"Tamika! Tamika!" seru Makisha. Dengan napas terengah-engah, gadis itu berlarian mencari saudarinya di dekat peternakan sapi milik keluarga.
Dengan sisa napas yang ada di kerongkongan, Makisha berlari menuju kebun apel yang tidak jauh dari peternakan. Tiba di sana, dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Tamika. Benar saja, gadis berkepang dua itu ada di sana.
"Astaga. Lelah sekali aku mencari kamu, Tamika," ujar Makisha. Dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Tamika yang tengah membaca sebuah buku.
Makisha menyodorkan ponsel miliknya pada Tamika. "Lihat ini!" titahnya kemudian.
Alis Tamika bertaut bingung, tetapi dia tetap menerima ponsel tersebut.
Mata Tamika membulat melihat sebuah video, dimana pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat itu tengah bergumul dengan seorang wanita. Kenyataan pahit lainnya yang harus dia terima yaitu jika Agnes, lah, yang menjadi lawan main Evan, sahabatnya sendiri.
"Kamu dapat dari mana video ini? Jangan becanda! Seminggu lagi, kami akan melangsungkan pernikahan." Tamika mencoba untuk tidak percaya pada apa yang dia lihat.
"Bagaimana bisa aku becanda dalam keadaan seperti ini, Tamika? Lagipula, apa pantas hal seperti ini dijadikan candaan? Lihatlah! Pria itu, Evan, calon suamimu. Lalu perempuan itu, Agnes, sahabatmu!"
Tamika terdiam, tetapi air mata mengalir deras tanpa bisa ia kendalikan. Mau menyanggah sekuat apapun, video di hadapannya bukanlah rekayasa. Itu nyata. Suara Evan, suara Agnes, Tamika begitu kenal dan hafal.
"Video ini sudah tersebar di seluruh kota, Tamika. Semua orang sudah mengetahuinya. Evan sendiri pun sudah mengaku kalau dia memang tidur dengan perempuan itu."
"Ayo, ikut aku! Ayah memanggilmu. Kita harus segera menyelesaikan semua ini!" ajak Makisha kemudian. Dia menarik paksa tubuh saudarinya itu.
Gadis itu tak melawan. Pikirannya sedang benar-benar kacau. Kenyataan apa itu? Tamika benar-benar tak pernah menyangka hal itu akan terjadi.
Tiba di rumah, Tamika melihat kedua orangtua Evan dan Evan sendiri yang tengah tertunduk lesu. Pun dengan Agnes. Gadis itu pun sama, tertunduk lesu bersisian dengan Evan.
Hana bergegas menghampiri anak bungsunya itu. Sama halnya dengan Tamika, wanita cantik tak termakan usia itu juga ikut menangis, seakan merasakan kesedihan yang tengah Tamika rasakan.
"Kau sudah melihat video tersebut, Tamika?" tanya Adam. Wajah pria berjambang tebal itu sudah terlihat memerah, menahan amarah. Tamika hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaan ayahnya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan, Tamika? Ayah harap kamu mau membatalkan pernikahan ini, walaupun undangan pernikahan sudah kita sebar. Ayah tidak mau kamu menikahi pria pengecut seperti dia," desis Adam. Walau terlihat sangar, Adam merupakan pria yang begitu menyayangi keluarganya. Terutama pada Tamika, anak bungsunya.
"Saya mohon, jangan batalkan pernikahan ini, Tuan Adam! Kita bisa menyelesaikan permasalahan ini. Saya yakin, Tamika juga tidak ingin batal menikah dengan Evan, bukan begitu Tamika?" Daren menyela.
Tak sedikit pun Tamika membuka suara, dia masih menguatkan hati dengan apa yang tengah terjadi. Pun dengan Evan, dia menatap lesu ke arah Tamika yang berdiri tidak jauh darinya.
"Saya tidak sudi, memiliki menantu seperti dia, Tuan Daren. Saya lebih rela menanggung malu daripada tetap menikahkan gadis kesayangan saya dengan pria pengecut seperti dia. Demi apapun, saya tidak akan pernah rela Tamika disakiti seperti ini," tolak Adam lantang.
Perlahan, Elena mendekati Tamika dengan deraian air mata yang tersisa. "Sayang, tolong maafkan Evan! Bibi janji, Evan akan berubah. Dia tidak akan pernah melakukan hal seperti ini lagi. Kalian kan saling cinta, kalian tidak mungkin meninggalkan satu sama lain," bujuknya kemudian.
Desahan menjijikan Evan dan Agnes terus saja berputar di kepala Tamika, hingga membuat tubuh gadis itu limbung. Dengan sigap, Makisha dan Hana menahan tubuhnya sebelum ambruk.
"Kenapa Bibi yang berjanji? Bukankah Evan yang membuat kesalahan? Biarkan saja mereka melanjutkan perbuatan menjijikan itu. Aku tidak akan menghalangi keduanya. Aku tidak akan memisahkan mereka, kalau memang mereka saling mencintai. Aku tidak sejahat itu," jawab Tamika menohok.
Elena tampak terkejut mendengar perkataan Tamika. Dia pikir, Tamika akan mempertahankan hubungannya dan melanjutkan rencana pernikahan. Tetapi, ternyata jawaban Tamika berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan. Benar-benar diluar dugaan Elena.
"Maafkan aku, Tamika! Agnes yang berulangkali menggodaku, hingga akhirnya aku terpedaya. Aku sama sekali tidak mencintai dia. Yang aku inginkan untuk menjadi istriku hanyalah kamu. Tolong beri aku kesempatan lagi, Tamika!" Akhirnya, Evan bersuara. Pria itu bersimpuh di hadapan Tamika. Namun, Tamika membuang pandangan menatap Agnes yang masih saja diam dan menundukkan kepala.
"Tidak ada yang memerlukan kesempatan kedua, Evan. Aku akan melepasmu untuk Agnes. Jadi, teruskanlah pernikahan itu! Tapi, bukan denganku."
Adam tersenyum puas mendengar jawaban-jawaban dari mulut Tamika. Awalnya dia ragu, takut jika Tamika akan tetap melangsungkan pernikahan itu, berhubung rasa cinta Tamika pada Evan begitu besar. Namun, semua sudah terselesaikan. Sekarang, dia merasa lega seakan benda yang menghimpit dadanya sudah terangkat.
"Saya mohon, Tuan Adam, jangan batalkan pernikahan ini! Bagaimana dengan kerjasama yang akan kita jalankan?" Daren terus saja memohon.
"Tidak ada yang perlu dijalankan lagi. Semua sudah jelas. Kami tidak akan pernah bekerjasama dengan pengkhianat. Maka dari itu, pintu rumah kami terbuka sangat lebar. Silahkan bawa anak anda yang pengecut itu keluar dari sini, Tuan Daren!"
Rahang Daren mengeras, hampir saja amarahnya meledak. Beruntung, Elena segera menenangkannya. "Sudah, sayang! Mereka berhak memutuskan. Kelakuan anak kita yang salah. Kita hargai keputusan mereka," ujar Elena mengusap dada bidang sang suami.
"Baiklah. Tapi, saya tidak terima dibatalkan seperti ini. Lihat saja, Adam! Kau akan menyesal," desis Daren sebelum dia dan keluarganya meninggalkan kediaman Douglass.
Adam menatap kepergian keluarga Mattew. Harga dirinya merasa diinjak-injak oleh anak pria semata wayang mereka. Dia pun berjanji, tidak akan membiarkan keluarga kecilnya berada di bawah ancaman Daren.
Tamika menatap tajam ke arah Agnes yang sama sekali belum beranjak dari tempatnya.
"Kenapa kamu masih di sini? Kejarlah pria itu! Sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Sampah memang seharusnya dibuang pada tempatnya. Bukan begitu, Makisha?" tanya Tamika pada saudarinya. Namun, tatapannya tetap mengarah pada Agnes. Dia tersenyum mengejek.
"Apa aku salah mencintai Evan Mattew?" tanya Agnes mendongakkan wajah menatap Tamika.
"Tidak! Tidak ada yang salah. Perasaan cinta itu sebuah anugerah yang Tuhan berikan. Tapi, apa kamu tidak malu? Menyukai dan menginginkan milik orang lain? Apa kamu tidak malu, merusak kebahagiaan orang lain?"
"Kebahagiaan kamu sudah lebih dari cukup, Tamika. Kamu dikelilingi keluarga yang menyayangimu. Kamu punya segala yang kamu inginkan. Sedangkan, aku? Aku tidak memiliki salah satunya sama sekali. Biarkan aku memiliki salah satu dari kebahagiaanmu itu! Biarkan aku hidup bahagia bersama Evan Mattew!"
"Sudah aku bilang bukan, pergilah! Kejar pria itu! Apa kamu masih takut, kalau aku akan menjadi bayang-bayangmu?" Tamika tersenyum simpul.
"Manusia iri memang seperti itu, Tamika. Dia akan selalu merasa was-was dengan apa yang dimilikinya saat ini, hasil merebut dari orang lain," ujar Makisha sinis.
"Ayo, Tamika! Jangan buang-buang waktu melayani perempuan itu. Rasa malu yang dia miliki sudah habis terkikis oleh obsesi gilanya." Makisha menarik tubuh Tamika menjauh dari hadapan Agnes.
"Sudah, jangan menangis! Pria bukan hanya dia seorang. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Luapkan amarahmu di sana!" Tamika mengangguk pelan.
Kedua gadis itu berjalan menyusuri jalanan setapak melewati kebun apel milik keluarganya. Sesekali, Tamika meringis perih saat kulitnya tersayat ilalang yang cukup tajam.
"Bukankah ini jalan menuju jurang?" tanya Tamika yang mengekori kemana Makisha pergi. Gadis itu hanya mengangguk tanpa membalas ucapan Tamika.
“Kau menyuruhku untuk bunuh diri di sana?”
Makisha mendecih. “Yang benar saja, Tamika? Sudah jangan banyak bicara!” tegas gadis itu.
Tiba di tepi jurang, mata Tamika berbinar. "Sudah lama kita tidak main ke sini, Makisha."
"Berteriaklah sesukamu! Luapkan semua amarahmu pada Evan dan Agnes! Kalau perlu, menangislah! Jangan khawatir akan ada yang terganggu. Di sini, tidak ada yang bisa mendengar suara teriakanmu," jelas Makisha.
Tamika tertawa hambar. "Percuma. Aku tidak ingin melakukan hal bodoh seperti itu. Menangisi pria seperti dia? Aku rasa tidak perlu," tolak Tamika. Dia berjalan menuju serumpun bunga daisy yang tengah bermekaran. Indah sekali.
Segenggam bunga daisy telah dia dapatkan. Namun, saat hendak kembali ke tempat Makisha, mata Tamika memicing melihat sesuatu di dekat tumpukan dedaunan kering. Dia berjalan perlahan mendekatinya.
"Astaga. Makisha, cepat ke sini!"
“Ada apa, Tamika? Kenapa ….” “Lihat! Ada seorang pria yang tidak sadarkan diri. Cepat, kamu periksa pria itu! Masih bernapas atau tidak,” titah Tamika. Tubuhnya bergetar melihat kondisi pria itu yang cukup mengkhawatirkan. Di wajahnya, terdapat banyak luka sayatan. Darah yang keluar dari hidung, pelipis, dan sudut bibirnya pun sudah mengering. “Astaga. Tunggu sebentar!” Makisha mengulurkan jari telunjuk ke arah hidung pria tersebut. “Masih bernapas. Ayo, kita bawa ke klinik dr. Ann! Tapi, bagaimana cara membawa pria ini? Kita tidak mungkin kuat menggotongnya. Apalagi, jarak dari sini ke klinik cukup jauh.” Makisha tampak berpikir. ”Oh, begini saja. Biar aku yang mencari bantuan ke perkebunan. Kamu tunggu di sini! Jaga pria itu!” titah Makisha kemudian. “Tapi ….” Tanpa menunggu balasan Tamika, Makisha berlari meninggalkannya begitu saja. Menghilang diantara ilalang yang menjulang tinggi sebatas dada. “Tuan. Bangun, Tuan!” Tamika mengguncang ujung sepatu pria tersebut. Namun, pria
“Ya, saya baik-baik saja!” sahut Adrian dingin.Tamika memandang ke arah pria itu penuh selidik. “Apa Anda kerabat Tuan Sanders?” tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk hormat seraya menyunggingkan senyuman lembut di wajahnya yang terlihat sangar. “Ya. Saya Johan, asisten pribadi Tuan Sanders. Terima kasih, atas kebaikan hati Nona sudah sudi menolong Tuan Sanders.”“Syukurlah." Tamika menghela napas lega. "Kalau begitu, saya pamit undur diri. Tuan Sanders, semoga Anda lekas sembuh!” ujarnya kemudian.Tamika perlahan mundur dan berbalik menuju pintu, membuat senyuman tipis seperti bulan sabit tercetak jelas di wajah Adrian yang rupawan. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang telah menolongnya itu. Menatap kepergian Tamika yang menghilang di balik pintu.“Sudah lama saya tidak melihat Anda tersenyum seperti itu di hadapan seorang wanita. Apa Anda menyukainya?” Johan mencoba menggoda Adrian, membuat wajah pria itu merengut kemudian berdecak kesal.“Jangan becanda!
‘Nomor siapa ini?’ gadis itu membatin. Dia ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga akhirnya dering panggilan itu mati dengan sendirinya. Namun, tak berselang lama ponselnya kembali menyala dengan nomor penelepon yang sama. “Maaf, apa ini dengan Nona Tamika Douglas?” terdengar suara bariton dari sebrang sana, membuat Tamika sedikit gugup. “I-iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa?” “Saya Johan, asisten pribadi Tuan Adrian Sanders. Kita bertemu di klinik dr.Ann tempo hari. Anda yang sudah menyelamatkan Tuan Sanders. Apa Anda mengingatnya, Nona Douglass?” Mendengar nama Adrian Sanders, Tamika menyembunyikan senyumannya di balik telapak tangan. “Ah, iya. Paman tampan. Eh, maaf! Maksud saya, paman yang hari itu terluka.” Tamika meralat ucapannya, dia merasa malu sendiri. Di sebrang sana, Johan tersenyum tipis. “Begini, Nona. Tuan Sanders untuk mengajak Anda makan malam, sebagai ucapan terima kasih karena Anda sudah menolongnya.” Tamika bergeming, dirinya ragu untuk menerima
Makisha mendesah pelan saat masuk ke dalam mobil milik Tamika. “Kenapa, sih, tidak bilang dari awal? Kalau tahu begini, aku tidak akan membuat janji dengan Sean sebelumnya,” keluhnya dengan bibir mengerucut seperti siput. “Iya, maaf! Aku janji, besok aku akan membantumu bertemu dengan Sean. Ayo!” ajak Tamika kemudian. Tidak mudah untuk membujuk Makisha yang tengah merajuk. Sikap dia sama keras kepalanya seperti Adam. Terkadang, Tamika lebih memilih mengalah daripada ujungnya harus berdebat dengan saudarinya itu, sebab dia tidak akan pernah menang melawan Makisha.Hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja tubuh Tamika tersentak saat lengannya ditarik oleh seseorang, gadis itu pun menoleh secara terpaksa. Tubuhnya menegang dengan bola mata yang membulat sempurna saat bertatapan dengan pria tersebut. Tamika menghela napas kasar lalu mengayunkan tangannya dengan kencang hingga cekalan Evan pun terlepas begitu saja.“Mau apa kau ke mari?” Tamika melipat tangannya di dada menatap Evan
“Dasar manusia bodoh! Otak udang! Bisa-bisanya dia terpikat dengan wanita taruhan seperti Agnes. Astaga, anakmu itu memang senang sekali membuat ulah.” Darren mengacak rambutnya frustrasi. “Lihatlah! Gara-gara si anak sialan itu, rencana yang sudah aku susun matang-matang, harus gagal seperti ini.” Elena tak menyahuti. Dia telah mengenal karakter suaminya lebih dari seperempat abad lamanya, hanya bisa menghela napas panjang kemudian membenarkan anak rambut yang terurai ke wajah. Ucapan Darren memang benar. Kerjasama yang akan dijalani oleh kedua bisnis keluarga itu terancam batal. Ah, bukan terancam lagi, memang benar-benar sudah batal. Semua karena ulah anak lelaki satu-satunya, Evan Mattew. Saat pertama kali Elena mendengar jika Evan mengencani Agnes, dia menyangkal berita itu mentah-mentah. Bahkan Elena sempat memarahi anak tertuanya dan menuduh Erica berbicara yang bukan-bukan tentang Evan. Namun, setelah dirinya menyaksikan video tersebut, jantungnya seakan berhenti berdetak, k
“Dasar manusia bodoh! Otak udang! Bisa-bisanya dia terpikat dengan wanita taruhan seperti Agnes. Astaga, anakmu itu memang senang sekali membuat ulah.” Darren mengacak rambutnya frustrasi. “Lihatlah! Gara-gara si anak sialan itu, rencana yang sudah aku susun matang-matang, harus gagal seperti ini.” Elena tak menyahuti. Dia telah mengenal karakter suaminya lebih dari seperempat abad lamanya, hanya bisa menghela napas panjang kemudian membenarkan anak rambut yang terurai ke wajah. Ucapan Darren memang benar. Kerjasama yang akan dijalani oleh kedua bisnis keluarga itu terancam batal. Ah, bukan terancam lagi, memang benar-benar sudah batal. Semua karena ulah anak lelaki satu-satunya, Evan Mattew. Saat pertama kali Elena mendengar jika Evan mengencani Agnes, dia menyangkal berita itu mentah-mentah. Bahkan Elena sempat memarahi anak tertuanya dan menuduh Erica berbicara yang bukan-bukan tentang Evan. Namun, setelah dirinya menyaksikan video tersebut, jantungnya seakan berhenti berdetak, k
Makisha mendesah pelan saat masuk ke dalam mobil milik Tamika. “Kenapa, sih, tidak bilang dari awal? Kalau tahu begini, aku tidak akan membuat janji dengan Sean sebelumnya,” keluhnya dengan bibir mengerucut seperti siput. “Iya, maaf! Aku janji, besok aku akan membantumu bertemu dengan Sean. Ayo!” ajak Tamika kemudian. Tidak mudah untuk membujuk Makisha yang tengah merajuk. Sikap dia sama keras kepalanya seperti Adam. Terkadang, Tamika lebih memilih mengalah daripada ujungnya harus berdebat dengan saudarinya itu, sebab dia tidak akan pernah menang melawan Makisha.Hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja tubuh Tamika tersentak saat lengannya ditarik oleh seseorang, gadis itu pun menoleh secara terpaksa. Tubuhnya menegang dengan bola mata yang membulat sempurna saat bertatapan dengan pria tersebut. Tamika menghela napas kasar lalu mengayunkan tangannya dengan kencang hingga cekalan Evan pun terlepas begitu saja.“Mau apa kau ke mari?” Tamika melipat tangannya di dada menatap Evan
‘Nomor siapa ini?’ gadis itu membatin. Dia ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga akhirnya dering panggilan itu mati dengan sendirinya. Namun, tak berselang lama ponselnya kembali menyala dengan nomor penelepon yang sama. “Maaf, apa ini dengan Nona Tamika Douglas?” terdengar suara bariton dari sebrang sana, membuat Tamika sedikit gugup. “I-iya, saya sendiri. Maaf Anda siapa?” “Saya Johan, asisten pribadi Tuan Adrian Sanders. Kita bertemu di klinik dr.Ann tempo hari. Anda yang sudah menyelamatkan Tuan Sanders. Apa Anda mengingatnya, Nona Douglass?” Mendengar nama Adrian Sanders, Tamika menyembunyikan senyumannya di balik telapak tangan. “Ah, iya. Paman tampan. Eh, maaf! Maksud saya, paman yang hari itu terluka.” Tamika meralat ucapannya, dia merasa malu sendiri. Di sebrang sana, Johan tersenyum tipis. “Begini, Nona. Tuan Sanders untuk mengajak Anda makan malam, sebagai ucapan terima kasih karena Anda sudah menolongnya.” Tamika bergeming, dirinya ragu untuk menerima
“Ya, saya baik-baik saja!” sahut Adrian dingin.Tamika memandang ke arah pria itu penuh selidik. “Apa Anda kerabat Tuan Sanders?” tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk hormat seraya menyunggingkan senyuman lembut di wajahnya yang terlihat sangar. “Ya. Saya Johan, asisten pribadi Tuan Sanders. Terima kasih, atas kebaikan hati Nona sudah sudi menolong Tuan Sanders.”“Syukurlah." Tamika menghela napas lega. "Kalau begitu, saya pamit undur diri. Tuan Sanders, semoga Anda lekas sembuh!” ujarnya kemudian.Tamika perlahan mundur dan berbalik menuju pintu, membuat senyuman tipis seperti bulan sabit tercetak jelas di wajah Adrian yang rupawan. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangan dari sosok gadis yang telah menolongnya itu. Menatap kepergian Tamika yang menghilang di balik pintu.“Sudah lama saya tidak melihat Anda tersenyum seperti itu di hadapan seorang wanita. Apa Anda menyukainya?” Johan mencoba menggoda Adrian, membuat wajah pria itu merengut kemudian berdecak kesal.“Jangan becanda!
“Ada apa, Tamika? Kenapa ….” “Lihat! Ada seorang pria yang tidak sadarkan diri. Cepat, kamu periksa pria itu! Masih bernapas atau tidak,” titah Tamika. Tubuhnya bergetar melihat kondisi pria itu yang cukup mengkhawatirkan. Di wajahnya, terdapat banyak luka sayatan. Darah yang keluar dari hidung, pelipis, dan sudut bibirnya pun sudah mengering. “Astaga. Tunggu sebentar!” Makisha mengulurkan jari telunjuk ke arah hidung pria tersebut. “Masih bernapas. Ayo, kita bawa ke klinik dr. Ann! Tapi, bagaimana cara membawa pria ini? Kita tidak mungkin kuat menggotongnya. Apalagi, jarak dari sini ke klinik cukup jauh.” Makisha tampak berpikir. ”Oh, begini saja. Biar aku yang mencari bantuan ke perkebunan. Kamu tunggu di sini! Jaga pria itu!” titah Makisha kemudian. “Tapi ….” Tanpa menunggu balasan Tamika, Makisha berlari meninggalkannya begitu saja. Menghilang diantara ilalang yang menjulang tinggi sebatas dada. “Tuan. Bangun, Tuan!” Tamika mengguncang ujung sepatu pria tersebut. Namun, pria
"Tamika! Tamika!" seru Makisha. Dengan napas terengah-engah, gadis itu berlarian mencari saudarinya di dekat peternakan sapi milik keluarga.Dengan sisa napas yang ada di kerongkongan, Makisha berlari menuju kebun apel yang tidak jauh dari peternakan. Tiba di sana, dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Tamika. Benar saja, gadis berkepang dua itu ada di sana."Astaga. Lelah sekali aku mencari kamu, Tamika," ujar Makisha. Dia menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Tamika yang tengah membaca sebuah buku.Makisha menyodorkan ponsel miliknya pada Tamika. "Lihat ini!" titahnya kemudian.Alis Tamika bertaut bingung, tetapi dia tetap menerima ponsel tersebut.Mata Tamika membulat melihat sebuah video, dimana pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat itu tengah bergumul dengan seorang wanita. Kenyataan pahit lainnya yang harus dia terima yaitu jika Agnes, lah, yang menjadi lawan main Evan, sahabatnya sendiri."Kamu dapat dari mana video ini? Jangan becanda! Seminggu lagi, kami ak