Semua orang yang hadir terdengar menyoraki Kanaya. Mereka mengumpat dan memakinya, karena nyatanya Kanaya tinggal bersama dengan seorang pria. "Huh, dikira lugu, ternyata suhu. Diam-diam membawa pria ke dalam rumahnya." "Katanya mahasiswi berprestasi, ternyata itu juga termasuk prestasinya," ujar pengunjung yang hadir di sana. "Iya. Katanya sih nggak punya pacar, tapi nyatanya lebih dari pacar!" Banyak kata-kata hinaan yang dilontarkan mereka pada Kanaya. Sedangkan Kanaya merasa sangat takut, sedih, malu dan juga kaget dengan apa yang menimpanya. Napasnya naik turun karena syok dengan keadaan yang tidak terduga itu. Ia berpegangan pada sebuah meja untuk memopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua mata tertuju padanya, tapi bukan karena kekaguman melainkan karena tatapan merendahkan. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua orang menatapnya dengan sinis. Ia menatap Bu Herlin yang juga menatapnya dengan pandangan datar tanpa ekspresi. Entah apa yang ada
Kanaya menatap sekelilingnya. Ruangan yang bersih, rapi dengan cat warna putih dan biru muda dan cukup luas danmewah menurutnya. Maklumlah, ia sudah terbiasa tinggal di rumah yang sederhana. Meski begitu, ia sangat merasa nyaman di rumah yang sudah ia tempati sejak kecil itu. Banyak kenangan yang pastinya tidak akan pernah ia lupakan. Terlebih kenangan bersama sang ayah. Begitu pula dengan tempat tidur berukuran besar yang saat ini ia tempati bersama Devan. Sungguh berbeda jauh dengan tempat tidur miliknya. Namun tempat tidur miliknya tetaplah menjadi tempat ternyaman untuk melepas penat kala ia lelah dengan kegiatan sehari-harinya. Tapi bukan itu masalahnya saat ini. Ia merasa asing dengan tempat yang baru pertama kali ia datangi ini. Bagaimana mungkin laki-laki berstatus suaminya yang hanya tukang ojek itu bisa membawanya ke tempat mewah seperti itu. Kanaya berusaha menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari pelukan suaminya. Namun justru hal itu membuat Devan se
"Devan sudah menikahinya? Tanpa kita? Tanpa Papa dan mamanya? Omong kosong apa ini, Radit?" "Tapi itu semua memang benar, Ma. Mereka sudah menikah. Bahkan sebelum Radit pergi ke sana." "Apa maunya anak itu? Kenapa menikah tanpa kita? Apa, ini adalah salah satu cara dia menolak perjodohan dengan Zalia? Dia menggunakan gadis itu untuk menjadi tameng agar mengurungkan perjodohan yang sudah dibuat papamu?" tanya Bu Herlin menerka-nerka. Radit tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Ma. Ini semua memang sudah takdir Devan." Bu Herlin tidak mengerti arah pembicaraan Radit. Ia menoleh dan memandang wajah anak angkatnya dengan seksama, meminta penjelasan dari ucapannya barusan. "Devan dinikahkan paksa oleh para warga karena dituduh berbuat m*sum bersama Kanaya," jelas Radit. "Jadi mereka menikah karena terpaksa? Dan Devan tidak mencintai Kanaya, begitu pun sebaliknya? Kenapa rumit sekali?" "Mereka memang menikah karena terpaksa, tapi, bukankah cinta bisa h
"Tidak mungkinlah, Ma. Radit itu selalu menurut sama Papa, berbeda dengan Devan. Papa yakin dia tidak akan berbuat nekat kabur dari rumah. Lagi pula, Papa juga sering melihat Radit berbincang dengan klien wanita dengan senyuman kekaguman. Tentu lebih mudah menjodohkan Radit." Ungkap Pak Pratama yang tahu persis karakter putra angkatnya itu. Memang sejak membawanya ke rumah, Pak Pratama sudah menyayangi Radit. Ia tahu Radit anak yang baik dan mudah diatur. "Papa nggak tahu aja sih." Bu Herlin bangkit dari duduknya dan menuju ke ranjang. "Radit itu tidak akan menikah sebelum Devan menikah terlebih dahulu." "Apa?! Kalau begitu ceritanya, kapan kita akan bisa gendong cucu, Ma?" "Ya, tunggu aja Devan membawa menantu untuk kita, Pa." "Membawa menantu? Maksud Mama? Apa Mama tahu sesuatu?" tanya Pak Pratama. Ia menelisik raut wajah istrinya yang sedikit gugup. "Tahu apa maksud Papa? Ya maksud Mama itu, biarkan saja kalau seandainya, kelak Devan akan menikah de
Devan menyunggingkan bibirnya dan menatap Cintia dengan tatapan kebencian. Ia masih geram dengan semua perbuatan Cintia yang selalu berusaha menyakiti istrinya. Bahkan kali ini, ia mengetahui jika Cintia ingin menculik Kanaya. Ternyata, preman yang disewa Cintia, adalah orang-orang yang bekerja sama dengan orang suruhan Devan. Ia mengetahui semua rencana Cintia. Yang ingin membuat Kanaya menghilang agar Alex berhenti memikirkan Kanaya. Awalnya Devan mengira Cintia hanya menginginkan Alex, jadi ia tidak terpikir untuk berbuat kejam pada gadis itu. Tapi setelah mengetahui semua rencana buruk Cintia terhadap wanitanya, ia merasa harus memberi Cintia pelajaran. "Ha ha ha. Ternyata hanya tukang ojek miskin yang sudah berani-beraninya menyekapku. Aku pikir siapa!" Cintia tertawa terbahak-bahak, setelah melihat Devan yang berada di depannya. Ia merasa lucu karena ia yakin Devan hanya menginginkan uang tebusan dari papanya. "Oh, ya? Jadi kamu tidak merasa takut padaku?"
"Bu Herlin, dia mengajakku ketemuan." "Siapa dia?" tanya Devan yang berpura-pura. "Beliau adalah designer idolaku, yang kemarin ada di acara pagelaran busana itu, " ucap Kanaya dengan mata berbinar. "Kamu begitu gembira. Memangnya sebegitu mengidolakan designer itu, ya?" "Eeemm, Kanaya mengangguk. "Tapi ...." Kanaya menghentikan ucapannya. Ia teringat acara yang tidak berlangsung dengan baik karena video dirinya dengan Devan yang membuat gaduh. Barang kali saja, Bu Herlin ingin menanyakan tentang kegaduhan yang terjadi itu, begitu pikir Kanaya. "Tapi apa?" Devan mendekat dan duduk di samping Kanaya. "Apa soal video itu?" "Sepertinya memang soal kegaduhan itu, huft!" Terdengar helaan napas panjang dari Kanaya. "Apa kamu akan menemuinya?" Kanaya nampak kebingungan. Antara ingin bertemu, tetapi juga merasa malu. Ia khawatir Bu Herlin bersikap tidak baik padanya. Namun ia juga mengingat kehangatan wanita bertubuh ramping meski usianya sudah ti
Kanaya bersama Devan keluar dari ruangan Pak Iyan. Namun baru saja melangkah, banyak pasang mata menatap mereka. Terutama para kaum hawa yang merasa terpesona melihat wajah tampan dan tubuh kekar yang berada di samping Kanaya. Masih dengan pakaian casual-nya, Devan terlihat memesona dan lebih muda dari umurnya. Kulitnya memang tidak seputih orang bule, tapi terlihat tidak seperti orang asli indonesia. Hidung yang mancung, mata tajam dan rahang yang tegas, serta rambutnya yang hitam pekat dan alis yang tebal. Tubuhnya tinggi tegap dengan tangan yang kekar. Kanaya memperhatikan sekelilingnya, ada banyak teman perempuannya yang menatap kagum pada laki-laki yang berstatus suaminya itu. Ada perasaan kesal di hatinya, tetapi ia mencoba menutupinya. Sementara Devan tahu akan hal itu dan menarik pinggang Kanaya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah pemilik gadis bertubuh tinggi itu. Kanaya berusaha menolak, tapi Devan semakin merapatkan tubuhnya. "Ya ampun, tampan
"Sepertinya kamu memang seorang istri yang baik. Andai kamu belum menikah, aku pasti akan mengenalkanmu pada putraku," tukas Bu Herlin. Kanaya hanya tersenyum menanggapi. "Anda terlalu berlebihan." "Sebenarnya saya tertarik dengan baju-baju yang kamu rancang. Kamu memiliki banyak ide dalam setiap busana. Dan saya suka itu. Jika berkenan, saya ingin mengajakmu bekerja sama. Kamu bisa mengenalkan baju-baju itu lewat butikku. Dan juga, akan ada pagelaran busana setiap bulannya. Jadi, banyak kesempatan yang bisa kamu dapatkan untuk mengenalkan karya-karyamu." Kanaya tidak menyangka dirinya mendapatkan tawaran seperti itu dari designer idolanya. Mimpi pun ia tidak pernah. Tapi, kali ini ia merasa harus meminta pendapat Devan. Entah apa yang dipikirkannya, tapi ia merasa Devan harus tahu itu. "Saya sangat senang sekali dengan tawaran Ibu. Sungguh saya merasa seperti mimpi. Namun, saya harus membicarakan dulu dengan suami saya," ucapnya. Bu Herlin tersenyum
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan