"Sepertinya kamu memang seorang istri yang baik. Andai kamu belum menikah, aku pasti akan mengenalkanmu pada putraku," tukas Bu Herlin. Kanaya hanya tersenyum menanggapi. "Anda terlalu berlebihan." "Sebenarnya saya tertarik dengan baju-baju yang kamu rancang. Kamu memiliki banyak ide dalam setiap busana. Dan saya suka itu. Jika berkenan, saya ingin mengajakmu bekerja sama. Kamu bisa mengenalkan baju-baju itu lewat butikku. Dan juga, akan ada pagelaran busana setiap bulannya. Jadi, banyak kesempatan yang bisa kamu dapatkan untuk mengenalkan karya-karyamu." Kanaya tidak menyangka dirinya mendapatkan tawaran seperti itu dari designer idolanya. Mimpi pun ia tidak pernah. Tapi, kali ini ia merasa harus meminta pendapat Devan. Entah apa yang dipikirkannya, tapi ia merasa Devan harus tahu itu. "Saya sangat senang sekali dengan tawaran Ibu. Sungguh saya merasa seperti mimpi. Namun, saya harus membicarakan dulu dengan suami saya," ucapnya. Bu Herlin tersenyum
"Bagaimana pertemuannya?" "Berjalan dengan baik. Meski--" Kanaya tidak melanjutkan ucapannya. Ia pikir tidak perlu menceritakan tentang Bu Mirna dan Cintia yang tadi ada di sana. "Bu Herlin mengajakku bekerja sama dengannya. Bagaimana menurutmu?" Devan duduk di samping Kanaya. "Apa kau bertanya pendapatku?" Kanaya mengangguk. "Sepertinya itu bagus. Jadi kamu bisa mengepakkan sayap lebih lebar. Dan itu juga mempermudah untuk mencapai cita-citamu." Kanaya tersenyum. "Tapi mengapa kamu harus meminta pendapatku?" "A-aku ... entahlah. Aku merasa kamu bisa memberiku saran yang terbaik untuk ke depannya," sahut Kanaya. Devan tersenyum lalu meraih tangan Kanaya, "Terima kasih karena mempercayaiku." Kanaya merasakan desiran aneh dalam dadanya, saat Devan memegang tangannya. Entah mengapa, ia seolah tidak ingin melepas genggaman itu. Perlahan-lahan, Devan mendekat dan semakin mendekat. Wajah mereka sangat dekat. Ia menatap manik mata meneduhkan itu. Seolah ters
Kanaya pulang ke rumah lebih awal dan tidak memberi tahu Devan. Ia merasa kesal atas apa yang dilihatnya pagi tadi. Hatinya merasa tidak rela Devan memeluk perempuan itu. Dada bidang yang memeluknya tadi pagi, juga memeluk perempuan lain. Ponsel Kanaya berdering, terlihat nama 'suami' tengah memanggil. Saat ini ia kesal melihat nama itu di layar ponselnya. Pemberian nama itu adalah Devan sendiri yang menamainya. Saat itu ia tidak tahu kalau Devan membajak ponselnya, menulis nomornya dan menamainya 'suami'. Berkali-kali menelepon dan tidak diangkat, Devan mengiriminya pesan dan bertanya ada di mana. Namun Kanaya hanya membuka pesan itu dan enggan membalasnya. "Kenapa tidak mengabariku? Aku mencarimu di kampus. Kata Mili, kamu sudah pulang lebih awal. Apa kamu sakit?" Devan baru saja pulang dan menghampiri Kanaya yang tengah menikmati coklat panas di meja makan. Kanaya menoleh, "Iya, aku sakit!" ketusnya. 'Sakit melihatmu bersama perempuan itu', ucapnya dalam
Devan tidak bisa lagi menahan kegundahan hatinya. Ia ingin tahu isi hati Kanaya. Adakah wanita itu mau mempertahankan pernikahan yang tak pernah diharapkan itu? Ataukah ia akan memilih mengakhirinya? Devan mendekati Kanaya yang berada di ruangan jahitnya. Kanaya baru selesai dengan kegiatannya itu, dan duduk santai di kursi. Ia heran melihat Devan dengan wajah serius. "Ada apa?" "Hanya ingin melihatmu," ujarnya santai. "Bukankah setiap hari juga melihatku? Kamu ini aneh sekali." Kanaya membereskan sisa-sisa potongan kain yang berserakan di lantai, lalu Devan membantu memungutinya. "Eh, tidak usah! Biar aku sendiri saja," tolaknya. "Biarkan, aku senang membantumu." Devan berdiri dan mendekati baju yang berada di sebuah manekin. "Rupanya, semua hasil tanganmu memang bagus. Pantas saja designer terkenal itu mengajakmu bekerja sama. Bagaimana perkembangannya? Apa kau sudah menerima ajakannya itu?" "Aku belum memutuskannya. Beliau bilang ingin berkunjung ke
"Paman!" Pak Karman bersama Bu Siti berada di ambang pintu. Pak Karman mendekat, setelah Bu Siti membisikkan sesuatu di telinga sang suami. "Paman dengar, ada yang akan pergi. Dan apa benar, selama ini kamu masih belum menerima suamimu, Aya?" tanyanya lembut. Kanaya menunduk. Ia harus berani mengakui di depan pamannya keadaan yang sebenarnya. "Benar, Paman," jawabnya pelan. "Tapi kenapa, Ndhuk?" Kanaya menatap Pak Karman yang ikut duduk. Pamannya, yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. "Paman pikir, kamu sudah berlaku baik kepadanya seperti yang Paman sarankan padamu. Ternyata, anggapan Paman salah. Sudah tiga bulan, Aya. Dan selama itu, kamu sudah mempermainkan perasaan suamimu. Mulai sekarang, Paman tidak akan memintamu menerimanya, semua terserah padamu. Tapi jika tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan Devan, sebaiknya putuskan hari ini juga! Sebagai sesama lelaki, Paman tahu bagaimana perasaan suamimu. Jangan lagi menggantungnya, jika memang tid
Rasanya sangat sakit ketika ditinggalkan oleh orang yang selalu ada untuk kita. Sayangnya, aku baru menyadari betapa kehadirannya begitu berarti dalam hidupku, saat ia telah pergi. ~Kanaya~ *** Kanaya bergegas menuju rumahnya. Ia tidak pedulikan tas yang ia pegang, ia jatuhkan di depan pintu. Ia berlari ke dalam, ke belakang, ke samping. Berharap menemukan orang yang ia cari, tapi tidak ada. Ia kembali ke depan dan tidak menemukan motor Devan. Ia masih berpikir positif. 'Barang kali saja, dia sedang narik ojek.' Tapi ia penasaran dengan kamar Devan. Ia bergegas kembali masuk dan memberanikan diri membuka kamar sang ayah yang sudah tiga bulan ditempati oleh Devan. Ia berharap baju-baju Devan masih ada di sana. Sesampainya di dalam kamar, Kanaya menatap isi ruangan tersebut. "Masih sama seperti dulu, saat masih ada Ayah." Kanaya kembali memindai isi ruangan itu, lalu membuka almari baju. Baju Pak Ali yang sempat dipakai oleh Devan, sudah tertata rapi
"Silakan, Bu. Maaf, hanya makanan sederhana." "Tidak apa-apa, Kanaya. Ini terlihat menggugah selera." Bu Herlin duduk, kemudian mengambil sayur lodeh dan ikan asap yang dipenyet di atas cobek kayu berisi sambal terasi. "Hmm, ini nikmat sekali. Menu sederhana, tapi terasa sangat pas di lidah. Kamu pandai memasak juga, ya." "Bu Herlin terlalu berlebihan, ini hanya masakan kampung sederhana." "No no no! Ini makanan istimewa sekali. Karena ini adalah masakan dari me--" Bu Herlin memotong ucapannya, "Maksudku, ini makanan yang sangat jarang saya jumpai. Sangat susah mencari ikan asap segar seperti ini di Jakarta. Sepertinya aku akan sering-sering ke sini jika merindukan masakanmu, Kanaya." "Dengan senang hati saya akan mencarikan untuk Bu Herlin jika ke sini lagi nantinya." Kanaya cukup senang karena Bu Herlin terlihat begitu menikmati masakannya. Ia pikir, orang kaya tidak akan mau memakan masakan kampung. Ternyata malah sebaliknya. Bu Herlin begitu menyukainya.
"Kamu mau ke mana, Ndhuk?" Pak Karman menghampiri Kanaya yang sedang menutup pintu rumah. "Aku mau ke rumah teman, Paman." "Mau cari suamimu?" Kanaya mengangguk. "Memangnya mau cari ke mana?" "Aya nggak tahu," ujarnya menunduk sedih. Pak Karman yang melihat itu pun mendekat, "Yakinkan hatimu dulu, jika kamu ingin dia kembali. Pastikan kamu benar-benar sudah menerimanya. Jangan sampai, dia kembali tapi tinggal di kamar terpisah lagi." Kanaya menoleh ke arah pamannya. "Tapi jika kamu tidak inginkan pernikahan ini, lebih baik tidak perlu mencarinya." Kanaya merasa sakit dan sedih dengan ucapan pamannya. Entah kenapa, hatinya seolah tidak terima pamannya melarangnya mencari suaminya. Padahal ia sudah menyadari betapa Devan sangat berarti di hatinya. Meskipun ia merasa itu semua sudah terlambat. Tapi ia yakin ia bisa menemukan Devan. "Kamu masih ingin mencarinya?" Kanaya hanya mengangguk. "Apa kamu sudah memikirkannya matang-matang?" Lagi, Kanaya
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan