Revi sangat ketakutan. Ia menutup pintu lapuk itu menggunakan kakinya lagi. Lebih baik berada di dalam meski di gubug reot, dari pada ke luar dari sana. Bagaimana kalau ada hewan buas yang akan memangsanya. Terlebih, jika ada makhluk tidak kasat mata yang mengganggu. Memikirkannya, membuat Revi frustasi. "Kenapa bisa begini, aaakkh!" Harusnya saat ini ia sedang tidur di kamarnya yang nyaman. Tapi kini, ia malah berada di tengah-tengah hutan dan di dalam gubug reot. Ia masih tidak mengerti kenapa dia bisa berakhir di tempat ini. Seingatnya, ia tidak memiliki masalah dengan siapa pun. Kecuali ... Kanaya. "Jangan-jangan, perempuan itu. Tapi siapa dia sebenarnya." Meski dengan penuh ketakutan, Revi memberanikan diri memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, berharap esok pagi ada seseorang yang menyelamatkannya. Namun baru saja ia terlelap, suara auman serigala membuat matanya membola. Bagaimana ia bisa memejamkan mata dengan suara menakutk
Satu tahun telah berlalu, Kanaya sudah menyelesaikan pendidikannya. Kini ia telah lulus dengan nilai terbaik, dan menyandang gelar sebagai Sarjana Desain. "Selamat ya, Sayang. Akhirnya kini kamu sudah lulus. Mama bangga sekali denganmu." Bu Herlin memeluk menantunya dengan penuh kebanggaan. "Terima kasih, Ma. Semua ini juga berkat Mama. Mama yang sudah memberikan banyak pengalaman dan trik untukku," balas Kanaya. Memang selama ini, Bu Herlin banyak mendukung menantunya. Bahkan ia juga sering meminta sang menantu untuk mengasah kemampuannya, dengan berkolaborasi dengan beberapa teman designernya. Ia sangat antusias memberikan fasilitas-fasilitas terbaik untuk kelancaran menantunya. "Bukannya itu si wanita ular yang sudah menghancurkan perasaan anak kita, Pa. Ngapain dia ada di sini?" Bu Herlin menunjuk Revi yang berada tak jauh darinya. "Biarkan saja, Ma. Dia memang sudah kembali dan kuliah di tempat yang sama dengan menantu kita." "Mama masih san
Devan menatap Kanaya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada banyak rasa dalam hatinya. Perasaan gembira, haru, sekaligus deg-degan. "Aku akan mencoba benda itu." Kanaya turun dari ranjang, dibantu oleh Devan. Saat ini, semua orang sedang menunggu di luar kamar. "Aku ingat pernah menggunakan benda ini," seloroh Kanaya. "Namun aku memasukkannya ke dalam air kamar mandi." Ia tertawa mengingat kejadian dulu. "Ya. Karena saat itu tidaklah mungkin ada janin dalam rahimmu. Karena aku bahkan belum melakukan apa-apa," sahut Devan. Ia membantu sang istri ke kamar mandi. "Pelan-pelan saja." "Apa seperti ini caranya?" Kanaya memasukkan benda itu ke dalam wadah yang sudah berisi air seninya. "Tunggu beberapa detik menurut petunjuknya." "Aku tidak tahu, tapi kita tunggu saja." "Ini sudah selesai, coba lihat!" Kanaya memperlihatkan hasil dari tespeck tersebut kepada suaminya. "Ada satu garis merah, dan satu garis samar-samar. Apa artinya?" tanya Devan.
75 "Hallo." Devan mengangkat ponselnya, seraya menyuruh Bi Karti masuk. "Oh, kukira kau sudah m4ti karena tidak ada kabar. Apa sebegitu pentingnya di sana, sampai lupa pada saudaramu," ucapnya dalam sambungan telepon. Bi Karti memberikan obat pada Kanaya, dan wanita itu langsung meminumnya meski tidak menyukai bau obat-obatan itu. Setelah Bi Karti kembali keluar, Devan mengeraskan suara ponselnya dan mendengarkannya pada Kanaya. "Siapa?" "Radit." "Maaf-maaf, aku belum bisa kembali karena masih ada kegiatan malam ini. Tapi aku janji besok akan pulang. Aku senang sekali kau akan jadi seorang ayah. Dan tentu saja aku akan jadi om-om. Aku sudah tidak sabar melihat wajah keponakanku. Pasti dia mirip denganku saat lahir nanti," seloroh Radit, suaranya terdengar sangat renyah. Sepertinya ia sedang beebahagia meski jauh dari keluarganya. Saat ini, Radit memilih tinggal di Desa Sumber Makmur, desa yang dekat dengan kediaman Ustadz Zaki. Ia memutuskan tinggal di sana,
Keluarga Pratama sedang berbahagia, dengan kehamilan sang menantu. Keluarga itu berniat melakukan syukuran dengan mengundang anak-anak yatim piatu, serta fakir miskin. Sudah menjadi kebiasaan, mereka akan berbagi kebahagiaan kepada orang yang dirasa kurang beruntung. Selain untuk mengucapkan rasa syukur, berbagi dengan mereka yang membutuhkan menjadi kebahagiaan tersendiri untuk keluarga itu. Terlebih, Kanaya yang juga merasakan bagaimana hidup dalam kekurangan. "Aku pulang ...." Radit nampak berjalan masuk ke dalam rumah, membawa beberapa barang di tangannya. Anggota keluarga yang tengah bersantai di ruang keluarga itu pun menoleh bersamaan begitu mendengar suara Radit. Bu Herlin menyambut putra angkatnya itu, memeluk dan menciuminya penuh rindu. Bagaimana tidak, Radit sudah dua minggu tidak pulang. Padahal sesuai kesepakatan, dia akan pulang satu minggu sekali. Devan tersenyum, lalu memeluk Radit. Namun saat Radit hendak memeluk Kanaya, Devan menghalangin
"Bibi nggak tahu, Non, katanya teman Non Aya. Mereka menunggu di ruang tamu," jelas Bi Karti. Merasa penasaran, Kanaya menuju ke ruang tamu, di mana kedua perempuan yang dimaksud oleh Bi Karti itu berada. Setelah melihat kedua perempuan itu, Kanaya terkejut, tetapi mampu membuat dirinya tersenyum gembira. Berpelukan dan saling melepas rindu, adalah hal pertama yang ketiga perempuan itu lakukan saat ini. Mereka memang sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali, mereka bertemu saat Kanaya berpamitan hendak melanjutkan kuliah di Jakarta. "Aah, aku kangen banget ...," ujar Resti setelah mengeratkan pelukannya dengan Kanaya. "He'em, kita kangen sama kamu, Ay." Tak mau kalah, Mili pun memeluk erat sahabatnya yang sudah lama tak jumpa. Ya, kedua perempuan itu adalah Resti dan Mili, sang sahabat yang selalu bersamanya sebelum akhirnya Kanaya pindah ke Jakarta ikut suaminya "Aku juga kangen banget sama kalian," balas Kanaya. Saat ini, tubuhnya dipeluk dari kedua
"Apa yang kalian ributkan!" Resti dan Mili berhenti berdebat saat melihat Kanaya yang baru masuk ke kamar. Sejak tadi pintu diketuk, tapi tidak ada yang membuka. Terpaksa Kanaya membukanya. Mereka baru sadar telah membuat keributan di rumah orang. "Maaf, Ay, kami nggak sengaja bikin ribut. Kami janji nggak ribut lagi, deh," ungkap Resti mengaku salah. "Bukan itu maksud aku, aku nggak marah kali, lagian ini kan di kamar kalian, jadi nggak bikin keributan. Yang aku tanya, kalian itu berebut apa, sih?" Kanaya duduk di tepi ranjang, menatap kedua sahabatnya. "Berebut Mas Tampan!" ucap keduanya bersamaan. "Hah?" Kedua alis Kanaya tertaut. "Maksudnya, Mas Radit," bisik Mili. "Kalian ini ada-ada aja. Memangnya dia barang, dibuat rebutan! Kalau bersaing harus yang sehat, dong! Lagian, masa hanya karena seorang pria kalian berantem, nggak lucu, 'kan?" Kanaya menatap kedua sahabatnya secara bergantian. "Oke. Kita akan bersaing secara sehat." Resti dan Mil
Hari yang ditunggu telah tiba, pesta pernikahan Devan dan Kanaya sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Seluruh orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Gedung mewah menjadi tempat berlangsungnya acara pesta. Pak Pratama mengundang seluruh keluarga, teman, relasi dan rekan bisnisnya. Ia tidak ingin ada yang kurang dalam pesta pernikahan sang putra. "Wow. Benar-benar menakjubkan. Tempat ini sangat mewah, jadi pengen cepet nikah," kelakar Mili. Ia bersama Resti sudah berada di tempat pesta. Mereka berdua juga sedang menunggu kedua lelaki yang saat ini sudah mengisi hati. Sejak pertemuan satu minggu yang lalu saat acara syukuran, Mili semakin lengket dengan Andre. Sahabat Kanaya itu baru tahu kalau Andre adalah sekretaris Devan. Sementara Resti, juga semakin dekat dengan dokter keluarga Pratama, yaitu dokter Aldo. Keduanya kerap bertukar kabar lewat ponsel dan mencuri waktu bertemu saat Aldo berkunjung. "Aah, itu dia kekasihku
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan