“Ya, saya baik-baik saja!” sahut Adrian dingin.
Tamika memandang ke arah pria itu penuh selidik. “Apa Anda kerabat Tuan Sanders?” tanyanya kemudian.
Pria itu mengangguk hormat seraya menyunggingkan senyuman lembut di wajahnya yang terlihat sangar. “Ya. Saya Johan, asisten pribadi Tuan Sanders. Terima kasih, atas kebaikan hati Nona sudah sudi menolong Tuan Sanders.”
“Syukurlah." Tamika menghela napas lega. "Kalau begitu, saya pamit undur diri. Tuan Sanders, semoga Anda lekas sembuh!” ujarnya kemudian.
Tamika perlahan mundur dan berbalik menuju pintu, membuat senyuman tipis seperti bulan sabit tercetak jelas di wajah Adrian yang rupawan. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang telah menolongnya itu. Menatap kepergian Tamika yang menghilang di balik pintu.
“Sudah lama saya tidak melihat Anda tersenyum seperti itu di hadapan seorang wanita. Apa Anda menyukainya?” Johan mencoba menggoda Adrian, membuat wajah pria itu merengut kemudian berdecak kesal.
“Jangan becanda! Carikan saya informasi tentang gadis itu! Semuanya.”
*
Semalaman suntuk, wajah Adrian terus saja terbayang dalam benak Tamika. Entah mengapa, dia merasa tertarik pada pria dewasa tersebut. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, Tamika memikirkan pria lain selain Evan.
Mungkin karena rasa cintanya berubah haluan menjadi rasa benci bercampur jijik dalam sekejap mata. Setelah menyaksikan sendiri video panasnya dengan Agnes, yang notabene adalah sahabat Tamika sendiri.
Tamika menghela napas seraya mematut diri di depan cermin. Senyuman getir menghiasi wajahnya yang teduh, menatap pantulan wajahnya sendiri yang terlihat sedikit sembab. Bukan karena banyak menangisi Evan, melainkan sosok Adrian yang benar-benar membuat malamnya begitu berantakan.
“Kenapa Om Tampan itu mengganggu tidurku?” Tamika sedikit merutuk.
“Apa salahku, sampai hati Agnes menusukku seperti ini? Apa kurangku sampai Evan mengkhianatiku sekejam ini?” Tamika kembali menghela napas secara perlahan. Berharap, rasa sesak yang masih mendera dadanya akan berkurang.
“Tidak ada yang salah darimu, Sayang. Kamu itu pasangan yang terlalu baik untuk Evan. Kamu juga sahabat yang selalu ada untuk Agnes.”
Tamika menoleh ke arah pintu yang memang tidak tertutup rapat. Menatap Hannah yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut yang bisa membuat suasana hatinya sedikit membaik.
“Hanya saja, mereka yang terlalu jahat untukmu. Ibu paham, kamu masih belum bisa mengabaikan rasa sakitmu. Tapi, ibu yakin setelah ini akan ada hal indah yang akan segera menyambutmu. Bersabarlah!”
“Apa akan ada pria yang mau menikahiku, Bu? Setelah semua ini terjadi kepadaku,” tanyanya menatap lekat sang ibu. “Orang-orang pasti akan mengolok-olokku. Wanita yang batal menikah.”
Dengan senyuman tulus mengembang di wajahnya, Hannah menyahuti, “tentu saja, Sayang. Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” Hannah menoel hidung mancung anak gadisnya itu. “Jangan dengarkan perkataan orang lain, fokuslah pada kebahagiaanmu sendiri! Ibu percaya, suatu hari nanti akan ada pria yang mau menerima semua masa lalumu. Sepahit apapun masa lalumu, dia akan tetap menyayangi kamu, melebihi rasa sayang terhadap dirinya sendiri.”
Tamika bergeming, kembali menatap pantulan wajahnya di cermin. “Semoga saja, Bu!” ucapnya lirih, merasa tidak yakin dengan apa yang ia katakan.
Tak ada lagi obrolan tentang pengkhianatan itu. Kini, keduanya terlibat dalam obrolan yang menyenangkan tentang liburan minggu kemarin yang mereka jalani.
“Cantiknya anak ibu!” puji Hannah. Dia terpaku sejenak menatap penampilan anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu. Kemudian, dua wanita cantik berbeda generasi itu berjalan beriringan menuju lantai bawah.
“Tamika, lebih baik kamu membantu Makisha mengurus sapi-sapi di peternakan! Semenjak ayah sakit, ayah sudah jarang pergi ke peternakan. Kasihan Makisha kalau harus mengelola semuanya sendirian,” usul Adam. “Lagipula, bayaran dari mengajar itu tidak seberapa. Tidak seimbang dengan apa yang kamu lakukan di sekolah.”
Tamika menghela napas kasar. Adam memang selalu seperti itu, membujuk Tamika agar berhenti mengajar dan membantu Makisha untuk mengurus usaha keluarga.
“Ayah, aku lebih suka mengurus anak-anak manusia, dibanding dengan mengurus anak-anak sapi. Jadi, aku mohon berhentilah membujukku!”
Setelah mengatakan hal tersebut, Tamika mencium pipi kedua orang tuanya dan bergegas berlari keluar rumah. Tak ingin berlama-lama dengan semua bujuk rayu yang Adam lontarkan.
*
“Astaga, dasar anak nakal!” Adam berteriak cukup kencang membuat gadis berusia 22 tahun itu terbahak kencang.
“Aku tidak menyangka, nasib pernikahan anak gadis kita akan berujung tragis.” Hannah menghela napas. “Sebenanya, dari awal aku sedikit curiga pada Agnes. Di mataku, anak itu sering mencuri-curi perhatian pada Evan. Bahkan, aku pernah melihat mereka berduaan di sebuah tempat perbelanjaan.”
“Mau bagaimana lagi? Yang paling penting, sekarang Tamika baik-baik saja!” Adam menyeruput kembali kopinya yang tinggal setengah.
*
“Apa kau sudah mendengar kabar kalau pernikahan Miss Tamika terancam batal? Video mesum calon suaminya sudah tersebar luas. Sumpah, aku tidak menyangka kalau pemeran perempuan dalam video itu Miss Agnes, teman dekatnya sendiri.”
“Ya, aku dengar. Dia benar-benar tega menusuk teman dekatnya sendiri dari belakang. Apa dia lupa, kalau Miss Tamika yang membantu biaya operasi ayahnya dulu?”
“Miris sekali, kebaikan Miss Tamika dibalas dengan pengkhianatan.”
“Betul. Kasihan Miss Tamika. Padahal pernikahan mereka sudah di depan mata. Kartu undangan juga sudah disebar. Benar-benar biadab. Semoga saja, Miss Tamika akan mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari mantan calon suaminya itu.”
“Lalu, bagaimana dengan Miss Agnes sekarang? Aku dengar, dia sudah diberhentikan secara tidak hormat.”
“Ya, aku juga dengar itu. Syukurlah, kalau Kepala Sekolah langsung bertindak. Secara tidak langsung, Miss Agnes sudah mencemarkan nama baik sekolah kita. Dia memang pantas dipecat.”
Tamika menghela napas panjang mendengar semuanya. “Ternyata, semua orang sudah mengetahuinya,” gumamnya pelan hampir tak terdengar. Kini, dia sedang bersandar di balik pintu menyimak semua obrolan rekan kerjanya tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh calon suami Tamika dengan sahabat Tamika sendiri, yang memang merupakan salah satu pengajar di sana juga.
Gadis itu kembali menghela napas panjang meredam semua kegundahan yang ia rasakan, sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut.
Menyadari akan kehadiran Tamika, mereka yang tengah membicarakannya terperangah. Wajah para wanita itu berubah panik, tetapi Tamika bersikap seolah-olah dia tidak mendengar apapun yang mereka katakan.
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Tamika kepada mereka.
“Eh, Miss Tamika! Selamat pagi juga,” balas Angela. Dia tersenyum canggung, begitu pun dengan para pengajar lain yang berada di ruangan tersebut.
Tamika tak menghiraukan kecanggungan mereka dan bergegas menyiapkan buku yang akan ia bawa ke dalam kelas. Sebab, bel sebentar lagi akan berbunyi. Menandakan jika jam pertama pelajaran akan segera dimulai.
“Saya ke ruang kelas dulu kalau begitu, permisi semuanya,” pamit Tamika pada semua pengajar yang berada di sana. Dia melangkahkan kaki ke luar dari ruangan tersebut.
Sebelum masuk ke dalam kelas, Tamika berdehem, mengurangi rasa kering di tenggorokannya.
"Selamat pagi, anak-anak!"
"Pagi, Miss!" jawab para siswa dengan serempak.
Pelajaran pun dimulai. Di sekolah itu, Tamika mengajar di kelas musik. Dulu, saat dirinya masih kecil, cita-cita Tamika adalah menjadi musisi yang terkenal.
Berhubung kendala izin dari sang ayah, Tamika harus merelakan cita-citanya itu menguap begitu saja dan terkubur dalam-dalam. Alhasil, kini Tamika hanya bisa menjadi pengajar kelas musik berbekal kepiawaiannya memainkan berbagai macam alat musik.
Jam di tangan Tamika sudah menunjukkan pukul empat sore hari. Dengan kasar, Tamika mengusap wajahnya yang terlihat begitu lelah. Lelah karena semua omongan yang ditujukan kepadanya. Dia yakin pembicaraan-pembicaraan tentang Agnes ataupun hubungannya dengan Evan akan senantiasa ia dengar untuk beberapa hari kedepan.
Tamika semakin larut dalam lamunan, hingga gadis itu tersadar saat dering telepon mengagetkannya.
‘Nomor siapa ini?’ Gadis itu membatin.
‘Nomor siapa ini?’ gadis itu membatin. Dia ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga akhirnya dering panggilan itu mati dengan sendirinya. Namun, tak berselang lama ponselnya kembali menyala dengan nomor penelepon yang sama. “Maaf, apa ini dengan Nona Tamika Douglas?” terdengar suara bariton dari sebrang sana, membuat Tamika sedikit gugup. “I-iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa?” “Saya Johan, asisten pribadi Tuan Adrian Sanders. Kita bertemu di klinik dr.Ann tempo hari. Anda yang sudah menyelamatkan Tuan Sanders. Apa Anda mengingatnya, Nona Douglass?” Mendengar nama Adrian Sanders, Tamika menyembunyikan senyumannya di balik telapak tangan. “Ah, iya. Paman tampan. Eh, maaf! Maksud saya, paman yang hari itu terluka.” Tamika meralat ucapannya, dia merasa malu sendiri. Di sebrang sana, Johan tersenyum tipis. “Begini, Nona. Tuan Sanders untuk mengajak Anda makan malam, sebagai ucapan terima kasih karena Anda sudah menolongnya.” Tamika bergeming, dirinya ragu untuk menerima
Makisha mendesah pelan saat masuk ke dalam mobil milik Tamika. “Kenapa, sih, tidak bilang dari awal? Kalau tahu begini, aku tidak akan membuat janji dengan Sean sebelumnya,” keluhnya dengan bibir mengerucut seperti siput. “Iya, maaf! Aku janji, besok aku akan membantumu bertemu dengan Sean. Ayo!” ajak Tamika kemudian. Tidak mudah untuk membujuk Makisha yang tengah merajuk. Sikap dia sama keras kepalanya seperti Adam. Terkadang, Tamika lebih memilih mengalah daripada ujungnya harus berdebat dengan saudarinya itu, sebab dia tidak akan pernah menang melawan Makisha.Hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja tubuh Tamika tersentak saat lengannya ditarik oleh seseorang, gadis itu pun menoleh secara terpaksa. Tubuhnya menegang dengan bola mata yang membulat sempurna saat bertatapan dengan pria tersebut. Tamika menghela napas kasar lalu mengayunkan tangannya dengan kencang hingga cekalan Evan pun terlepas begitu saja.“Mau apa kau ke mari?” Tamika melipat tangannya di dada menatap Evan
“Dasar manusia bodoh! Otak udang! Bisa-bisanya dia terpikat dengan wanita taruhan seperti Agnes. Astaga, anakmu itu memang senang sekali membuat ulah.” Darren mengacak rambutnya frustrasi. “Lihatlah! Gara-gara si anak sialan itu, rencana yang sudah aku susun matang-matang, harus gagal seperti ini.” Elena tak menyahuti. Dia telah mengenal karakter suaminya lebih dari seperempat abad lamanya, hanya bisa menghela napas panjang kemudian membenarkan anak rambut yang terurai ke wajah. Ucapan Darren memang benar. Kerjasama yang akan dijalani oleh kedua bisnis keluarga itu terancam batal. Ah, bukan terancam lagi, memang benar-benar sudah batal. Semua karena ulah anak lelaki satu-satunya, Evan Mattew. Saat pertama kali Elena mendengar jika Evan mengencani Agnes, dia menyangkal berita itu mentah-mentah. Bahkan Elena sempat memarahi anak tertuanya dan menuduh Erica berbicara yang bukan-bukan tentang Evan. Namun, setelah dirinya menyaksikan video tersebut, jantungnya seakan berhenti berdetak, k
"Tamika! Tamika!" seru Makisha. Dengan napas terengah-engah, gadis itu berlarian mencari saudarinya di dekat peternakan sapi milik keluarga.Dengan sisa napas yang ada di kerongkongan, Makisha berlari menuju kebun apel yang tidak jauh dari peternakan. Tiba di sana, dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Tamika. Benar saja, gadis berkepang dua itu ada di sana."Astaga. Lelah sekali aku mencari kamu, Tamika," ujar Makisha. Dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Tamika yang tengah membaca sebuah buku.Makisha menyodorkan ponsel miliknya pada Tamika. "Lihat ini!" titahnya kemudian.Alis Tamika bertaut bingung, tetapi dia tetap menerima ponsel tersebut.Mata Tamika membulat melihat sebuah video, dimana pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat itu tengah bergumul dengan seorang wanita. Kenyataan pahit lainnya yang harus dia terima yaitu jika Agnes, lah, yang menjadi lawan main Evan, sahabatnya sendiri."Kamu dapat dari mana video ini? Jangan becanda! Seminggu lagi, kami ak
“Ada apa, Tamika? Kenapa ….” “Lihat! Ada seorang pria yang tidak sadarkan diri. Cepat, kamu periksa pria itu! Masih bernapas atau tidak,” titah Tamika. Tubuhnya bergetar melihat kondisi pria itu yang cukup mengkhawatirkan. Di wajahnya, terdapat banyak luka sayatan. Darah yang keluar dari hidung, pelipis, dan sudut bibirnya pun sudah mengering. “Astaga. Tunggu sebentar!” Makisha mengulurkan jari telunjuk ke arah hidung pria tersebut. “Masih bernapas. Ayo, kita bawa ke klinik dr. Ann! Tapi, bagaimana cara membawa pria ini? Kita tidak mungkin kuat menggotongnya. Apalagi, jarak dari sini ke klinik cukup jauh.” Makisha tampak berpikir. ”Oh, begini saja. Biar aku yang mencari bantuan ke perkebunan. Kamu tunggu di sini! Jaga pria itu!” titah Makisha kemudian. “Tapi ….” Tanpa menunggu balasan Tamika, Makisha berlari meninggalkannya begitu saja. Menghilang diantara ilalang yang menjulang tinggi sebatas dada. “Tuan. Bangun, Tuan!” Tamika mengguncang ujung sepatu pria tersebut. Namun, pria
“Dasar manusia bodoh! Otak udang! Bisa-bisanya dia terpikat dengan wanita taruhan seperti Agnes. Astaga, anakmu itu memang senang sekali membuat ulah.” Darren mengacak rambutnya frustrasi. “Lihatlah! Gara-gara si anak sialan itu, rencana yang sudah aku susun matang-matang, harus gagal seperti ini.” Elena tak menyahuti. Dia telah mengenal karakter suaminya lebih dari seperempat abad lamanya, hanya bisa menghela napas panjang kemudian membenarkan anak rambut yang terurai ke wajah. Ucapan Darren memang benar. Kerjasama yang akan dijalani oleh kedua bisnis keluarga itu terancam batal. Ah, bukan terancam lagi, memang benar-benar sudah batal. Semua karena ulah anak lelaki satu-satunya, Evan Mattew. Saat pertama kali Elena mendengar jika Evan mengencani Agnes, dia menyangkal berita itu mentah-mentah. Bahkan Elena sempat memarahi anak tertuanya dan menuduh Erica berbicara yang bukan-bukan tentang Evan. Namun, setelah dirinya menyaksikan video tersebut, jantungnya seakan berhenti berdetak, k
Makisha mendesah pelan saat masuk ke dalam mobil milik Tamika. “Kenapa, sih, tidak bilang dari awal? Kalau tahu begini, aku tidak akan membuat janji dengan Sean sebelumnya,” keluhnya dengan bibir mengerucut seperti siput. “Iya, maaf! Aku janji, besok aku akan membantumu bertemu dengan Sean. Ayo!” ajak Tamika kemudian. Tidak mudah untuk membujuk Makisha yang tengah merajuk. Sikap dia sama keras kepalanya seperti Adam. Terkadang, Tamika lebih memilih mengalah daripada ujungnya harus berdebat dengan saudarinya itu, sebab dia tidak akan pernah menang melawan Makisha.Hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja tubuh Tamika tersentak saat lengannya ditarik oleh seseorang, gadis itu pun menoleh secara terpaksa. Tubuhnya menegang dengan bola mata yang membulat sempurna saat bertatapan dengan pria tersebut. Tamika menghela napas kasar lalu mengayunkan tangannya dengan kencang hingga cekalan Evan pun terlepas begitu saja.“Mau apa kau ke mari?” Tamika melipat tangannya di dada menatap Evan
‘Nomor siapa ini?’ gadis itu membatin. Dia ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga akhirnya dering panggilan itu mati dengan sendirinya. Namun, tak berselang lama ponselnya kembali menyala dengan nomor penelepon yang sama. “Maaf, apa ini dengan Nona Tamika Douglas?” terdengar suara bariton dari sebrang sana, membuat Tamika sedikit gugup. “I-iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa?” “Saya Johan, asisten pribadi Tuan Adrian Sanders. Kita bertemu di klinik dr.Ann tempo hari. Anda yang sudah menyelamatkan Tuan Sanders. Apa Anda mengingatnya, Nona Douglass?” Mendengar nama Adrian Sanders, Tamika menyembunyikan senyumannya di balik telapak tangan. “Ah, iya. Paman tampan. Eh, maaf! Maksud saya, paman yang hari itu terluka.” Tamika meralat ucapannya, dia merasa malu sendiri. Di sebrang sana, Johan tersenyum tipis. “Begini, Nona. Tuan Sanders untuk mengajak Anda makan malam, sebagai ucapan terima kasih karena Anda sudah menolongnya.” Tamika bergeming, dirinya ragu untuk menerima
“Ya, saya baik-baik saja!” sahut Adrian dingin.Tamika memandang ke arah pria itu penuh selidik. “Apa Anda kerabat Tuan Sanders?” tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk hormat seraya menyunggingkan senyuman lembut di wajahnya yang terlihat sangar. “Ya. Saya Johan, asisten pribadi Tuan Sanders. Terima kasih, atas kebaikan hati Nona sudah sudi menolong Tuan Sanders.”“Syukurlah." Tamika menghela napas lega. "Kalau begitu, saya pamit undur diri. Tuan Sanders, semoga Anda lekas sembuh!” ujarnya kemudian.Tamika perlahan mundur dan berbalik menuju pintu, membuat senyuman tipis seperti bulan sabit tercetak jelas di wajah Adrian yang rupawan. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang telah menolongnya itu. Menatap kepergian Tamika yang menghilang di balik pintu.“Sudah lama saya tidak melihat Anda tersenyum seperti itu di hadapan seorang wanita. Apa Anda menyukainya?” Johan mencoba menggoda Adrian, membuat wajah pria itu merengut kemudian berdecak kesal.“Jangan becanda!
“Ada apa, Tamika? Kenapa ….” “Lihat! Ada seorang pria yang tidak sadarkan diri. Cepat, kamu periksa pria itu! Masih bernapas atau tidak,” titah Tamika. Tubuhnya bergetar melihat kondisi pria itu yang cukup mengkhawatirkan. Di wajahnya, terdapat banyak luka sayatan. Darah yang keluar dari hidung, pelipis, dan sudut bibirnya pun sudah mengering. “Astaga. Tunggu sebentar!” Makisha mengulurkan jari telunjuk ke arah hidung pria tersebut. “Masih bernapas. Ayo, kita bawa ke klinik dr. Ann! Tapi, bagaimana cara membawa pria ini? Kita tidak mungkin kuat menggotongnya. Apalagi, jarak dari sini ke klinik cukup jauh.” Makisha tampak berpikir. ”Oh, begini saja. Biar aku yang mencari bantuan ke perkebunan. Kamu tunggu di sini! Jaga pria itu!” titah Makisha kemudian. “Tapi ….” Tanpa menunggu balasan Tamika, Makisha berlari meninggalkannya begitu saja. Menghilang diantara ilalang yang menjulang tinggi sebatas dada. “Tuan. Bangun, Tuan!” Tamika mengguncang ujung sepatu pria tersebut. Namun, pria
"Tamika! Tamika!" seru Makisha. Dengan napas terengah-engah, gadis itu berlarian mencari saudarinya di dekat peternakan sapi milik keluarga.Dengan sisa napas yang ada di kerongkongan, Makisha berlari menuju kebun apel yang tidak jauh dari peternakan. Tiba di sana, dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Tamika. Benar saja, gadis berkepang dua itu ada di sana."Astaga. Lelah sekali aku mencari kamu, Tamika," ujar Makisha. Dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Tamika yang tengah membaca sebuah buku.Makisha menyodorkan ponsel miliknya pada Tamika. "Lihat ini!" titahnya kemudian.Alis Tamika bertaut bingung, tetapi dia tetap menerima ponsel tersebut.Mata Tamika membulat melihat sebuah video, dimana pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat itu tengah bergumul dengan seorang wanita. Kenyataan pahit lainnya yang harus dia terima yaitu jika Agnes, lah, yang menjadi lawan main Evan, sahabatnya sendiri."Kamu dapat dari mana video ini? Jangan becanda! Seminggu lagi, kami ak