Gadis itu menyeret langkahnya pelan mencoba mendekatiku aku yang meliriknya dengan ekor mata acuh tak acuh saja dengan kedatangannya, lebih memilih untuk mengurus bunga dan tanaman ibu mertua
"Mbak boleh aku bicara denganmu," ucapnya memulai percakapan. "Kenapa?!" "Mbak boleh aku bicara , tapi ... kali ini lebih pribadi," ucapnya memulai percakapan. "Apa yang kau inginkan berbicara denganku?" tanyaku sambil mendelik ke arahnya. "Aku hanya ingin kita berdamai dan bersikap seperti saudara." Ia menggenggam tangannya satu sama lain. "Bersikap seperti saudara?" tanyaku sambil tertawa getir. "Aku hanya ingin hubungan kita baik dan tidak saling memusuhi Mbak," ujarnya sambil menelan ludah. "Bagaimana, kau ingin aku bersikap baik sementara aku tidak pernah menginginkan kedatanganmu di dalam rumah tanggaku," jawabku sambil membuang daun daun kuning yang merusak pemandangan. Binar mata wanita itu. menunjukkan sebuah kesedihan dan dia tahu bahwa dia akan gagal membujukku untuk berdamai dengannya. "Apakah kita akan terus-menerus seperti ini ?" tanyanya pelan. "Lantas apa yang kau harapkan?" ucapku dengan nada yang sedikit meninggi. "Seperti tadi, yang aku katakan bahwa aku ingin kita kompak mengurus Mas Haris dan ibu mertua," jawabnya dengan mudahnya. "Uruslah suami dan mertuamu, aku akan mengatur hidupku sendiri, kau tidak perlu mengkhawatirkanku," ucapku sambil meraih selang dan menyalakan keran. "Apa Mbak Laila tidak menerima gagasan itu?" "Menjauh dariku, sebelum aku benar-benar marah!" "Mengapa Mbak begitu bengis terhadapku!" "Karena kau merebut suamiku!" teriakku. "Tapi aku dijodohkan orang tua dengan Mas Haris Mbak, bukan aku yang mau," jawanya mencicit. "Hah, kau dijodohkan dan kau mau? Hahaha, pergi sana, karena aku tidak pernah menyukaimu, jangan pernah mencoba untuk mendekati atau mengajakku bicara lagi karena aku tak menyukainya!" Wanita itu menjauh sambil menyeka sudut matanya pergi ke arah depan rumah dan kabetulan Mas Haris sedang memakirkan mobilnya. Ia terlihat berbicara kepada suaminya tapi aku tidak peduli apa yang mereka bicarakan.tak lama kemudian Mas Haris datang dan menghampiriku sambil menyentuh bahuku. "Laila Aku ingin bicara padamu," ungkapnya pelan. "Silakan saja mas," ujarku cuek. "Aku harap kamu jangan terlalu keras kepada Adelia." Nada bicaranya ia rendahkan. "Kenapa? Kau takut istrimu akan sedih?" "Kamu juga istriku, Laila ...." "Maka kau harus bersikap adil, dan jangan berat sebelah Mas." "Aku tidak ingin kalian saling membenci," jawabnya. "Kondisikan keadaannya kalo begitu, atau ... Andai kamu yang dipoligami, apa yang akan kamu lakukan, bertahan atau lari?" "A-aku ...." Sepertinya dia kehilangan kata-kata, meski tatapan matanya masih lekat di mataku. "Masuklah ke dalam karena aku masih sibuk, " suruhku, dan tanpa menjawab lagi, ia segera masuk ke dalam rumah. * Seusai menyiram tanaman, aku beringsut ke dalam dan mengajak kedua anakku untuk mandi, setelahnya aku kembali ke dapur jntuk menyiapkan makan malam. "Ibu dengar, kamu bertengkar dengan Adelia," ujar ibu saat mendatangiku. Wow, cepat sekali akses informasi rumah ini. "Ibu tahu dari mana?" "Aku ... Anu...." "Apakah Adelia memberitahu kalo aku bertengkar dengannya, ya ampun ...." Aku membalikkan badan lalu melanjutkan mencuci piring. "Jangan seperti itu, Nak," bujuknya. Dan baru kali ini dia mengatakan 'Nak' padaku. "Ibu ... Ibu pernah dipoligami?" "Tidak." "Kalo pernah aku ingin minta wejangan dan kiata agar bertahan dipoligami, tips agar kuat menghadapi orang orang yang pilih kasih," jawabku. "Eh, kamu, kok kamu jadi kurang ajar sih, Laila?" Nada bicaranya sedikit ketus dan sinis. "Ibu ingin aku akur, sementara ibu tahu sendiri jika suami beristri lagi sakitnya luar biasa." "Jangan terlalu didramatisir," sambungnya. "Ibupun jangan main drama, aku kan tidak bertengkar dengannya, wanita itu saja yang cengeng dan suka cari muka," jawabku. "Tapi ... Ibu melihat dia menangis," jawab ibu. "Apa ibu hanya menimbang air mata dia saja? Bagaimana dengan air mataku ketika hari pernikahan Mad Haris." Kini ia hanya mendelik sedikit lalu menjauhiku dan pergi entah kemana. Seusai masak aku segera mengatur piring di meja dan menghidangkannya. Tak lupa kutulis sebuah pesan di kertas karton besar bahwa itu adalah 'Masakan Laila' dan kuletakkan di tengah meja, aku muak ada orang yang mengakui hasil masakanku sebagai masakannya. "Kenapa harus ditulis begitu?" tanya Bapak mertua ketika ia melewati ruang makan. "Hanya ingin tulis saja, jadi orang tahu kalo ini masakanku, Ayah," jawabku. "Memangnya selama ini ada yang lain masak di sini?" "Ada ibu, aku, dan Adelia, kami semua bertugas di dapur," jawabku sambil menjauhi meja, terlihat dari pantulan kaca lemari ayah mertua menggaruk kepalanya tanda tak habis pikir. ** Ketika jam makan malam, aku masih sakit hati pada mereka semua sehingga ketika ibu mertua menyuruhku untuk memanggil semua oabg aku cemberut saja dan memanggil mereka. Ketika mulai makan dan un akuntisak bergabung, aku memilih duduk di dapur bersama kedua anakku. "Kamu gak makan sama kami?" "Ga usah, nanti ada yang alergi," jawabku ketus. "Tapi gak biasanya begini," jawabnya agak ragu "Kalo begitu biasakan begini! Biar terbiasa, di meja makan sana ada pemandangan indah istri Sholehah, ngapain di dapur sini dengan gembel busuk sepertiku," ujarku sarkas. "Tapi aku tak menganggapmu begitu," jawabnya pelan. "Masa bodoh! Menjauhlah, aku sedang makan dan tidak mau diganggu siapapun!" Dengan meneguk saliva dan menggeleng pelan, Mas Haris menjauhiku. Ia kembali ke kursinya dan melanjutkan makan. Mereka yang makan di meja makan terdengar hening dan itu aneh karena biasanya meja makan selalu ramai, penuh dengan canda dan cerita. "Seusai makan aku langsung ke kamar belakang, kamar yang telah disulap yang sebelumnya adalah gudang. Biasanya aku akan menunggu mereka selesai makan, baru akan membereskan meja lalu mencuci piring kemudian beristirahat. Namun, kali ini, aku hanya meninggalnya begitu saja. Aku ingin tahu apa istri Mas Haris peka dengan tugas rumah atau tidak. Aku tahu ketika aku melenggang ke kamar mereka semua melihat dan membicarakanku, hatiku memang terluka tapi aku menelan saja pahit getir semua takdir ini. Tok ... Tok ... Pintu diketuk ketika aku hampir saja memejamkan mata. Mas Haris muncul dari balik pintu dan duduk di sisi pembaringanku. "Laila ... Maafkan aku ya," ujarnya pelan sambil menyentuh punggung tanganku. "Untuk apa kamu minta maaf, apa kamu merasa setelah minta maaf semua akan baik-baik saja?" "Tidak." Ia menunduk pelan. "Pergilah aku mau istirahat, kebetulan juga anak anak sudah tidur," jawabku. "Laila ... Aku ingin kau kembali seperti semula, menjadi istri yang baik dan perhatian" ujarnya pelan. "Kalo begitu, kembalikan keadaan kondusif seperti dulu, jangan bawa istri baru!" "Maafkan aku ...." Aku hanya menghela napas sambik membalikan badan. "Aku tahu kau terluka ...." "Lantas ... Apa yang bisa kamu lakukan untuk menyembuhkan luka? Kalo kamu sekeluarga terus merasik dan membuatku tidak nyaman, maaf aku minta cerai saja!" "Memangnya setelah cerai semuanya akan baik baik saja?" "Kau pikir bumi Allah itu sempit, kamu pikir aku tidak bisa hidup tanpa kamu?!" Ingin rasanya aku berkata kasar dan mengumpatnya. Ia tak menjawab, seperti ibunya ia hanya pergi dan kembali menutup pintu kamar lagi. Next."semalam kamu langsung masuk ke kamar kamu dan tidak membantu ibu membereskan piring, akhirnya ibu dan Adelia yang berjibaku dengan banyaknya perabotan kotor dan meja yang berantakan," keluhnya ketika aku sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Entah mengapa pagi-pagi seperti ini dia sudah mengeluh, padahal di jam seperti ini seharusnya kita bersyukur dan berdoa agar kita mendapatkan keberkahan hidup dan rezeki, namun ia malah merusak pagi. "Aku capek Bu, aku lelah dan rasanya tidak enak badan.""Oh begitu ya kenapa kamu nggak bilang dari awal, ibu kan bisa kasih kamu obat," ujarnya sambil tersenyum.Ah, tahu dia hanya berpura-pura mengambil hatiku,aku tahu dia tidak ingin membuat menantu barunya telah sehingga dia harus berpura-pura baik agar aku mau menjadi pembantu mereka. Sayangnya semua jurus-jurus itu sudah tidak mempan lagi kepadaku."Aku juga punya obat di kamar Bu Ibu tidak perlu khawatir." Akupun menyunggingkan senyum."Oh iya kamu tahu kan kalau Adelia adalah menan
Sembari merebahkan diri di peraduan siang hari ini, aku sedikit memijit-mijit pelipis mencoba membuang semua beban pikiran.Aku tahu jika aku terus-menerus seperti ini hanya berada di rumah saja, maka, hidupku tidak akan pernah maju."Aku harus bekerja dan menghasilkan uang sendiri, agar mertua dan Mas Haris tidak memandang aku sebelah mata."Aku teringat bahwa memiliki sebuah kontak nama teman yang bernama Riska dan dia punya sebuah toko dan usaha laundry, kurasa aku bisa minta tolong untuk menjadi salah satu pekerja di tokonya.Jadi, kuambil ponsel dan langsung mencari nama kontak tersebut dan menghubunginya."Halo selamat pagi, assalamualaikum," sapaku ramah."Halo, hai, Laila sudah lama kamu tidak menelponku.""Sebenarnya aku meneleponmu untuk meminta sedikit bantuan Riska," ujarku pelan."Apa itu, Laila?""Aku ingin bekerja di toko atau tempat laundrymu," pintaku."Loh memangnya suamimu akan mengizinkan? Aku tahu kalau kamu sibuk mengurus mertua dan rumahmu, apakah mertuamu tidak
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya mertua laki-laki."Ini Yah, dia mau memaksa masuk kerja," jawab lelaki yang selalu bersembunyi di balik ketiak orang tuanya itu."Aku hanya ingin bekarja, Ayah, aku ingin punya penghasilan," jawabku pelan."Kalo suami tidak mengizinkan, sebaiknya tidak usah," ujar Bapak mertua pelan."Aku harus mengalihkan pikiran dan menghasilkan uang sendiri ayah, lagipula di rumah ini bukan aku sendiri yang mengurusnya," balasku dengan air mata sakit hati.Aku tahu saat ini di dapur sana, gadis sok lugu itu sedang tertawa jahat merayakan prahara yang sedang terjadi.Aku tahu dia puas dan hasratnya ingin mengusirku akan segera terealisasi."Kalo suami dan orang tua keberatan lantas apa yang akan kamu lakukan?"tanya ibu mertua sambil mendelik padaku."Aku tetap akan bekerja karena aku juga berhak untuk menjalani hidup seperti yang aku inginkan.""Kok kamu jatuhnya jadi semaunya gitu?""Aku hanya melakukan apa yang kuanggap baik.""Oh, jika memang begitu maumu, ti
Aku tak menegurnya, tidak ingin membuang waktuku aku tak mau banyak bicara, ia masuk dua jam setelah kejadian tadi ke kamar dan berdiri di depanku namun dia membisu.Aku mengacuhkannya dengan tetap sibuk membimbing anakku belajar sedang dia membisu, mungkin tak menemukan cara memulai kata kata."Apa yang kamu lakukan berdiri di situ?""mencari baju," ujarnya."Mana mungkin baju di dalam lemari akan keluar sendiri kalau tidak dikeluarkan," sindirku."Kalau begitu kamu saja yang mengeluarkannya," pintanya." Maaf aku sedang daring dengan anak-anak sehingga tidak bisa bangun sembarangan meninggalkan video call mereka.""Besok kamu mau pergi kerja lagi ya?""Yah tentu aku tidak akan menyerah di hari pertama," jawabku."aku masih berharap bahwa kamu akan menjadi ibu rumah tangga yang baik untukku tidak perlu merepotkan diri bekerja. Aku masih sanggup menafkahi kalian semua.""Kamu punya istri sekarang Mas, tanggung jawab mu dua kali lipat dari sebelumnya, jika kami makan maka dia pun haru
Hari ini tanpa kusangka Mas Haris datang menjemput ke tempat kerja aku di laundry,bukan hanya datang sendiri tapi dia juga membawa anak-anakku yang ketika bertemu denganku mereka sangat gembira dan langsung memeluk seolah sudah lama tidak berjumpa."Kok tumben, Mas datang jemput aku?" "Pengen aja jemput kamu," balasnya."Iya tapi jarak dari sini ke rumah kan dekat, apa nggak lebay?""Jemput istri sendiri kok lebay, sih?" Ia balik tertawa sambil menggelengkan kepala."Mama kita mau jalan-jalan," kata Nayla dengan bersemangat."Iya, Kita mau ke taman bermain," seru Naina bertepuj tangan dan setengah melompat."Tapi mama masih belum mandi yang belum ganti baju," ujarku ragu."Apa-apa, toh, orang lain tidak akan memperhatikan penampilanmu, yang memperhatikan kamu pastinya hanya aku," ucap Mas haris sambil mengerlingkan mata."Mas ... Kamu ada apa sih? tidakkah Adel akan cemburu kalau kamu seperti ini?""Aku sudah menghabiskan 3 minggu berbulan madu dengannya, kamu juga istriku dan berhak
Jadi aku memutuskan untuk membawa kedua anakku ke daerah dekat pasar Mangga, di sana aku berencana untuk mengontrak sebuah kamar kecil, lalu mencari pekerjaan yang bisa menyambung hidupku.Entah bekerja di warung makan, jadi tukang bersihkan ikan, tukang es atau apa saja, yang bisa kulakukan di pasar nanti. Malam harinya aku akan menjajakan kopi jadi kurasa aku pasti bisa membiayai sekolah Naila dan Naina.Sesampai di pasar setelah naik angkot, kami turun dan masuk ke pelataran pasar yang sepi, kududukkan kedua anakku di sana dan menyuruh mereka untuk menunggu."Bentar ya, Ibu cari pemilik kontrakannya, biasanya jual kopi di sekitar sini," ujarku pada kedua anakku."Ya, Ma, tapi jangan lama-lama ya," jawab mereka. Kuikuti jalan lurus lorong pasar lalu ke sebelah kiri, melewati peti peti barang yang berjejeran, sedikit ke belakang ada warung kopi yang cukup ramai dan aku bertemu Nyai Tima di sana.Setelah duduk dan dipersilakan minum aku mulai bicara,"Nyai, aku ingin mengontrak salah
Pagi yang damai ketika aku sedang sibuk di dapur Nyai, sebuah mobil berhenti di depan warung kopi yang sudah berdiri sejak 15 tahun itu.Ketika si pengemudi turun hatiku langsung berdebar dan jantungku seolah berhenti berdetak karena di sana ada Mas Haris dan ibu mertua yang terlihat menatap bingung dan seolah mencari-cari keberadaanku, untuk apa mereka datang dan meluangkan waktu untuk mencariku, apakah mereka akan melempar surat cerai ke hadapanku sekarang?'Permisi, adakah saya boleh bertanya?" tanya Mas Haris pada Nyai yang kebetulan duduk di meja depan."Iya, ada apa," tanya Nyai sambil menyulut batang rokoknya."Apakah saya boleh bertemu Laila?""Tahu dari mana kalo wanita itu ada di sini?""Kami bertanya pada orang yang berjaga di pos depn pasar," jawab Mas Haris."Bagaimana kalo aku menolak mempertemukanmu?" aku mencuri dengar percakapan mereka dari dapr warung kopi."Sungguh, saya mohon kesempatan, saya mohon," pinta Mas Haris."Atas dasar apa aku akan menyetujuinya? kamu pr
"Mau apa datang kemari?" tanyaku kepada gadis yang telah merebut suamiku itu."Kumohon Laila Aku ingin kalian berdamai dan bisa kompak bernama," pinta Mas Haris kepadaku sembari melindungi wanita itu di belakangnya."Mas Haris hanya karena aku mau dibawa olehmu kembali, bukan berarti aku akan membuka hati untuk istri barumu itu," jawabku mendelik."Aku ingin kamu berdamai dengannya sebagai bentuk bahwa kamu masih mencintaiku sebagai suami," sambungnya.Apa dia bilang? Dia ingin aku membuktikan baktiku dengan menerima Adelia dan membuktikan penghormatan kepadanya?"Jangan konyol Mas, aku bahkan rela minggat kedua kalinya jika kamu memaksa aku," ancamku."Laila, aku telah membujuk Adelia untuk mengalah kepadamu sebagai kakak madu, aku mohon kau bisa membuka hati, Sayang," bujuknya."Ya ampun haruskah aku termakan bujukanmu." Aku mendengkus dan masuk ke dalan rumah.Tak disangka mereka menyusul dan duduk di kursi ruang tamu yang memang telah disediakan oleh pemilik rumah."Kenapa kalia
Sudah sebulan berlalu sejak kejadian Adelia tercebur ke dalam drainase. Aku lega karena tak seorang anggota keluarganya datang mencariku untuk melakukan kekacauan di sini, aku lega sekali. Praktis, hidupku berjaan normal sesudah itu.Suatu pagi di bulan Agustus, ketika aku tengah sibuk menyusun barang dan menyambut pembeli, aku disentak oleh suara lembut seorang wanita di belakangku."Laila ...."Kubalikkan badan dan Ibu medtua berdiri di sana sambil tersenyum padaku, entah apa makna senyumnya itu, yang pasti aku mulai punya prasangka tak baik padanya."Kenapa hanya menatapku, apakah kau tak akan menawarkan keramaha untuk mampir di lapakmu?""Oh, maaf, silakan, Nyonya," jawabk canggung.Aku enggan menyebutnya Ibu, karena dia memang bukan ibuku!"Kenapa kau kaku sekali sekarang Laila?" Dia tersenyum dan duduk di bangku yang berada di dekat tumpukan sabun cuci."Tidak apa-apa, aku hanya menjaga sikap Nyonya, bagaimana kabar Nyonya?," balasku canggung."Alhamdulillah, baik, Haris juga ba
Setelah sidang perceraian kujalani hidup seperti biasa, menjalani bisnis dan membuka lapak sembako di pasar. Anak Nyai yang pernah membantuku di pasar kini memberikan suntikkan modal untuk menyewa lapak.Tak kupikirkan lagi tentang mantan suamiku, seperti apa dan bagaimana keadaannya, aku sudah masa bodoh dengan itu, yang penting bagiku adalah aku dan kedua anakku sehat dan kenyang, tak kurang satu apapun.Hari ini, selagi sibuk melayani pembeli yang cukup ramai, tiba tiba seorang pembeli tak diundang datang, ia berdiri dengan tatapan sinis, melipat kedua tangannya dan tidak memilih apa apa. Aku tahu ia hanya ingin bicara."Astaga tahan sejali Adelia berdiri di sana," gumamku sambil mendengkus kesal,. padahal tepat di depan lapakkku ada jejeran lapak penjual ikan dengan sejuta warna, suara dan aroma.Sebelah kanan lagi ada saluran pembuangan yang cukup besar, dari got itu, aroma tak sedap selalu menguar tajam."Apa yang kamu inginkan datang kemari?" tanya aku ketika pelanggan mulai s
Hal yang paling membuatku malas dalam hidup adalah apa yang akan kulakukan hari ini, menyusuri jalan aspal yang tak begitu besar dengan taman bunga di samping kanan kiri, menuju bangunan berteras luas dengan jajaran pilar besar sebagai penyangga pelataran dan tulisan yang terpampang di sana, pengadilan agama.Mau apa? Bercerailah!Semalam tadi kudapatkan panggilan cerai dari pengadilan, ayah memberi tahu bahwa mulai besok aku harus menghadiri sidang perceraian setelah proses mediasi yang sengaja dilewatkan karena tahu hasilnya akan nihil, alias zonk, kami tak akan mungkin rujuk. Lagipula selesaikan saja episode pahit ini dan tutup, tamatkan cerita rumit ini sampai di sini.Kumasuki ruang sidang dan Mas Haris eusah di sana, masih dengan wajah diperban bekas pukulan batu, ia menatapku tanpa ekspresi apapun sedang Adelia dia sampingnya, seperti biasa selalu bergelayut manja, kepalanya ia topangkan di bahu Mas Haris, oh mesranya pelakor satu itu.Kuambil tempat duduk agak jauh karena mual
Mertua menelpon pikir dia akan murka terhadap apa yang sudah aku lakukan kepada anaknya, ternyata tidak demikian, dia menelpon bicara baik-baik padaku. "Laila, ayah tahu kamu kecewa dan peristiwa ini amat mengejutkan.Tapi tolong pertimbangkan tentang Nayla dan Naina, mereka akan malu jika sampai orang-orang tahu dan mencibir mereka," bujuk ayah melalui telepon. "Aku tahu, maaf ayah, aku harus bagaimana, andai tak membela diri dia akan membunuhku." "Aku akan menjamin Haris, tapi aku akan memberi tahumu sebelumnya, kuharap kau mau ikhlas atas keputusan ayah." "Lalu bagaimana denganku, ini tidak adil." "Aku akan memberimu kompensasi Laila, aku juga akan mengurus perceraian kalian dan memastikan semuanya tuntas tanpa halangan apapun," jawabnya. "Jadi ayah merestui aku bercerai dengan anak ayah?" "Mau bagaimana lagi, jika itu membuat kalian lega." "Ya, benar, kami memang harus berpisah agar semuanya lega dan tuntas." "Baik, aku akan mengurusnya, aku juga akan membebaskan Haris," ja
Kutinggalkan kantor polisi sambil tertawa puas. Aku gembira sekali membuat pucat pasi dan ketakutan.Kembali ke rumah mengendarai motor nmax pemberian ayah mertua yang cicilannya tinggal tiga kali lagi lagi. Tak mengapa, aku bisa melunasinya, dan menjauh pergi, asal perasaan ini tenang.*Kicau burung menyemarakkan suasana pagi yang sudah ku tetapkan sebagai awal dari semangat baru untuk memulai kehidupanku."Jadi bagaimana keputusanmu setelah apa yang terjadi ini," tanya ibu mertua setelah pagi-pagi ini menelponku"Aku tidak berhak mengambil keputusan ibulah yang selama ini selalu mengambil keputusan untuk kami, jadi tentukan saja apa yang ingin Ibu katakan," jawabku."Aku dengar kau dan Harris bertengkar dan saling memukul, tidak bisakah kau mengeluarkan suamimu dari kantor polisi dan mengakhiri semua ini.""Andai saja orang tidak melalui kami tentu aku sudah mati dibunuh suami sendiri.""Kau telah memancing kemarahan suamimu, kau tahu sendiri kan sifat haris sangat keras kenapa kau
Selagi aku sedang memberi keterangan tiba tiba adik ipar dan madu jahatku merangsek ke ruang pemeriksaan dan menyela keterangan dan kuberikan."Apa katanya? tidak benar jika dia mengatakan bahwa Mas Haris yang jahat, selama ini hanya dia yang melawan dan bersikap semaunya." "Alhamdulillah, kebetulan sekali, inilah orang-orang yang suka sekali mengintimidasi saya di sana mereka menyuruh saya tanpa mengenal waktu dan keadaan, mereka memperlakukan saya dengan sangat tidak manusiawi," barat ku yang tak ingin kehilangan kesempatan untuk mempermalukan mereka."Wanita ini hanya playing victim, Pak. Dialah wanita yang paling kembang isi dalam keluarga kami dan dia adalah orang yang paling melawan terhadap ibu mertua," sela adelia."Dan wanita ini adalah sumber kemarahan ibu mertua saya dia selalu mengadu dan menjelek-jelekkan sehingga membuat ibu mertua murka dan bersikap kasar kepada saya," jawabku tak mau kalah."Keterlaluan!" Adelia berteriak."Lihat sikat mereka lihat jika mereka bahkan
Semakin dipikirkan semakin galau, semakin sulit melepas dan menerima takdir. Di titik kebimbangan, aku putuskan untuk berhenti berfikir dan mengambil keputusan final bahwa selepas kepindahan ini aku pun harus mengajukan gugatan perceraian.Mobil pick up pesananku datang, kunaikkan barang ke sana, sementara supir mengangkat barang barang besar "Kabur ke mana kamu?" Tiba-tiba seorang wanita dengan sorot mata berkilat berdiri dihadapanku matanya terlihat sembab kurasa wanita itu baru saja kembali dari kantor polisi dan langsung mampir ke rumahku.""Mau pergi kemanapun aku mau kenapa kau bertanya, Adelia?""Kau ingin mencuci tanganmu setelah berhasil melukai suamiku?""Jangan lupa bahwa orang yang kau sebut suami adalah suamiku juga," desisku geram."Tapi kok sudah melukai nya dasar wanita jahat!" geramnya "Oh, jadi kau mau aku juga melakukan hal yang sama denganmu?"ujarku sambil melirik nya bergantian dengan batu bata yang disusun sebagai taman mini depan rumah.Wanita itu terlihat b
"Apa?" Dia terkejut bukan kepalang "Iya, aku sudah lelah berjuang jadi orang yang selalu melayani keluargamu, mulai hari ini aku ingin lepas dan membuka lembaran baru hidupku. Jangan menemui aku lagi," ungkapku sambil menahan air mata. Di depan semua orang, para pengunjung pantai."Teganya kamu mengatakan itu, harusnya kita duduk bicara sebagai keluarga.""Bagian mana yang kau sebut keluarga, selama ini ita hanya berpura-pura jadi keluarga, dan sebenarnya kita sudah saling menyakiti sejak lama. Aku lelah jadi wanita yang selalu dirugikan namun juga diandalkan dari segi tenaga, dan aku bukan sapi perah!" jawabku membalikkan badan.Kukemasi tikar piknik dan makanan lalu mengajak anak anak pulang tanpa memperdulikannya."Kok, cepat banget pulang," tanya Naila."Kita ada masalah," jawabku sambil menggenggam tangannya."Papa ada apa ini?" Tanya Naina.Suamiku tiba tiba datang dan menyergap Naina dari genggaman tanganku emgan maksud merebutnya."Aku akan membawa anakku pulang," ujarnya de
"Tidak elok rasanya mengatakan kalimat itu kepada ibu," ujarnya yang 2 jam kemudian menelponku."Tidak juga elok menekan seorang menantu yang tidak berdaya untuk menandatangani persetujuan agar dia bersedia dimadu, apalagi aku hanya anak yatim yang miskin. Aku ingin kembali bertanya apakah itu adalah perbuatan yang elok?""Astaghfirullahaladzim, tidak kuduga kau menyimpan dendam begitu lama.""Jangan salah Mas, kesabaran itu ada batasnya, Apa kalian pikir orang yang selalu diam saja adalah orang yang bodoh dan selalu mau dipelintir begitu saja?""Bukan begitu, aku hanya tidak mengira bahwa istriku yang penuh bakti dan cinta adalah wanita pendendam yang ketika membalaskan sakit hati ia akan memukul telak dengan parah?""Iya betul, itu adalah aku, dan apakah kamu pikir setelah ayah menikah dan ibu sakit semuanya akan selesai? aku akan merasa terpuaskan?""Kuharap, iya Laila," jawabnya."Jawabannya tidak, aku bahkan belum balas dendam kepadamu.""Apa yang kau rencanakan untukku, aku adal