"Tidak mungkinlah, Ma. Radit itu selalu menurut sama Papa, berbeda dengan Devan. Papa yakin dia tidak akan berbuat nekat kabur dari rumah. Lagi pula, Papa juga sering melihat Radit berbincang dengan klien wanita dengan senyuman kekaguman. Tentu lebih mudah menjodohkan Radit." Ungkap Pak Pratama yang tahu persis karakter putra angkatnya itu. Memang sejak membawanya ke rumah, Pak Pratama sudah menyayangi Radit. Ia tahu Radit anak yang baik dan mudah diatur. "Papa nggak tahu aja sih." Bu Herlin bangkit dari duduknya dan menuju ke ranjang. "Radit itu tidak akan menikah sebelum Devan menikah terlebih dahulu." "Apa?! Kalau begitu ceritanya, kapan kita akan bisa gendong cucu, Ma?" "Ya, tunggu aja Devan membawa menantu untuk kita, Pa." "Membawa menantu? Maksud Mama? Apa Mama tahu sesuatu?" tanya Pak Pratama. Ia menelisik raut wajah istrinya yang sedikit gugup. "Tahu apa maksud Papa? Ya maksud Mama itu, biarkan saja kalau seandainya, kelak Devan akan menikah de
Devan menyunggingkan bibirnya dan menatap Cintia dengan tatapan kebencian. Ia masih geram dengan semua perbuatan Cintia yang selalu berusaha menyakiti istrinya. Bahkan kali ini, ia mengetahui jika Cintia ingin menculik Kanaya. Ternyata, preman yang disewa Cintia, adalah orang-orang yang bekerja sama dengan orang suruhan Devan. Ia mengetahui semua rencana Cintia. Yang ingin membuat Kanaya menghilang agar Alex berhenti memikirkan Kanaya. Awalnya Devan mengira Cintia hanya menginginkan Alex, jadi ia tidak terpikir untuk berbuat kejam pada gadis itu. Tapi setelah mengetahui semua rencana buruk Cintia terhadap wanitanya, ia merasa harus memberi Cintia pelajaran. "Ha ha ha. Ternyata hanya tukang ojek miskin yang sudah berani-beraninya menyekapku. Aku pikir siapa!" Cintia tertawa terbahak-bahak, setelah melihat Devan yang berada di depannya. Ia merasa lucu karena ia yakin Devan hanya menginginkan uang tebusan dari papanya. "Oh, ya? Jadi kamu tidak merasa takut padaku?"
"Bu Herlin, dia mengajakku ketemuan." "Siapa dia?" tanya Devan yang berpura-pura. "Beliau adalah designer idolaku, yang kemarin ada di acara pagelaran busana itu, " ucap Kanaya dengan mata berbinar. "Kamu begitu gembira. Memangnya sebegitu mengidolakan designer itu, ya?" "Eeemm, Kanaya mengangguk. "Tapi ...." Kanaya menghentikan ucapannya. Ia teringat acara yang tidak berlangsung dengan baik karena video dirinya dengan Devan yang membuat gaduh. Barang kali saja, Bu Herlin ingin menanyakan tentang kegaduhan yang terjadi itu, begitu pikir Kanaya. "Tapi apa?" Devan mendekat dan duduk di samping Kanaya. "Apa soal video itu?" "Sepertinya memang soal kegaduhan itu, huft!" Terdengar helaan napas panjang dari Kanaya. "Apa kamu akan menemuinya?" Kanaya nampak kebingungan. Antara ingin bertemu, tetapi juga merasa malu. Ia khawatir Bu Herlin bersikap tidak baik padanya. Namun ia juga mengingat kehangatan wanita bertubuh ramping meski usianya sudah ti
Kanaya bersama Devan keluar dari ruangan Pak Iyan. Namun baru saja melangkah, banyak pasang mata menatap mereka. Terutama para kaum hawa yang merasa terpesona melihat wajah tampan dan tubuh kekar yang berada di samping Kanaya. Masih dengan pakaian casual-nya, Devan terlihat memesona dan lebih muda dari umurnya. Kulitnya memang tidak seputih orang bule, tapi terlihat tidak seperti orang asli indonesia. Hidung yang mancung, mata tajam dan rahang yang tegas, serta rambutnya yang hitam pekat dan alis yang tebal. Tubuhnya tinggi tegap dengan tangan yang kekar. Kanaya memperhatikan sekelilingnya, ada banyak teman perempuannya yang menatap kagum pada laki-laki yang berstatus suaminya itu. Ada perasaan kesal di hatinya, tetapi ia mencoba menutupinya. Sementara Devan tahu akan hal itu dan menarik pinggang Kanaya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah pemilik gadis bertubuh tinggi itu. Kanaya berusaha menolak, tapi Devan semakin merapatkan tubuhnya. "Ya ampun, tampan
"Sepertinya kamu memang seorang istri yang baik. Andai kamu belum menikah, aku pasti akan mengenalkanmu pada putraku," tukas Bu Herlin. Kanaya hanya tersenyum menanggapi. "Anda terlalu berlebihan." "Sebenarnya saya tertarik dengan baju-baju yang kamu rancang. Kamu memiliki banyak ide dalam setiap busana. Dan saya suka itu. Jika berkenan, saya ingin mengajakmu bekerja sama. Kamu bisa mengenalkan baju-baju itu lewat butikku. Dan juga, akan ada pagelaran busana setiap bulannya. Jadi, banyak kesempatan yang bisa kamu dapatkan untuk mengenalkan karya-karyamu." Kanaya tidak menyangka dirinya mendapatkan tawaran seperti itu dari designer idolanya. Mimpi pun ia tidak pernah. Tapi, kali ini ia merasa harus meminta pendapat Devan. Entah apa yang dipikirkannya, tapi ia merasa Devan harus tahu itu. "Saya sangat senang sekali dengan tawaran Ibu. Sungguh saya merasa seperti mimpi. Namun, saya harus membicarakan dulu dengan suami saya," ucapnya. Bu Herlin tersenyum
"Bagaimana pertemuannya?" "Berjalan dengan baik. Meski--" Kanaya tidak melanjutkan ucapannya. Ia pikir tidak perlu menceritakan tentang Bu Mirna dan Cintia yang tadi ada di sana. "Bu Herlin mengajakku bekerja sama dengannya. Bagaimana menurutmu?" Devan duduk di samping Kanaya. "Apa kau bertanya pendapatku?" Kanaya mengangguk. "Sepertinya itu bagus. Jadi kamu bisa mengepakkan sayap lebih lebar. Dan itu juga mempermudah untuk mencapai cita-citamu." Kanaya tersenyum. "Tapi mengapa kamu harus meminta pendapatku?" "A-aku ... entahlah. Aku merasa kamu bisa memberiku saran yang terbaik untuk ke depannya," sahut Kanaya. Devan tersenyum lalu meraih tangan Kanaya, "Terima kasih karena mempercayaiku." Kanaya merasakan desiran aneh dalam dadanya, saat Devan memegang tangannya. Entah mengapa, ia seolah tidak ingin melepas genggaman itu. Perlahan-lahan, Devan mendekat dan semakin mendekat. Wajah mereka sangat dekat. Ia menatap manik mata meneduhkan itu. Seolah ters
Kanaya pulang ke rumah lebih awal dan tidak memberi tahu Devan. Ia merasa kesal atas apa yang dilihatnya pagi tadi. Hatinya merasa tidak rela Devan memeluk perempuan itu. Dada bidang yang memeluknya tadi pagi, juga memeluk perempuan lain. Ponsel Kanaya berdering, terlihat nama 'suami' tengah memanggil. Saat ini ia kesal melihat nama itu di layar ponselnya. Pemberian nama itu adalah Devan sendiri yang menamainya. Saat itu ia tidak tahu kalau Devan membajak ponselnya, menulis nomornya dan menamainya 'suami'. Berkali-kali menelepon dan tidak diangkat, Devan mengiriminya pesan dan bertanya ada di mana. Namun Kanaya hanya membuka pesan itu dan enggan membalasnya. "Kenapa tidak mengabariku? Aku mencarimu di kampus. Kata Mili, kamu sudah pulang lebih awal. Apa kamu sakit?" Devan baru saja pulang dan menghampiri Kanaya yang tengah menikmati coklat panas di meja makan. Kanaya menoleh, "Iya, aku sakit!" ketusnya. 'Sakit melihatmu bersama perempuan itu', ucapnya dalam
Devan tidak bisa lagi menahan kegundahan hatinya. Ia ingin tahu isi hati Kanaya. Adakah wanita itu mau mempertahankan pernikahan yang tak pernah diharapkan itu? Ataukah ia akan memilih mengakhirinya? Devan mendekati Kanaya yang berada di ruangan jahitnya. Kanaya baru selesai dengan kegiatannya itu, dan duduk santai di kursi. Ia heran melihat Devan dengan wajah serius. "Ada apa?" "Hanya ingin melihatmu," ujarnya santai. "Bukankah setiap hari juga melihatku? Kamu ini aneh sekali." Kanaya membereskan sisa-sisa potongan kain yang berserakan di lantai, lalu Devan membantu memungutinya. "Eh, tidak usah! Biar aku sendiri saja," tolaknya. "Biarkan, aku senang membantumu." Devan berdiri dan mendekati baju yang berada di sebuah manekin. "Rupanya, semua hasil tanganmu memang bagus. Pantas saja designer terkenal itu mengajakmu bekerja sama. Bagaimana perkembangannya? Apa kau sudah menerima ajakannya itu?" "Aku belum memutuskannya. Beliau bilang ingin berkunjung ke