku canggung."Alhamdulillah, baik, Haris juga ba
Setelah sidang perceraian kujalani hidup seperti biasa, menjalani bisnis dan membuka lapak sembako di pasar. Anak Nyai yang pernah membantuku di pasar kini memberikan suntikkan modal untuk menyewa lapak.Tak kupikirkan lagi tentang mantan suamiku, seperti apa dan bagaimana keadaannya, aku sudah masa bodoh dengan itu, yang penting bagiku adalah aku dan kedua anakku sehat dan kenyang, tak kurang satu apapun.Hari ini, selagi sibuk melayani pembeli yang cukup ramai, tiba tiba seorang pembeli tak diundang datang, ia berdiri dengan tatapan sinis, melipat kedua tangannya dan tidak memilih apa apa. Aku tahu ia hanya ingin bicara."Astaga tahan sejali Adelia berdiri di sana," gumamku sambil mendengkus kesal,. padahal tepat di depan lapakkku ada jejeran lapak penjual ikan dengan sejuta warna, suara dan aroma.Sebelah kanan lagi ada saluran pembuangan yang cukup besar, dari got itu, aroma tak sedap selalu menguar tajam."Apa yang kamu inginkan datang kemari?" tanya aku ketika pelanggan mulai s
Hal yang paling membuatku malas dalam hidup adalah apa yang akan kulakukan hari ini, menyusuri jalan aspal yang tak begitu besar dengan taman bunga di samping kanan kiri, menuju bangunan berteras luas dengan jajaran pilar besar sebagai penyangga pelataran dan tulisan yang terpampang di sana, pengadilan agama.Mau apa? Bercerailah!Semalam tadi kudapatkan panggilan cerai dari pengadilan, ayah memberi tahu bahwa mulai besok aku harus menghadiri sidang perceraian setelah proses mediasi yang sengaja dilewatkan karena tahu hasilnya akan nihil, alias zonk, kami tak akan mungkin rujuk. Lagipula selesaikan saja episode pahit ini dan tutup, tamatkan cerita rumit ini sampai di sini.Kumasuki ruang sidang dan Mas Haris eusah di sana, masih dengan wajah diperban bekas pukulan batu, ia menatapku tanpa ekspresi apapun sedang Adelia dia sampingnya, seperti biasa selalu bergelayut manja, kepalanya ia topangkan di bahu Mas Haris, oh mesranya pelakor satu itu.Kuambil tempat duduk agak jauh karena mual
Mertua menelpon pikir dia akan murka terhadap apa yang sudah aku lakukan kepada anaknya, ternyata tidak demikian, dia menelpon bicara baik-baik padaku. "Laila, ayah tahu kamu kecewa dan peristiwa ini amat mengejutkan.Tapi tolong pertimbangkan tentang Nayla dan Naina, mereka akan malu jika sampai orang-orang tahu dan mencibir mereka," bujuk ayah melalui telepon. "Aku tahu, maaf ayah, aku harus bagaimana, andai tak membela diri dia akan membunuhku." "Aku akan menjamin Haris, tapi aku akan memberi tahumu sebelumnya, kuharap kau mau ikhlas atas keputusan ayah." "Lalu bagaimana denganku, ini tidak adil." "Aku akan memberimu kompensasi Laila, aku juga akan mengurus perceraian kalian dan memastikan semuanya tuntas tanpa halangan apapun," jawabnya. "Jadi ayah merestui aku bercerai dengan anak ayah?" "Mau bagaimana lagi, jika itu membuat kalian lega." "Ya, benar, kami memang harus berpisah agar semuanya lega dan tuntas." "Baik, aku akan mengurusnya, aku juga akan membebaskan Haris," ja
Kutinggalkan kantor polisi sambil tertawa puas. Aku gembira sekali membuat pucat pasi dan ketakutan.Kembali ke rumah mengendarai motor nmax pemberian ayah mertua yang cicilannya tinggal tiga kali lagi lagi. Tak mengapa, aku bisa melunasinya, dan menjauh pergi, asal perasaan ini tenang.*Kicau burung menyemarakkan suasana pagi yang sudah ku tetapkan sebagai awal dari semangat baru untuk memulai kehidupanku."Jadi bagaimana keputusanmu setelah apa yang terjadi ini," tanya ibu mertua setelah pagi-pagi ini menelponku"Aku tidak berhak mengambil keputusan ibulah yang selama ini selalu mengambil keputusan untuk kami, jadi tentukan saja apa yang ingin Ibu katakan," jawabku."Aku dengar kau dan Harris bertengkar dan saling memukul, tidak bisakah kau mengeluarkan suamimu dari kantor polisi dan mengakhiri semua ini.""Andai saja orang tidak melalui kami tentu aku sudah mati dibunuh suami sendiri.""Kau telah memancing kemarahan suamimu, kau tahu sendiri kan sifat haris sangat keras kenapa kau
Selagi aku sedang memberi keterangan tiba tiba adik ipar dan madu jahatku merangsek ke ruang pemeriksaan dan menyela keterangan dan kuberikan."Apa katanya? tidak benar jika dia mengatakan bahwa Mas Haris yang jahat, selama ini hanya dia yang melawan dan bersikap semaunya." "Alhamdulillah, kebetulan sekali, inilah orang-orang yang suka sekali mengintimidasi saya di sana mereka menyuruh saya tanpa mengenal waktu dan keadaan, mereka memperlakukan saya dengan sangat tidak manusiawi," barat ku yang tak ingin kehilangan kesempatan untuk mempermalukan mereka."Wanita ini hanya playing victim, Pak. Dialah wanita yang paling kembang isi dalam keluarga kami dan dia adalah orang yang paling melawan terhadap ibu mertua," sela adelia."Dan wanita ini adalah sumber kemarahan ibu mertua saya dia selalu mengadu dan menjelek-jelekkan sehingga membuat ibu mertua murka dan bersikap kasar kepada saya," jawabku tak mau kalah."Keterlaluan!" Adelia berteriak."Lihat sikat mereka lihat jika mereka bahkan
Semakin dipikirkan semakin galau, semakin sulit melepas dan menerima takdir. Di titik kebimbangan, aku putuskan untuk berhenti berfikir dan mengambil keputusan final bahwa selepas kepindahan ini aku pun harus mengajukan gugatan perceraian.Mobil pick up pesananku datang, kunaikkan barang ke sana, sementara supir mengangkat barang barang besar "Kabur ke mana kamu?" Tiba-tiba seorang wanita dengan sorot mata berkilat berdiri dihadapanku matanya terlihat sembab kurasa wanita itu baru saja kembali dari kantor polisi dan langsung mampir ke rumahku.""Mau pergi kemanapun aku mau kenapa kau bertanya, Adelia?""Kau ingin mencuci tanganmu setelah berhasil melukai suamiku?""Jangan lupa bahwa orang yang kau sebut suami adalah suamiku juga," desisku geram."Tapi kok sudah melukai nya dasar wanita jahat!" geramnya "Oh, jadi kau mau aku juga melakukan hal yang sama denganmu?"ujarku sambil melirik nya bergantian dengan batu bata yang disusun sebagai taman mini depan rumah.Wanita itu terlihat b
"Apa?" Dia terkejut bukan kepalang "Iya, aku sudah lelah berjuang jadi orang yang selalu melayani keluargamu, mulai hari ini aku ingin lepas dan membuka lembaran baru hidupku. Jangan menemui aku lagi," ungkapku sambil menahan air mata. Di depan semua orang, para pengunjung pantai."Teganya kamu mengatakan itu, harusnya kita duduk bicara sebagai keluarga.""Bagian mana yang kau sebut keluarga, selama ini ita hanya berpura-pura jadi keluarga, dan sebenarnya kita sudah saling menyakiti sejak lama. Aku lelah jadi wanita yang selalu dirugikan namun juga diandalkan dari segi tenaga, dan aku bukan sapi perah!" jawabku membalikkan badan.Kukemasi tikar piknik dan makanan lalu mengajak anak anak pulang tanpa memperdulikannya."Kok, cepat banget pulang," tanya Naila."Kita ada masalah," jawabku sambil menggenggam tangannya."Papa ada apa ini?" Tanya Naina.Suamiku tiba tiba datang dan menyergap Naina dari genggaman tanganku emgan maksud merebutnya."Aku akan membawa anakku pulang," ujarnya de
"Tidak elok rasanya mengatakan kalimat itu kepada ibu," ujarnya yang 2 jam kemudian menelponku."Tidak juga elok menekan seorang menantu yang tidak berdaya untuk menandatangani persetujuan agar dia bersedia dimadu, apalagi aku hanya anak yatim yang miskin. Aku ingin kembali bertanya apakah itu adalah perbuatan yang elok?""Astaghfirullahaladzim, tidak kuduga kau menyimpan dendam begitu lama.""Jangan salah Mas, kesabaran itu ada batasnya, Apa kalian pikir orang yang selalu diam saja adalah orang yang bodoh dan selalu mau dipelintir begitu saja?""Bukan begitu, aku hanya tidak mengira bahwa istriku yang penuh bakti dan cinta adalah wanita pendendam yang ketika membalaskan sakit hati ia akan memukul telak dengan parah?""Iya betul, itu adalah aku, dan apakah kamu pikir setelah ayah menikah dan ibu sakit semuanya akan selesai? aku akan merasa terpuaskan?""Kuharap, iya Laila," jawabnya."Jawabannya tidak, aku bahkan belum balas dendam kepadamu.""Apa yang kau rencanakan untukku, aku adal