Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Jalan raya yang berdebu serta kemacetan yang hakiki tidak menghalangi Melodi Celena Wijaya untuk terus melajukan sepeda motor merah matic kesayangannya membelah jalan raya yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan saling berebut mendahului."Sialan! Macet lagi!" gumam Melodi dari balik helmnya. "Gue bisa terlambat datang ke acara ulang tahun si Lastri kalau begini caranya."Melodi pun menghentikan sepeda motornya ketika tepat berada di bawah lampu merah. "Apes bener hidup gue, tadi macet sekarang lampu merah."Dengan menghela napas panjang, perempuan itu duduk dengan penuh kesabaran di atas sepeda motor merah matic kesayangannya, menunggu lampu merah berganti hijau. "Lama banget nih lampu," gerutu Melodi lantas melihat ke sekelilingnya, nampak beberapa kendaraan sepeda motor dan juga beberapa mobil di belakangnya. Tak jauh darinya, seorang pemilik mobil Fortuner hitam nampak duduk di belakang sedang memperhatikan Melodi."Tuan Cleon," panggil Mang Sugeng. Sopir pribadinya itu menatap
Setelah mengendalikan diri, Cleon pun melangkah santai menuju meja yang sudah menjadi tempat favoritnya. "Selamat siang Tuan Cleon." Seorang pelayan wanita dengan seragam putih hitam berdiri di depan meja memberikan buku menu."Pesan seperti biasa," ucap Cleon tanpa melihat buku menu."Iya Tuan." Pelayan itu langsung pergi, sudah tahu menu apa saja yang selalu dipesan Cleon karena seringnya makan di restoran mereka.Di ruangan yang lain, tapi masih di restoran yang sama, Melodi Celena Wijaya sedang merayakan ulang tahun sahabatnya Lastri bersama teman-temannya yang lain."Lastri, sekarang loe sudah 17 tahun, berarti boleh dong loe pacaran?" tanya Vina."Kagak tahu, orangtua gue sangat ketat urusan yang begitu mah. Ini saja, Ibu sampai tanya siapa yang akan diundang," jawab Lastri."Baguslah itu," timpal Melodi. "Memang harus begitu, secara loe itu anak tunggal jadi tentu saja orangtuamu pasti sangat khawatir.""Loe mau tidak jadi cewek gue," celetuk Jefri, sang ustadz.Lastri langsu
Melodi melihat nanar ponsel rusak yang ada di tangannya. "Gue harus bertahun-tahun menabung agar bisa membeli ponsel ini, tapi sekarang malah hancur dalam hitungan detik.""Lalu harus bagaimana lagi?! Loe yang salah," ucap Vina ikut merasakan kesedihan Melodi, tapi mau bagaimana lagi.Cleon menatap Melodi yang tertunduk melihat ponselnya dengan hati bicara sendiri. "Gadis ini, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana?"Wajah sedih terlihat diraut muka Melodi. "Ya sudahlah, benar apa yang loe bilang, ini sudah nasibku.""Nasi sudah menjadi bubur. Mudah-mudahan loe ketiban rejeki nomplok bisa beli ponsel baru." Vina memberi semangat.Melodi tersenyum kecut, ponsel yang telah hancur dimasukkan dalam tas kecilnya lalu melihat Cleon. "Kalau kamu mau, aku bisa mengganti ponselmu," ucap Cleon tersenyum.Vina menyenggol lengan Melodi. "Mau, mau Melodi. Jawab mau.""By the way, namaku Cleon Helios Lewis." Cleon mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.Vina dengan antusias segera meny
Ibu melihat Melodi. "Tapi apa? Bicara itu yang jelas."Melodi garuk-garuk kepala tidak gatal dengan hati bicara sendiri. "Apa yang harus aku katakan pada Ibu? Aku tidak tega."Ibu melempar tisu pada putrinya. "Ditanya malah bengong!"Untuk menghindari pertanyaan Ibu selanjutnya, Melodi buru-buru pergi. "Aku kebelet pipis." "Dasar bocah, bicara tidak ada jelasnya." Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat putrinya masuk ke dalam kamar......Di tempat lain, lebih tepatnya di depan gedung pencakar langit, Cleon dengan langkah tegas memasuki gedung miliknya, perusahaan besar yang diwariskan kedua orangtuanya, VP Corp. "Selamat siang Pak." Sekretaris pribadinya langsung datang menyambut ketika Cleon baru saja ke luar dari lift yang hanya dikhususkan untuk dirinya seorang."Ada meeting apa hari ini? Kamu mengganggu saja! Apa tidak bisa kamu sendiri yang menangani?!" Cleon terlihat kesal melihat sekretarisnya sambil melangkah menuju ke ruangannya.Gloria menghela napas, raut wajah Cleo
Cleon dan David duduk dengan santai setelah selesai meeting yang cukup memeras otak. Gloria yang diminta membuat kopi untuk kedua atasannya dengan sigap segera pergi ke pantry."Akhirnya tender besar yang kita menangkan bisa juga mulai kita garap," ucap David."Tender itu tidak seberapa nilainya bagi gue, biasa saja," jawab Cleon duduk di sebelah David."Ya iyalah, secara uang loe itu tidak habis tujuh turunan. Tentu saja jumlah angka tender itu tidak seberapa di matamu. Sombong banget loe!" Cibir David."Ha-ha-ha. Menyombongkan diri sendiri tidak ada salahnya jika itu sesuai kenyataan. Kecuali loe, apa yang bisa loe sombongkan dari diri loe. Uang kagak punya, muka?!" Cleon melihat muka David. "Kalah telak dari muka gue. Ha-ha-ha.""Makin tidak beres otak loe! Ngata-ngatain gue lagi." David melempar Cleon dengan sebatang rokok yang sedang dipegangnya."Ha-ha-ha." Cleon tertawa terbahak melihat wajah David jadi kesal. Baginya, hanya David yang bisa membuatnya tertawa.Dengan santai Dav
"Aaaaa!" Teriakan panjang ke luar dari bibir mungil Melodi dengan mata melebar sempurna ketika tubuh kecil mungilnya serta motor matic kesayangannya meluncur begitu saja masuk ke dalam selokan tanpa air."Ada apa?!" "Ada apa?!""Ada kecelakaan!" Orang-orang yang berada di sekitar, langsung berdatangan untuk melihat apa yang terjadi."Aduh ...." Melodi meringis kesakitan dengan posisi tubuh sudah terjatuh di atas rumput kering, sementara motor matic kesayangannya sudah masuk terperosok ke dalam selokan."Ada yang masuk selokan!" Pria tua yang pertama kali melihat Melodi langsung menolongnya."Apa dia tidak apa-apa?! Kenapa bisa begitu?!""Untung saja dia tidak masuk ke dalam selokan!""Kasihan. Cepat! Cepat! Tolong dia! Sepertinya dia terluka!"Suara-suara orang yang ingin melihat Melodi mulai terdengar dari sana sini.Melodi masih meringis kesakitan berusaha untuk bisa duduk, lututnya terasa sakit. "Aduh, kakiku sakit.""Neng, tidak apa-apa Neng?!" Wanita setengah baya berjongkok me
"Iya, Dokter. Ini yang paling dekat. Lukamu harus segera diobati."Melodi melihat lututnya, darahnya mulai mengering. "Antarkan saja aku pulang.""Kenapa? Ini sudah di depan klinik. Lukamu bisa infeksi kalau telat diobati."Melodi melihat Cleon. "Aku ... aku tidak mau ke Dokter."Cleon mengeryitkan alisnya, bingung dengan Melodi yang berubah gugup. Melodi melihat ke arah pintu klinik. "Antarkan saja aku pulang. Aku tidak mau ke sana.""Kenapa? Kamu takut dengan Dokter?" tanya Cleon bingung. "Tenang saja, kamu tidak bakalan disuntik. Lukamu hanya diobati saja, tidak perlu disuntik."Melodi menunduk, matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca. "Antarkan saja aku pulang," ucapnya dengan suara yang hampir tercekat ditenggorokan.Cleon yang sudah bingung dengan perubahan Melodi, sekarang bertambah bingung melihat Melodi jadi sedih. "Iya, iya baiklah. Tapi bagaimana dengan lukamu itu?""Biar aku tahan," bisik Melodi serak.Cleon tidak banyak bicara lagi, seatbelt yang telah dilepas sekarang dipas
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"